Perdebatan Bahasa Baku: Antara Kekuatan dan Ketidakpahaman

Posted on

Jadi gini, pernah nggak sih kalian denger orang ngomong bahasa baku itu kaku banget? Atau bahkan ada yang bilang bahasa baku cuma buat dosen doang. Tapi tunggu dulu, apa sih yang bikin bahasa baku sering dianggap garing atau nggak keren?

Nah, cerpen ini bakal ngajak kalian mikir ulang soal bahasa baku—gimana sih, kalau ternyata, kata-kata itu punya kekuatan lebih dari sekadar bikin kita pusing pas ujian? Yuk, baca dulu dan siap-siap ketawa juga!

 

Perdebatan Bahasa Baku

Kamus Berjalan yang Tertawa

Pagi itu, langit cerah, dan suasana kampus masih terasa sepi. Gantara Wijaksana baru saja keluar dari ruang dosen dengan wajah penuh kemenangan—tugas yang diberikan minggu lalu sudah berhasil ia selesaikan dengan sempurna. Satu-satunya yang mengganggu pikirannya adalah satu hal yang lebih dari sekadar tugas akademik: kata baku. Ya, ia memang selalu memikirkan bahasa.

Gantara melangkah cepat, perutnya mendengung karena lapar. Ia berjalan menuju kantin, tempat yang sudah ia tentukan sebagai perhentian pertama setelah rapat dosen. Setibanya di sana, ia melihat Mahendra dan Wilantara sedang duduk santai di meja yang sudah biasa mereka tempati.

“Eh, Tan! Pagi-pagi udah kelihatan kayak orang serius banget, ya?” Mahendra memanggilnya, melambai dengan senyum usil.

Gantara mendekat dengan tenang, sedikit canggung, dan langsung duduk di sebelah Wilantara. “Aku baru saja keluar dari rapat dengan dosen. Tugas selesai, tinggal mengumpulkan.”

Wilantara, yang sudah bersiap dengan secangkir teh, menyeringai. “Tugas selesai, tapi kok kelihatan seperti baru saja menghadapi musuh bebuyutan? Santai aja, Tan.”

Gantara menatap Wilantara dengan tajam. “Aku tidak bisa santai, Wil. Banyak orang di luar sana yang menganggap enteng bahasa kita. Aku hanya ingin memastikan kita tetap menjaga keutuhan bahasa yang benar.”

Mahendra mendengus. “Bahasa yang benar? Tan, kamu ini, loh. Kenapa sih harus ribet dengan kata-kata baku? Nggak bisa ya kalau sekadar ngomong dengan ‘nggak’ atau ‘gimana’?”

Gantara menatap Mahendra dengan ekspresi serius. “Kamu nggak paham, Mahen. Kalau kita membiarkan bahasa kita berubah, lama-lama orang-orang akan mulai menganggap ‘nggak’ itu normal. Padahal, itu adalah penyimpangan dari bahasa yang seharusnya. Coba deh, kamu lihat kamus itu!” Ia mengacungkan jari ke arah rak di sudut kantin yang dipenuhi buku-buku.

Wilantara tertawa. “Kamus yang mana, Tan? Kamus yang ngikutin zaman atau kamus versi Gantara yang sudah 100 tahun nggak update?”

Gantara menatapnya dengan penuh keseriusan. “Jangan bercanda, Wil. Bahasa itu, loh, penting. Kalau kita nggak jaga, nanti malah nggak ada yang tahu bedanya antara ‘menghargai’ dan ‘hargai’.”

Mahendra dan Wilantara saling pandang. Ini lagi. Gantara memang begitu—selalu serius soal hal-hal yang kadang dianggap sepele oleh banyak orang.

“Yaudah deh, Tan. Kalau gitu, ngomong dong dengan bahasa yang benar!” Mahendra menantang. “Kasih aku contoh kata yang nggak baku, supaya aku tahu seberapa parahnya dunia ini.”

Gantara menyeringai, merasa seperti pahlawan bahasa. “Misalnya, kata ‘gimana’. Itu harusnya ‘bagaimana’. Dan ‘nggak’ itu harusnya ‘tidak’. Ini masalah prinsip.”

Wilantara mencibir. “Oke, pahlawan bahasa. Sekarang, coba deh, kamu ngomong pake ‘tidak’ dan ‘bagaimana’ sepanjang hari. Lihat aja deh, kita bakal lihat kamu tahan berapa lama.”

Gantara mengangkat alisnya. “Tantangan diterima, Wil. Aku pasti bisa!”

Namun, Mahendra dan Wilantara sudah tidak bisa menahan tawa mereka. Mereka jelas tahu, Gantara memang berbicara dengan serius, tapi kadang cara dia mempertahankan prinsip malah terdengar lucu. Wilantara yang biasanya sulit menahan tawa, kini malah hampir terjatuh dari kursi saking ngakaknya.

“Serius Tan, kalau kamu kayak gitu terus, aku bisa mati ketawa!” Wilantara menghapus air matanya karena tertawa.

“Apa yang lucu? Ini serius!” Gantara berusaha mempertahankan ekspresinya, meski sudah mulai tertarik untuk ikut tertawa.

“Kamu itu lucu banget kalau serius gitu,” Mahendra menambahkan dengan tawa terbahak-bahak. “Oke, oke, aku paham, kamu pahlawan bahasa, jadi kita harus bicara kayak di kamus, kan?”

Gantara memutar bola mata. “Kalian ini, sih, terlalu santai! Nanti kalian tahu akibatnya kalau bahasa kita terus seperti ini!”

Ketika pembicaraan mulai mengarah ke kata-kata yang lebih berat, Kirana, teman sekelas mereka yang terkenal aktif, datang tergopoh-gopoh, wajahnya panik. “Gantara! Tugas kita yang minggu lalu itu ternyata dikumpulkan besok, bukan hari ini!” katanya, buru-buru sambil menyeka keringat di dahi.

Gantara terkejut, matanya langsung membelalak. “Kirana, mohon gunakan bahasa yang lebih tertata! Seharusnya kamu mengatakan, ‘Tugas yang kita terima minggu lalu harus dikumpulkan besok.’ Itu lebih tepat.”

Kirana terdiam sejenak, bingung. “Eh… Maksud kamu… aku salah ngomong?”

“Benar,” jawab Gantara, wajahnya serius. “Penggunaan kata ‘dikirim’ dan ‘dikumpulkan’ itu sering kali tertukar. Bahaya, loh, kalau orang nggak paham!”

Wilantara hampir terjungkal dari kursinya karena tawa. “Tan, kamu ini kadang bikin aku bingung deh. Kirana udah panik gitu, kamu malah bikin dia pusing lagi.”

Kirana mendengus, walaupun sebenarnya ia juga agak geli dengan cara Gantara. “Oke deh, Gantara. Aku tahu, aku salah. Tapi yang penting kan tugasnya bakal dikumpulkan besok, kan?”

Gantara mendesah lega. “Itu baru benar. Jangan biarkan kata-kata itu menguasai kita.”

Mahendra dan Wilantara saling pandang lagi, menggeleng-gelengkan kepala. Ini sudah seperti ritual setiap hari. Gantara selalu berjuang mempertahankan bahasa yang menurutnya benar, sementara mereka hanya tertawa melihatnya.

Namun, meskipun semua orang tertawa, tidak ada yang bisa mengubah satu fakta—Gantara Wijaksana, mahasiswa dengan semangat menjaga bahasa, akan selalu menjadi sosok yang penuh kejutan di kampus itu.

 

Duta Kata Baku

Kampus pagi itu tak jauh berbeda. Angin sepoi-sepoi menambah semangat yang sudah menyala dalam diri Gantara. Tugas yang sudah diselesaikan kemarin, kini menjadi kenangan yang menghangatkan hati. Meskipun teman-temannya sering menganggap serius hal-hal kecil yang ia lakukan, Gantara tahu bahwa ini bukan tentang membuktikan sesuatu. Ini tentang menjaga sesuatu yang lebih besar—bahasa.

Di tengah perjalanan menuju ruang kelas, ia melihat sebuah spanduk besar yang tertulis dengan jelas: “Lomba Debat Bahasa: Juara Pasti Memakai Bahasa Baku!” Spanduk itu seakan mengundang nasib. Gantara yang tadinya berjalan santai kini terhenti sejenak. Matanya berbinar.

“Ini kesempatan!” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya.

Beberapa langkah di depannya, Mahendra dan Wilantara berjalan sambil tertawa, sepertinya terlibat dalam obrolan ringan yang tak ada habisnya. Namun, begitu melihat Gantara yang tiba-tiba tampak serius, keduanya langsung berhenti.

“Gimana, Tan? Kamu kayaknya mikir sesuatu yang dalam banget deh,” tanya Mahendra dengan nada penasaran.

Gantara mengangguk dengan semangat. “Aku baru lihat ada lomba debat bahasa, dan aku rasa ini kesempatan untuk membuktikan bahwa bahasa baku itu bukan cuma soal aturan, tapi soal menghargai sesuatu yang lebih besar.”

Wilantara menatap Gantara dengan pandangan setengah bingung, setengah heran. “Serius Tan? Kamu bakal ikut lomba itu? Lomba debat bahasa? Itu kan… itu kan… ya, buat orang yang ngurusin kamus atau dosen bahasa deh.”

“Ini lebih dari itu, Wil,” jawab Gantara dengan mata berbinar. “Lomba ini bukan hanya soal memenangkan hadiah, ini tentang menunjukkan bahwa bahasa baku itu penting. Itu adalah bentuk penghargaan terhadap budaya kita, loh.”

Mahendra yang mulai paham dengan semangat Gantara hanya menggelengkan kepala, senyum tak bisa ditahan. “Yaudah deh, Tan, kalau kamu bisa buktikan bahwa bahasa baku itu nggak bikin orang ngantuk dan bisa jadi seru, aku ikut deh.”

Wilantara menyambar. “Aku ikut juga, asal Gantara bisa buat orang ketawa tanpa perlu pake bahasa slang, ya.”

Gantara mencibir. “Kalian nggak ngerti apa-apa soal bahasa, deh.”

Namun, di balik lelucon dan sikap santai mereka, Gantara merasa ada sesuatu yang penting. Kompetisi ini bukan hanya soal debat, tapi juga soal keberanian untuk mempertahankan sesuatu yang ia yakini benar—bahwa bahasa adalah bagian dari jati diri.

Keesokan harinya, mereka sudah tiba di ruang lomba. Gedung fakultas bahasa tampak ramai oleh para peserta yang sudah mulai berkumpul. Gantara langsung mengarahkan langkah menuju meja pendaftaran, diikuti oleh Mahendra dan Wilantara yang terlihat lebih santai.

“Selamat datang di lomba debat bahasa. Nama dan tema yang kalian pilih?” tanya panitia sambil memeriksa daftar peserta.

Gantara dengan percaya diri menyebutkan namanya, lalu menambahkan tema yang ia pilih. “Tema saya adalah ‘Mengapa Kata Baku Perlu Dijaga di Era Digital?’

Wilantara melirik Gantara dengan senyum tipis. “Wah, Tan. Kayaknya kalau tema kamu ini dipakai, audiens bakal tidur, deh.”

Mahendra langsung ikut menimpali dengan suara serius. “Bener, Tan. Siapa yang mau denger orang debat soal bahasa baku? Kalau kita ngomongin tren-tren baru aja, pasti lebih seru.”

Gantara hanya tersenyum tipis. “Jangan khawatir, kalian akan terkejut dengan hasilnya. Saya punya rencana khusus.”

Setelah pendaftaran selesai, Gantara mengambil posisi di ruang tunggu, menunggu giliran untuk tampil. Mahendra dan Wilantara duduk di sebelahnya dengan senyum mengejek.

“Jadi, Tan, apa yang bikin kamu yakin orang-orang bakal peduli soal bahasa baku? Itu kan kayak ngajak orang nonton film dokumenter yang lama dan boring,” Mahendra bertanya, mengundang tawa dari Wilantara.

“Tunggu aja,” jawab Gantara penuh keyakinan. “Aku akan buktikan bahwa debat tentang bahasa baku bisa seru, menantang, dan—yang paling penting—memiliki dampak.”

Lomba dimulai dengan peserta pertama yang tampak sangat serius. Ketika gilirannya tiba, Gantara berdiri tegak di depan audiens, melihat wajah-wajah yang sudah siap untuk disuguhi perdebatan yang tak biasa.

“Gentlemen, ladies, dan teman-teman yang terhormat,” ia mulai dengan suara lantang, “Pernahkah kalian berpikir, kenapa kita harus peduli dengan bahasa baku di tengah dunia digital yang serba cepat ini?”

Beberapa orang mulai mengernyitkan dahi, tetapi Gantara tidak berhenti. Ia melanjutkan, “Kita sering kali melupakan bahwa bahasa adalah identitas. Seperti kita menjaga identitas kita dalam berbagai hal—mode, perilaku, atau bahkan musik—bahasa juga perlu dihargai. Jika kita tidak menjaga bahasa, kita akan kehilangan sesuatu yang tak tergantikan. Mengapa? Karena bahasa mencerminkan budaya dan sejarah bangsa kita.”

Wilantara, yang duduk di belakangnya, hampir tidak bisa menahan tawa. “Lah, Tan, kalau udah kayak gini sih… kita ikut nonton acara debat akademik aja deh, jangan kayak nonton stand-up.”

Namun, Gantara terus berbicara dengan penuh semangat, membuktikan pada audiens bahwa bahasa bukan sekadar kata-kata. “Di era digital ini, kita mungkin berpikir bahwa kata-kata slang lebih cepat, lebih praktis, dan lebih keren. Tapi apakah kita siap kehilangan makna dari kata-kata yang selama ini ada?”

Audiens mulai terlihat lebih tertarik. Mereka mulai memperhatikan, dan Gantara merasakan ada sesuatu yang berubah di ruangan itu.

“Bahasa bukan hanya alat komunikasi. Ia adalah penjaga nilai, penjaga kebudayaan kita. Jika kita terus mengabaikan hal ini, maka lambat laun, bahasa kita akan menjadi kehilangan arah.”

Dan saat itulah, Gantara tersenyum, tahu bahwa ia sudah memulai sesuatu yang lebih besar. Tanpa disadari, ia mulai menanamkan dalam hati audiens bahwa kata baku, meskipun tampaknya kaku dan kuno, ternyata memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan.

Namun, cerita ini masih jauh dari selesai. Gantara tahu tantangannya belum usai. Ini baru awal dari perjalanannya.

 

Satu Kata, Banyak Makna

Debat berjalan semakin seru. Gantara bisa merasakan ada ketegangan yang mengalir dari audiens, mungkin karena mereka mulai mencerna argumennya. Ia melangkah dengan penuh percaya diri, membiarkan kata-kata baku yang ia pilih menggema di ruangan itu, memaksa orang-orang untuk memperhatikan lebih seksama.

Di sisi lain, Wilantara dan Mahendra yang duduk di belakangnya terlihat setengah bingung, setengah terkesan. Mereka tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara meskipun masih dalam suasana debat.

“Tan, lo serius deh,” bisik Mahendra dengan suara pelan. “Kalau ini berhasil, gue bakal sebut lo raja bahasa baku. Tapi kalau nggak, ya siap-siap deh jadi bahan ledekan.”

Wilantara mengangguk sambil tertawa kecil. “Iya, Tan. Kalau ini sukses, bisa jadi lo jadi seleb bahasa baku, lho. Setiap kali orang ngomong ‘gue’, ‘lo’, lo langsung datang bawa kamus.”

Gantara hanya tersenyum tipis tanpa menoleh. Ia tahu bahwa mereka hanya bercanda, tetapi pada saat yang sama, ia merasa bahwa ini adalah momennya untuk menunjukkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar lomba debat ini. Ini adalah kesempatan untuk mengubah cara pandang orang-orang terhadap bahasa baku.

Saat debat berlanjut, seorang peserta dari kelompok lawan berdiri dengan penuh keyakinan dan mulai berbicara. “Saya setuju bahwa bahasa memiliki peran penting dalam masyarakat, namun kita harus mengakui bahwa bahasa baku saat ini sudah mulai usang. Kita hidup di era yang serba cepat dan instan. Mengapa harus berpegang pada aturan yang kaku dan rumit?”

Gantara mendengarkan dengan seksama, merasakan bahwa tantangan baru saja dimulai. Ia tahu ini adalah momen untuk melangkah lebih jauh.

Ia berdiri dengan tegas, menarik napas panjang, dan mulai berbicara dengan penuh percaya diri. “Saya mengerti bahwa banyak orang berpikir bahasa baku itu kaku, rumit, dan kuno. Tapi kalau kita terus mengabaikan bahasa baku, kita sedang mengabaikan warisan budaya kita sendiri. Bahasa baku adalah pondasi dari bahasa yang kita gunakan sehari-hari. Tanpa pondasi yang kuat, bangunan bahasa kita bisa runtuh.”

Audiens mulai terdiam, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Gantara. Ia terus berbicara dengan semangat yang tak tergoyahkan. “Kata-kata tidak hanya sekedar rangkaian huruf yang kita ucapkan. Setiap kata memiliki makna yang mendalam. Seperti halnya sejarah, kata-kata itu terikat dengan masa lalu, dengan tradisi, dengan nilai-nilai yang sudah ada sejak zaman dahulu.”

“Bahasa baku bukan hanya tentang aturan. Ia adalah cara kita menjaga agar komunikasi tetap jelas dan tepat. Di tengah-tengah dunia yang penuh kebingungan informasi ini, bahasa yang tepat adalah salah satu cara kita untuk memastikan tidak ada yang salah paham. Bayangkan jika kita mengabaikan bahasa baku dalam hal-hal yang lebih serius, seperti hukum, pendidikan, atau pemerintahan. Apa yang akan terjadi pada masyarakat kita?”

Wilantara yang duduk di belakangnya menatap dengan takjub, matanya yang biasanya penuh dengan ejekan kini dipenuhi rasa kagum. “Eh, Tan. Gue nggak nyangka lo bakal ngomong kayak gini. Kayaknya bener deh, bahasa itu bukan cuma buat ngobrol. Ternyata ada makna yang lebih dalam.”

Mahendra ikut terdiam, merasakan dampak dari argumen Gantara. Mungkin selama ini dia lebih banyak fokus pada bagaimana menyenangkan orang lain dengan kata-kata yang lebih santai, tapi sekarang, ia mulai melihat ada keindahan dalam kata-kata yang terstruktur dengan baik.

Debat terus berlangsung dengan intens. Lawan-lawannya mencoba untuk memberikan kontra, tetapi Gantara merasa sudah berada pada jalur yang benar. Ia tahu bahwa ini bukan hanya soal memenangkan lomba, tetapi soal mengubah perspektif. Di tengah perdebatan, ia mendapati dirinya semakin tegas dalam memilih kata-kata yang sesuai, penuh dengan makna dan tujuan.

Setelah beberapa babak debat yang penuh tekanan, akhirnya tiba waktunya untuk penutupan. Semua peserta diminta untuk memberikan kesimpulan akhir.

Gantara berdiri dengan langkah mantap, menyusun kalimat terakhir. “Saya ingin menutup debat ini dengan satu kalimat. Kata-kata, meskipun sering kali tampak sepele, memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Bahasa baku adalah cara kita menjaga agar pesan kita sampai dengan jelas. Dan tanpa itu, kita hanya akan terombang-ambing dalam lautan kebingungan. Mari kita jaga bahasa kita. Karena bahasa adalah cerminan dari siapa kita sebenarnya.”

Tepuk tangan menggema di ruangan itu. Audiens terlihat terkesan. Meskipun mereka belum sepenuhnya paham apa yang membuat debat ini begitu berkesan, mereka bisa merasakan dampak dari kata-kata Gantara.

Wilantara, yang duduk di belakangnya, akhirnya berdiri dan dengan nada setengah serius berkata, “Lo udah ngebuktiin, Tan. Ternyata bahasa baku nggak cuma buat bikin orang tidur. Gue salut deh.”

Mahendra juga tak ketinggalan memberi tepuk tangan. “Ternyata lo bener, Tan. Gue nggak pernah mikir sejauh itu soal bahasa baku.”

Gantara hanya tersenyum tipis, merasa bahwa langkah pertamanya sudah berhasil. Namun, ia tahu ini baru awal. Ia masih harus melewati banyak tantangan, dan tak ada yang lebih penting baginya sekarang selain memastikan bahwa bahasa yang ia gunakan bisa membentuk cara pandang orang-orang di sekitarnya.

Sebelum mereka meninggalkan ruang debat, Gantara menoleh ke Mahendra dan Wilantara dengan senyum lebar. “Nah, bagaimana kalau kita mulai bicara dengan bahasa baku sepanjang hari?”

Mahendra dan Wilantara langsung tertawa terbahak-bahak, tapi Gantara tahu bahwa mereka mungkin sudah mulai berpikir ulang tentang bahasa. Dengan penuh keyakinan, ia melangkah keluar, siap menghadapi tantangan berikutnya.

 

Kata Terakhir, Langkah Pertama

Hari itu, suasana di sekitar Gantara berubah. Ia merasa langkahnya semakin mantap. Setelah debatan yang panas, suasana di kampus tampak lebih cerah, meskipun cuaca mendung. Para mahasiswa masih berbicara tentang argumen yang ia sampaikan. Beberapa dari mereka sepertinya mulai mempertanyakan kembali kebiasaan berbicara santai yang selama ini mereka anggap biasa.

Namun, Gantara tahu ini bukan soal memenangkan pendapat dalam debat saja. Ini lebih dari itu. Ia sedang menanamkan sesuatu yang lebih penting. Sebuah perubahan dalam cara orang berpikir. Tentang seberapa berharga kata-kata yang kita pilih dan bagaimana sebuah bahasa—terutama bahasa baku—bisa menjadi jembatan yang menghubungkan pikiran, tradisi, dan bahkan masa depan.

Saat ia berjalan menuju kantin, Mahendra dan Wilantara mengikuti di belakangnya. Mereka belum banyak bicara sejak debat selesai, namun ekspresi mereka mengungkapkan banyak hal. Wilantara akhirnya memecah keheningan.

“Tan, serius deh, gue nggak nyangka lo bisa ngomong begitu bagus. Gue kira lo bakal langsung kehabisan kata-kata dan balik lagi ke istilah-istilah kekinian yang biasa lo pake,” katanya sambil tertawa kecil.

Gantara hanya tersenyum tipis, namun ada kebanggaan yang terpendam dalam senyum itu. “Nah, gue juga nggak nyangka lo bisa dengerin semua itu, Wil.”

Mahendra ikut menimpali, “Lo bener-bener ngegugah gue, Tan. Kalau dulu, gue pasti bakal bilang bahasa baku itu bikin orang kelihatan pusing, apalagi di dunia yang sekarang yang serba instan. Tapi setelah dengerin lo, rasanya kayak ada sisi lain yang selama ini gue abaikan.”

Gantara mengangguk pelan. “Iya, itu memang tujuan gue. Kadang kita cuma butuh untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Apa yang kita anggap ‘baku’ atau ‘kaku’, bisa jadi punya nilai yang lebih dalam dari yang kita kira.”

Di kantin, mereka duduk bersama di meja yang biasa mereka tempati. Gantara melirik sekeliling, menyadari bahwa kampus ini, dengan segala kekurangannya, punya potensi untuk menjadi tempat perubahan. Ia merasakan sebuah dorongan baru untuk terus berbicara tentang pentingnya bahasa yang baik dan benar.

Beberapa teman sekelasnya, yang dulu selalu memilih menggunakan bahasa yang lebih santai dan penuh singkatan, kini mulai berbicara dengan lebih hati-hati, memilih kata-kata yang lebih tepat. Gantara tahu, sedikit demi sedikit, orang-orang mulai menyadari apa yang ia maksud. Mungkin, tidak semua orang akan langsung berubah, tetapi ia yakin perubahan itu akan datang dengan sendirinya.

Mahendra menatap Gantara dengan serius. “Tan, gue harus ngaku, lo bener-bener ngebuktiin kalau bahasa baku itu bisa keren. Dulu gue pikir itu cuma buat orang-orang tua atau para dosen yang udah jadul. Tapi setelah denger lo tadi, kayaknya lo bener juga.”

Gantara tertawa kecil. “Gue nggak bilang bahasa baku itu harus dipaksakan ke semua orang. Tapi buat gue, kalau kita bisa bicara dengan jelas dan tepat, itu adalah bentuk penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain.”

Wilantara, yang duduk di samping Gantara, mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia jarang sekali serius seperti ini, namun kini, sepertinya ia mulai memahami. “Jadi, lo maksudnya, bahasa baku itu bukan cuma buat nulis laporan atau ngomong di depan kelas, kan? Itu bisa jadi cara kita buat lebih dihargai juga?”

Gantara mengangguk. “Iya, tepat. Bahasa itu seperti senjata. Kalau kita nggak tahu cara menggunakannya, bisa bahaya. Tapi kalau kita tahu bagaimana mengontrolnya, dia bisa membuka banyak pintu.”

Saat mereka selesai makan dan siap untuk kembali ke kelas, Wilantara melemparkan sebuah pertanyaan yang terdengar serius namun tetap disertai senyuman nakal. “Nah, Tan, lo sekarang udah jadi pahlawan bahasa baku. Kapan kita mulai ngomong pake bahasa baku sepanjang waktu? Lo bisa jadi guru bahasa baku kita, deh.”

Gantara menatap Wilantara dengan senyum lebar. “Gue sih siap aja, Wil. Kalau lo berdua nggak berhenti bercanda, gue yakin ini bakal jadi tren di kampus dalam waktu dekat.”

Mahendra melirik Wilantara dan menambahkannya, “Gue setuju. Bahasa baku bisa jadi keren, asal jangan cuma dipake buat pamer.”

Gantara tertawa. Ia tahu ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Mungkin, banyak orang yang akan kembali ke kebiasaan mereka setelah ini, tetapi bagi Gantara, ini adalah momen yang tak akan terlupakan. Di tengah dunia yang terus bergerak cepat, ia telah berhasil menanamkan satu hal yang lebih penting: bahwa setiap kata, baik itu baku maupun tidak, memiliki kekuatan untuk mengubah segala sesuatu.

Dengan keyakinan itu, ia melangkah keluar dari kantin, siap untuk menghadapi hari-hari berikutnya dengan lebih banyak kata-kata yang bisa membentuk dunia.

 

Jadi, udah pada sadar kan kalau bahasa baku itu nggak seburuk yang dibayangkan? Ternyata, bahasa yang kita anggap kaku itu bisa jadi alat yang keren banget buat nyampein pikiran.

Mungkin nggak semua orang langsung berubah, tapi siapa tau kan, dengan sedikit usaha, kita bisa bikin bahasa baku jadi hits di kalangan teman-teman. Eh, siapa tau juga bisa jadi tren baru, kan? Jadi, mulai sekarang, ayo coba ngomong dengan kata yang lebih berisi. Siapa tau, kita jadi pahlawan bahasa di dunia yang penuh singkatan ini!

Leave a Reply