Penyesalan Pria yang Menyakiti Wanita: Kisah Haru di Balik Kesalahan

Posted on

Di tengah luka hati yang dalam, penyesalan menjadi cermin untuk perubahan. Penyesalan Pria yang Menyakiti Wanita: Kisah Haru di Balik Kesalahan mengisahkan perjalanan Jaryndor Velithane, seorang pria yang menyadari kesalahannya setelah menyakiti Elythria, kekasihnya. Artikel ini mengupas dampak perselingkuhan pada hubungan, kekuatan pengampunan, dan pelajaran hidup yang menginspirasi. Siap menyelami kisah cinta dan penebusan ini?

Penyesalan Pria yang Menyakiti Wanita

Gema Janji yang Diingkari

Pagi di Jakarta pada pukul 12:47 WIB, Selasa, 17 Juni 2025, membawa udara lembap yang bercampur aroma jalanan basah oleh hujan, menyelinap melalui jendela setengah terbuka apartemen sederhana Jaryndor Velithane. Pria berusia 32 tahun ini, yang akrab dipanggil Jary oleh teman dekatnya, duduk terpuruk di sofa lusuh, rambut hitamnya yang acak-acakan menutupi dahi berkerut. Matanya yang abu-abu dalam, dulu penuh percaya diri, kini kosong, mencerminkan bayangan malam tanpa tidur dan hati nurani yang terus menyiksanya. Ruangan itu redup, tirainya ditutup untuk menjauhkan dunia luar, berantakan dengan cangkir kopi kosong dan kertas-kertas berserakan—sisa-sisa kehidupan yang kini runtuh.

Jaryndor dulu dikenal sebagai desainer grafis karismatik, dikagumi karena kecerdasan tajam dan pesonanya yang mudah menarik perhatian, terutama di kalangan kreatif Jakarta. Namun, di balik topeng itu, ia menyimpan rahasia yang baru-baru ini menghancurkan dunianya—penyesalan yang begitu dalam hingga mengancam menelannya. Dua bulan lalu, ia mengakhiri hubungan tiga tahun dengan Elythria Marenith, ilustrator berhati lembut dengan senyum yang mampu menerangi hari terkelam. Putusnya hubungan itu adalah keputusannya, didorong oleh momen kelemahan dan keputusan kejam yang kini terus menghantuinya.

Pemicunya adalah pertengkaran sengit tentang jarak yang semakin besar di antara mereka. Elythria, dengan suara lembut dan sikap sabarnya, menghadapkannya soal malam-malam larut di kantor, yang ia curigai menyembunyikan sesuatu yang lebih jahat. Dalam amarah dan rasa tidak aman, Jaryndor meledak, menuduhnya tidak percaya dan menyiksanya. Kata-kata yang keluar selanjutnya seperti pisau di hati Elythria: “Aku nggak butuh lo lagi, Ely. Kita putus aja.” Ia melihat kejutan dan rasa sakit di mata hazelnya, cara tangannya gemetar saat mengumpulkan sketsa dan pergi dari apartemennya tanpa pandang kembali. Malam itu, ia merasa lega yang aneh, tapi perasaan itu tak bertahan lama.

Sekarang, saat ia duduk dalam keheningan apartemennya, beban tindakannya menghancurkannya. Ia memutar ulang momen itu di kepalanya seperti rekaman yang rusak, setiap kenangan lebih tajam dari sebelumnya. Elythria adalah jangkarnya, yang percaya padanya saat klien menolak desainnya, yang begadang membantu menyempurnakan portofolionya. Dan ia membuang semuanya demi hubungan singkat dengan rekan kerjanya, kesalahan yang kini ia lihat sebagai kemenangan kosong. Rasa bersalah menjadi teman setianya, berbisik di kegelapan bahwa ia telah menghancurkan sesuatu yang tak tergantikan.

Jaryndor menggapai ponselnya, jarinya melayang di atas kontak Elythria—masih tersimpan sebagai “Cahayaku”—sebelum ditarik kembali. Ia pernah mencoba mengirim pesan, permohonan meminta maaf yang canggung dan tak terbalas. Diamnya lebih keras dari kata-kata, bukti luka yang ia tinggalkan begitu dalam. Sebagai gantinya, ia menggulir foto lama: Elythria tertawa di warung makan, menggambar di Taman Suropati, tangan mereka berpegangan saat jalan malam hujan. Setiap gambar menusuk hatinya, pengingat apa yang telah hilang.

Pintu apartemen berderit terbuka, dan adiknya, Sylvaren Thryme, masuk. Berusia 27 tahun, Sylvaren adalah yang praktis, rambut hitam pendeknya rapi diikat, matanya cokelat penuh kekhawatiran. Ia membawa kantong belanjaan, bibirnya mengerut saat memandang kekacauan itu. “Jary, lo kelihatan nggak tidur berhari-hari,” katanya, meletakkan kantong di meja. “Kapan lo mau bangkit?”

Jaryndor menghela napas, mengusap rambutnya. “Aku nggak bisa, Syl. Aku salah banget sama Ely. Dia pergi, dan itu salahku.” Suaranya retak, kerentanan langka yang menembus sikap biasanya teguhnya.

Sylvaren duduk di sampingnya, ekspresinya melunak. “Lo memang nyakitin dia, Jary. Tapi duduk di sini meratap nggak akan nyelesain. Apa yang terjadi? Ceritain semuanya.”

Ia ragu, lalu mengeluarkan kebenaran—perselingkuhannya, pertengkaran, putusnya hubungan. Sylvaren mendengarkan tanpa gangguan, wajahnya bercampur kekecewaan dan iba. Saat ia selesai, Sylvaren meletakkan tangan di bahunya. “Lo bodoh banget, tapi belum terlambat buat coba. Elythria bukan tipe yang benci selamanya. Mungkin dia butuh waktu, tapi lo berutang permohonan maaf yang bener—yang tulus.”

Jaryndor menggeleng, air mata menggenang. “Dia nggak akan maafin aku. Aku lihat di matanya—dia selesai. Dan aku nggak salahkan dia.”

“Belum tentu sekarang,” balas Sylvaren, “tapi lo nggak akan tahu kalo nggak coba. Mulai dengan nunjukin lo serius berubah. Bersihin tempat ini, balik kerja, tulis surat buat dia. Yang jujur.”

Saran itu menggantung saat Sylvaren mulai mengeluarkan belanjaan, bunyi kaleng dan botol memenuhi keheningan. Jaryndor menatap dinding kosong, pikirannya berputar. Surat? Ide itu terasa kurang, tapi itu awal. Ia berdiri perlahan, mengambil buku catatan dan pena dari kekacauan. Tangannya gemetar saat ia mulai menulis, kata-kata awalnya kikuk: “Elythria, aku nggak tahu apakah lo akan baca ini, tapi aku perlu lo tahu betapa menyesalnya aku…”

Jam berlalu, sinar matahari sore membentuk bayangan panjang di ruangan. Jaryndor menuangkan hatinya ke kertas, mengenang momen terindah mereka—kencan pertama di Monas, sesi desain larut malam, pagi tenang minum kopi bersama. Ia mengaku kesalahannya, perselingkuhan, amarah yang membutakan. Ia menulis penyesalannya, betapa ia merindukan tawanya, sentuhannya, kepercayaannya yang tak tergoyahkan. Surat itu membesar menjadi tiga halaman, setiap kata doa maaf yang ia takut tak akan diterima.

Saat senja turun, Jaryndor menyegel surat dalam amplop, jantungnya berdegup kencang. Ia tak tahu alamat barunya—Elythria telah pindah dari lingkaran teman bersama mereka—tapi ia bertekad menemukannya. Sylvaren kembali dengan segelas air, mengangguk setuju pada amplop itu. “Itu awal, Jary. Sekarang, lo harus antar. Aku akan bantu cari tahu keberadaannya.”

Malam itu, Jaryndor terjaga, surat di nakas seperti mercusuar harap dan ketakutan. Kota di luar berdengung penuh kehidupan, tapi di dalam, ia merasakan gema janji yang patah bergema di jiwanya. Ia bertanya-tanya apakah Elythria akan memberinya kesempatan menjelaskan, atau apakah penyesalannya akan tetap terdiam dalam kegelapan. Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, ia merasakan percikan tekad, keinginan untuk merebut kembali pria yang dulu sebelum kesalahannya. Tapi dalam lubuk hati, ia tahu jalan ke depan penuh penderitaan, dan hasilnya bergantung pada tangan yang tak lagi bisa ia genggam.

Langkah di Tengah Bayang

Pagi di Jakarta pada pukul 12:51 WIB, Selasa, 17 Juni 2025, membawa udara lembap yang terasa berat di kulit, disertai dengungan lalu lintas dan teriakan pedagang kaki lima di kejauhan. Jaryndor Velithane duduk di ujung sofa yang baru saja dirapikan, apartemennya kini sedikit teratur berkat dorongan Sylvaren Thryme semalam. Amplop bersegel berisi surat untuk Elythria Marenith terletak di meja kopi, kehadirannya terus mengingatkannya pada harapan rapuh yang ia genggam. Matanya yang abu-abu, masih tercemar kelelahan, berkali-kali menatap amplop itu saat ia bergulat dengan langkah berikutnya.

Sylvaren telah pergi pagi tadi, berjanji akan mencari tahu keberadaan Elythria melalui teman bersama. Jaryndor, sementara itu, menghabiskan jam-jam sejak fajar dengan berjalan mondar-mandir, pikirannya seperti badai penuh keraguan dan tekad. Surat itu, tiga halaman pengakuan dan permohonan, terasa kurang memadai sekaligus monumental. Ia telah menuangkannya—mengakui perselingkuhannya dengan Lirien, hubungan singkat dan sia-sia yang berakhir cepat; mengaku amarah yang mendorongnya mengakhiri hubungan dengan Elythria; dan memohon kesempatan untuk menebus. Tapi apakah ia akan membacanya? Pikiran itu menggerogoti, rasa sakit yang terus-menerus di bawah tulang rusuknya.

Ponselnya bergetar, menariknya dari lamunan. Pesan dari Sylvaren menyala di layar: “Dapat alamat dari Rina. Elythria tinggal bareng sepupunya di Kemang. Aku jemput lo dalam sejam. Siap-siap ya.” Jantung Jaryndor melonjak, lalu tenggelam. Kemang adalah area ramai, kontras tajam dengan kehidupan tenang yang pernah ia jalani bersama Elythria. Ia mengetik balasan dengan tangan gemetar: “Terima kasih, Syl. Aku siap.” Penantian yang menyusul terasa menyiksa, setiap detik jam memperbesar kegelisahannya.

Saat Sylvaren tiba, sedan hitamnya berhenti dengan derit halus. Ia mengenakan blus sederhana dan celana jeans, ekspresinya bercampur dorongan dan kehati-hatian. “Ayo, Jary. Tapi dengar—jangan maksa dia. Kalau dia nggak mau bicara, lo hormati, ya?” Jaryndor mengangguk, menggenggam amplop saat ia masuk ke kursi penumpang. Perjalanan ke Kemang dipenuhi keheningan tegang, hanya sesekali terputus oleh suara radio dan pengingat lembut Sylvaren untuk bernapas.

Mereka sampai di rumah sederhana dua lantai yang terselip di antara kafe trendi dan toko butik. Eksteriornya dicat kuning lembut, dengan tanaman pot di teras—sentuhan yang Jaryndor kenali sebagai ciri Elythria. Perutnya berputar saat ia turun, amplop terasa lebih berat di tangannya. Sylvaren memegang bahunya. “Aku tunggu di mobil. Semoga berhasil.”

Jaryndor mendekati pintu, ketukannya ragu-ragu. Penantian terasa abadi hingga pintu berderit terbuka, menampakkan Elythria. Ia tampak berbeda—mata hazelnya penuh kewaspadaan, rambut cokelat keritingnya diikat acak-acakan, dan tubuhnya terlihat lebih kurus, seolah dua bulan terakhir telah menggerogotinya. Ia mengenakan sweter longgar dan jeans, sketsa dipegang di bawah lengannya. Pemandangannya mencuri napasnya, pengingat menyakitkan akan apa yang hilang.

“Jary?” Suaranya lembut, bercampur kejutan dan kewaspadaan. “Lo ngapain di sini?”

Ia menelan ludah dengan susah payah, mengulurkan amplop. “Ely, aku… aku tulis surat buat lo. Aku perlu lo tahu betapa menyesalnya aku. Aku salah, dan aku benci diri sendiri. Tolong, baca aja.”

Mata Elythria beralih ke amplop, lalu kembali ke wajahnya. Ekspresinya mengeras. “Maaf nggak bisa nyelesain apa yang lo lakuin, Jary. Lo menghancurkan kepercayaanku, hatiku. Kenapa aku harus baca ini?”

Kata-kata itu menyengat, tapi ia pantas mendapatkannya. “Aku tahu aku nggak bisa nyelesain,” katanya, suaranya gemetar. “Tapi aku perlu lo tahu kebenarannya—tentang Lirien, tentang kenapa aku meledak. Aku salah, Ely. Aku takut betapa aku butuh lo, dan aku buang semuanya. Surat ini… ini semua yang aku punya buat kasih.”

Sejenak, ia diam, tatapannya mencari wajahnya. Lalu, dengan napas panjang, ia mengambil amplop, jarinya menyentuhnya sekilas—kontak yang mengirim gelombang melalui tubuhnya. “Aku akan baca,” katanya pelan. “Tapi jangan harap apa-apa, Jary. Aku butuh waktu.”

Itu semua yang bisa ia harapkan. Ia mengangguk, mundur saat ia menutup pintu. Perjalanan pulang dengan Sylvaren seperti kabur, pikirannya memutar ulang pertemuan singkat itu. Sylvaren tersenyum kecil. “Dia ambil. Itu awal.”

Kembali di apartemennya, Jaryndor tak bisa diam. Ia membersihkan lebih lanjut, merapikan meja desainnya, bahkan menggambar—kebiasaan yang ia tinggalkan sejak putus. Setiap garis adalah doa, harapan bahwa Elythria akan menemukan sedikit pengampunan di kata-katanya. Malam semakin dalam, dan ia terjaga, gema suaranya—“Aku butuh waktu”—berkali-kali di pikirannya.

Pagi berikutnya, ponselnya bergetar lagi. Pesan dari nomor tak dikenal: “Ini Elythria. Aku baca surat lo. Ketemu aku di Taman Suropati besok, jam 10 pagi. Kita perlu bicara.” Jantungnya berdegup kencang, campuran lega dan ketakutan membanjirinya. Ia telah membacanya. Ia ingin bicara. Tapi apa yang akan ia katakan? Ketidakpastian itu membuatnya tegang, pikirannya berputar antara harap dan putus asa.

Ia menghabiskan hari bersiap, memilih kemeja sederhana dan jeans, berlatih apa yang mungkin ia katakan. Sylvaren menurunkannya di taman keesokan harinya, udara segar bercampur harum kamboja. Elythria sudah ada, duduk di bangku, sketsanya terbuka tapi tak disentuh. Ia menatap saat ia mendekat, ekspresinya tak terbaca.

“Jary,” ia memulai, suaranya mantap tapi lembut. “Surat lo… sakit dibaca. Tapi jujur. Aku butuh itu.”

Ia duduk di sampingnya, menjaga jarak hormat. “Terima kasih udah baca, Ely. Aku tahu aku nggak pantas waktu lo, tapi aku mau benerin. Aku udah putus sama Lirien, kurangi lembur. Aku coba jadi lebih baik.”

Ia memandangnya, matanya berkaca-kaca dengan air mata tak tumpah. “Aku nggak tahu bisa percaya lagi, Jary. Rasa sakitnya masih ada. Tapi… aku akan pikirkan. Itu semua yang bisa aku kasih sekarang.”

Bukan pengampunan, tapi tali hidup. Jaryndor mengangguk, rasa syukur membanjiri dadanya. “Cukup itu. Ambil semua waktu yang lo butuh.”

Saat ia berjalan pergi, sketsa erat dipegang, Jaryndor merasakan percikan harap di tengah penyesalan. Jalan menuju penebusan panjang, dan bayang kesalahannya masih menjulang, tapi untuk pertama kalinya, ia percaya ia mungkin menemukan jalan kembali—kepadanya, kepadanya sendiri. Keindahan tenang taman mengelilinginya, saksi bisu awal rapuh perjalanannya.

Bayang di Antara Harapan

Pagi di Jakarta pada pukul 10:05 WIB, Rabu, 18 Juni 2025, menyapa dengan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma melati dari kebun Taman Suropati, tempat Jaryndor Velithane berdiri dekat bangku tempat ia bertemu Elythria Marenith kemarin. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya, jeda langka dari panas membara kota, tapi Jaryndor hampir tak menyadarinya. Matanya yang abu-abu, masih terpaut kelelahan, memandang taman dengan gelisah, jantungnya berdetak kencang antara harap dan ketakutan. Amplop yang ia berikan ke Elythria kemarin—surat pengakuan dan permohonannya—telah membuka pintu, meski hanya sedikit, dan pertemuan hari ini akan menentukan apakah pintu itu tetap terbuka atau tertutup selamanya.

Jaryndor tiba lebih awal, kemeja hitam sederhana dan celana jeans dipilih dengan hati-hati, meski tangannya terus memainkan ujung lengan bajunya. Taman ramai dengan obrolan pelan pelari pagi dan desau daun, kontras tajam dengan kegelisahan di dalam dirinya. Ia memutar ulang kata-kata Elythria dari kemarin—“Aku akan pikirkan”—berulang-ulang, setiap suku kata menjadi tali harapan yang ia genggam erat. Ia setuju bertemu lagi, tanda ia belum sepenuhnya menutupnya, tapi ketidakpastian menggerogoti. Apa yang akan ia putuskan? Bisakah penyesalannya, yang terungkap dalam tiga halaman itu, menyambung kembali kepercayaan yang ia hancurkan?

Pukul 10:10 WIB, Elythria muncul, siluetnya terlihat dari jalur berpohon. Ia mengenakan gaun biru muda yang bergoyang dengan langkahnya, rambut cokelat keritingnya tergerai menangkap sinar matahari, meski mata hazelnya tetap waspada. Di tangannya, ia membawa sketsa, tepiannya aus karena sering dipakai, bukti seninya yang selalu menjadi pelipur lara. Ia mendekat perlahan, berhenti beberapa langkah, tatapannya mantap tapi tak terbaca.

“Jary,” katanya, suaranya lembut namun tegas. “Terima kasih udah datang. Aku udah mikir banyak sejak kemarin.”

Jaryndor mengangguk, tenggorokannya tercekat. “Aku senang lo di sini, Ely. Aku… nggak tahu apa yang bakal terjadi, tapi aku siap denger. Apa pun keputusan lo, aku akan hormati.”

Ia duduk di bangku, mengisyaratkan ia ikut, meski menjaga jarak hati-hati. Membuka sketsanya, ia menunjukkan gambar—potret rinci dirinya, tertawa di hari-hari bahagia mereka di Monas. Garisnya lembut, bayangannya halus, tapi ada retakan di kertas, melambangkan patah di antara mereka. “Aku gambar ini semalam,” jelasnya, jarinya melacak retakan. “Ini perasaanku—bagian dari aku masih lihat pria yang aku cintai, tapi luka itu ada.”

Jantung Jaryndor berdebar, pemandangan gambar itu membangkitkan banjir kenangan. “Ely, aku tahu aku bikin retakan itu. Aku egois, bodoh. Surat itu… semua yang nggak bisa aku ucap malam itu. Aku udah putus sama Lirien, kurangi lembur yang jauhin aku. Aku coba jadi pria yang lo pantas dapat.”

Mata Elythria berkaca-kaca, tapi ia tak menangis. “Aku baca setiap kata, Jary. Sakit denger soal Lirien, soal lo merasa terjebak. Tapi juga nunjukin lo mau hadapin. Itu berarti apa-apa. Tapi kepercayaan nggak dibangun semalam. Aku perlu konsistensi, bukan cuma kata.”

Ia mengangguk antusias, harap menyala. “Aku ngerti. Aku akan buktikan—dengan tindakan, bukan janji. Aku udah mulai terapi buat hadepin amarahku, kurangi proyek biar fokus ke diri sendiri. Kalau lo izinin, aku mau tunjukin, langkah demi langkah.”

Ia menutup sketsa, ekspresinya sedikit melunak. “Aku belum siap loncat balik, Jary. Tapi aku mau coba sesuatu—persahabatan, dulu. Kita bisa ketemu, ngobrol, lihat ke mana ini bawa. Tanpa tekanan, tanpa ekspektasi. Lo sanggup?”

Tawaran itu tali hidup, rapuh tapi nyata. “Bisa,” katanya cepat, lalu menahan antusiasmenya. “Maksudku, iya, aku sanggup. Aku ikut ritme lo. Terima kasih, Ely.”

Mereka menghabiskan satu jam berikutnya mengobrol, percakapan awal tapi jujur. Elythria berbagi bagaimana ia pindah ke rumah sepupunya di Kemang untuk sembuh, bagaimana menggambar menjaganya waras. Jaryndor mendengarkan, menahan dorongan menginterupsi, memberi anggukan dan senyum kecil. Ia menyebut proyek seni komunitas yang ia ikuti, dan ia usul bantu aspek desain, cara netral untuk tetap terhubung. Ia setuju, senyumnya samar tapi tulus.

Saat berpisah, Elythria menyerahkan sketsa kecil—gambar sederhana pohon dengan akar berbelit, simbol pertumbuhan dan ikatan. “Buat lo,” katanya. “Ayo lihat apakah kita bisa bangun sesuatu, meski beda.”

Kembali di apartemennya, Jaryndor membingkai sketsa, meletakkannya di mejanya sebagai pengingat harap rapuh yang mereka mulai rawat. Hari-hari berikutnya ujian kesabaran. Ia menghadiri sesi terapi, menghadapi ketidakamanan dan amarah yang memicu kesalahannya. Ia kurangi beban kerja, malamnya menggambar atau membaca—kebiasaan yang Elythria dulu dorong. Setiap pagi, ia kirim pesan singkat, hormat: foto kemajuan, pikiran dari terapi, tak pernah memaksa lebih.

Seminggu kemudian, 25 Juni 2025, Elythria membalas salah satu pesannya: “Sketsa lo soal taman bagus. Mau ikut proyek seni Sabtu ini? Jam 2 siang.” Undangan itu langkah maju, dan Jaryndor menerima dengan campur aduk gembira dan gugup. Ia tiba awal, membantu siapkan meja dan kanvas, tangannya stabil meski perutnya bergetar. Elythria ada di sana, mengarahkan relawan dengan otoritas tenang, menyapanya dengan anggukan, senyumnya lebih hangat dari sebelumnya.

Proyeknya—mural menggambarkan ketahanan Jakarta—berlangsung berjam-jam, Jaryndor dan Elythria bekerja berdampingan. Kuas mereka menari di dinding, mencipta tapestri bukit hijau dan langit cerah, visi kota yang bisa jadi. Tawa sesekali pecah fokus, dipicu kenangan bersama atau tumpahan cat yang kikuk. Bagi Jaryndor, itu sekilas masa lalu yang mungkin direbut kembali, diimbangi kesadaran kepercayaan yang masih harus dibangun.

Saat senja turun, mural selesai, Elythria berpaling kepadanya. “Lo beda, Jary. Aku lihat usaha. Itu… membantu.”

Ia menatapnya, suaranya pelan. “Aku coba, Ely. Buat lo, buat aku. Aku akan terus.”

Ia mengangguk, air mata meluncur meski tersenyum. “Terusin aja. Pelan-pelan.”

Jalan pulang sendiri, tapi hati Jaryndor terasa lebih ringan. Bayang penyesalannya tetap, pengingat terus-menerus kesalahannya, tapi harap penebusan bersinar lebih terang. Perjalanan jauh dari selesai, dan rasa sakit kesalahan menempel, tapi dengan setiap langkah, ia mendekati pria yang Elythria dulu cintai—dan pria yang ia rindukan jadi.

Cahaya di Ujung Jalan

Pagi di Jakarta pada pukul 12:52 WIB, Selasa, 17 Juni 2025, membawa udara lembap yang bercampur aroma hujan ringan dari semalam, menyelinap melalui celah jendela apartemen Jaryndor Velithane. Cahaya matahari siang tersaring redup oleh awan tipis, menerangi sketsa kecil pohon berakar yang terpampang di mejanya, peninggalan Elythria Marenith yang kini menjadi simbol harapan rapuh baginya. Jaryndor duduk di ranjang tua berderit, tubuhnya lelah namun hati penuh tekad, menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin, dikelilingi oleh buku catatan terbuka dan pena yang tergeletak. Di sisinya, Sylvaren Thryme berdiri dengan wajah campur aduk, memandang kakaknya yang akhirnya menemukan arah setelah bulan-bulan kelam.

Sejak malam di mana Jaryndor dan Elythria menyelesaikan mural bersama, hidup Jaryndor terasa seperti kanvas yang perlahan diwarnai ulang. Mural ketahanan Jakarta itu selesai, karya penuh emosi yang mencerminkan perjuangan, penebusan, dan cinta yang ia coba raih kembali. Pesan dari teman-teman komunitas seni dan Elythria terus berdatangan, memuji perubahan dan keberaniannya, meski juga mengingatkan akan luka yang masih ada. Kata-kata itu membawa kehangatan di hatinya, namun bayang penyesalannya tetap mengintai, menantangnya untuk membuktikan komitmennya setiap hari.

Namun, di balik kemajuan itu, Jaryndor menghadapi realitas yang tak bisa dihindari. Rasa bersalah atas kesalahannya dengan Lirien dan keputusannya yang menyakiti Elythria masih membayangi, bahkan saat ia mulai membangun kembali kepercayaan. Terapisnya mengingatkan bahwa penyembuhan membutuhkan waktu, dan Elythria, dengan kelembutannya yang khas, menegaskan bahwa langkah mereka masih rapuh. Pagi ini, ia merasa campuran harap dan ketakutan, tahu bahwa hari ini adalah ujian terbesar—pertemuan terakhir yang akan menentukan apakah ia benar-benar bisa menebus dosanya.

Jaryndor bangkit dari ranjang, mengenakan kemeja biru yang pernah disukai Elythria, dan menyisir rambutnya yang mulai rapi kembali. Ia menatap cermin, melihat bayangan pria yang berubah—tidak lagi terpuruk, tetapi masih membawa bekas luka. Sylvaren mendekat, menyerahkan jaket. “Lo kelihatan lebih baik, Jary. Tapi jangan lupa, ini bukan cuma soal lo. Ini soal dia juga,” katanya, suaranya penuh perhatian.

“Iya, Syl. Aku tahu. Hari ini akan menentukan,” balasnya, suaranya teguh meski jantungnya berdebar. Mereka sepakat bertemu di Taman Suropati lagi, tempat di mana perjalanan mereka dimulai ulang, pukul 2 siang.

Saat ia tiba, Elythria sudah ada, duduk di bangku yang sama, sketsanya terbuka di pangkuannya. Ia mengenakan gaun kuning pucat, rambutnya tergerai lembut, dan matanya—meski masih menahan bekas luka—menunjukkan kehangatan yang perlahan kembali. Jaryndor mendekat dengan hati-hati, membawa buku catatan yang berisi catatan perubahan dan janji-janji yang ia tulis untuk dirinya sendiri dan Elythria.

“Ely,” sapanya, suaranya lembut. “Terima kasih udah mau ketemu lagi.”

Ia mengangguk, menepuk bangku di sampingnya. “Aku udah pikir matang, Jary. Ayo duduk.”

Mereka duduk, jarak antara mereka menyusut sedikit dibanding sebelumnya. Elythria membuka sketsanya, menunjukkan gambar baru—pohon yang sama dengan akar berbelit, tapi kali ini bunga-bunga kecil mulai tumbuh di cabangnya. “Ini gambaran kita sekarang,” katanya, jarinya melacak bunga-bunga itu. “Aku lihat usaha lo, Jary. Terapi, kerja lo yang lebih seimbang, cara lo hormatin batasku. Itu nggak gampang.”

Jaryndor menelan ludah, harap membesar di dadanya. “Aku coba setiap hari, Ely. Aku tahu aku salah, dan aku nggak akan pernah lupa luka yang aku bikin. Tapi aku mau lo tahu, aku serius mau benerin ini—buat lo, buat aku.”

Elythria menatapnya lama, air mata menggenang di matanya. “Aku nggak bisa bilang kepercayaan itu utuh lagi, Jary. Tapi aku mau coba lagi—bukan cuma persahabatan, tapi hubungan. Pelan-pelan, dengan syarat. Lo harus terus terbuka, terus ke terapi, dan kasih aku ruang kalau aku butuh.”

Kata-kata itu seperti angin segar bagi Jaryndor. Ia mengangguk cepat, tangannya gemetar saat ia menggenggam buku catatan itu. “Aku janji, Ely. Aku akan ikut aturan lo, ambil waktu yang lo butuh. Terima kasih… terima kasih udah kasih aku kesempatan.”

Mereka menghabiskan sore itu berjalan di taman, berbagi cerita tentang hari-hari terpisah. Elythria menceritakan proyek seni barunya, sementara Jaryndor berbagi kemajuan desainnya yang mulai mendapat apresiasi lagi. Tawa kecil mulai muncul, meski diselingi momen hening yang penuh makna. Di tengah jalan, Elythria berhenti, menatapnya dengan senyum tipis. “Aku nggak lupa, Jary. Tapi aku mau lihat ke mana ini bawa kita.”

Malam itu, Jaryndor pulang dengan hati penuh kelegaan dan tekad. Ia menulis di bukunya: “Hari ini, aku mulai ulang. Untuk Ely, untuk penebusan.” Sylvaren, yang menunggunya di apartemen, memeluknya erat. “Lo berhasil langkah pertama, kak. Jaga baik-baik.”

Beberapa bulan berlalu, dan hubungan mereka tumbuh perlahan. Jaryndor setia pada janjinya—terapi rutin, keterbukaan penuh, dan kesabaran menanti Elythria. Pada Desember 2025, mereka mengadakan pameran seni bersama, mural ketahanan Jakarta menjadi pusat perhatian, disertai sketsa Elythria dan desain Jaryndor. Tamu-tamu memuji kolaborasi mereka, tapi bagi keduanya, itu lebih dari sekadar seni—itu bukti cinta yang bangkit dari abu.

Di malam penutupan pameran, di bawah cahaya lentera taman, Elythria memegang tangan Jaryndor. “Aku percaya lagi, Jary. Bukan sempurna, tapi cukup,” katanya, air matanya jatuh perlahan.

Jaryndor tersenyum, memeluknya lembut. “Cukup buat aku, Ely. Aku akan jaga ini selamanya.”

Di kejauhan, Jakarta berdengung dengan kehidupannya, tapi bagi Jaryndor, dunia menyempit pada momen itu—cahaya di ujung jalan yang panjang, di mana penyesalannya berubah menjadi harapan abadi. Warisan kesalahannya tetap ada, tapi cinta yang ia perjuangkan kini bersinar, menerangi masa depan yang ia impikan bersama Elythria.

Penyesalan Pria yang Menyakiti Wanita: Kisah Haru di Balik Kesalahan mengajarkan bahwa cinta dapat bangkit dari luka terdalam melalui kejujuran dan usaha. Seperti Jaryndor, Anda pun bisa menemukan penebusan dengan komitmen dan kesabaran. Mulailah hari ini untuk memperbaiki hubungan Anda dengan cinta dan pengertian!

Terima kasih telah menikmati kisah menyentuh ini! Tulis pengalaman Anda di kolom komentar atau bagikan saran cinta di media sosial kami. Ikuti untuk lebih banyak cerita inspiratif, dan sampai jumpa di artikel berikutnya!

Leave a Reply