Peran Taman Bacaan Masyarakat dalam Pendidikan: Kisah Haru di Balik Lembar Buku

Posted on

Taman bacaan masyarakat menjadi salah satu kunci penting dalam meningkatkan pendidikan di daerah terpencil, menawarkan harapan bagi anak-anak yang haus akan ilmu. Dalam cerita “Peran Taman Bacaan Masyarakat dalam Pendidikan: Kisah Haru di Balik Lembar Buku,” kita diajak mengikuti perjalanan Zahrani, seorang gadis dari kampung Waringinsari, yang berjuang meraih beasiswa melalui taman bacaan sederhana. Kisah penuh emosi ini mengungkap kekuatan buku, dukungan komunitas, dan pengorbanan keluarga dalam membentuk masa depan cerah. Yuk, temukan inspirasi dari peran taman bacaan yang mengubah hidup!

Peran Taman Bacaan Masyarakat dalam Pendidikan

Cahaya di Ujung Gang Sempit

Di sebuah kampung terpencil bernama Waringinsari, terselip sebuah gang sempit yang dikelilingi rumah-rumah sederhana dari bilik bambu dan atap genting tua. Di ujung gang itu berdiri sebuah bangunan kecil yang tak lebih dari gubuk kayu dengan jendela-jendela reyot—Taman Bacaan Masyarakat Sari Baca. Tempat itu menjadi harapan bagi anak-anak kampung, termasuk Zahrani, seorang gadis berusia 14 tahun dengan mata cokelat yang selalu bersinar penuh rasa ingin tahu. Zahrani tinggal bersama neneknya, Mak Lumayati, seorang janda tua yang hidup dari menjual kue tradisional di pasar pagi.

Rumah Zahrani tak lebih dari dua ruangan kecil dengan lantai tanah yang selalu dingin di malam hari. Mak Lumayati, dengan tangan keriputnya yang lincah, biasa bangun sebelum subuh untuk mengaduk adonan klepon dan lupis di dapur beralas tanah. Bau gula merah dan kelapa parut selalu mengisi udara, namun di balik senyum neneknya yang hangat, Zahrani tahu hidup mereka penuh tantangan. Ayahnya meninggal saat ia masih bayi, dan ibunya pergi meninggalkan mereka bertahun-tahun lalu tanpa kabar. Zahrani hanya memiliki neneknya sebagai keluarga, dan buku-buku di Taman Bacaan Sari Baca sebagai jendela menuju dunia yang lebih luas.

Pagi itu, mentari baru menyelinap di balik pepohonan kelapa saat Zahrani bersiap menuju taman bacaan. Ia mengenakan seragam sekolah yang sudah lusuh, jahitan di bagian lengan mulai robek karena sering dipakai. “Ran, jangan lupa bawa bekal. Nenek taruh di tasmu,” kata Mak Lumayati sambil menyodorkan bungkusan daun pisang berisi nasi uduk dan tempe goreng. Suaranya serak, tanda kelelahan setelah malam yang panjang di dapur.

Zahrani mengangguk sambil tersenyum tipis. “Makasih, Nek. Aku ke taman bacaan dulu sebelum sekolah.” Ia mencium tangan neneknya yang penuh luka akibat pisau dan panas kompor, lalu berlari kecil menuju gang sempit. Tas kainnya yang sudah memudar bergoyang di pundaknya, berisi buku pinjaman dari taman bacaan yang ia baca berulang-ulang: Petualangan Sang Penjelajah.

Taman Bacaan Sari Baca dikelola oleh Pak Jatmiko, seorang pensiunan guru SD yang tinggal sendirian sejak istrinya meninggal lima tahun lalu. Pria berusia 60 tahun itu memiliki rambut putih yang menipis dan mata yang selalu berbinar saat berbicara tentang buku. Ia membuka taman bacaan itu dengan dana pribadi dan sumbangan dari warga yang peduli, meski kondisinya sederhana—rak-rak kayu tua penuh buku bekas, meja-meja reyot, dan lampu minyak sebagai penerangan di malam hari. Bagi Zahrani, tempat itu adalah surga kecil di tengah keterbatasan kampungnya.

Saat Zahrani tiba, Pak Jatmiko sedang menyapu lantai kayu yang penuh debu. “Pagi, Ran. Datang awal sekali. Mau pinjam buku lagi?” tanyanya dengan senyum ramah, menunjuk ke arah rak buku yang penuh sesak.

“Iya, Pak. Aku mau cari buku tentang sains. Besok ada ujian di sekolah,” jawab Zahrani sambil meletakkan tasnya di sudut ruangan. Ia berjalan perlahan menuju rak, jari-jarinya menyapu tulang punggung buku-buku tua yang berdebu. Di antara tumpukan itu, ia menemukan sebuah buku tipis berjudul Rahasia Alam Semesta, ditulis oleh seorang ilmuwan lokal. Covernya sudah lusuh, beberapa halaman robek, tapi bagi Zahrani, itu seperti harta karun.

Zahrani duduk di bangku kayu yang berderit, membuka buku itu dengan hati-hati. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela reyot menerangi wajahnya, menciptakan bayangan lembut di halaman-halaman kuning. Ia membaca tentang bintang, planet, dan hukum gravitasi dengan penuh konsentrasi, meski pikirannya sesekali melayang. Ia tahu betapa pentingnya ujian besok—nilai bagus bisa membantunya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, sesuatu yang neneknya impikan untuknya.

Di luar taman bacaan, suara anak-anak bermain terdengar samar. Zahrani melirik ke jendela, melihat teman-temannya, seperti Darmantha, anak pedagang keliling, yang sedang menendang bola dari daun pisang. Darmantha sering mengajaknya bermain, tapi Zahrani selalu menolak. “Aku harus belajar, Man. Kalau nggak, aku nggak bisa bantu Nek,” katanya setiap kali ditanya. Darmantha hanya mengangguk, tapi matanya menunjukkan rasa prihatin.

Zahrani kembali fokus pada bukunya, tapi tiba-tiba ia teringat malam kemarin. Mak Lumayati duduk di beranda, tangannya gemetar saat mengaduk adonan klepon karena nyeri sendi yang kambuh. “Ran, kalau nenek nggak ada, kamu harus kuat sendiri, ya. Belajar yang rajin, biar kamu punya masa depan cerah,” kata neneknya dengan suara parau, air matanya jatuh perlahan ke pangkuannya. Zahrani mengangguk, tapi hatinya terasa berat. Ia tahu neneknya tak akan selamanya ada, dan ia harus menjadi harapan satu-satunya keluarga mereka.

Sore itu, setelah sekolah, Zahrani kembali ke taman bacaan. Pak Jatmiko sedang mengajarkan beberapa anak kecil membaca huruf dasar menggunakan papan tulis tua. Zahrani duduk di sudut, membantu seorang anak bernama Citrawati yang kesulitan mengenal huruf “B”. “Coba lagi, Cit. B seperti bola, ya,” katanya lembut, menunjukkan gerakan tangan untuk membentuk huruf itu. Citrawati tersenyum, sukses menulis huruf pertama dalam hidupnya, dan Zahrani merasa hangat di dadanya.

Namun, di balik kegembiraan itu, ada rasa bersalah yang menggerogoti. Ia ingat saat neneknya pulang dari pasar dengan wajah pucat, membawa sedikit uang dari penjualan kue yang sepi pembeli. “Harga gula naik lagi, Ran. Nenek cuma dapat cukup buat makan dua hari,” kata Mak Lumayati dengan nada pasrah. Zahrani ingin membantu, tapi yang bisa ia lakukan hanyalah belajar, berharap suatu hari ia bisa membalas kebaikan neneknya dengan kesuksesan.

Malam tiba, dan Zahrani kembali ke rumah dengan buku Rahasia Alam Semesta di tangan. Di bawah lampu minyak yang redup, ia duduk di lantai tanah bersama neneknya. Mak Lumayati menjahit pakaian bekas untuk dijual, sementara Zahrani membaca keras-keras, mencoba memahami rumus-rumus sains yang terasa asing. “Ran, jangan terlalu larut. Nenek takut matamu rusak,” kata Mak Lumayati, tapi Zahrani hanya mengangguk kecil, terlalu tenggelam dalam buku.

Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa suara jangkrik dan desau daun kelapa. Zahrani melirik neneknya, melihat garis-garis tua di wajahnya yang penuh pengorbanan. Ia berjanji dalam hati untuk tak mengecewakan neneknya, untuk membuat Taman Bacaan Sari Baca bangga, dan untuk menjadi cahaya bagi kampungnya yang gelap. Tapi di dalam dadanya, ada ketakutan yang tak terucap—bagaimana jika usahanya tak cukup? Bagaimana jika ia gagal di ujian besok?

Malam semakin larut, dan di bawah cahaya lampu minyak yang berkedip-kedip, Zahrani terus membaca, membawa harapan neneknya dan kampungnya di pundaknya yang rapuh. Di kejauhan, suara Pak Jatmiko yang sedang menyanyikan lagu daerah terdengar samar, seolah menjadi pengingat bahwa di tengah keterbatasan, taman bacaan itu tetap menjadi mercusuar pengetahuan bagi Waringinsari.

Bayang di Balik Halaman

Pagi di Waringinsari disambut dengan suara ayam berkokok dan aroma asap kayu bakar dari dapur-dapur warga. Zahrani terbangun dengan mata yang terasa berat, akibat kurang tidur setelah belajar hingga tengah malam. Ujian sains yang ia hadapi kemarin masih membekas di pikirannya. Ia merasa yakin dengan sebagian besar jawaban, tapi ada beberapa soal yang membuatnya ragu, terutama tentang hukum Newton yang rumit. Di sisi lain, ia tak bisa menghindari rasa cemas—hasil ujian itu akan menentukan apakah ia bisa mendapatkan beasiswa yang menjadi harapan neneknya, Mak Lumayati.

Di dapur, Mak Lumayati sedang mengaduk adonan klepon di atas tungku sederhana. Asap tipis naik ke udara, bercampur dengan bau gula merah yang meleleh. Nenek itu tampak lebih lelet dari biasanya, tangannya gemetar saat menuang adonan ke daun pisang. “Ran, bangun cepat. Nenek buatkan sarapan. Jangan lupa ke taman bacaan, ya,” panggilnya dengan suara serak, diselingi batuk kecil yang tak bisa disembunyikan.

Zahrani bangkit dari tikar tipisnya, menggosok mata yang masih mengantuk. Ia mendekati neneknya dan membantu menuang adonan ke dalam wajan berisi air mendidih. “Nek, kalau capek, istirahat dulu. Biar aku yang kerjain,” katanya lembut, tapi Mak Lumayati hanya tersenyum dan menggeleng.

“Enggak apa, Ran. Nenek kuat. Ini buat kamu, biar ada bekal ke sekolah,” jawab neneknya, meski wajahnya pucat menunjukkan kelelahan. Zahrani menelan rasa bersalah yang menggelora. Ia tahu neneknya memaksakan diri demi membiayai kebutuhan sekolahnya, termasuk biaya tambahan untuk buku-buku yang tak selalu tersedia di taman bacaan.

Setelah sarapan nasi uduk dan klepon hangat, Zahrani bergegas ke Taman Bacaan Sari Baca. Jalan menuju gang sempit itu dipenuhi genangan air hujan semalam, membuat sepatunya yang sudah usang basah kuyup. Saat tiba, ia disambut oleh Pak Jatmiko yang sedang mengatur rak buku dengan penuh hati-hati. “Pagi, Ran. Gimana ujian kemarin?” tanyanya sambil menyerahkan secangkir teh hangat dari termos tua.

Zahrani mengambil teh itu, menghangatkan tangannya yang dingin. “Biasa aja, Pak. Aku nggak yakin sama beberapa soal. Tapi aku usaha semaksimal mungkin,” jawabnya pelan, matanya tertuju pada uap teh yang naik perlahan.

Pak Jatmiko mengangguk bijaksana. “Itu sudah cukup, Ran. Usaha itu yang terpenting. Hasilnya biar Tuhan yang tentukan. Sekarang, duduk dulu. Ada buku baru yang mungkin kamu suka—tentang astronomi.” Ia menunjuk ke arah meja kecil di sudut, di mana sebuah buku tebal berjudul Langit dan Bintang-Bintang tergeletak.

Zahrani tersenyum kecil, merasa sedikit terhibur. Ia duduk dan membuka buku itu, membaca dengan penuh semangat tentang konstelasi dan galaksi. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela reyot menerangi halaman-halaman yang penuh ilustrasi bintang, menciptakan perasaan damai di hatinya. Namun, pikirannya terus kembali ke neneknya. Ia teringat malam kemarin, saat Mak Lumayati meringis kesakitan karena nyeri sendi, tapi tetap memaksakan diri menjahit pakaian bekas untuk dijual.

Saat istirahat sekolah, Zahrani kembali ke taman bacaan bersama Darmantha, sahabatnya yang selalu ceria. Darmantha membawa sebotol air minum dan roti dari warung ibunya, menawarkannya pada Zahrani. “Ran, kamu kelihatan capek banget. Ujian kemarin bikin stres, ya?” tanyanya sambil duduk di bangku kayu yang berderit.

Zahrani mengangguk pelan, mengunyah roti dengan penuh rasa syukur. “Iya, Man. Tapi bukan cuma ujian. Aku khawatir sama Nek. Dia kerja terlalu keras, dan aku takut dia sakit. Kalau aku nggak dapat beasiswa, aku nggak tahu dari mana bayar sekolah,” katanya, suaranya hampir tenggelam oleh angin sore.

Darmantha mengerutkan kening, memandang Zahrani dengan penuh empati. “Kamu nggak sendirian, Ran. Taman bacaan ini ada buat kamu. Pak Jatmiko selalu bilang, buku-buku ini bisa jadi jembatan buat masa depan. Jangan terlalu membebani diri sendiri, ya.”

Kata-kata Darmantha memberikan sedikit ketenangan, tapi Zahrani tetap merasa tertekan. Ia kembali membaca Langit dan Bintang-Bintang, berharap pengetahuan itu bisa membantunya di ujian berikutnya. Di sekitarnya, anak-anak lain seperti Citrawati sedang belajar membaca dengan bantuan Pak Jatmiko, suara mereka yang ceria mengisi ruangan kecil itu. Zahrani tersenyum melihat Citrawati berhasil menulis kalimat sederhana, tapi di dalam hatinya, ia merasa seperti lilin yang perlahan meleleh—memberi cahaya bagi orang lain, tapi kehilangan dirinya sendiri.

Sore itu, saat pulang, Zahrani melewati pasar kecil di pinggir kampung. Ia melihat Mak Lumayati duduk di sudut dengan keranjang kue yang hampir kosong. Wajah neneknya pucat, keringat bercucuran di dahinya meski angin sepoi-sepoi. Zahrani buru-buru mendekat, membawakan keranjang itu. “Nek, kenapa nggak bilang kalau capek? Ayo pulang,” katanya khawatir.

Mak Lumayati menggeleng lemah. “Enggak apa, Ran. Nenek cuma butuh istirahat sebentar. Ini buat kamu, biar bisa beli buku baru di taman bacaan.” Ia menyodorkan segenggam uang koin yang ternyata hanya cukup untuk sepotong roti.

Zahrani menahan air mata yang menggenang. Ia menggenggam tangan neneknya yang dingin, merasakan getaran lemah di dalamnya. “Nek, aku nggak mau kamu sakit. Aku akan belajar lebih keras, tapi tolong jaga kesehatan, ya,” bisiknya, suaranya pecah.

Malam itu, suasana rumah terasa lebih sunyi. Mak Lumayati tidur lebih awal, tubuhnya terkulai lelet di tikar tipis setelah mengonsumsi obat nyeri sederhana yang ia beli dengan harga murah. Zahrani duduk di sudut ruangan, membaca Langit dan Bintang-Bintang di bawah lampu minyak yang redup. Cahaya kuning menerangi wajahnya yang penuh konsentrasi, tapi juga kesedihan. Ia tahu neneknya tak akan selamanya bisa mendampinginya, dan Taman Bacaan Sari Baca adalah satu-satunya tempat yang bisa membantunya meraih mimpi.

Di luar, angin malam membawa suara daun kelapa yang bergoyang, seolah mengingatkan Zahrani akan perjuangan yang masih panjang. Ia menatap langit melalui celah atap, mencoba membayangkan bintang-bintang yang ia baca, dan berdoa agar usahanya tak sia-sia. Tiba-tiba, ia teringat kata-kata Pak Jatmiko: “Buku adalah cahaya, Ran. Selama kamu membaca, kamu nggak pernah sendirian.” Kata-kata itu menjadi penyemangat, tapi juga beban—ia harus membuktikan bahwa taman bacaan itu memang bisa mengubah nasibnya.

Malam semakin larut, dan di bawah cahaya lampu minyak yang berkedip-kedip, Zahrani terus membaca, membawa harapan neneknya dan kampungnya di pundaknya yang rapuh. Di kejauhan, suara Pak Jatmiko yang sedang membersihkan taman bacaan terdengar samar, seolah menjadi pengingat bahwa di tengah kegelapan, ada cahaya kecil yang terus menyala untuk Waringinsari.

Retakan di Cahaya Pengetahuan

Pagi di Waringinsari terasa lebih berat dari biasanya. Jam menunjukkan 06:30 WIB saat Zahrani terbangun, tubuhnya terasa lelet setelah semalaman belajar hingga larut. Cahaya matahari yang menyelinap melalui celah-celah dinding bambu menerangi tikar tipis tempat ia tidur, mengungkapkan debu yang beterbangan di udara. Di sisi lain ruangan, Mak Lumayati masih terlelap, napasnya pelan tapi terdengar agak tersengal. Zahrani khawatir—neneknya tampak lebih lemah setelah hari yang melelahkan di pasar kemarin.

Di dapur, Zahrani mencoba menyiapkan sarapan sederhana: nasi sisa kemarin yang dipanaskan di atas tungku kecil dengan tambahan sedikit garam. Aroma hangus kayu bakar memenuhi ruangan, bercampur dengan bau lembap tanah yang selalu khas di pagi hari. Ia melirik neneknya yang perlahan bangun, wajahnya pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata. “Ran, nenek nggak enak badan. Mungkin cuma capek,” kata Mak Lumayati dengan suara lemah, mencoba tersenyum meski tangannya gemetar saat mengangkat tubuhnya.

Zahrani buru-buru mendekat, membantu neneknya duduk di bangku kayu tua. “Nek, kita ke puskesmas, ya. Nggak boleh dipaksain,” katanya tegas, tapi hatinya bergetar. Ia tahu mereka tak punya cukup uang untuk biaya pengobatan, dan pikirannya langsung melayang ke hasil ujian sains yang belum diumumkan—harapannya satu-satunya untuk beasiswa.

Setelah memastikan Mak Lumayati minum air hangat, Zahrani bergegas ke Taman Bacaan Sari Baca. Jalan gang sempit itu tampak lengang, hanya ada suara ayam berkokok dan derit sepeda tua tetangga. Saat tiba, ia disambut oleh Pak Jatmiko yang sedang menyapu halaman dengan gerakan lambat. “Pagi, Ran. Kamu kelihatan pucat. Ada apa?” tanyanya, matanya yang penuh pengalaman langsung menangkap kekhawatiran di wajah Zahrani.

Zahrani menghela napas panjang. “Nekku sakit, Pak. Aku khawatir, tapi aku juga nunggu hasil ujian. Kalau nggak dapat beasiswa, aku nggak tahu gimana bayar sekolah, apalagi obat buat Nek,” katanya, suaranya bergetar. Ia duduk di bangku kayu, tangannya meremas ujung rok seragam yang sudah memudar.

Pak Jatmiko mengangguk, meletakkan sapu dan duduk di sampingnya. “Ran, taman bacaan ini nggak cuma soal buku. Ini soal harapan. Aku yakin kamu udah usaha maksimal. Tapi jangan lupain kesehatanmu dan nenekmu. Kalau perlu, aku bisa bantu cari sumbangan buat obat,” katanya lembut, tangannya yang kasar menepuk pundak Zahrani.

Zahrani tersenyum tipis, merasa sedikit lega, tapi pikirannya tetap kacau. Ia mengambil Langit dan Bintang-Bintang dari tasnya, berusaha fokus membaca untuk mengalihkan kekhawatiran. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela reyot menerangi halaman-halaman buku, tapi matanya sering berkaca-kaca saat mengingat wajah neneknya yang pucat.

Di sekolah, suasana tegang menyelimuti kelas saat Pak Suryadi, guru sains, mulai mengumumkan hasil ujian. Zahrani duduk di barisan depan, jantungnya berdetak kencang. “Zahrani, 88. Bagus, tapi masih bisa lebih baik,” kata Pak Suryadi dengan nada datar, menyerahkan kertas ujiannya. Nilai itu cukup baik, tapi Zahrani tahu itu tak menjamin beasiswa—ia harus konsisten di ujian berikutnya.

Saat istirahat, Darmantha mendekat dengan wajah ceria. “Ran, 88 itu keren banget! Aku cuma dapat 65,” katanya sambil menyodorkan sebotol air minum. Zahrani mengangguk lelet, tapi matanya kosong. “Terima kasih, Man. Tapi aku khawatir sama Nek. Dia tambah lelet hari ini,” jawabnya pelan.

Darmantha mengerutkan kening. “Kamu harus bawa dia ke puskesmas. Kalau nggak cukup duit, aku bisa minta bantuan ibuku,” tawarnya dengan nada serius. Zahrani mengangguk, tapi ia ragu—ia tak ingin membebani orang lain.

Sore itu, setelah sekolah, Zahrani pulang dengan langkah berat. Ia menemukan Mak Lumayati duduk di beranda, tangannya memegang kain yang setengah dijahit, tapi jarinya tak bergerak. “Nek, kamu kenapa? Ayo, kita ke puskesmas sekarang!” katanya panik, membantu neneknya berdiri.

Di puskesmas kecil di ujung kampung, dokter memeriksa Mak Lumayati dengan alat sederhana. “Ibu ini lelah berlebihan dan kekurangan gizi. Harus istirahat total dan makan yang bergizi. Kalau nggak, bisa bahaya,” kata dokter dengan nada serius. Zahrani menelan ludah, melihat resep obat yang harganya jauh di luar jangkauan mereka.

Malam itu, suasana rumah terasa sunyi dan dingin. Zahrani duduk di lantai tanah, menatap lampu minyak yang berkedip-kedip. Mak Lumayati tidur di sampingnya, napasnya terdengar lebih lemah. Zahrani membuka Langit dan Bintang-Bintang, tapi air matanya menetes ke halaman buku. Ia merasa gagal—tak mampu menjaga neneknya, tak mampu memastikan beasiswa, tak mampu membuktikan bahwa Taman Bacaan Sari Baca bisa mengubah nasibnya.

Tiba-tiba, pintu kayu terbuka perlahan. Pak Jatmiko masuk dengan wajah serius, membawa sebuah kantong plastik berisi obat dan sebotol susu. “Ran, ini dari sumbangan warga dan temen-temen di taman bacaan. Kita nggak mau lihat kamu sama nenekmu susah,” katanya lembut, meletakkan kantong itu di lantai.

Zahrani menangis tersedu, tak mampu menahan emosi yang terpendam. “Makasih, Pak. Aku nggak tahu harus ngapain kalau nggak ada taman bacaan,” katanya di sela isakan. Pak Jatmiko hanya tersenyum, duduk di sampingnya, dan mengelus rambut Zahrani seperti ayah yang menenangkan anaknya.

Di luar, angin malam bertiup kencang, membawa suara daun kelapa yang bergoyang. Zahrani menatap langit gelap melalui celah atap, mencoba mencari bintang-bintang yang ia baca, tapi malam itu langit tertutup awan tebal. Ia berdoa dalam hati, memohon kekuatan untuk melanjutkan perjuangan, dan harapan bahwa taman bacaan itu akan tetap menjadi cahaya bagi dirinya dan kampungnya.

Malam semakin larut, dan di bawah lampu minyak yang redup, Zahrani memeluk neneknya yang tertidur, berjanji untuk tak menyerah. Di kejauhan, suara anak-anak yang belajar di taman bacaan terdengar samar, seolah mengingatkan bahwa di tengah kegelapan, ada komunitas yang terus berjuang bersama.

Harapan di Bawah Langit Terbuka

Pagi di Waringinsari pada hari Kamis, 19 Juni 2025, membawa udara segar setelah hujan semalaman. Jam menunjukkan 10:29 WIB saat Zahrani membuka mata, cahaya matahari menyelinap melalui celah dinding bambu, menerangi wajahnya yang masih pucat. Di sampingnya, Mak Lumayati terbangun dengan napas yang sedikit lebih stabil, berkat obat dan susu dari sumbangan taman bacaan semalam. Zahrani tersenyum tipis, merasa sedikit lega melihat neneknya tampak lebih baik, meski wajah tua itu masih menunjukkan jejak kelelahan.

Di dapur, Zahrani menyiapkan sarapan sederhana: nasi hangat dengan sayur bayam rebus yang ia petik dari kebun kecil di belakang rumah. Aroma daun bayam yang segar bercampur dengan bau kayu bakar, menciptakan suasana hangat yang jarang terasa belakangan ini. Mak Lumayati duduk di bangku kayu, tangannya yang gemetar memegang sendok dengan susah payah. “Ran, nenek udah baikan. Makasih ya, udah urus nenek,” katanya lembut, matanya berkaca-kaca.

Zahrani mengangguk, memegang tangan neneknya yang dingin. “Nek, aku yang harus makasih. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu harus gimana. Sekarang aku janji, aku akan belajar lebih cerdas, biar bisa bantu kamu,” jawabnya, suaranya penuh tekad. Ia tahu hari ini adalah hari pengumuman beasiswa tahunan, dan itu menjadi penentu nasibnya.

Setelah sarapan, Zahrani bergegas ke Taman Bacaan Sari Baca untuk mempersiapkan diri sebelum pergi ke sekolah. Jalan gang sempit itu kini dipenuhi genangan air yang berkilau di bawah sinar matahari, mencerminkan harapan baru. Saat tiba, ia disambut oleh Pak Jatmiko dan anak-anak lain yang sedang membersihkan taman bacaan. “Pagi, Ran! Hari ini pengumuman beasiswa, ya? Kita doain kamu,” kata Pak Jatmiko sambil tersenyum, menyerahkan sebuah buku baru berjudul Mimpi di Bawah Bintang sebagai hadiah penyemangat.

Zahrani tersenyum lebar, merasa tersentuh. Ia duduk di bangku kayu, membuka buku itu, dan membaca kalimat pembuka: “Setiap bintang adalah mimpi yang menanti untuk digapai.” Kata-kata itu menggetarkan hatinya, mengingatkannya pada perjuangan bersama neneknya dan taman bacaan. Di sekitarnya, Citrawati dan anak-anak lain bermain sambil membaca, suara tawa mereka mengisi ruangan kecil yang penuh buku-buku tua.

Di sekolah, suasana aula terasa tegang saat kepala sekolah, Bu Marini, berdiri di podium untuk mengumumkan penerima beasiswa. Zahrani duduk di barisan depan bersama Darmantha, jantungnya berdetak kencang. Mak Lumayati dan Pak Jatmiko hadir di belakang, duduk di kursi kayu yang disediakan warga. “Penerima beasiswa penuh tahun ini adalah… Zahrani!” teriak Bu Marini, suaranya menggema di aula yang tiba-tiba riuh oleh tepuk tangan.

Zahrani terdiam sesaat, tak percaya. Air matanya menetes saat ia berdiri, berjalan ke depan untuk menerima sertifikat. Ia menoleh ke arah neneknya, melihat senyum bangga di wajah Mak Lumayati yang penuh kelegaan. Darmantha berteriak kegirangan, memeluk Zahrani saat ia kembali ke tempat duduk. “Kamu berhasil, Ran! Aku tahu kamu bisa!” katanya ceria.

Setelah acara, Zahrani pulang bersama neneknya dan Pak Jatmiko, membawa sertifikat yang menjadi tiket menuju masa depan. Di rumah, mereka duduk di beranda, menikmati angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga liar dari kebun tetangga. Mak Lumayati memegang tangan Zahrani, suaranya bergetar. “Ran, nenek bangga sama kamu. Ini buah dari usahamu dan taman bacaan itu,” katanya, air matanya jatuh perlahan.

Zahrani memeluk neneknya erat. “Ini juga buat kamu, Nek. Aku janji akan jadi dokter, biar bisa jaga kamu dan kampung ini,” jawabnya, penuh harap. Pak Jatmiko tersenyum dari kejauhan, menatap langit yang mulai menunjukkan bintang-bintang sore.

Malam itu, Taman Bacaan Sari Baca mengadakan perayaan kecil untuk Zahrani. Warga membawa makanan sederhana—klepon, lupis, dan pisang goreng—sementara anak-anak bernyanyi lagu daerah di bawah lampu minyak yang dikalungkan di pohon kelapa. Zahrani berdiri di tengah, memegang mikrofon tua, dan berbicara dengan suara penuh emosi. “Terima kasih buat taman bacaan ini. Kalau nggak ada Pak Jatmiko dan buku-buku ini, aku nggak akan sampai di sini. Ini kemenangan kita semua,” katanya, disambut sorak sorai warga.

Di sudut, Mak Lumayati duduk bersama Darmantha, menyaksikan putri angkatnya bersinar. “Nenek nggak nyangka, Man. Ran udah besar, dan taman bacaan ini bener-bener jadi cahaya buat dia,” katanya pelan, tangannya mengelus kain lusuh di pangkuannya.

Perayaan berlangsung hingga larut, dengan tawa dan cerita yang mengalir di udara malam. Zahrani duduk di bawah pohon kelapa, membuka Mimpi di Bawah Bintang, dan membaca keras-keras untuk warga. Cahaya lampu minyak memantul di wajah-wajah yang penuh harap, menciptakan suasana hangat yang tak ternilai. Ia menatap langit yang kini dipenuhi bintang, merasa bahwa setiap cahaya di atas sana adalah bukti bahwa mimpinya tak lagi hanya angan-angan.

Keesokan harinya, Zahrani memulai hari dengan semangat baru. Ia membantu Mak Lumayati di dapur, lalu pergi ke taman bacaan untuk mengajari Citrawati dan anak-anak lain. Pak Jatmiko mendekat, membawa secarik kertas. “Ran, ini surat dari dinas pendidikan. Mereka mau bantu perbaiki taman bacaan kita. Ini semua karena usahamu jadi contoh,” katanya dengan bangga.

Zahrani tersenyum lebar, merasa harapannya kini tumbuh bersama kampungnya. Di bawah langit terbuka Waringinsari, ia tahu perjuangannya tak sia-sia. Bersama neneknya, teman-temannya, dan Taman Bacaan Sari Baca, ia siap mengejar mimpi—bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang telah mendampinginya dalam kegelapan.

Angin malam bertiup pelan, membawa bisikan harapan ke setiap sudut kampung, sementara bintang-bintang di langit bersinar lebih terang, menyaksikan awal baru bagi Zahrani dan Waringinsari.

Kisah Zahrani membuktikan bahwa taman bacaan masyarakat bukan sekadar tempat membaca, tetapi juga mercusuar harapan yang mampu mengubah nasib generasi muda. Dengan dukungan komunitas, pengorbanan keluarga, dan semangat belajar yang tak kenal lelah, setiap anak memiliki kesempatan untuk meraih mimpinya. Jadilah bagian dari perubahan dengan mendukung inisiatif taman bacaan lokal, dan saksikan bagaimana lembar demi lembar buku dapat membuka pintu menuju masa depan yang lebih cerah.

Terima kasih telah membaca kisah inspiratif ini tentang peran taman bacaan dalam pendidikan. Semoga Anda terinspirasi untuk turut berkontribusi pada pendidikan di sekitar Anda. Sampai jumpa di artikel menarik berikutnya, dan tetaplah menaburkan cahaya pengetahuan!

Leave a Reply