Penyesalan Seorang Anak: Terlambat untuk Pulang

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasa sibuk banget sama hidup sendiri sampai lupa kalau ada seseorang yang selalu nunggu di rumah? Seorang ibu yang nggak pernah ngeluh, yang selalu mendoakan anaknya, meski si anak malah sibuk ngejar hal-hal yang dia kira penting?

Tapi… gimana kalau suatu hari, kamu pulang… dan semuanya udah terlambat? Cerita ini bukan cuma tentang kehilangan, tapi juga tentang penyesalan yang datang ketika seseorang yang paling berharga sudah nggak ada. Baca sampai habis, dan siap-siap buat hati kamu dicabik-cabik…

Terlambat untuk Pulang

Pesan yang Terabaikan

Langit sore tampak kelabu, awan hitam menggantung rendah seakan siap mencurahkan isinya kapan saja. Kota masih sibuk seperti biasa, hiruk-pikuk kendaraan dan pejalan kaki memenuhi jalanan. Di tengah kesibukan itu, Arkana duduk di sebuah kafe kecil dekat kantornya, menyesap kopi yang sudah mulai dingin.

Ponselnya tergeletak di meja, layar menyala menunjukkan satu pesan yang baru masuk.

“Nak, ibu kangen sekali. Pulang, ya?”

Arkana membaca pesan itu sekilas lalu menghela napas. Ini bukan pertama kalinya ibunya mengirim pesan seperti itu. Hampir setiap minggu, pesan serupa masuk ke ponselnya. Ia selalu berpikir bahwa ibunya hanya terlalu rindu, seperti ibu-ibu pada umumnya yang merasa kesepian di rumah.

Tangannya terangkat hendak mengetik balasan, tapi dering telepon dari atasannya membuatnya terhenti. Ia meraih ponselnya dan langsung menjawab.

“Iya, Pak, saya masih di sekitar kantor… Besok pagi saya siap buat meeting… Baik, saya catat.”

Percakapan itu berlangsung beberapa menit sebelum akhirnya berakhir dengan satu instruksi tambahan: Lembur malam ini.

Arkana mendesah pelan, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku tanpa sempat membalas pesan ibunya. “Nanti saja,” pikirnya. Lagipula, besok pun masih ada waktu.

Hujan mulai turun ketika ia melangkah keluar dari kafe, titik-titik air membasahi aspal yang panas. Arkana membuka payungnya, menyeberang jalan, dan kembali tenggelam dalam rutinitasnya yang padat.

Malam itu, hujan deras mengguyur kota. Arkana baru saja sampai di apartemennya, melempar tas kerja ke sofa, lalu mengendurkan dasinya. Kepalanya berat, matanya lelah. Seharian ini ia dipenuhi dengan angka, laporan, dan teguran dari atasannya yang menuntut segalanya harus sempurna.

Ia berbaring di sofa, menatap langit-langit. Ada sesuatu yang terasa mengganggu di pikirannya. Sesuatu yang belum ia lakukan.

Perlahan, ia meraih ponselnya dan membuka pesan ibunya yang masih belum terbaca sepenuhnya.

“Nak, ibu kangen sekali. Pulang, ya?”

Pesan itu dikirim pagi tadi. Hampir empat belas jam yang lalu.

Arkana mengusap wajahnya, merasa sedikit bersalah. Namun, ia menenangkan dirinya sendiri dengan berpikir bahwa besok adalah hari Sabtu. Ia bisa menelepon ibunya besok pagi, mungkin sekalian berjanji akan pulang minggu depan.

Tangannya bergerak untuk mengetik balasan, tapi sebelum sempat ia kirimkan, notifikasi lain muncul.

Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal.

Dahi Arkana berkerut. Ia ragu untuk mengangkat, tapi entah kenapa, ada dorongan aneh yang membuatnya menekan tombol hijau.

“Halo?”

Suara di seberang sana terdengar lirih, nyaris tenggelam oleh suara hujan. “Arkana… ini aku, Bu Inah…”

Arkana terdiam sejenak. Bu Inah adalah tetangga ibunya di kampung. Wanita itu sudah seperti keluarga sendiri, sering membantu ibunya sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu.

“Ada apa, Bu?” tanyanya, sedikit tidak tenang.

Dari seberang telepon, terdengar suara napas berat sebelum akhirnya Bu Inah berkata dengan suara bergetar, “Nak… ibu kamu sakit… sudah beberapa hari ini… tapi tadi sore kondisinya mendadak makin parah…”

Dunia Arkana seakan berhenti berputar.

“Ibu sakit?” Suaranya tercekat. “Kenapa aku baru tahu?”

“Ibu kamu nggak mau kasih tahu kamu, Nak…” suara Bu Inah terdengar semakin sedih. “Dia bilang nggak mau ganggu kerjaan kamu… Tapi sekarang, keadaannya serius…”

Arkana bangkit dari sofa, rasa kantuk dan lelahnya hilang seketika. Tangannya menggenggam erat ponselnya.

“Ibu sekarang di mana?” tanyanya cepat.

“Masih di rumah… Dia nggak mau dibawa ke rumah sakit, katanya mau nunggu kamu pulang…”

Jantung Arkana mencelos. Tubuhnya tiba-tiba terasa dingin meski ruangan tidak ber-AC.

Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya, menyambar kunci mobil, dan berlari keluar dari apartemen tanpa peduli hujan masih turun deras.

Perjalanan pulang ke kampungnya bukanlah perjalanan singkat. Butuh waktu sekitar lima jam dengan mobil, dan malam ini hujan membuat jalanan semakin licin. Tapi Arkana tidak peduli.

Di dalam mobil, pikirannya berkecamuk.

Kenapa ibunya tidak pernah bilang kalau sakit?
Kenapa ia begitu bodoh hingga tidak menyadari sesuatu yang jelas-jelas ada di depan matanya?
Kenapa ia selalu menunda?

Tangannya mencengkeram setir erat. Pandangannya berkabut oleh air mata yang tak ia sadari mulai menggenang.

Hanya ada satu doa yang ia panjatkan sepanjang perjalanan.

Semoga ia belum terlambat.

 

Rumah yang Sepi

Arkana menginjak pedal gas lebih dalam. Hujan deras masih mengguyur, menampar kaca depan mobilnya tanpa henti. Matanya terpaku ke jalanan yang gelap, pikirannya hanya tertuju pada satu hal: ibu.

Beberapa kali ia menggigit bibir bawahnya, menahan debaran jantung yang semakin kencang. Tangan kirinya menggenggam setir erat, sementara tangan kanannya berulang kali mencoba menelepon nomor ibunya. Namun, tak ada jawaban.

Sial.

Rasa gelisah makin menggumpal dalam dadanya. Ia benci ketidakpastian. Ia benci kenyataan bahwa ia tak tahu apa yang sedang terjadi di rumahnya sekarang.

Waktu terasa berjalan begitu lambat, tapi akhirnya, setelah hampir lima jam perjalanan, ia sampai di gerbang rumah yang sudah bertahun-tahun tidak ia kunjungi. Rumah tua itu berdiri dalam keheningan, temaram di bawah cahaya bulan yang tersamar mendung. Hanya lampu teras yang menyala, seperti biasa.

Arkana keluar dari mobil dengan tergesa. Udara dingin langsung menusuk kulitnya, tapi ia tidak peduli. Dengan napas tersengal, ia mendorong pagar besi yang sudah mulai berkarat, lalu melangkah cepat menuju pintu depan.

Pintu tidak terkunci.

Pelan, ia membukanya. Deritnya terdengar menyayat, menggema dalam keheningan rumah yang begitu sunyi.

Rumah ini… tidak berubah. Masih sama seperti terakhir kali ia meninggalkannya. Perabotan kayu tua, kursi rotan di sudut ruang tamu, rak kecil berisi koleksi buku ibunya yang kini dipenuhi debu. Tapi ada sesuatu yang berbeda.

Dulu, rumah ini terasa hangat, penuh dengan suara ibunya yang selalu menyapanya ketika ia pulang. Kini, rumah ini dingin. Sepi.

Langkahnya semakin cepat saat ia menuju kamar ibunya. Jantungnya seperti ingin meledak ketika ia mendorong pintu kamar itu.

Di sana, di atas ranjang tua dengan seprai lusuh, terbaring sosok yang begitu ia rindukan.

Ibunya.

Tubuh wanita itu tampak begitu kurus, kulitnya pucat, napasnya pendek dan berat. Selimut menutupi tubuhnya hingga dada, sementara tangan tuanya tergeletak lemas di atas kasur.

Di samping ranjang, Bu Inah duduk dengan mata yang sembab. Begitu melihat Arkana, wanita itu buru-buru berdiri dan menyeka air matanya.

“Kamu akhirnya datang, Nak…” ucapnya lirih.

Tapi Arkana tidak menjawab. Ia bahkan tidak melihat Bu Inah. Pandangannya hanya tertuju pada ibunya. Dengan langkah tergesa, ia mendekat dan berlutut di samping ranjang. Tangannya menyentuh tangan ibunya yang terasa begitu dingin.

“Ibu…” suaranya pecah.

Perlahan, kelopak mata wanita itu bergerak. Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya, menampilkan sepasang mata yang dulu selalu bersinar hangat. Tapi kini, mata itu tampak redup.

Saat menyadari siapa yang ada di hadapannya, seulas senyum tipis muncul di bibirnya. “Kamu… pulang?” suaranya lemah, hampir tak terdengar.

Arkana menggenggam tangan ibunya lebih erat. “Aku pulang, Bu. Aku di sini.”

Ibunya berusaha mengangkat tangannya, seolah ingin menyentuh wajah anaknya, tapi tubuhnya terlalu lemah. Tangannya hanya terangkat sedikit sebelum akhirnya jatuh kembali ke atas selimut.

Arkana langsung meraih tangan itu, menggenggamnya erat. “Kenapa nggak kasih tahu kalau ibu sakit?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

Senyum di wajah ibunya tidak luntur. “Kamu sibuk…” ucapnya pelan. “Ibu nggak mau… ganggu kamu…”

Arkana terdiam. Ada sesuatu yang tajam menusuk dadanya.

Sibuk.

Alasan bodoh yang selalu ia gunakan.

Seandainya saja ia pulang lebih cepat. Seandainya saja ia lebih peka. Seandainya saja ia tidak selalu menunda.

“Ibu udah makan?” tanyanya, berusaha mengalihkan pikirannya sendiri.

Ibunya tidak langsung menjawab. Matanya perlahan melirik ke arah Bu Inah, dan saat itulah Arkana menyadari sesuatu.

Bu Inah menggeleng pelan.

Arkana mengatupkan rahangnya.

Seberapa parah kondisi ibunya hingga ia bahkan tidak bisa makan?

Tanpa berpikir panjang, Arkana bangkit. “Aku buatkan bubur, tunggu sebentar ya, Bu.”

Namun, saat ia berbalik hendak menuju dapur, tangan ibunya mencengkeram jemarinya lemah.

“Jangan pergi…” bisiknya.

Arkana langsung berhenti. Ia menoleh dan melihat mata ibunya menatapnya penuh harap. Pandangan itu… terasa familiar.

Dulu, ketika ia masih kecil, ibunya selalu memintanya untuk tetap di sampingnya sebelum tidur. Saat ia tumbuh dewasa, permintaan itu berubah menjadi sekadar pesan singkat: Pulang, ya? Ibu kangen.

Dan selama ini, ia selalu mengabaikannya.

Kini, ibunya kembali memintanya untuk tetap tinggal.

Arkana duduk kembali di samping ranjang, mengabaikan rencananya untuk pergi ke dapur. Ia menggenggam tangan ibunya erat.

“Ibu, aku di sini,” bisiknya. “Aku nggak akan kemana-mana.”

Ibunya menatapnya dengan senyum samar, seolah-olah kehadiran anaknya adalah satu-satunya hal yang ia butuhkan saat ini.

Di luar, hujan masih turun deras, menambah kesan sendu pada ruangan yang semakin sunyi.

Dan di dalam hatinya, Arkana tahu—rumah ini tidak hanya terasa sepi. Rumah ini telah kehilangan sebagian jiwanya.

 

Tangan yang Terlambat Menggenggam

Malam semakin larut, tapi Arkana tetap duduk di samping ranjang ibunya. Tangan mereka masih saling menggenggam, meskipun genggaman itu terasa semakin melemah dari waktu ke waktu.

Ibunya menatapnya lama, seakan takut jika ia memejamkan mata, bayangan anaknya akan kembali menghilang.

“Kamu… kelihatan capek,” suara ibunya pelan, hampir tertelan suara rintik hujan di luar jendela.

Arkana menggeleng. “Aku nggak capek, Bu.”

Ibunya tersenyum samar. “Dari dulu kamu… nggak pernah jujur soal itu.”

Arkana terdiam.

Ia ingin membantah, tapi ibunya benar. Sejak kecil, ia selalu berpura-pura kuat. Saat ayahnya meninggal, ia menahan tangisnya di pemakaman agar terlihat tegar. Saat ia mulai hidup sendiri di kota, ia tidak pernah mengeluh soal lelahnya bekerja. Dan bahkan sekarang, ia pura-pura tidak takut—padahal kenyataannya, ia takut setengah mati.

Takut kehilangan ibunya.

“Kamu betah kerja di sana?” suara ibunya kembali terdengar.

Pertanyaan itu sederhana, tapi Arkana tahu, maksud di baliknya jauh lebih dalam.

“Aku…” Ia menghela napas, menatap ke arah jendela yang basah oleh air hujan. “Aku nggak tahu, Bu.”

Ibunya mengerjapkan mata, menunggu kelanjutan jawabannya.

Arkana menelan ludah, lalu mengaku dengan suara yang lebih lirih, “Kadang aku ngerasa capek. Tapi aku juga nggak bisa berhenti.”

Ibunya mengangguk pelan, seperti sudah menduga jawaban itu. “Kamu terlalu keras sama diri sendiri.”

Arkana menunduk. Ia merasa lehernya dicekik oleh perasaan bersalah. Bukan hanya karena pekerjaannya, tapi karena ia terlalu keras pada dirinya sendiri… dan terlalu keras pada ibunya.

Terlalu keras untuk mengabaikan pesan-pesan yang dikirimkan dengan harapan sederhana: agar anaknya pulang.

“Bu,” suara Arkana serak. “Maafin aku…”

Ibunya menatapnya lembut. “Maaf buat apa?”

“Aku selalu sibuk… Aku selalu lupa buat pulang…” Napasnya berat. “Aku nunda-nunda… Sampai akhirnya ibu sakit seperti ini.”

Senyum ibunya tetap sama, hangat seperti yang selalu ia ingat.

“Ibu nggak pernah marah,” bisiknya pelan. “Ibu cuma takut… kamu terlalu sibuk sampai lupa jaga diri.”

Arkana mengepalkan tangannya yang bebas. Hatinya semakin sesak. Ibunya sakit, tapi masih memikirkan dirinya. Ibunya menderita, tapi tetap tersenyum seakan semuanya baik-baik saja.

Ia menyesal. Tuhan, ia begitu menyesal.

Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan untuk memutar waktu.

Tiba-tiba, ibunya menarik napas pendek, lalu batuk pelan. Arkana segera menegakkan tubuhnya.

“Bu?!”

Ibunya tidak menjawab, hanya memejamkan mata sejenak seakan kelelahan. Nafasnya terdengar berat, dadanya naik turun dengan ritme yang tidak stabil.

Panik menjalar ke seluruh tubuh Arkana. Ia menoleh ke arah Bu Inah yang masih duduk di sudut kamar dengan wajah khawatir.

“Kita harus panggil dokter!” Arkana bergegas berdiri, tapi sebelum ia bisa melangkah pergi, tangan ibunya mencengkeram pergelangan tangannya.

“Lana…”

Panggilan itu membuatnya terhenti. Ia berbalik, dan menemukan ibunya menatapnya dengan tatapan yang begitu dalam.

Tatapan yang menyimpan kelelahan, kasih sayang, dan sesuatu yang tidak ingin ia pahami.

Seolah ibunya sedang berpamitan.

“Tunggu, Bu. Aku panggil dokter, ya? Aku bisa—”

“Lana…” suara ibunya lebih lirih, tapi cengkeramannya tidak kendur. “Duduk di sini… sebentar lagi…”

Arkana merasakan dadanya mencelos.

“Bu, jangan bicara seperti itu,” suaranya bergetar. Ia berlutut di sisi ranjang lagi, menggenggam tangan ibunya lebih erat. “Ibu pasti sembuh, kan? Aku bakal sering pulang. Aku janji, Bu! Aku janji!”

Ibunya menatapnya lama. Lalu, dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Arkana.

Kali ini, tangannya benar-benar bisa mencapai pipi anaknya.

Sebuah sentuhan yang begitu lemah, tapi terasa begitu mendalam.

“Terima kasih… sudah pulang…”

Dan setelah itu, tangannya jatuh lemas di atas kasur.

Arkana langsung meraih tangan itu, mengguncangnya pelan.

“Bu?!”

Ibunya tidak bergerak.

“Bu, jangan gini… Aku masih mau di sini… Aku masih—”

Tapi tidak ada jawaban. Tidak ada lagi suara lembut yang memanggil namanya.

Hanya keheningan.

Dan detik itu, Arkana tahu…

Ia terlambat.

Terlambat untuk pulang lebih cepat.
Terlambat untuk meminta maaf dengan sepenuh hati.
Terlambat untuk menyadari betapa besar cinta ibunya padanya.

Dan terlambat… untuk menggenggam tangannya lebih lama.

 

Rumah Tanpa Cahaya

Hujan sudah reda, tapi langit masih kelabu saat jenazah ibunya diturunkan ke liang lahat.

Arkana berdiri di tepi makam, menatap tanah merah yang perlahan menelan sosok yang paling ia cintai. Tangannya terkepal di sisi tubuh, kukunya hampir menancap ke telapak tangannya sendiri. Namun, tidak ada rasa sakit yang bisa mengalahkan perih di hatinya.

Di sekelilingnya, para pelayat menundukkan kepala, beberapa berbisik pelan sambil menyeka air mata. Bu Inah berdiri di dekatnya, wajahnya penuh duka. Tapi Arkana hanya diam, tak mampu menangis.

Bukan karena ia tidak sedih.

Justru karena ia terlalu sedih, sampai rasanya air mata pun tak cukup untuk menggambarkan perasaan itu.

Ibunya pergi.

Dan ia tidak bisa melakukan apa-apa.

Saat tanah terakhir ditaburkan di atas makam, suara doa mengalun dari mulut para pelayat. Namun, suara itu terdengar jauh di telinga Arkana. Seperti gumaman samar yang tenggelam dalam kekosongan yang memenuhi dirinya.

Ia tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia berdoa.

Tapi saat ini, ia ingin berdoa.

Bukan untuk meminta ibunya kembali—karena ia tahu itu mustahil.

Melainkan untuk meminta agar rasa sesak di dadanya ini… tidak membunuhnya perlahan.

Rumah itu terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Arkana melangkah masuk dengan langkah berat, membiarkan keheningan menyelimutinya. Aroma khas rumah ibunya masih ada, samar, bercampur dengan wangi dupa yang tadi dinyalakan saat prosesi penghormatan terakhir.

Ia menutup pintu pelan. Lalu, dengan sisa tenaga yang ada, ia berjalan ke kamar ibunya.

Kasurnya masih berantakan, selimutnya masih tertata seperti terakhir kali ibunya tidur di sana.

Arkana mendekat, lalu duduk di tepi ranjang.

Tangan ibunya tidak lagi ada untuk ia genggam.

Suara lembutnya tidak akan lagi menyapa saat ia pulang.

Dan yang paling menyakitkan…

Ia tidak bisa lagi menebus waktu yang telah ia buang.

Pandangan Arkana jatuh pada sebuah buku harian yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang. Sampulnya lusuh, tanda sudah sering dibuka dan ditutup. Dengan ragu, ia meraihnya, lalu membuka halaman pertama.

Tulisan tangan ibunya memenuhi halaman itu. Huruf-hurufnya sedikit goyah, tapi masih bisa terbaca jelas.

“Hari ini, Lana berjanji akan pulang saat libur. Aku sudah siapkan makanan kesukaannya. Semoga dia benar-benar datang.”

Arkana menggigit bibirnya, memaksa dirinya untuk tetap membaca.

“Lana tidak pulang kali ini. Dia bilang pekerjaannya terlalu banyak. Aku paham. Dia anak yang bertanggung jawab. Aku bangga padanya.”

Ia membalik halaman berikutnya.

“Hari ini hujan deras. Aku jadi ingat waktu Lana kecil, dia selalu takut suara petir. Kalau aku peluk, dia pasti langsung tenang. Sekarang, aku harap dia tetap baik-baik saja, meskipun aku tidak ada di sampingnya.”

Halaman demi halaman, semua dipenuhi oleh catatan kecil ibunya tentang dirinya. Tentang betapa ibunya merindukannya. Tentang betapa ibunya selalu menunggunya.

Dan tentang betapa ibunya tidak pernah mengeluh sekalipun, meski ia terus mengabaikan kehadirannya.

Jari-jari Arkana gemetar saat menyentuh tulisan terakhir yang ada di buku itu.

“Hari ini aku merasa sedikit lebih lemah dari biasanya. Tapi aku masih ingin menunggu Lana pulang. Aku yakin dia akan datang. Aku hanya ingin melihat wajahnya sebentar saja. Setelah itu, aku rasa aku bisa tidur dengan tenang.”

Sebuah isakan tertahan di tenggorokan Arkana.

Ia terlambat.

Terlambat untuk menemui ibunya saat ia masih bisa menyambutnya.

Terlambat untuk membalas semua kesabaran yang diberikan kepadanya.

Terlambat untuk mengatakan bahwa ia juga sangat mencintai ibunya.

Dan untuk pertama kalinya sejak pemakaman tadi…

Air mata itu akhirnya jatuh.

Arkana menutup buku harian itu dan mendekapnya erat di dada. Ia terisak, bahunya bergetar hebat.

Di rumah ini, ia merasa kosong.

Di rumah ini, ia merasa sendirian.

Di rumah ini… tidak ada lagi cahaya yang menunggunya pulang.

 

Kadang kita baru sadar betapa berharganya sesuatu… setelah kita kehilangannya. Ibu selalu ada, selalu nunggu, selalu sayang, tanpa minta balasan apa pun. Tapi manusia sering kali bebal, baru ngerti setelah semuanya telanjur hilang.

Jadi sebelum semuanya terlambat, sebelum rumah yang kamu pulangin jadi kosong dan sunyi… jangan tunda buat pulang. Jangan tunda buat bilang, Aku sayang Ibu. Karena kalau sudah nggak ada lagi yang bisa jawab, semua janji dan sesal nggak akan ada gunanya.

Leave a Reply