Daftar Isi
Selamat datang di dunia emosional Penyesalan di Balik Senja Merona, sebuah cerpen yang menggugah hati karya penulis berbakat yang mengisahkan perjalanan Galang Arutala, seorang pemuda yang kembali ke desa Lembayung dengan beban penyesalan. Cerita ini menggambarkan hubungan anak dan ibu yang penuh cinta, diwarnai luka masa lalu, dan harapan untuk memperbaiki kesalahan. Dengan latar desa yang memukau dan alur yang penuh emosi, cerpen ini akan membawa Anda menyelami makna keluarga, pengampunan, dan keberanian menghadapi kegagalan. Siapkah Anda terhanyut dalam kisah yang menyentuh ini?
Penyesalan di Balik Senja Merona
Bayang-Bayang di Rumah Tua
Di sebuah desa kecil bernama Lembayung, yang tersembunyi di antara perbukitan hijau dan sawah menguning, berdiri sebuah rumah kayu tua dengan atap genting merah yang mulai memudar. Rumah itu milik keluarga Satrioningrat, sebuah nama yang dulu disegani di desa karena kebaikan hati dan kerja keras mereka. Namun, kini rumah itu hanya dihuni oleh dua jiwa: Widuri Satrioningrat, seorang ibu berusia 62 tahun dengan rambut perak yang selalu disanggul rapi, dan anak semata wayangnya, Galang Arutala, pemuda berusia 27 tahun yang baru kembali setelah lima tahun menghilang di kota.
Sore itu, matahari mulai condong ke barat, melemparkan sinar jingga yang hangat ke beranda rumah. Widuri duduk di kursi goyang tua, tangannya memegang secangkir teh melati yang uapnya mengepul lembut. Matanya menatap ke kejauhan, ke arah jalan setapak yang membelah sawah, berharap melihat sosok Galang pulang dari pasar. Namun, seperti biasa, hanya angin sepoi yang membawa aroma tanah basah dan dedaunan.
Galang baru tiba di Lembayung tiga hari lalu, membawa sebuah koper usang dan wajah yang dipenuhi garis-garis kepenatan. Ia tak banyak bicara sejak kembali. Hanya sesekali menjawab pertanyaan Widuri dengan nada datar, seperti, “Iya, Bu, aku baik-baik saja,” atau “Nanti aku ceritain, Bu, capek dulu.” Widuri tak pernah memaksa, meski hatinya dipenuhi pertanyaan. Kemana anaknya selama ini? Mengapa ia kembali dengan tangan kosong, tanpa cerita, tanpa tawa seperti dulu?
Dulu, Galang adalah anak yang ceria. Ia suka duduk di beranda bersama Widuri, mendengarkan cerita tentang ayahnya, Suryo Satrioningrat, yang meninggal saat Galang masih kecil. Suryo adalah seorang petani yang bercita-cita membangun sekolah untuk anak-anak desa. Cita-cita itu kini tinggal kenangan, namun Widuri selalu menanamkan semangat ayahnya pada Galang. “Kamu harus jadi orang yang berguna, Lang,” katanya selalu. “Jangan cuma hidup untuk diri sendiri.”
Tapi lima tahun lalu, semuanya berubah. Galang, yang baru lulus SMA dengan nilai gemilang, bersikeras pergi ke kota. “Aku mau sukses, Bu. Aku mau bikin Ibu bangga. Di desa ini aku nggak bisa apa-apa,” katanya dengan mata berbinar. Widuri, meski berat, melepasnya dengan doa dan seuntai kalung batu giok milik Suryo sebagai kenang-kenangan. “Jaga diri, Lang. Pulang kalau kamu rindu,” pesan Widuri saat itu.
Galang berjanji akan sering menulis surat, tapi surat itu hanya datang dua kali di tahun pertama. Setelah itu, hening. Telepon umum di kantor desa tak pernah berdering untuk Widuri. Ia hanya mendengar kabar tentang Galang dari tetangga yang kebetulan bertemu di kota: Galang bekerja di sebuah perusahaan besar, Galang terlihat sukses, Galang punya mobil. Widuri tersenyum setiap mendengar kabar itu, meski hatinya merindu. Ia percaya anaknya sedang berjuang untuk mimpi mereka.
Namun, kini Galang kembali, dan Widuri tak melihat binar sukses di matanya. Yang ia lihat adalah pandangan kosong, pundak yang merosot, dan senyum yang dipaksakan. Malam pertama Galang pulang, Widuri memasakkan nasi liwet dengan ayam kampung kesukaannya. Ia berharap Galang akan bercerita, tapi anak itu hanya makan dalam diam, lalu masuk ke kamarnya yang masih seperti dulu: ranjang kayu sederhana, rak buku berdebu, dan poster-poster band lama yang mulai mengelupas.
Hari ini, Galang pergi ke pasar pagi-pagi, katanya untuk membeli kebutuhan dapur. Widuri ingin ikut, tapi Galang menolak halus. “Ibu istirahat aja, biar aku yang urus,” katanya. Widuri hanya mengangguk, meski ia tahu Galang sedang menghindari sesuatu. Ia tahu anaknya tak ingin dilihat tetangga, tak ingin ditanya-tanya. Ada rahasia yang Galang simpan, dan itu membuat Widuri gelisah.
Saat senja semakin merona, Widuri mendengar derit pintu pagar. Galang muncul dengan dua kantong plastik berisi sayuran dan ikan segar. Rambutnya sedikit basah oleh gerimis sore, dan bajunya yang sedikit kusut membuatnya tampak seperti anak desa biasa, bukan pemuda kota yang dulu penuh ambisi. “Bu, ini belanjaannya,” katanya sambil meletakkan kantong di meja dapur.
“Terima kasih, Lang,” jawab Widuri lembut. Ia bangkit dari kursi goyang, berjalan ke dapur untuk memeriksa belanjaan. “Mau makan apa malam ini? Ibu bisa masak sop ikan kalau kamu mau.”
“Apa aja, Bu,” jawab Galang singkat. Ia duduk di kursi bambu di ruang tengah, menatap lantai kayu yang mulai lapuk.
Widuri menghela napas pelan. Ia ingin bertanya, ingin tahu apa yang membebani anaknya, tapi ia takut Galang akan semakin menutup diri. Ia memilih diam, mengambil ikan dari kantong, dan mulai membersihkannya di bak cuci. Suara air yang mengalir dan pisau yang memotong ikan mengisi keheningan di antara mereka.
Tiba-tiba, Galang berkata, “Bu, Ibu nggak tanya kenapa aku pulang?”
Widuri menoleh, tangannya masih memegang pisau. “Ibu tahu kamu pasti punya alasan. Kalau kamu siap ceritain, Ibu dengar kapan aja.”
Galang tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh kepahitan. “Ibu selalu gitu. Sabun banget. Nggak nanya, nggak maksa. Kadang aku benci Ibu karena Ibu terlalu baik.”
Kata-kata itu menusuk hati Widuri, tapi ia tak menunjukkan. Ia meletakkan pisau, mengelap tangan ke celemek, dan mendekati Galang. “Lang, Ibu cuma ingin kamu bahagia. Kalau kamu nggak siap ceritain apa yang kamu alami, nggak apa-apa. Tapi Ibu harap kamu tahu, rumah ini selalu buka buat kamu, apa pun yang terjadi.”
Galang menunduk, tangannya meremas ujung baju. “Aku gagal, Bu,” katanya pelan, hampir seperti bisikan. “Aku nggak bisa jadi orang yang Ibu banggakan. Aku… aku maluin Ibu.”
Widuri terdiam. Ia ingin memeluk Galang, tapi anak itu bangkit tiba-tiba. “Aku ke kamar dulu, Bu. Capek,” katanya, lalu berjalan cepat menuju kamarnya, meninggalkan Widuri yang masih berdiri di tengah ruang makan.
Malam itu, Widuri tak bisa tidur. Ia duduk di ranjangnya, memegang kalung batu giok milik Suryo yang kini kembali ke tangannya setelah Galang mengembalikannya kemarin. Ia menatap foto keluarga di dinding: Suryo, dirinya yang masih muda, dan Galang kecil yang tersenyum lebar sambil memegang layang-layang. Air matanya jatuh perlahan.
“Lang, apa yang kamu lalui di sana?” gumam Widuri. “Kenapa kamu nggak ceritain ke Ibu?”
Di kamar sebelah, Galang juga terjaga. Ia duduk di ranjang, menatap langit-langit kayu yang penuh kenangan. Di tangannya, ia memegang sebuah amplop kusut yang tak pernah ia buka sejak meninggalkan kota. Di dalamnya, ada sesuatu yang membuatnya tak berani pulang selama ini, sesuatu yang kini memaksanya kembali ke Lembayung dengan penyesalan yang membakar hatinya.
Senja di Lembayung telah usai, tapi bayang-bayang masa lalu masih menyelimuti rumah tua itu, menunggu untuk diungkap.
Amplop Kusut dan Rahasia yang Terpendam
Pagi di Lembayung selalu dimulai dengan kabut tipis yang melayang di atas sawah, seolah menyelimuti desa dalam pelukan lembut. Burung-burung kecil berkicau di dahan pohon mangga di halaman rumah Widuri Satrioningrat, sementara aroma nasi yang baru ditanak bercampur dengan bau kayu bakar dari dapur. Widuri sudah bangun sejak subuh, seperti kebiasaannya selama puluhan tahun. Ia menyapu halaman, menyiram tanaman bunga kamboja yang masih berembun, dan menyiapkan sarapan sederhana: nasi putih, telur dadar, dan sambal terasi yang pedasnya selalu disukai Galang.
Galang Arutala, anaknya, belum keluar dari kamar. Pintu kamarnya yang terbuat dari kayu jati tua masih tertutup rapat, dan tak ada suara dari dalam. Widuri melirik pintu itu beberapa kali sambil mengaduk sambal di cobek batu, hatinya dipenuhi campuran khawatir dan sabar. Semalam, kata-kata Galang tentang kegagalan dan rasa malunya masih bergema di kepalanya. Widuri ingin mendekati anaknya, tapi ia tahu Galang butuh waktu. “Beri dia ruang, Widuri,” gumamnya pada diri sendiri, mengingatkan bahwa memaksa hanya akan membuat anaknya semakin menjauh.
Di dalam kamar, Galang duduk di tepi ranjang, matanya merah karena kurang tidur. Di depannya, di atas meja kecil yang penuh goresan kenangan masa kecil, tergeletak amplop kusut yang ia bawa dari kota. Amplop itu berwarna cokelat, sudut-sudutnya sudah robek, dan di bagian depannya tertulis nama “Galang Arutala” dengan tinta biru yang mulai memudar. Ia menatap amplop itu lama, tangannya gemetar setiap kali ingin menyentuhnya. Di dalam amplop itu tersimpan rahasia yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak selama bertahun-tahun, sesuatu yang ia sembunyikan dari Widuri, dari semua orang di Lembayung, bahkan dari dirinya sendiri.
Galang bangkit, berjalan mondar-mandir di kamar yang sempit. Kamar itu seperti kapsul waktu: dinding kayu yang mulai mengelupas, rak buku berisi novel-novel petualangan yang ia baca berulang kali saat remaja, dan sebuah gitar akustik tua yang senarnya sudah berkarat. Di sudut kamar, ada kotak kayu kecil yang dulu ia gunakan untuk menyimpan surat-surat dari Widuri saat ia baru pindah ke kota. Ia membuka kotak itu, mengeluarkan sehelai surat yang kertasnya sudah menguning. Tulisan tangan Widuri yang rapi terbaca jelas:
Lang, Ibu harap kamu sehat di kota. Jangan lupa makan, jangan kerja terlalu keras. Ibu di sini baik-baik saja, sawah masih hijau, dan bunga kamboja di halaman mulai mekar. Kalau rindu, pulang ya, Nak. Ibu selalu tunggu kamu. – Ibu
Galang meremas surat itu, dadanya sesak. Ia ingat betul saat menerima surat ini, di sebuah kosan sempit di pinggir kota, saat ia masih penuh mimpi. Ia ingin membalas surat itu, tapi setiap kali memegang pena, kata-kata tak pernah keluar. Ada terlalu banyak yang ingin ia ceritakan, tapi juga terlalu banyak yang ia sembunyikan. Lama-kelamaan, ia berhenti membaca surat-surat Widuri, membiarkannya menumpuk di kotak, karena setiap kalimat dari ibunya terasa seperti tusukan.
“Lang, sarapan sudah siap!” Suara Widuri dari ruang makan menyadarkan Galang dari lamunannya. Ia buru-buru menyimpan surat itu kembali ke kotak, melirik amplop kusut di meja, lalu keluar dari kamar dengan wajah yang berusaha terlihat biasa.
Di meja makan, Widuri sudah menata piring-piring sederhana dari gerabah. Aroma sambal terasi menggoda, dan Galang tak bisa menahan senyum kecil saat melihat telur dadar yang dipotong rapi. “Ibu masih inget aku suka telur dadar dibikin gini,” katanya pelan sambil duduk.
“Tentu saja Ibu inget,” jawab Widuri sambil menuang teh hangat ke cangkir Galang. “Kamu dulu selalu minta telur dadar dibikin tipis-tipis biar kriuk.”
Galang mengangguk, tapi tak berkata apa-apa lagi. Ia mulai makan, tapi gerakannya lambat, seperti orang yang pikirannya ada di tempat lain. Widuri memperhatikan anaknya dari sudut mata, memperhatikan bagaimana Galang memainkan sendok di tangannya, bagaimana matanya sesekali melirik ke arah pintu seolah takut seseorang akan masuk.
“Lang,” Widuri akhirnya membuka suara, nada lembut tapi penuh perhatian. “Kamu mau ceritain apa yang bikin kamu bilang gagal semalam? Ibu nggak akan nilai kamu, Nak. Ibu cuma ingin tahu apa yang kamu lalui.”
Galang berhenti mengunyah. Ia menunduk, sendoknya diletakkan di pinggir piring. “Bu, aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana,” katanya, suaranya serak. “Semuanya berantakan. Aku pikir aku bisa sukses, bisa kasih Ibu hidup yang lebih baik. Tapi aku malah… malah bikin semuanya hancur.”
Widuri meraih tangan Galang, tapi anak itu menarik tangannya pelan. “Jangan, Bu. Ibu nggak tahu apa yang aku lakukan. Kalau Ibu tahu, Ibu pasti nggak akan maafin aku.”
Kata-kata itu membuat Widuri terdiam. Ia menatap Galang, mencoba membaca apa yang tersembunyi di balik mata anaknya yang penuh penyesalan. “Lang, nggak ada yang kamu lakukan yang bisa bikin Ibu berhenti sayang sama kamu. Kamu anak Ibu, apa pun yang terjadi.”
Galang menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Ibu nggak tahu, Bu. Aku… aku nggak cuma gagal. Aku nyakitin orang. Aku nyakitin Ibu, meski Ibu nggak tahu.”
Widuri ingin bertanya lebih lanjut, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, terdengar suara langkah kaki dari halaman. “Widuri! Galang! Ada tamu!” Itu suara Mbok Sari, tetangga sebelah yang selalu cerewet tapi baik hati. Galang langsung bangkit, wajahnya pucat.
“Siapa, Mbok?” tanya Widuri sambil berdiri dan berjalan ke pintu.
“Ada orang dari kota, katanya cari Galang!” jawab Mbok Sari dari balik pagar.
Galang membeku. “Dari kota?” gumamnya, nadanya penuh ketakutan. Ia buru-buru kembali ke kamarnya, mengambil amplop kusut itu dari meja, dan memasukkannya ke dalam saku celana. Widuri memperhatikan gerakan itu, tapi tak sempat bertanya karena Mbok Sari sudah masuk, diikuti oleh seorang pria berjas yang tak dikenalnya.
Pria itu tinggi, berambut pendek dengan sedikit uban, dan membawa tas kulit yang terlihat mahal. Ia tersenyum, tapi senyumnya terasa dingin. “Selamat siang, Ibu Widuri,” katanya sopan. “Nama saya Darmawan, dari Jakarta. Saya ke sini untuk bertemu dengan Galang Arutala.”
Widuri melirik ke arah kamar Galang, yang pintunya masih tertutup. “Ada perlu apa dengan anak saya, Pak?” tanyanya, nada suaranya hati-hati.
Darmawan mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku jasnya dan menyerahkannya ke Widuri. “Saya dari PT Cahaya Nusantara, perusahaan tempat Galang dulu bekerja. Ada beberapa urusan yang perlu diselesaikan, dan saya harap Galang bisa membantu.”
Widuri menerima kartu nama itu, tapi hatinya dipenuhi firasat buruk. Ia tahu Galang tak ingin bertemu siapa pun dari kota, dan kehadiran pria ini pasti bukan kabar baik. “Tunggu sebentar, Pak. Saya panggil Galang dulu,” katanya, lalu berjalan ke kamar anaknya.
“Lang, keluar sebentar. Ada tamu dari kota mau ketemu kamu,” kata Widuri sambil mengetuk pintu.
Tak ada jawaban. Widuri mengetuk lagi, lalu membuka pintu perlahan. Kamar itu kosong. Jendela di sisi kamar terbuka lebar, dan Galang sudah tak ada di sana. Di atas meja, kotak kayu kecil yang berisi surat-surat Widuri masih terbuka, tapi amplop kusut itu sudah hilang bersama Galang.
Widuri merasa lututnya lemas. Ia kembali ke ruang tamu, wajahnya pucat. “Maaf, Pak. Galang… kayaknya lagi keluar. Mungkin nanti sore dia balik.”
Darmawan mengangguk, tapi matanya menyipit seperti tak percaya. “Baiklah, Ibu. Saya akan kembali besok. Tolong sampaikan pada Galang bahwa ini urusan penting. Dia tahu apa yang saya maksud.”
Setelah Darmawan pergi, Widuri duduk di kursi bambu, tangannya gemetar memegang kartu nama itu. Mbok Sari, yang masih berdiri di dekat pintu, berkata pelan, “Widuri, ada apa sih? Galang kenapa? Kok kayak orang ketakutan gitu?”
Widuri hanya menggeleng, tak bisa menjawab. Pikirannya dipenuhi pertanyaan: Apa yang Galang sembunyikan? Mengapa ia kabur? Dan apa isi amplop kusut yang begitu penting baginya?
Sore itu, di tepi sungai kecil di pinggir desa, Galang duduk di bawah pohon beringin tua, amplop kusut itu masih di tangannya. Ia menatap air sungai yang mengalir tenang, tapi hatinya penuh badai. “Aku nggak bisa lari terus,” gumamnya. Tapi setiap kali ia ingin membuka amplop itu, rasa takut dan penyesalan menghentikannya.
Di kejauhan, matahari mulai tenggelam, mewarnai langit Lembayung dengan semburat merona. Tapi bagi Galang, senja itu hanya mengingatkannya pada rahasia yang kini mengancam menghancurkan segalanya, termasuk hati ibunya yang selalu menantinya.
Beban di Tepi Sungai
Sungai kecil di pinggir Lembayung mengalir pelan, membawa dedaunan kering yang terbawa angin. Di bawah pohon beringin tua yang akarnya menjuntai seperti jaring, Galang Arutala duduk di atas batu besar, menatap air yang memantulkan cahaya senja. Amplop kusut itu masih ada di tangannya, dipegang erat seolah takut amplop itu akan terbang bersama angin. Wajahnya pucat, keringat membasahi keningnya meski udara sore terasa sejuk. Suara kicau burung dan gemericik air tak mampu menenangkan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.
Galang tahu kehadiran Darmawan bukan sekadar kunjungan biasa. Pria berjas itu bukan orang sembarangan; ia adalah kepala bagian keuangan di PT Cahaya Nusantara, perusahaan tempat Galang bekerja selama tiga tahun di Jakarta. Tapi kenangan tentang perusahaan itu bukanlah cerita sukses yang pernah ia bayangkan saat meninggalkan Lembayung lima tahun lalu. Ia menunduk, jari-jarinya meremas amplop hingga kertasnya semakin kusut. Di dalamnya, ada dokumen yang menjadi pengingat atas kesalahan terbesarnya—kesalahan yang membuatnya kehilangan segalanya dan memaksanya kembali ke desa dengan tangan kosong.
Di rumah, Widuri Satrioningrat masih duduk di kursi bambu di ruang tamu, kartu nama Darmawan tergeletak di meja di depannya. Mbok Sari sudah pulang setelah berulang kali mencoba menghibur Widuri dengan cerita-cerita ringan, tapi Widuri tak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi bayangan Galang yang kabur melalui jendela, wajahnya yang penuh ketakutan, dan amplop kusut yang sepertinya menjadi pusat dari semua rahasia anaknya. Ia ingin mengejar Galang, tapi kakinya terasa berat, dan hatinya tahu bahwa memaksa anaknya sekarang hanya akan memperburuk keadaan.
Widuri bangkit, berjalan ke dapur, dan menyalakan lampu minyak yang sudah tua. Listrik di Lembayung sering mati saat sore, dan lampu minyak itu selalu setia menerangi rumah tua mereka. Ia mengambil kotak teh melati dari rak, berusaha menenangkan diri dengan rutinitas sederhana. Tapi setiap gerakan tangannya terasa mekanis, pikirannya terus kembali ke Galang. “Apa yang kamu sembunyikan, Lang?” gumamnya sambil menuang air panas ke cangkir. Uap teh naik, mengingatkannya pada malam-malam saat Galang masih kecil, ketika mereka duduk bersama di beranda, berbagi cerita tentang mimpi dan harapan.
Di tepi sungai, Galang akhirnya memberanikan diri untuk membuka amplop itu. Tangannya gemetar saat ia merobek sisi amplop yang sudah rapuh. Di dalamnya, ada dua lembar kertas: sebuah surat resmi dengan kop PT Cahaya Nusantara dan sebuah cek yang sudah kadaluarsa. Surat itu bertanggal dua tahun lalu, ditandatangani oleh Darmawan. Isinya singkat tapi berat:
Kepada Bapak Galang Arutala,
Berdasarkan hasil audit internal, kami menemukan adanya penyimpangan dana proyek senilai Rp500 juta yang berada di bawah tanggung jawab Anda. Anda diberikan waktu satu bulan untuk memberikan klarifikasi dan mengembalikan dana tersebut. Jika tidak, kami terpaksa mengambil jalur hukum.
Hormat kami,
Darmawan Prakoso
Kepala Divisi Keuangan
Galang menutup mata, napasnya tersengal. Ia ingat malam itu, dua tahun lalu, di sebuah kafe kecil di Jakarta. Ia duduk bersama Reza, rekan kerjanya yang selalu penuh ide-ide berisiko. Reza meyakinkannya untuk “meminjam” sebagian dana proyek untuk investasi saham yang katanya pasti untung besar. “Ini cuma sementara, Lang,” kata Reza waktu itu, dengan senyum penuh percaya diri. “Kita balikin sebelum audit. Gampang.”
Tapi saham itu anjlok, dan dana itu lenyap. Reza menghilang, meninggalkan Galang sendirian menghadapi tuduhan. Galang kehilangan pekerjaannya, apartemen kecilnya disita, dan harga dirinya hancur. Ia tak berani pulang ke Lembayung, tak berani menghadapi Widuri dengan kegagalan itu. Ia menghabiskan dua tahun terakhir berpindah-pindah kota, bekerja serabutan, mencoba melupakan rasa bersalah yang kian membesar. Tapi amplop itu, yang ia bawa kemana-mana, adalah pengingat konstan bahwa ia tak bisa lari dari masa lalunya.
Galang memasukkan surat dan cek itu kembali ke amplop, lalu menyimpannya di saku celana. Ia menatap sungai, berpikir untuk melempar amplop itu ke air dan membiarkannya hanyut. Tapi ia tahu itu tak akan menyelesaikan apa-apa. Darmawan sudah menemukannya, dan itu berarti masa lalunya kini mengetuk pintu rumah tua di Lembayung.
Di rumah, Widuri memutuskan untuk mencari Galang. Ia mengambil selendang tenun yang selalu ia pakai saat keluar rumah, lalu berjalan menyusuri jalan setapak menuju sungai. Ia tahu tempat itu adalah tempat favorit Galang sejak kecil, tempat di mana ia sering bermain layang-layang atau hanya duduk termenung saat ada masalah. Langit sudah mulai gelap, bintang-bintang kecil mulai muncul, dan udara malam membawa aroma tanah basah yang khas.
Saat sampai di tepi sungai, Widuri melihat siluet Galang di bawah pohon beringin. Ia mendekat perlahan, tak ingin mengejutkan anaknya. “Lang,” panggilnya pelan.
Galang menoleh, wajahnya menunjukkan campuran kaget dan malu. “Bu, kenapa Ibu ke sini? Malam gini,” katanya, berusaha terdengar biasa.
“Ibu tahu kamu di sini kalau lagi ada masalah,” jawab Widuri sambil duduk di batu kecil di samping Galang. “Dulu, setiap kali kamu pulang dari sekolah dengan muka cemberut, pasti Ibu temuin kamu di sini.”
Galang tersenyum tipis, tapi senyum itu cepat hilang. “Bu, aku nggak tahu harus bilang apa. Aku… aku bikin kesalahan besar.”
Widuri menatap anaknya, matanya penuh kasih sayang meski hatinya gelisah. “Ceritain ke Ibu, Lang. Apa pun itu, Ibu dengar. Ibu nggak akan marah.”
Galang menggeleng, tangannya meremas rumput di sampingnya. “Ibu nggak akan ngerti, Bu. Ini bukan cuma soal gagal. Aku… aku nyakitin orang. Aku nyakitin kepercayaan orang. Dan aku takut kalau Ibu tahu, Ibu nggak akan bisa lihat aku sama lagi.”
Widuri meraih tangan Galang, kali ini tak membiarkan anaknya menarik diri. “Lang, dengar Ibu. Nggak ada kesalahan yang terlalu besar buat Ibu. Kamu anak Ibu, dan Ibu tahu di dalam hati kamu, kamu orang baik. Apa pun yang kamu lakukan, pasti ada alasan di baliknya.”
Kata-kata itu membuat Galang menangis. Air matanya jatuh perlahan, dan ia tak berusaha menyembunyikannya. “Bu, aku maling,” katanya akhirnya, suaranya pecah. “Aku ambil duit perusahaan. Aku pikir aku bisa balikin, tapi aku salah. Aku kehilangan semuanya, dan sekarang mereka nyari aku. Orang tadi, Darmawan, dia datang buat nagih itu.”
Widuri terdiam, hatinya seperti disayat. Tapi ia tak menunjukkan keterkejutannya. Ia hanya memeluk Galang, membiarkan anaknya menangis di pundaknya seperti saat ia masih kecil. “Lang, kenapa kamu nggak ceritain dari dulu? Kenapa kamu simpan sendiri?” tanyanya lembut.
“Aku malu, Bu,” jawab Galang, suaranya tersendat. “Aku janji mau bikin Ibu bangga, tapi aku malah jadi penutup malu. Aku takut pulang, takut Ibu kecewa.”
Widuri mengusap rambut Galang, matanya juga berkaca-kaca. “Lang, Ibu nggak pernah minta kamu jadi orang hebat. Ibu cuma minta kamu jujur, sama Ibu, sama diri kamu sendiri. Kalau kamu salah, hadapi. Kita cari jalan keluar bersama.”
Galang menarik diri dari pelukan, menatap Widuri dengan mata penuh penyesalan. “Bu, nggak ada jalan keluar. Duit itu banyak, aku nggak punya apa-apa lagi. Mereka bisa jebloskan aku ke penjara.”
Widuri menggenggam tangan Galang lebih erat. “Kita akan cari cara, Lang. Tapi kamu nggak boleh lari lagi. Besok, kalau orang itu datang lagi, kita hadapi bareng. Ibu di sisi kamu.”
Malam itu, mereka kembali ke rumah dalam diam, hanya ditemani suara jangkrik dan angin yang bertiup pelan. Galang masih memegang amplop kusut itu, tapi beban di hatinya terasa sedikit lebih ringan karena Widuri ada di sisinya. Namun, di sudut hatinya, ia tahu bahwa kebenaran yang akan terungkap besok bisa mengubah segalanya—bukan hanya untuknya, tapi juga untuk ibunya yang selama ini hanya ingin melihat anaknya bahagia.
Senja di Lembayung telah berganti malam, tapi rahasia di dalam amplop itu masih mengintai, menunggu untuk menguak luka yang lebih dalam.
Cahaya di Balik Penyesalan
Pagi di Lembayung terasa berbeda hari itu. Kabut masih menyelimuti sawah, tapi sinar matahari pagi yang menyelinap di sela-sela pepohonan terasa lebih hangat, seolah membawa harapan baru. Di rumah kayu tua milik Widuri Satrioningrat, aroma kopi tubruk dan nasi goreng dengan irisan daun bawang mengisi udara. Widuri berdiri di dapur, mengaduk nasi di wajan besar dengan gerakan yang mantap, meski hatinya dipenuhi ketegangan. Di ruang makan, Galang Arutala duduk dengan amplop kusut di depannya, matanya menatap cangkir kopi yang uapnya perlahan memudar.
Semalam, setelah kembali dari tepi sungai, Widuri dan Galang berbicara panjang. Galang menceritakan segalanya: bagaimana ia terjebak dalam rencana investasi bodong bersama Reza, bagaimana ia kehilangan dana proyek sebesar Rp500 juta, dan bagaimana rasa malu membuatnya tak berani pulang ke Lembayung selama dua tahun. Widuri mendengarkan tanpa menghakimi, hanya sesekali mengangguk atau menggenggam tangan anaknya saat suara Galang pecah. “Kita hadapi bersama, Lang,” kata Widuri berulang-ulang, dan meski Galang masih ragu, kata-kata ibunya memberinya keberanian yang selama ini hilang.
Hari ini, mereka tahu Darmawan akan kembali. Galang ingin kabur lagi, tapi Widuri menahannya. “Lari nggak akan selesain apa-apa, Nak,” katanya tegas. “Kamu harus bertanggung jawab, apa pun akibatnya. Ibu di sini, nggak akan ninggalin kamu.” Galang hanya mengangguk, meski perutnya terasa mulas memikirkan apa yang akan terjadi.
Pukul sembilan pagi, suara mobil terdengar di depan rumah. Widuri melirik dari jendela dapur dan melihat Darmawan turun dari sebuah sedan hitam, masih dengan jas rapi dan tas kulit yang sama. Ia tampak lebih serius hari ini, tanpa senyum dingin yang kemarin menghiasi wajahnya. Widuri menghentikan gerakannya di dapur, mengelap tangan ke celemek, dan berjalan ke pintu. “Lang, dia datang,” katanya pelan.
Galang menarik napas dalam, tangannya meraih amplop kusut itu, lalu berdiri. “Aku siap, Bu,” katanya, meski suaranya sedikit gemetar. Widuri tersenyum kecil, bangga melihat anaknya akhirnya berani menghadapi ketakutannya.
Darmawan masuk setelah Widuri membuka pintu, mengangguk sopan. “Selamat pagi, Ibu Widuri. Galang,” sapanya, nadanya datar tapi penuh otoritas. Ia duduk di kursi bambu yang ditawarkan Widuri, meletakkan tasnya di meja. “Saya harap kita bisa menyelesaikan urusan ini dengan baik hari ini.”
Galang menunduk, amplop itu masih di tangannya. “Pak Darmawan, saya… saya tahu saya salah. Saya nggak bisa bikin alasan buat apa yang saya lakukan. Saya siap terima konsekuensinya,” katanya, suaranya pelan tapi jelas.
Darmawan mengangguk, membuka tasnya, dan mengeluarkan map berisi dokumen. “Galang, dua tahun lalu, kamu menghilang setelah audit menemukan penyimpangan dana. Perusahaan kehilangan Rp500 juta, dan itu bukan angka kecil. Kami bisa saja melaporkanmu ke polisi waktu itu, tapi saya memilih menunggu. Saya tahu kamu bukan penutup biasa.”
Widuri, yang duduk di sisi Galang, merasa jantungan mendengar kata “polisi.” Tapi ia tetap diam, tangannya meremas ujung selendangnya untuk menahan emosi.
Galang mengeluarkan surat dan cek kadaluarsa dari amplop, meletakkannya di meja. “Ini surat dari Bapak. Saya simpan selama ini karena… karena saya takut. Saya nggak punya duit buat balikin, Pak. Tapi saya nggak akan lari lagi. Kalau Bapak mau laporin saya, saya terima.”
Darmawan menatap surat itu, lalu Galang, dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Galang, saya ke sini bukan cuma untuk menagih. Saya juga ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu anak berbakat, dulu salah satu yang terbaik di tim proyek. Kenapa kamu sampai melakukan ini?”
Galang menarik napas dalam, lalu menceritakan semuanya: tentang Reza, investasi saham yang gagal, dan bagaimana ia ditinggalkan sendirian menghadapi masalah. Ia tak berusaha membela diri, hanya jujur tentang kekeliruannya. “Saya salah percaya orang, Pak. Dan saya salah karena nggak berani ngaku dari awal. Saya malu, takut kecewain Ibu, takut kecewain semua orang.”
Widuri mendengarkan dengan air mata yang mulai menggenang. Ia tak pernah membayangkan anaknya membawa beban seberat itu sendirian. “Lang, kenapa kamu nggak pulang? Ibu kan selalu bilang, apa pun masalahmu, kita hadapi bareng,” katanya, suaranya serak.
Darmawan menghela napas panjang, lalu menutup map dokumennya. “Galang, saya akan jujur. Perusahaan memang ingin dana itu kembali, tapi setelah dua tahun, mereka sudah menganggapnya kerugian. Namun, ada sesuatu yang lebih penting dari uang.” Ia mengeluarkan sebuah surat lain dari tasnya, menyerahkannya ke Galang. “Ini surat dari Pak Haryanto, direktur utama kami. Dia yang meminta saya mencarimu.”
Galang membuka surat itu dengan tangan gemetar. Isinya membuat matanya melebar:
Kepada Galang Arutala,
Saya mendengar tentang apa yang terjadi dua tahun lalu. Sebagai direktur, saya kecewa, tapi sebagai manusia, saya tahu setiap orang bisa salah. Kamu punya potensi besar, dan saya percaya kamu bisa memperbaiki kesalahanmu. Jika kamu bersedia, kami menawarkanmu kesempatan untuk kembali ke perusahaan, bukan sebagai karyawan, tapi sebagai konsultan pro bono untuk proyek sosial kami di desa-desa. Gunakan bakatmu untuk membangun, bukan menghancurkan.
Haryanto Wibowo
Galang terdiam, tak percaya dengan apa yang dibacanya. Widuri, yang mengintip surat itu, menutup mulutnya dengan tangan, air matanya akhirnya tumpah. “Lang… ini kesempatanmu,” bisiknya.
Darmawan melanjutkan, “Galang, ini bukan berarti kamu lepas dari tanggung jawab. Kamu harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa kamu layak dipercaya lagi. Dan untuk dana itu, perusahaan setuju untuk menganggapnya lunas jika kamu berkomitmen pada proyek ini. Tapi keputusan ada di tanganmu.”
Galang menatap Widuri, matanya penuh campuran haru dan penyesalan. “Bu, apa Ibu yakin aku bisa? Setelah semua yang aku lakukan?”
Widuri tersenyum, mengusap air mata di pipinya. “Lang, Ibu selalu yakin sama kamu. Bukan karena kamu nggak pernah salah, tapi karena Ibu tahu kamu punya hati yang baik. Ambil kesempatan ini, Nak. Buat ayahmu di sana bangga.”
Galang mengangguk, lalu menoleh ke Darmawan. “Saya terima, Pak. Saya akan kerja keras, saya janji. Dan… terima kasih, karena nggak nyerah sama saya.”
Darmawan tersenyum tipis, untuk pertama kalinya terlihat tulus. “Jangan buang kesempatan ini, Galang. Saya tunggu di Jakarta bulan depan.”
Setelah Darmawan pergi, Widuri dan Galang duduk di beranda, menatap sawah yang mulai menguning di bawah sinar matahari. Amplop kusut itu kini tergeletak di meja, tak lagi menjadi beban yang menakutkan. Galang memegang tangan Widuri, sesuatu yang sudah lama tak ia lakukan. “Bu, maaf karena bikin Ibu khawatir. Maaf karena nggak pulang lebih cepat.”
Widuri menggenggam tangan anaknya erat. “Yang penting kamu di sini sekarang, Lang. Dan kamu nggak sendiri lagi. Kita lalui ini bareng, seperti dulu.”
Sore itu, saat senja kembali mewarnai langit Lembayung dengan semburat merona, Galang merasa ada cahaya kecil di hatinya. Penyesalan masih ada, tapi kini ia tahu bahwa cinta dan kepercayaan Widuri adalah kekuatan yang akan membantunya bangkit. Di kejauhan, bunga kamboja di halaman rumah tua itu bergoyang pelan diterpa angin, seolah menyaksikan awal baru bagi anak dan ibu yang telah melewati badai bersama.
Rumah tua di Lembayung kembali dipenuhi harapan, dan di balik senja yang indah, Galang berjanji pada dirinya sendiri untuk tak pernah lagi menyia-nyiakan kepercayaan ibunya. Penyesalan telah mengajarkannya arti keluarga, dan kini ia siap menjalani hidup dengan keberanian yang baru.
Penyesalan di Balik Senja Merona bukan sekadar cerita, melainkan cerminan kehidupan yang mengajarkan kita tentang pentingnya kejujuran, keberanian, dan cinta keluarga yang tak pernah pudar. Kisah Galang dan Widuri mengingatkan kita bahwa meski penyesalan bisa meninggalkan luka, selalu ada cahaya harapan di ujung perjalanan. Jangan lewatkan cerpen ini untuk merasakan sendiri kehangatan dan kedalaman emosinya, serta renungkan makna pengampunan dalam hidup Anda.
Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Penyesalan di Balik Senja Merona. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk lebih menghargai hubungan keluarga dan menemukan keberanian dalam menghadapi tantangan hidup. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa bagikan cerita ini kepada orang-orang terkasih!


