Penyakit Paru-Paru Basah: Perjalanan Haru di Tengah Napas

Posted on

Di tengah napas yang semakin sesak, nyanyian menjadi pelita harapan yang menyala hingga akhir. Penyakit Paru-Paru Basah: Perjalanan Haru di Tengah Napas mengisahkan perjuangan Zoryntha Calindra, seorang guru seni yang melawan pneumonia dengan lagu penuh emosi. Artikel ini mengupas kekuatan seni dalam menghadapi penyakit mematikan, perjalanan emosional yang menginspirasi, dan pelajaran hidup dari cerita ini. Siap menemukan kekuatan di balik setiap nada?

Penyakit Paru-Paru Basah

Suara di Antara Sesak

Pagi di Semarang pada pukul 13:10 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara lembap yang bercampur aroma bawang goreng dari warung makan seberang rumah Zoryntha Calindra, seorang wanita berusia 31 tahun dengan rambut pirang panjang yang kini menipis akibat penyakitnya. Cahaya matahari siang menyelinap melalui jendela kaca patri tua, menerangi wajah pucatnya yang terpancar di cermin kecil di sudut kamar. Matanya yang biru tua, biasanya penuh kehidupan, kini redup, mencerminkan bayangan kelelahan dan rasa takut yang tak bisa disembunyikan.

Zoryntha, atau yang akrab dipanggil Zori oleh teman-temannya, adalah seorang guru seni di sekolah dasar lokal yang dikenal karena semangatnya mengajarkan anak-anak melukis dan bernyanyi. Tapi di balik senyumnya yang hangat di kelas, ia menyimpan rahasia yang kini menggerogoti tubuh dan jiwanya—diagnosis penyakit paru-paru basah, atau pneumonia akibat infeksi berat, yang baru ia terima sebulan lalu dari dokter di rumah sakit umum Semarang. Dokter memperingatkan bahwa kondisinya kritis; paru-parunya telah rusak parah, dan tanpa perawatan intensif, ia mungkin hanya memiliki waktu beberapa bulan.

Malam ini, Zori duduk di ranjang tua berderit, dikelilingi oleh buku-buku puisi dan alat musik kecil seperti seruling yang ia mainkan untuk anak-anaknya di kelas. Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, merasakan sesak napas yang semakin sering datang, disertai batuk kering yang meninggalkan rasa pahit di tenggorokannya. Di sudut meja, ada sebuah jurnal kulit biru peninggalan ayahnya, Eryndor, yang meninggal tiga tahun lalu karena penyakit serupa. Di halaman pertama, ayahnya menulis dengan tinta hitam: “Napas adalah nyanyian hidup, Zori. Jangan pernah berhenti menyanyikan lagumu.” Dulu, Zori mengisi jurnal itu dengan puisi dan lagu yang ia ciptakan, tapi kini, jurnal itu menjadi pengingat akan akhir yang menantinya.

Zori menghela napas dalam, meski terasa seperti menusuk, matanya tertuju pada jurnal itu. Jarinya hampir menyentuh sampulnya, tapi ia menarik tangan kembali, seolah takut membangkitkan kenangan yang menyakitkan. Sebagai gantinya, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk sahabatnya, Lysanthia Virelle, seorang perawat yang selalu jadi penutup luka emosinya.

Zori: Lysa, lo lagi apa? Gue butuh ngobrol bentar.
Lysanthia: Lagi istirahat di rumah sakit, Zori. Lo kenapa? Suara lo di pesen kok lelet banget.
Zori: Gue… cuma lagi susah napas. Pengen cerita, bisa ketemu nanti sore?
Lysanthia: Pasti, Zori. Gue bawa sup ayam hangat buat lo. Kita ngobrol di taman, ya?

Zori tersenyum tipis membaca pesan Lysanthia. Wanita berusia 32 tahun itu selalu punya cara untuk membawanya kembali ke kenyamanan, meski kini kenyamanan itu terasa semakin jauh. Tapi malam ini, bahkan kehangatan pesan sahabatnya tak cukup untuk mengusir rasa takut yang mengendap di dadanya.

Ia bangkit dari ranjang, berjalan perlahan menuju jendela, dan menatap pemandangan Semarang yang ramai dengan pasar tradisional dan suara klakson. Kota ini, dengan lawang sewunya yang megah dan udaranya yang penuh cerita, seolah menertawakan ketidakberdayaannya. Di luar sana, orang-orang menjalani hari mereka dengan penuh energi, sementara Zori merasa seperti menghitung detik menuju akhir napasnya.

“Apa artinya nyanyi kalau napasku tinggal sedikit?” tanyanya pada bayangannya di kaca jendela, suaranya penuh keputusasaan dan batuk kecil yang tak bisa ia tahan.

Rasa takut itu bukan hal baru. Sejak ayahnya meninggal, Zori sering bermimpi tentang penyakit yang perlahan merenggut napas orang yang dicintainya. Kini, ketika ia sendiri didiagnosis dengan penyakit paru-paru basah, mimpi itu menjadi kenyataan yang tak bisa dielakkan. Dokter menjelaskan bahwa infeksi ini telah menyebabkan peradangan parah, dan paru-parunya kini penuh cairan, membuat setiap napas terasa seperti beban berat. Zori ingat hari diagnosis itu—suara dokter yang terdengar jauh, wajah ayahnya yang muncul di pikirannya, dan tangisnya yang ia tahan di ruang perawatan yang dingin.

Di sudut kamar, ada seruling kayu tua yang ia terima dari ayahnya, alat yang selalu ia gunakan untuk mengajarkan anak-anak di kelasnya. Tapi kini, setiap kali ia mencobanya, suara yang keluar hanya lemah dan terputus, mencerminkan kondisinya. “Aku nggak akan bisa nyanyi lagi, ya?” gumamnya, air mata mengalir membasahi pipinya yang semakin kurus.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari email: “@HarmonyVoice: Zori, lagu yang lo ajarin anak-anak di sekolah bikin aku nangis. Kapan lo rekam lagi?” Pesan itu membuat hatinya bergetar antara haru dan rasa bersalah. Ia ingin bernyanyi lagi, ingin berbagi, tapi bagaimana ia bisa melanjutkan ketika napasnya sendiri menipis?

Malam semakin larut, dan Zori kembali ke ranjangnya. Kali ini, ia memberanikan diri mengambil jurnal kulit biru itu. Jarinya gemetar saat membuka halaman pertama, membaca tulisan tangan ayahnya. Air mata mengalir lebih deras, membasahi kertas yang sudah rapuh. Ia mengambil pena dari laci, lalu menulis satu kalimat sederhana: “Aku takut kehilangan napas, tapi aku ingin nyanyi sebelum akhir.”

Kata-kata itu seperti nada pertama yang lemah dari seruling. Zori terus menulis, membiarkan tangannya mengalir tanpa memikirkan tata bahasa atau kesempurnaan. Ia menulis tentang ayahnya, tentang malam-malam mereka bernyanyi di teras, tentang tawa mereka saat memainkan seruling bersama. Ia menulis tentang Semarang yang ramai, tentang sesak yang kini menjalar di dadanya, tentang ketakutan bahwa ia tak akan pernah mendengar suara anak-anaknya lagi.

Saat fajar mulai menyelinap di ufuk timur, Zori akhirnya berhenti. Halaman jurnal itu kini penuh dengan tinta hitam, catatan yang tak sempurna tapi penuh jiwa. Napasnya terasa lebih sesak, tapi ada sedikit ketenangan di hatinya, seolah beban yang ia pikul telah terbagi dengan kertas.

Tapi di sudut jiwanya, ada pertanyaan yang masih menggantung: Apa artinya nyanyi kalau napasku tinggal bayang? Dan tanpa ia sadari, perjalanan untuk menemukan jawaban itu baru saja dimulai.

Di luar rumah, hujan ringan kembali turun, membasahi genteng dan jalanan Semarang yang sepi. Tapi di dalam hati Zori, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada secercah harapan yang ikut bertumbuh di antara tetes-tetes tinta—mungkin, di ujung napas ini, ia masih bisa menyanyikan lagu terakhirnya.

Nada yang Terputus

Pagi di Semarang pada pukul 01:15 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara lembap yang bercampur aroma tanah basah setelah hujan semalam, menyelinap melalui jendela kaca patri rumah Zoryntha Calindra. Cahaya matahari siang menyelinap lembut, menerangi jurnal kulit biru yang masih terbuka di mejanya, penuh dengan tinta hitam yang mengering menjadi jejak emosi dari malam sebelumnya. Zori duduk di tepi ranjang, membungkus tubuhnya dengan selimut tebal berwarna cokelat, memandang jurnal itu dari kejauhan, seolah ragu apakah keberanian semalam akan bertahan hingga sore ini.

Hari ini, ia dijadwalkan bertemu Lysanthia Virelle di Taman Srigunting, tempat favorit mereka untuk berbagi cerita di tengah hiruk-pikuk kota. Zori mengenakan jaket abu-abu longgar untuk menyembunyikan tubuhnya yang semakin kurus, celana legging hitam yang kini terasa longgar di pinggang, dan sandal jepit sederhana yang ia pakai untuk kenyamanan. Rambut pirangnya yang menipis dibiarkan tergerai, menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Cermin kecil di sudut kamar memantulkan bayangan matanya yang redup—bukti sesak napas yang ia pendam semalam.

Di taman, suara angin yang bergoyang menyapa telinganya begitu ia tiba. Lysanthia sudah ada di sana, duduk di bangku kayu di bawah pohon mahoni tua, membawa termos sup ayam hangat yang masih mengepul. Wanita berusia 32 tahun itu memiliki rambut cokelat pendek yang rapi, kulitnya sedikit pucat karena jam kerja di rumah sakit, dan sepasang mata hijau yang selalu penuh perhatian. Begitu melihat Zori, ia melambai dengan senyum hangat.

“Zori, lo kelihatan lelet banget jalan tadi. Apa kabar?” tanya Lysanthia sambil menuang sup ayam ke mangkuk kecil, aroma hangatnya langsung membangkitkan ingatan masa kecil mereka.

Zori tersenyum tipis, menarik bangku, dan duduk perlahan agar tidak memicu batuk. “Cuma sesak, Lysa. Semalem gue nulis lagi, di jurnal Ayah. Bukan buat nyanyi, tapi… buat gue sendiri.”

Lysanthia mengangkat alis, terkejut tapi juga prihatin. “Serius? Di jurnal biru itu? Terus, rasanya gimana?”

Zori menatap mangkuk supnya, uap hangat membentuk spiral kecil di udara. “Seperti ketemu Ayah lagi, Lysa. Tapi juga… sakit. Kayak buka luka yang gue coba tutup.”

Lysanthia mendengarkan dengan penuh perhatian, tangannya berhenti mengaduk sup. “Lo tau nggak, Zori, dulu lo selalu bilang nyanyi itu hidup buat lo. Kapan lo mulai berhenti?”

Pertanyaan itu menusuk hati Zori seperti nada yang terputus tiba-tiba. Ia menunduk, mencoba mencari jawaban di antara kenangan yang bergulir. “Mungkin… sejak Ayah pergi. Nyanyi tuh kayak ngobrol sama Ayah, Lysa. Setiap lagu yang gue ciptain buat diri gue sendiri, rasanya kayak denger suara Ayah lagi. Dan itu terlalu berat buat diingat.”

Lysanthia mengangguk pelan, matanya penuh empati. “Tapi lo tau, luka yang lo biarin tertutup lama-lama bisa bikin lo sesak lebih parah, Zori. Mungkin nyanyi—atau nulis—itu cara lo hidup lagi, bukan cuma buat lo, tapi buat anak-anak di sekolah juga.”

Zori menghela napas, meski terasa seperti menusuk dadanya, lalu menyeruput sup yang hangat dan menenangkan. “Tapi dunia sekarang beda, Lysa. Siapa yang peduli sama lagu yang butuh jiwa? Orang maunya musik instan, video pendek, atau suara yang viral sehari. Gue ngerasa… cara Ayah ngajarin gue nyanyi udah nggak punya tempat.”

Lysanthia tersenyum kecil, tapi ada nada serius di suaranya. “Lo salah, Zori. Dunia mungkin cepet, tapi orang-orang masih nyari makna. Lo lihat sendiri, kan, berapa banyak email dari orang tua murid yang bilang anak mereka seneng banget sama lagu lo? Mereka haus, Zori. Haus sama sesuatu yang bener-bener nyentuh hati.”

Zori terdiam. Lysanthia punya cara untuk membuat dunia terasa lebih sederhana, tapi ia tahu perjuangannya sendiri tak semudah itu. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, “Gue pengen coba nyanyi lagi, Lysa. Tapi… gue takut. Takut nggak kuat, takut anak-anak kecewa, takut gue nggak bisa selesai.”

“Takut itu wajar,” jawab Lysanthia, mencondongkan tubuhnya ke depan. “Tapi lo nggak akan tahu kalo nggak coba. Lo punya suara, Zori. Lo punya lagu yang bikin orang ngerasa… hidup. Gunain itu.”

Sore itu, setelah berpisah dengan Lysanthia, Zori pulang dengan pikiran yang sedikit lebih jernih, tapi juga penuh pertanyaan. Di rumahnya, ia kembali membuka jurnal kulit biru itu. Kali ini, ia menulis tentang ide untuk merekam lagu terakhir—bukan untuk popularitas, tapi untuk mencatat napasnya yang tersisa. Ia membayangkan sebuah melodi sederhana, penuh emosi, yang bisa ia tinggalkan untuk anak-anak di sekolahnya.

Malam harinya, Zori mengambil seruling kayu tua itu, meski tangannya gemetar dan napasnya tersengal. Ia mencoba memainkan nada pelan, tapi suara yang keluar lemah dan terputus. Ia duduk di lantai, menatap seruling itu dengan air mata yang mengalir. “Maaf, Ayah… gue nggak bisa nyanyi lagi,” gumamnya, suaranya hampir hilang dalam isakan.

Tapi di tengah keputusasaan itu, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari email: “@HarmonyVoice: Zori, anak-anak di kelas lo nyanyi lagu ‘Pelangi Pagi’ setiap hari. Tolong rekam lagi, kami rindu suara lo!” Pesan itu seperti suntikan semangat. Zori mengambil jurnal lagi, menulis: “Aku akan coba lagi, meski napas ini menipis. Untuk Ayah, untuk anak-anak, untuk yang masih percaya.”

Malam semakin larut, dan Zori, dengan bantuan rekaman suara di ponselnya, mulai menyanyikan lagu sederhana yang ia ciptakan bertahun lalu. Suaranya lemah, sering terputus oleh batuk, tapi ia terus berusaha—mencatat setiap nada dengan hati. Saat fajar mulai menyelinap di ufuk timur, ia berhasil merekam satu bait penuh:

“Pelangi pagi menyapa jiwa,
Napas ini menyanyi untukmu,
Meski langit kelabu menutup,
Cahaya tetap bersamamu.”

Napasnya terasa lebih sesak, tapi ada kelegaan di hatinya, seolah ia telah menorehkan sepotong lagu di udara. Di luar rumah, hujan ringan kembali turun, membasahi jalanan Semarang yang sepi. Tapi di dalam hati Zori, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada sedikit cahaya yang mulai menyala di antara tetes-tetes tinta dan nada, menandakan perjalanan baru yang penuh tantangan di tengah napasnya yang menipis.

Harmoni di Ujung Sesak

Pagi di Semarang pada pukul 01:12 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara hangat yang bercampur aroma bawang goreng dari warung makan seberang rumah Zoryntha Calindra. Cahaya matahari siang menyelinap lembut melalui jendela kaca patri, menerangi jurnal kulit biru yang terbuka di mejanya, penuh dengan tinta hitam dan catatan rekaman lagu dari malam sebelumnya. Zori duduk di kursi rotan tua, menggenggam secangkir teh herbal hangat yang diresepkan dokter untuk meredakan sesak, dikelilingi oleh seruling kayu dan ponsel yang masih memutar ulang rekaman suaranya yang lemah. Di depannya, layar ponsel menampilkan pesan terbaru dari Lysanthia Virelle, yang menanyakan kondisinya setelah pertemuan sore kemarin.

Sejak malam di mana ia mulai merekam lagu terakhirnya, hidup Zori terasa seperti melodi yang perlahan memudar. Setiap hari, ia mencoba melanjutkan rekaman, meski napasnya sering terputus dan batuk kering yang menyiksa semakin sering datang. Email dan pesan dari orang tua murid, seperti dari @HarmonyVoice, terus berdatangan, memuji semangatnya dan memohon agar ia terus bernyanyi untuk anak-anak. Kata-kata itu membawa kehangatan di hatinya, tapi juga menambah tekanan untuk tetap bertahan di tengah paru-parunya yang semakin lemah.

Namun, di balik semangat itu, ada ketakutan yang terus mengintai seperti bayang di sudut ruangan. Zori masih dihantui pertanyaan: Apa aku bisa selesaikan lagu ini sebelum napasku habis? Bagaimana kalau aku jatuh sebelum bisa memberikan sesuatu untuk anak-anak? Malam sebelumnya, ia terbangun karena sesak yang tak tertahankan, dan untuk sesaat, ia berpikir untuk menyerah dan menyimpan serulingnya selamanya.

Pagi ini, Zori mencoba mengusir ketakutan itu dengan menulis di jurnal. Ia menuangkan daftar kekhawatirannya, satu per satu, seperti ritual untuk melepaskan beban: Takut nggak selesai. Takut anak-anak kecewa. Takut napas ini berhenti sebelum lagu selesai. Setelah menulis, ia merasa sedikit lebih tenang, tapi sesak di dadanya dan emosi yang bergolak masih menggantung seperti awan kelabu.

Ponselnya bergetar lagi, menampilkan pesan dari Lysanthia.

Lysanthia: Zori, lo oke nggak? Gue denger lo rekam lagu lagi semalem. Keren banget, tapi jangan kelelahan ya!
Zori: Lysa, gue coba bertahan. Tapi sesaknya… kadang bikin gue pengen nyerah.
Lysanthia: Lo kuat, Zori. Gue bakal bantu rekam bareng lo besok. Gue bawa alat dari rumah sakit, kita buat lagu ini spesial.

Zori tersenyum kecil membaca pesan itu. Lysanthia selalu punya cara untuk membangkitkan semangatnya, meski ia tahu sahabatnya juga menyimpan kekhawatiran di balik kata-katanya. Dengan tenaga yang tersisa, ia mengambil seruling dan mencoba memainkan nada pelan, tapi suara yang keluar terputus oleh batuk hebat. Ia duduk di lantai, menatap seruling itu dengan air mata yang mengalir.

“Maaf, Ayah… gue nggak sekuat dulu,” gumamnya, suaranya hampir hilang dalam isakan.

Namun, di tengah keputusasaan itu, ia teringat pesan ayahnya di jurnal: “Napas adalah nyanyian hidup, Zori. Jangan pernah berhenti menyanyikan lagumu.” Kata-kata itu seperti dorongan untuk melanjutkan. Zori mengambil ponselnya, memutar rekaman lagi, dan mulai bernyanyi dengan suara lemah—mencoba menambahkan bait baru untuk lagu “Pelangi Pagi.” Setiap nada terasa seperti pertarungan, tapi ia terus berusaha, didukung oleh kenangan akan tawa anak-anak di kelasnya.

Sore itu, Lysanthia tiba dengan alat rekam portabel dari rumah sakit dan tabung oksigen kecil untuk membantu Zori bernapas. Ia duduk di samping Zori, membantunya memegang seruling dan mikrofon saat napasnya terlalu lemah. “Kita bikin ini bareng, Zori. Lagu ini buat Ayah, buat anak-anak,” kata Lysanthia, suaranya penuh kelembutan. Bersama, mereka merekam—Lysanthia mengatur irama, sementara Zori menyanyikan nada dengan sisa tenaganya. Proses itu penuh tangis dan senyum, tapi juga penuh kebersamaan yang menghangatkan hati.

Hari-hari berikutnya, Zori menghabiskan waktunya di antara istirahat dan rekaman. Ia menulis di jurnal setiap malam, mencatat perkembangan lagunya dan perasaannya. Ia juga mulai merekam pesan suara untuk anak-anak di sekolahnya, berbagi cerita tentang ayahnya, tentang mimpinya, dan tentang apa yang ia harapkan dari mereka setelah ia pergi. “Nak-nak, terus nyanyi ya. Suara kalian adalah cahayaku,” katanya dalam salah satu rekaman, suaranya lemah tapi penuh cinta.

Pada hari keenam setelah rekaman dimulai, Zori mengadakan sesi kecil dengan anak-anak melalui video call, didampingi Lysanthia. Dengan bantuan tabung oksigen, ia menyanyikan bagian terbaru lagu “Pelangi Pagi” untuk mereka. Wajah-wajah ceria anak-anak di layar menunjukkan ekspresi haru, dan beberapa bahkan ikut bernyanyi sambil menangis. Salah satu anak, bernama Ardi, mengangkat tangan dan berkata, “Bu Zori, suara Bu bikin aku pengen nyanyi terus!”

Sesi itu membuat Zori tersenyum, meski napasnya semakin pendek. Setelah panggilan selesai, Lysanthia mengirim pesan pribadi di chat. “Zori, aku bangga sama lo. Anak-anak nggak cuma denger lagu, tapi juga hati lo. Terima kasih udah kuat.” Pesan itu membuat Zori menangis, tapi juga memberinya kekuatan untuk melanjutkan.

Malam itu, Zori kembali ke ranjangnya. Dengan bantuan Lysanthia, ia menyelesaikan rekaman lagu terakhirnya—sebuah versi penuh “Pelangi Pagi” yang lembut dan penuh emosi. Napasnya semakin sesak, dan batuknya semakin hebat, tapi ia tersenyum. “Ini cukup, Lysa. Ini cukup buat aku,” katanya pelan, tangannya menahan seruling untuk terakhir kalinya.

Di luar rumah, hujan ringan turun lagi, membasahi jalanan Semarang yang sepi. Di dalam hati Zori, ada kedamaian kecil yang muncul di antara nada-nada lagunya, meski ia tahu perjuangannya belum selesai. Di sudut jiwanya, ada bisikan: Ini baru langkah, Zori. Apa yang terjadi kalau aku nggak bisa lihat lagu ini sampai ke anak-anak? Tapi untuk saat ini, ia memilih menikmati harmoni yang masih ada, setetes demi setetes, di udara napasnya yang menipis.

Lagu yang Abadi

Pagi di Semarang pada pukul 01:13 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara hangat yang bercampur aroma kopi dari warung seberang rumah Zoryntha Calindra. Cahaya matahari siang menyelinap melalui jendela kaca patri yang sedikit terbuka, menerangi jurnal kulit biru yang terbuka di mejanya, penuh dengan tinta hitam, catatan rekaman, dan pesan terakhir yang ia tulis semalam. Zori duduk di ranjang tua berderit, tubuhnya kini sangat lemah, menggenggam secangkir teh herbal yang sudah dingin, dikelilingi oleh seruling kayu dan ponsel yang memutar ulang lagu “Pelangi Pagi” untuk terakhir kalinya. Di sisinya, Lysanthia Virelle duduk dengan wajah penuh kesedihan, memegang tangan sahabatnya yang semakin dingin.

Sejak malam di mana Zori dan Lysanthia menyelesaikan rekaman lagu terakhirnya, hidup Zori terasa seperti nada yang perlahan memudar menuju keheningan. Lagu “Pelangi Pagi” kini selesai, sebuah karya penuh emosi yang mencerminkan harapan, kesedihan, dan cinta di tengah penderitaannya. Pesan dari orang tua murid dan anak-anak, seperti dari @HarmonyVoice, terus berdatangan, memuji kekuatan dan keberaniannya, tapi juga memohon agar ia tetap bertahan. Kata-kata itu membawa kehangatan di hatinya, namun napasnya semakin tipis, seolah siap meninggalkannya kapan saja.

Namun, di balik pencapaian itu, Zori menghadapi realitas yang tak bisa dielakkan. Sesak di dadanya kini konstan, bahkan dengan tabung oksigen yang diberikan Lysanthia, dan batuknya semakin parah hingga kadang mengeluarkan darah. Dokter yang berkunjung pagi ini memberi peringatan: waktu yang tersisa mungkin hanya hitungan jam, bukan hari. Lysanthia, dengan air mata yang ia coba tahan, berjanji akan tetap di sisinya hingga napas terakhirnya.

Pagi ini, Zori merasa sangat lemah. Ia membuka jurnal, tapi jarinya tak mampu lagi memegang pena dengan kuat. Ia menatap Lysanthia, yang kini mengambil alih menulis atas permintaannya. “Tulis ini, Lysa… aku ingin meninggalkan lagu ini,” bisiknya, suaranya hampir hilang dalam napas tersengal. Lysanthia mengangguk, air matanya jatuh ke kertas saat ia menulis: “Napasku menipis, tapi laguku tetap hidup. Lysa, jaga ‘Pelangi Pagi’ ini, seperti Ayah jaga aku dulu. Untuk anak-anak, untuk semua yang percaya.”

Ponsel di meja bergetar, menampilkan panggilan dari kepala sekolah tempat Zori mengajar. Lysanthia mengangkatnya atas nama Zori. “Halo, ini Lysanthia, sahabat Zori. Iya, dia masih di sini, tapi kondisinya sangat lemah. Oh… terima kasih.” Ia menutup telepon dengan ekspresi campur aduk. “Zori, sekolah mau mainkan lagu lo di upacara besok. Mereka bilang ini akan jadi warisan suara Semarang.”

Zori tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Bagus… aku ingin anak-anak denger suaraku,” katanya pelan. Lysanthia mengangguk, lalu membantunya duduk lebih nyaman dengan bantal tambahan.

Malam itu, dengan bantuan Lysanthia, Zori mendengarkan rekaman lagu terakhirnya untuk terakhir kalinya. Proses itu penuh tangis dan kenangan, dengan Lysanthia menceritakan hari-hari mereka bersama—saat Zori mengajarinya bernyanyi di teras rumah, saat mereka tertawa di bawah hujan, dan saat ayahnya memainkan seruling untuk mereka. Setiap nada terasa seperti ucapan selamat tinggal, tapi juga salam perpisahan yang penuh cinta.

Besok paginya, tepat pukul 01:13 WIB, Zori terbangun dengan napas yang sangat lemah. Lysanthia duduk di sisinya, memegang tangannya erat. “Zori, lo kuat… lo udah kasih lagu yang abadi,” bisiknya, air matanya tak tertahankan. Zori menatap sahabatnya, lalu jurnal, lalu seruling yang kini terdiam. “Lysa… aku pergi dengan damai. Jaga lagu ini… jaga anak-anak,” katanya, suaranya hampir tak terdengar.

Beberapa menit kemudian, napas Zori berhenti. Lysanthia menangis tersedu, memeluk tubuh sahabatnya yang kini tenang. Di luar, hujan turun perlahan, seolah menyapa kepergiannya dengan lembut. Rekaman “Pelangi Pagi” diputar pelan dari ponsel, mengisi ruangan dengan nada-nada yang penuh jiwa.

Dua hari kemudian, upacara di sekolah Zori diadakan dengan lagu “Pelangi Pagi” sebagai bagian utama. Ratusan anak dan orang tua berkumpul, menyanyikan lagu itu bersama, dengan suara Zori yang lemah tapi penuh emosi sebagai latar. Ardi, salah satu muridnya, berdiri di depan dan berkata, “Bu Zori sekarang jadi bintang, tapi suaranya masih di sini.” Lysanthia berdiri di samping pengeras suara, menangis sambil tersenyum, memegang jurnal biru yang kini menjadi warisan Zori.

Lagu itu akhirnya direkam ulang oleh komunitas lokal dan disebarkan secara gratis, menjadi anthem harapan di Semarang. Lysanthia mendirikan yayasan seni bernama “Nada Zori,” yang membantu anak-anak dengan penyakit kronis untuk belajar musik dan menyanyi. Setiap tahun, yayasan mengadakan konser, dan rekaman suara Zori menjadi bagian tak terpisahkan, mengingatkan semua orang tentang kekuatan nyanyian di tengah penderitaan.

Malam itu, di teras rumahnya, Lysanthia duduk dengan jurnal Zori di pangkuannya, memandang langit Semarang yang cerah dengan bintang-bintang yang bersinar terang. Ia menulis satu kalimat terakhir: “Zori, lagumu masih menyanyi, dan aku akan jaga nadamu selamanya.” Untuk pertama kalinya setelah kepergian Zori, ia merasa bahwa sahabatnya tidak benar-benar pergi—suara dan lagunya tetap hidup di setiap napas yang diambil anak-anak di kota itu.

Di kejauhan, suara kota perlahan mereda, dan Lysanthia tahu bahwa warisan Zori akan terus bersinar, menerangi kegelapan yang pernah ia hadapi, dan menjadi inspirasi bagi generasi yang datang dengan setiap nada yang terdengar.

Penyakit Paru-Paru Basah: Perjalanan Haru di Tengah Napas mengajarkan bahwa bahkan di ujung penderitaan, nyanyian dan cinta dapat meninggalkan warisan abadi. Seperti Zoryntha, Anda pun bisa menemukan kekuatan untuk mengekspresikan diri dan menginspirasi orang lain, meski dalam tantangan terberat. Mulailah bernyanyi atau berkarya hari ini, dan jadilah cahaya bagi dunia!

Terima kasih telah menikmati kisah mengharukan ini! Ambil seruling, pena, atau alat seni Anda sekarang, dan mulailah menciptakan melodi Anda sendiri. Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar atau ikuti kami untuk lebih banyak inspirasi menyentuh hati. Sampai jumpa di artikel berikutnya!

Leave a Reply