Daftar Isi
Kehilangan ibu sering kali membawa penyesalan yang mendalam, tetapi bagaimana jika itu menjadi inspirasi untuk bangkit? Penyesalan Anak terhadap Ibu: Kisah Haru di Balik Kehilangan mengisahkan perjalanan Tavindra Saelith, seorang musisi yang menemukan penebusan melalui musik setelah kehilangan Elyndra, ibunya. Artikel ini mengupas emosi mendalam, kekuatan cinta, dan pelajaran hidup yang menginspirasi. Siap menyelami kisah menyayat hati ini?
Penyesalan Anak terhadap Ibu
Bayang di Hati yang Kosong
Pagi di Bandung pada pukul 13:00 WIB, Selasa, 17 Juni 2025, membawa udara sejuk yang bercampur aroma hujan ringan dari malam sebelumnya, menyelinap melalui jendela kamar kecil Tavindra Saelith. Pemuda berusia 25 tahun ini duduk di tepi ranjang tua yang berderit, rambut hitamnya yang agak panjang tergerai acak-acakan di dahi, menutupi matanya yang cokelat tua, kini dipenuhi bayang kesedihan dan penyesalan. Kamarnya sederhana, dindingnya dihiasi poster musik lawas dan foto-foto yang sudah usang, tapi hari ini terasa lebih sunyi—hanya ada suara tetesan air dari atap yang bocor dan napasnya yang berat, seolah mencerminkan hati yang hampa.
Tavindra adalah anak tunggal dari Elyndra Tharwyn, seorang ibu yang membesarkannya dengan cinta dan pengorbanan setelah ayahnya meninggal saat ia masih kecil. Elyndra, dengan rambut abu-abu yang selalu diikat rapi dan senyum hangat yang tak pernah padam, adalah pilar kekuatannya. Tapi dua minggu lalu, ia kehilangan ibunya karena penyakit yang tak lagi bisa disembuhkan—kanker yang terdeteksi terlambat. Rumah yang dulu penuh tawa dan aroma masakan ibunya kini terasa seperti makam hidup, dan penyesalan pertama muncul saat Tavindra berdiri di sisi ranjang rumah sakit, memandang wajah pucat Elyndra untuk terakhir kali tanpa sempat mengucap selamat tinggal yang tulus.
Kepergian Elyndra bukan tanpa tanda, tapi Tavindra terlalu sibuk dengan mimpinya sendiri untuk menyadarinya. Sebagai musisi jalanan yang sedang merintis karier, ia sering pulang larut, meninggalkan ibunya sendirian di rumah kecil mereka di pinggiran Bandung. Ia ingat malam-malam ketika Elyndra menunggunya dengan teh hangat dan roti bakar, meski wajahnya tampak pucat dan tangannya gemetar. “Tav, jangan lupa makan, ya,” katanya selalu, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Tavindra, yang sibuk dengan latihan gitar dan pertunjukan kecil, hanya mengangguk sambil tergesa, tak pernah benar-benar mendengarkan.
Sekarang, saat ia duduk di kamarnya, penyesalan itu seperti bayang yang tak bisa diusir. Ia mengambil foto lama dari laci—gambar dirinya dan Elyndra di taman bunga saat ia masih kecil, tangan ibunya memegangnya erat sambil tersenyum. Di belakang foto, ada tulisan tangan Elyndra: “Untuk Tavindra, anakku yang kuat.” Air matanya jatuh, membasahi kaca foto, tapi ia tak menghapusnya—seolah ingin merasakan setiap tetes sebagai pengingat akan kegagalannya sebagai anak. Ia ingat saat ia menolak ajakan ibunya jalan bersama karena “terlalu capek,” atau saat ia mengabaikan panggilan teleponnya karena sibuk dengan teman-temannya.
Di meja samping ranjang, ada buku harian kulit cokelat yang dulu milik Elyndra, yang ia temukan di antara barang-barang ibunya setelah pemakaman. Halaman pertamanya berisi catatan sederhana: “Tav sibuk hari ini lagi. Semoga dia bahagia dengan musiknya. Aku doakan dia selalu sehat.” Tavindra membaca setiap halaman, dan setiap kata menusuk hatinya. Elyndra menulis tentang harapnya melihat Tavindra sukses, tentang rasa sakit yang ia sembunyikan agar anaknya tak khawatir, dan tentang cinta yang tak pernah ia ucapkan secara langsung karena tak ingin membebani. “Aku salah,” gumamnya, suaranya pecah. “Aku nggak pernah bilang aku sayang dia.”
Ponselnya bergetar, mengagetkannya dari lamunan. Pesan dari Ryzelth Koryn, sahabatnya sejak SMA: “Tav, lo baik-baik aja? Aku tahu lo susah, tapi aku mau nemenin lo hari ini. Ketemu di kafe dekat alun-alun, jam 3.” Tavindra menatap pesan itu, hatinya bergetar. Ryzelth adalah satu-satunya yang tahu betapa dalam luka yang ia rasakan, tapi ia tak yakin apakah ia siap berbagi. Ia membalas singkat: “Oke, aku datang.”
Sore itu, Tavindra berjalan menuju kafe dengan langkah berat, gitar tua yang diberikan Elyndra masih tergantung di punggungnya. Di kafe, Ryzelth menyapanya dengan senyum kecil, matanya penuh simpati. “Tav, lo kelihatan buruk banget. Cerita apa yang ada di kepala lo?” tanyanya, mendorong cangkir kopi ke arahnya.
Tavindra menghela napas panjang, tangannya memainkan senar gitar yang longgar. “Aku menyesal, Ryz. Aku nggak pernah cukup buat ibu. Dia sakit, dan aku nggak tahu. Aku sibuk sama diri sendiri, nggak peduli dia nunggu aku pulang. Sekarang dia pergi, dan aku nggak bisa ngapain.”
Ryzelth mendengarkan dengan hati-hati, tangannya memegang bahu Tavindra. “Lo nggak bisa ganti masa lalu, Tav. Tapi lo bisa hormatin apa yang ibu lo kasih—musik ini, cinta ini. Tulis lagu buat dia. Itu cara lo ngucapin selamat tinggal.”
Saran itu menggantung di pikiran Tavindra saat ia pulang. Di rumah, ia mengambil gitar, mencoba memetik nada-nada sederhana, tapi tangannya gemetar. Ia membuka buku harian Elyndra lagi, membaca entri terakhir: “Tav main gitar lagi tadi malam. Aku bangga, meski dia nggak tahu. Semoga dia tahu aku selalu di sisanya.” Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini ia tersenyum tipis. “Aku akan buat lagu buat lo, Bu,” bisiknya.
Malam semakin larut, dan Tavindra duduk di beranda, memandang langit Bandung yang dipenuhi bintang. Pikirannya penuh kenangan—saat Elyndra mengajarinya chord gitar pertama, saat ia membawakan makanan untuknya di pinggir jalan saat tampil, dan saat ibunya menjahit pakaian barunya dengan tangan yang penuh cinta. Penyesalan itu datang terlambat, seperti hujan setelah tanah retak, dan ia bertanya-tanya apakah ia bisa menemukan penebusan. Ia mengambil pena, menulis lirik sederhana di buku catatan: “Ibu, maafkan aku yang terlambat, cinta lo abadi di nada ini.”
Besok paginya, Tavindra memutuskan mengunjungi makam Elyndra di pemakaman desa, membawa gitar dan bunga melati yang ia tahu ibunya sukai. Di sana, ia duduk di samping nisan sederhana, membaca nama ibunya dengan suara bergetar. Ia memetik gitar, menyanyikan lagu yang ia tulis semalam, suaranya pecah tapi penuh emosi. “Ini buat lo, Bu. Aku janji akan jadi anak yang lo banggakan,” katanya, meletakkan bunga di nisan.
Hari itu, Tavindra pulang dengan hati yang masih berat, tapi ada sedikit kedamaian. Penyesalan itu tetap ada, tapi ia tahu ia bisa mengubahnya menjadi kekuatan. Di rumah, ia menulis di buku harian barunya: “Hari ini, aku mulai penebusan. Ibu, aku akan hidup buat lo.” Langit Bandung tetap cerah, dan untuk pertama kalinya sejak kepergian Elyndra, Tavindra merasa ada alasan untuk melangkah maju—bukan untuk melupakannya, tapi untuk menghormatinya di setiap nada yang ia mainkan.
Nada di Tengah Duka
Pagi di Bandung pada pukul 13:02 WIB, Selasa, 17 Juni 2025, membawa udara sejuk yang bercampur aroma tanah basah setelah hujan semalam, menyelinap melalui celah jendela kamar Tavindra Saelith. Pemuda berusia 25 tahun ini berdiri di tengah ruangan kecilnya, rambut hitamnya yang agak panjang kini diikat sederhana dengan tali kulit, mencoba meredakan kekacauan dalam pikirannya. Matanya yang cokelat tua, masih dipenuhi bayang kesedihan, memandang gitar tua yang diberikan Elyndra Tharwyn, ibunya, tergeletak di sudut kamar—seolah menantangnya untuk melanjutkan janji yang ia buat di makam kemarin. Rumah itu tetap sunyi, hanya diisi dengungan kipas angin tua dan tetesan air dari atap yang bocor, tapi hati Tavindra mulai bergetar dengan tekad yang perlahan tumbuh.
Sejak kunjungan ke makam Elyndra kemarin, Tavindra merasa ada pergeseran dalam dirinya. Lagu sederhana yang ia nyanyikan di sisi nisan ibunya—lirik penuh penyesalan dan cinta—menjadi titik balik emosional. Namun, penyesalan itu masih menggantung seperti awan kelabu, mengingatkannya pada hari-hari ketika ia mengabaikan panggilan ibunya, terlalu sibuk dengan ambisi musiknya. Buku harian kulit cokelat milik Elyndra terbuka di meja, halaman terakhir bertuliskan: “Tav main gitar lagi tadi malam. Aku bangga, meski dia nggak tahu. Semoga dia tahu aku selalu di sisanya.” Kata-kata itu terus berputar di pikirannya, mendorongnya untuk bertindak.
Tavindra menghabiskan pagi dengan merapikan kamarnya, seolah tindakan itu bisa membantunya mengurutkan emosinya. Ia mengelap debu dari poster musik lawas di dinding, menyusun buku catatan lirik yang berserakan, dan memperbaiki senar gitar yang longgar—pekerjaan kecil yang ternyata membukakan kenangan. Ia ingat saat Elyndra duduk di sampingnya, tangannya yang penuh kasih memandu jarinya memetik chord pertama, dan bagaimana ia tertawa saat Tavindra salah memainkan nada. “Latihan terus, Tav. Ibu percaya lo bisa,” kata ibunya saat itu, suaranya penuh harap. Kini, suara itu hanya ada di kenangan, dan air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Siang menjelang, Tavindra memutuskan berjalan ke alun-alun Bandung, tempat ia sering tampil sebagai musisi jalanan. Ia membawa gitar, berharap udara segar dan keramaian bisa memberinya inspirasi. Di sana, ia bertemu Ryzelth Koryn, sahabatnya yang kemarin mengajaknya ke kafe. Ryzelth, dengan jaket denim dan senyum hangat, menyapanya dengan tepukan di bahu. “Tav, lo kelihatan lebih baik hari ini. Udah mulai main lagi?” tanyanya, menunjuk gitar di punggung Tavindra.
Tavindra mengangguk pelan, duduk di bangku kayu di dekat pohon beringin tua. “Iya, Ryz. Aku janji buat ibu kemarin di makam. Aku mau buat lagu buat dia, tapi aku nggak tahu dari mana mulai. Aku menyesal banget nggak denger dia waktu dia butuh aku.”
Ryzelth mendengarkan dengan penuh perhatian, tangannya meraih gitar Tavindra. “Lo nggak bisa ganti masa lalu, Tav. Tapi lo bisa kasih arti buat kenangan itu. Mulai dengan apa yang lo rasain sekarang—penyesalan, cinta, harap. Aku bantu lo,” katanya, memetik nada sederhana sebagai awal.
Saran itu menggantung di pikiran Tavindra saat ia pulang. Di rumah, ia mengambil buku harian Elyndra lagi, membaca entri tentang hari-hari terakhir ibunya. “Aku sakit, tapi aku nggak mau Tav khawatir. Dia punya mimpinya, dan aku senang lihat dia bahagia.” Kata-kata itu menusuk, mengingatkannya pada malam ketika Elyndra memintanya tinggal di rumah, tapi ia memilih pergi ke acara musik dengan teman-temannya. Ia menutup buku, air matanya jatuh lagi, tapi kali ini ia mengambil pena dan buku catatan, menulis lirik baru: “Ibu, maaf aku pergi, tinggalin lo sendirian, kini nadaku cari maaf di hatimu.”
Malam tiba, dan Tavindra duduk di beranda, memandang langit Bandung yang dipenuhi bintang terang. Pikirannya penuh kenangan—saat Elyndra membawakan sup hangat saat ia sakit, saat ia menjahit jaket untuknya dengan tangan gemetar, dan saat ibunya duduk diam menatapnya bermain gitar dengan mata penuh kebanggaan. Penyesalan itu datang terlambat, seperti angin sepoi yang tak bisa menghidupkan kembali yang telah pergi, tapi ia tahu ia harus menemukan cara menghormatinya. Ia memetik gitar, menyanyikan lirik yang ia tulis, suaranya perlahan stabil meski penuh emosi.
Keesokan harinya, 18 Juni 2025, Tavindra memutuskan merekam lagu itu di studio sederhana milik teman Ryzelth. Ia membawa buku harian Elyndra, meletakkannya di samping mikrofon sebagai pengingat. Ryzelth dan teman-teman musiknya membantu, menambahkan irama drum dan bass yang lembut, menciptakan melodi yang penuh perasaan. Tavindra menyanyikan lagu itu dengan hati, setiap kata mencerminkan penyesalannya dan cinta yang ia miliki untuk ibunya. “Ini buat lo, Bu,” bisiknya saat rekaman selesai, air matanya jatuh di lantai studio.
Setelah selesai, Tavindra membagikan rekaman itu ke media sosial, menulis caption sederhana: “Untuk ibuku, Elyndra Tharwyn. Maaf aku terlambat, tapi aku harap lo bangga dari sana.” Responsnya luar biasa—teman-teman, penggemar musik jalanan, dan bahkan orang asing meninggalkan komentar penuh dukungan. Beberapa berbagi cerita serupa tentang penyesalan mereka terhadap orang tua, dan Tavindra merasa ada koneksi emosional yang mendalam. Ryzelth memeluknya, berkata, “Lo nggak sendiri, Tav. Ini cara lo sembuh.”
Malam itu, Tavindra pulang dengan hati yang lebih ringan. Ia duduk di beranda lagi, memainkan lagu itu di gitarnya, membiarkan nada-nada mengalir seperti air mata yang perlahan kering. Ia mengambil buku harian barunya, menulis: “Hari ini, aku rekam lagu buat ibu. Penyesalan masih ada, tapi aku mulai temuin jalan buat hormatin dia. Terima kasih, Bu, buat segalanya.” Langit Bandung tetap cerah, dan untuk pertama kalinya sejak kepergian Elyndra, Tavindra merasa ada harapan di tengah duka—harapan bahwa penyesalannya bisa berubah menjadi warisan cinta melalui musiknya.
Harmoni di Tengah Luka
Pagi di Bandung pada pukul 13:03 WIB, Selasa, 17 Juni 2025, membawa udara sejuk yang bercampur aroma kopi dari warung tetangga, menyelinap melalui jendela kamar Tavindra Saelith. Pemuda berusia 25 tahun ini berdiri di depan cermin kecil di sudut kamarnya, rambut hitamnya yang diikat sederhana dengan tali kulit kini terlihat lebih rapi, mencerminkan upaya kecil untuk menyusun kembali dirinya. Matanya yang cokelat tua, masih membawa bayang duka, memandang pantulan wajahnya dengan campuran harap dan ketidakpastian, seolah mencari jawaban di balik refleksi itu. Rumahnya tetap sunyi, hanya diisi dengungan kipas angin tua dan suara halus daun yang bergoyang di luar, tapi hati Tavindra mulai berdetak dengan ritme baru—ritme dari lagu yang ia ciptakan untuk Elyndra Tharwyn, ibunya.
Sejak rekaman lagu untuk Elyndra dua hari lalu, kehidupan Tavindra telah memasuki fase yang penuh emosi dan perubahan. Respons positif dari media sosial—komentar penuh simpati, cerita serupa dari orang lain, dan dukungan dari Ryzelth Koryn serta teman-teman musiknya—memberinya kekuatan untuk melangkah maju. Lagu berjudul “Maafku untuk Ibu” telah diunggah, dan meski penyesalannya tetap menggantung seperti bayang kelam, ia merasa ada cara untuk menghormati ibunya melalui musik. Buku harian kulit cokelat milik Elyndra terbuka di meja, halaman terakhir bertuliskan: “Tav main gitar lagi tadi malam. Aku bangga, meski dia nggak tahu. Semoga dia tahu aku selalu di sisanya.” Kata-kata itu menjadi kompas baginya, mengarahkan setiap langkah yang ia ambil.
Tavindra menghabiskan pagi dengan merawat gitar tua ibunya, membersihkan debu dari badan kayu dan mengencangkan senar yang kendur. Tindakan itu membukakan kenangan—saat Elyndra duduk di sampingnya, tangannya yang penuh kasih menuntun jarinya memetik nada pertama, dan bagaimana ia tersenyum saat Tavindra akhirnya bisa memainkan lagu sederhana. “Ini hadiah buat lo, Tav. Pakai buat kejar mimpi lo,” kata ibunya saat memberikan gitar itu untuk ulang tahunnya yang ke-18. Kini, gitar itu menjadi jembatan antara masa lalu dan harap baru, dan air matanya jatuh perlahan saat ia memetik nada pembuka lagu yang ia ciptakan.
Siang menjelang, Tavindra memutuskan mengunjungi rumah teman lama ibunya, Vaelithra Syrwyn, seorang penjahit tua yang pernah dekat dengan Elyndra. Ia membawa gitar dan buku harian ibunya, berharap bisa menemukan lebih banyak kenangan untuk melengkapi lagunya. Rumah Vaelithra sederhana, dihiasi kain-kain berwarna yang ia jahit, dan aroma teh jahe memenuhi udara saat Tavindra tiba. Vaelithra, dengan rambut putih yang tergerai dan mata penuh kebijaksanaan, menyambutnya dengan pelukan hangat. “Tav, aku senang lo datang. Elyndra pasti bangga,” katanya, suaranya bergetar.
Tavindra duduk di sofa lusuh, menyerahkan buku harian. “Bu Vae, aku mau tahu lebih banyak tentang ibu. Aku nggak cukup denger dia waktu dia masih ada. Aku nyesel banget,” katanya, suaranya pecah.
Vaelithra membuka buku, membaca beberapa halaman dengan senyum tipis. “Elyndra selalu cerita tentang lo, Tav. Dia bangga lo pilih musik, meski kadang khawatir lo terlalu keras pada diri sendiri. Dia sering jahit malam buat lo, bikin jaket itu, biar lo hangat saat main di jalan. Tapi dia nggak pernah marah waktu lo nggak pulang. Dia cuma doa buat lo.”
Kata-kata itu menusuk hati Tavindra, mengingatkannya pada malam-malam ketika ia mengabaikan panggilan ibunya, terlalu sibuk dengan latihan atau pertunjukan kecil. Ia menunduk, air mata jatuh di lantai kayu. “Aku nggak tahu dia segitu sayangnya. Aku pikir dia cuma khawatir biasa,” gumamnya.
Vaelithra memegang tangannya, matanya berkaca-kaca. “Lo nggak bisa ganti masa lalu, Tav. Tapi lo bisa lanjutkan warisan dia. Musik lo itu bagian dari dia. Tulis apa yang lo rasain, dan dia akan denger dari sana.”
Saran itu menggantung di pikiran Tavindra saat ia pulang. Di rumah, ia mengambil gitar lagi, menambahkan lirik baru berdasarkan cerita Vaelithra: “Ibu jahit cinta di setiap benang, aku tak tahu sampai lo pergi selamanya.” Ia memainkannya berulang-ulang, suaranya semakin kuat, mencampur penyesalan dengan harap. Malam tiba, dan ia duduk di beranda, memandang langit Bandung yang dipenuhi bintang, membiarkan nada-nada mengalir seperti air mata yang perlahan kering.
Keesokan harinya, 19 Juni 2025, Tavindra memutuskan mengadakan pertunjukan kecil di alun-alun Bandung, mengundang Ryzelth dan teman-teman musiknya untuk memainkan “Maafku untuk Ibu” secara langsung. Ia memasang poster sederhana: “Pertunjukan untuk mengenang Elyndra Tharwyn, ibu dan inspirasi.” Saat sore tiba, kerumunan kecil berkumpul, termasuk Vaelithra dan beberapa tetangga lama. Tavindra berdiri di tengah, gitar di tangan, jantungnya berdegup kencang.
Ia memulai dengan nada pelan, suaranya bergetar saat menyanyikan lirik pertama: “Ibu, maaf aku pergi, tinggalin lo sendirian…” Penonton terdiam, beberapa menitikkan air mata, merasakan emosi mentah dalam lagu itu. Ryzelth menambahkan irama drum yang lembut, menciptakan harmoni yang menyentuh hati. Saat lagu selesai, tepuk tangan memecah keheningan, dan Vaelithra mendekat, memeluknya erat. “Ini indah, Tav. Elyndra pasti denger,” katanya.
Malam itu, Tavindra pulang dengan hati yang lebih ringan. Ia membuka buku harian barunya, menulis: “Hari ini, aku main buat ibu di depan orang. Penyesalan masih ada, tapi aku mulai temuin kedamaian. Terima kasih, Bu, buat lagu yang lo kasih.” Ia menatap foto ibunya di dinding, senyum Elyndra seolah menjawab dari kejauhan. Langit Bandung tetap cerah, dan Tavindra merasa ada harmoni di tengah luka—harmoni yang ia ciptakan dari penyesalan dan cinta untuk ibunya.
Lagu di Ujung Harapan
Pagi di Bandung pada pukul 13:04 WIB, Selasa, 17 Juni 2025, membawa udara sejuk yang bercampur aroma bunga melati dari taman kecil di depan rumah Tavindra Saelith. Pemuda berusia 25 tahun ini berdiri di beranda rumahnya, rambut hitamnya yang kini lebih rapi diikat dengan tali kulit, menatap langit cerah yang dipenuhi sinar matahari lembut. Matanya yang cokelat tua, meski masih menyimpan bayang duka, mulai bersinar dengan harapan baru, mencerminkan perjalanan emosional yang telah ia lalui sejak kepergian Elyndra Tharwyn, ibunya. Rumah itu tak lagi sepenuhnya sunyi—ada suara burung berkicau dan angin sepoi-sepoi yang membawa kedamaian, seolah menyapa jiwa Tavindra yang perlahan sembuh.
Sejak pertunjukan kecil di alun-alun Bandung tiga hari lalu, kehidupan Tavindra telah berubah secara mendalam. Lagu “Maafku untuk Ibu” yang ia mainkan telah menyentuh hati banyak orang, menyebar melalui media sosial dengan ribuan dukungan dan cerita serupa tentang hubungan anak dan orang tua. Ryzelth Koryn dan Vaelithra Syrwyn terus mendampinginya, sementara penyesalannya—bahwa ia tak cukup memperhatikan Elyndra saat masih ada—mulai bertransformasi menjadi kekuatan. Buku harian kulit cokelat milik ibunya terbuka di meja beranda, halaman terakhir bertuliskan: “Tav main gitar lagi tadi malam. Aku bangga, meski dia nggak tahu. Semoga dia tahu aku selalu di sisanya.” Kata-kata itu kini menjadi mantra baginya, mendorongnya menuju penebusan.
Tavindra menghabiskan pagi dengan merawat taman kecil yang dulu dirawat Elyndra, menyiram bunga melati dan membuang daun kering. Tindakan itu membukakan kenangan—saat ibunya duduk di beranda, tangannya penuh tanah saat menanam benih, dan bagaimana ia tersenyum saat bunga pertama bermekar. “Ini buat lo, Tav. Biar rumah kita indah,” kata Elyndra saat itu, suaranya penuh cinta. Kini, taman itu menjadi simbol harapan, dan Tavindra tersenyum tipis sambil menyiram, air matanya jatuh bercampur tetesan air dari kaleng tua.
Siang menjelang, Tavindra menerima panggilan tak terduga dari seorang produser musik lokal, Aerith Veloris, yang terkesan dengan lagu yang ia unggah. “Tavindra, lagu lo punya jiwa. Aku mau bantu lo rekam versi profesional dan rilis resmi. Ini bisa jadi tribute buat ibu lo,” kata Aerith melalui telepon, suaranya penuh antusiasme. Tavindra terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia mengangguk meski tak terlihat, menjawab, “Iya, saya mau. Ini buat ibu saya.”
Pertemuan dengan Aerith dijadwalkan sore itu di studio rekaman sederhana di pusat kota. Tavindra tiba dengan gitar tua ibunya, ditemani Ryzelth yang tak henti mendukungnya. Studio itu kecil namun penuh peralatan modern, dan Aerith, seorang wanita paruh baya dengan kacamata bulat, menyambutnya dengan senyum hangat. “Kita akan buat lagu ini hidup, Tav. Ceritakan perasaan lo saat nulis ini,” katanya, menunjuk mikrofon yang sudah disiapkan.
Tavindra menghela napas, memulai cerita—tentang penyesalannya yang tak sempat mengucap selamat tinggal, tentang cinta Elyndra yang ia abaikan, dan tentang harap untuk menghormatinya. Aerith mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu mengarahkan sesi rekaman. Tavindra menyanyikan “Maafku untuk Ibu” dengan hati, suaranya bergetar di bagian lirik: “Ibu jahit cinta di setiap benang, aku tak tahu sampai lo pergi selamanya.” Ryzelth menambahkan irama gitar akustik, sementara Aerith menyempurnakan dengan sentuhan piano lembut. Hasilnya adalah melodi yang menyentuh, penuh emosi mentah yang mencerminkan perjalanan Tavindra.
Setelah selesai, Aerith memutar rekaman ulang, dan Tavindra menangis tersedu. “Ini seperti ibu denger aku,” katanya, air matanya membasahi pipinya. Aerith memeluknya, berkata, “Ini tribute terbaik buat dia. Kita rilis minggu depan, dan aku yakin ini akan menyentuh banyak orang.”
Malam itu, Tavindra pulang dengan CD rekaman pertama di tangannya, merasa campuran lega dan gugup. Ia duduk di beranda, memutar lagu itu di ponselnya, membiarkan nada-nada mengalir seperti air mata yang perlahan kering. Ia mengambil buku harian barunya, menulis: “Hari ini, aku rekam lagu buat ibu dengan profesional. Penyesalan masih ada, tapi aku mulai lihat cahaya. Terima kasih, Bu, buat musik yang lo warisin.”
Minggu berikutnya, 24 Juni 2025, lagu “Maafku untuk Ibu” dirilis secara resmi, disertai video sederhana yang menampilkan foto-foto Elyndra dan momen Tavindra bermain gitar. Responsnya luar biasa—lagu itu menduduki chart lokal, dan ribuan orang membagikan cerita mereka tentang ibu mereka. Tavindra menerima undangan untuk tampil di acara amal untuk pasien kanker, sebuah kesempatan untuk menghormati Elyndra dan membantu yang lain. Malam acara, di panggung terbuka di alun-alun Bandung, Tavindra berdiri di depan kerumunan besar, jantungnya berdegup kencang.
Ia memulai dengan nada pelan, suaranya kuat namun penuh emosi: “Ibu, maaf aku pergi, tinggalin lo sendirian…” Penonton terdiam, beberapa menangis, dan saat lagu selesai, tepuk tangan menggema seperti badai. Vaelithra, Ryzelth, dan Aerith hadir di barisan depan, tersenyum penuh kebanggaan. Setelah pertunjukan, seorang wanita paruh baya mendekat, memeluk Tavindra. “Lagu lo sembuhin luka aku sama ibu aku. Terima kasih,” katanya, air matanya jatuh.
Malam itu, Tavindra pulang dengan hati penuh kelegaan. Ia duduk di beranda, memandang langit yang dipenuhi bintang, dan memainkan gitarnya dengan nada lembut. Ia mengambil buku harian, menulis: “Hari ini, aku tampil buat ibu di depan ribuan orang. Penyesalan mengajarku cinta, dan aku janji akan lanjutkan mimpinya. Ibu, lo selalu di hatiku.” Ia menatap foto Elyndra di dinding, senyum ibunya seolah menjawab dari kejauhan.
Beberapa bulan berlalu, dan Tavindra menjadi duta amal untuk pasien kanker, menggunakan musiknya untuk menginspirasi dan mengumpulkan dana. Pada Desember 2025, ia mengadakan konser besar bertajuk “Lagu untuk Ibu”, mengundang musisi lain untuk bergabung. Di panggung, di bawah lentera yang bergoyang, ia menyanyikan lagu baru yang ditulis untuk Elyndra: “Ibu, nadaku abadi, cinta lo jadi laguku selamanya.” Penonton berdiri, tepuk tangan menggema, dan Tavindra tersenyum, air matanya jatuh perlahan.
Di kejauhan, Bandung malam bergema dengan kehidupan, tapi bagi Tavindra, dunia menyempit pada momen itu—lagu di ujung harapan, di mana penyesalannya berubah menjadi warisan cinta yang abadi untuk ibunya. Luka tetap ada, tapi musik yang ia mainkan kini menjadi cahaya, menerangi masa depan yang ia bangun dengan nama Elyndra Tharwyn di setiap nada.
Penyesalan Anak terhadap Ibu: Kisah Haru di Balik Kehilangan mengajarkan bahwa meski kehilangan meninggalkan luka, cinta dan kreativitas bisa menjadi jalan penyembuhan. Seperti Tavindra, Anda pun bisa mengubah penyesalan menjadi kekuatan—mulailah hari ini dengan menghargai orang tersayang sebelum terlambat!
Terima kasih telah menikmati cerita inspiratif ini! Bagikan kenangan Anda dengan ibu di kolom komentar atau ikuti kami untuk lebih banyak kisah emosional. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jaga selalu cinta dalam hati Anda!