Daftar Isi
Di tengah bayang penyakit yang menggerogoti, seni menjadi cahaya harapan yang menyala hingga akhir. Penyakit Ini Akhir Hidupku mengisahkan perjalanan Kaelithra Zorayne, seorang seniman yang menghadapi kanker pankreas dengan lukisan penuh emosi. Artikel ini mengupas perjuangan emosional di ujung waktu, kekuatan seni sebagai penyembuh jiwa, dan pelajaran inspiratif dari cerita ini untuk menghadapi kesulitan hidup. Siap menemukan kekuatan dalam kelemahan?
Penyakit Ini Akhir Hidupku
Bayang di Cermin
Pagi di Yogyakarta pada pukul 10:25 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara sejuk yang bercampur aroma tanah basah setelah hujan ringan semalam. Di sebuah rumah sederhana di kawasan Kotagede, sinar matahari pagi menyelinap melalui jendela kayu tua, menerangi wajah pucat Kaelithra Zorayne, seorang wanita berusia 29 tahun dengan rambut pendek berwarna cokelat tua yang mulai rontok di ujung-ujungnya. Matanya yang hijau pucat, biasanya penuh semangat, kini terlihat redup, mencerminkan bayangan lelah yang tak bisa disembunyikan.
Kaelithra, atau yang akrab dipanggil Kaela oleh keluarganya, adalah seorang seniman lokal yang dikenal karena lukisan-lukisannya yang penuh warna dan emosi di galeri kecil dekat Malioboro. Tapi di balik kehidupan artistiknya yang tampak ceria, ia menyimpan rahasia yang kini menggerogoti tubuh dan jiwanya—diagnosis kanker pankreas stadium akhir yang baru ia terima dua bulan lalu dari dokter di rumah sakit terdekat. Dokter memberi estimasi waktu hidupnya: enam bulan, mungkin kurang, tergantung kekuatan fisiknya.
Malam ini, Kaela duduk di depan cermin tua yang penuh goresan, dikelilingi oleh kuas-kuas kering dan kanvas kosong yang belum disentuh selama berminggu-minggu. Tangannya gemetar saat menyentuh wajahnya, merasakan tulang pipi yang semakin menonjol akibat penurunan berat badan yang drastis. Di sudut meja, ada sebuah buku harian kulit hitam yang ia terima dari ibunya, Lysandra, sebelum ibunya meninggal lima tahun lalu karena penyakit yang sama. Di halaman pertama, ibunya menulis dengan tinta biru: “Catat setiap detik, Kaela. Hidup adalah lukisan yang harus diselesaikan.” Dulu, Kaela mengisi buku itu dengan sketsa dan catatan tentang harapan dan mimpinya. Tapi kini, buku itu menjadi pengingat akan akhir yang tak terelakkan.
Kaela menghela napas panjang, matanya tertuju pada buku harian itu. Jarinya hampir menyentuh sampulnya, tapi ia menarik tangan kembali, seolah takut membuka pintu menuju kenangan yang menyakitkan. Sebagai gantinya, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk adiknya, Tharindra Veloris, seorang mahasiswa seni yang selalu jadi penutup luka emosinya.
Kaela: Thari, lo lagi apa? Gue butuh ngobrol bentar.
Tharindra: Lagi sketsa di kampus, Kak. Lo kenapa? Suara lo di pesen kok sedih banget.
Kaela: Gue… cuma lagi mikirin banyak hal. Bisa ketemu nanti sore?
Tharindra: Pasti, Kak. Gue bawa bakpia favorit lo. Kita ngobrol di taman, ya?
Kaela tersenyum tipis membaca pesan Tharindra. Pria berusia 22 tahun itu selalu punya cara untuk membawanya kembali ke cahaya, meski kini cahaya itu terasa semakin redup. Tapi malam ini, bahkan kehangatan pesan adiknya tak cukup untuk mengusir rasa takut yang mengendap di dadanya.
Ia bangkit dari kursi, berjalan menuju jendela, dan menatap pemandangan Yogyakarta yang ramai dengan sepeda motor dan pedagang kaki lima. Kota ini, dengan candi-candinya yang megah dan udaranya yang penuh cerita, seolah menertawakan ketidakberdayaannya. Di luar sana, orang-orang menjalani hari mereka dengan penuh semangat, sementara Kaela merasa seperti menghitung detik menuju akhir.
“Apa artinya hidup kalau cuma buat nunggu mati?” tanyanya pada bayangannya di kaca jendela, suaranya penuh keputusasaan.
Rasa takut itu bukan hal baru. Sejak ibunya meninggal, Kaela sering bermimpi tentang penyakit yang perlahan menggerogoti tubuh orang yang dicintainya. Kini, ketika ia sendiri didiagnosis dengan kanker pankreas, mimpi itu menjadi kenyataan yang tak bisa dihindari. Dokter menjelaskan bahwa penyakit ini sulit dideteksi dini dan sering kali ditemukan saat sudah terlambat. Kaela ingat hari diagnosis itu—suara dokter yang terdengar jauh, wajah ibunya yang muncul di pikirannya, dan tangisnya yang ia tahan di ruang tunggu yang dingin.
Di sudut ruangan, ada kanvas setengah jadi yang ia kerjakan sebelum diagnosisnya dikonfirmasi. Lukisan itu menggambarkan matahari terbenam di atas sawah, penuh warna oranye dan kuning yang cerah. Tapi kini, setiap kali ia menatapnya, ia hanya melihat kegelapan yang perlahan menyelimuti. “Aku nggak akan selesaiin ini, ya?” gumamnya, air mata mengalir tanpa ia sadari.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari email: “@ArtSoul: Kaela, lukisan lo di galeri minggu lalu bikin aku nangis. Kapan pameran berikutnya?” Pesan itu membuat hatinya bergetar antara haru dan rasa bersalah. Ia ingin melukis lagi, ingin berbagi, tapi bagaimana ia bisa melanjutkan ketika tubuhnya sendiri menyerah?
Malam semakin larut, dan Kaela kembali ke mejanya. Kali ini, ia memberanikan diri mengambil buku harian kulit hitam itu. Jarinya gemetar saat membuka halaman pertama, membaca tulisan tangan ibunya. Air mata mengalir lebih deras, membasahi kertas yang sudah rapuh. Ia mengambil pensil dari laci, lalu menulis satu kalimat sederhana: “Aku takut, tapi aku ingin melukis hidupku sebelum akhir.”
Kata-kata itu seperti goresan pertama di kanvas kosong. Kaela terus menulis, membiarkan tangannya mengalir tanpa memikirkan tata bahasa atau kesempurnaan. Ia menulis tentang ibunya, tentang hari-hari mereka di studio lukis kecil, tentang tawa mereka saat mencampur warna. Ia menulis tentang Yogyakarta yang indah, tentang rasa sakit yang kini menjalar di perutnya, tentang ketakutan bahwa ia tak akan pernah melihat matahari terbit lagi.
Saat fajar mulai menyelinap di ufuk timur, Kaela akhirnya berhenti. Halaman buku harian itu kini penuh dengan tinta dan coretan, catatan yang tak sempurna tapi penuh jiwa. Napasnya terasa lebih pendek, tapi ada sedikit ketenangan di hatinya, seolah beban yang ia pikul telah terbagi dengan kertas.
Tapi di sudut jiwanya, ada pertanyaan yang masih menggantung: Apa artinya melukis hidup kalau akhirnya cuma jadi abu? Dan tanpa ia sadari, perjalanan untuk menemukan jawaban itu baru saja dimulai.
Di luar rumah, hujan ringan kembali turun, membasahi genteng dan jalanan Yogyakarta yang sepi. Tapi di dalam hati Kaela, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada secercah harapan yang ikut bertumbuh di antara tetes-tetes tinta—mungkin, di ujung waktu ini, ia masih bisa menciptakan sesuatu yang abadi.
Lukisan yang Terhenti
Pagi di Yogyakarta pada pukul 10:27 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara sejuk yang bercampur aroma bunga kamboja dari halaman rumah Kaelithra Zorayne. Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui jendela kayu tua, menerangi buku harian kulit hitam yang masih terbuka di mejanya, penuh dengan tinta dan coretan emosi dari malam sebelumnya. Kaela duduk di tepi ranjang, membungkus tubuhnya dengan selimut tebal berwarna abu-abu, memandang buku itu dari kejauhan, seolah ragu apakah keberanian semalam akan bertahan hingga siang ini.
Hari ini, ia dijadwalkan bertemu Tharindra Veloris di Taman Balekambang, tempat favorit mereka untuk berbagi cerita di tengah gemerlap kota. Kaela mengenakan sweater hijau tua yang longgar untuk menyembunyikan tubuhnya yang semakin kurus, celana jeans hitam yang kini terasa longgar di pinggang, dan sepatu kets putih yang sudah memudar warnanya. Rambut pendeknya yang rontok dibiarkan tergerai, menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Cermin kecil di sudut kamar memantulkan bayangan matanya yang redup—bukti rasa sakit yang ia pendam semalam.
Di taman, suara burung berkicau menyapa telinganya begitu ia tiba. Tharindra sudah ada di sana, duduk di bangku kayu di bawah pohon beringin tua, membawa kotak bakpia hangat yang masih mengepul. Pria berusia 22 tahun itu memiliki rambut hitam panjang yang diikat kuncir rendah, kulitnya sedikit gelap karena sering menggambar di luar ruangan, dan sepasang mata cokelat yang selalu penuh kehangatan. Begitu melihat Kaela, ia melambai dengan senyum ceria.
“Kakak, lo kelihatan capek banget. Apa kabar?” tanya Tharindra sambil mendorong kotak bakpia ke arahnya, aroma manisnya langsung membangkitkan ingatan masa kecil mereka.
Kaela tersenyum tipis, menarik bangku, dan duduk. “Cuma kurang tidur, Thari. Semalem gue nulis lagi, di buku harian Ibu. Bukan buat lukis, tapi… buat gue sendiri.”
Tharindra mengangkat alis, terkejut tapi juga prihatin. “Serius? Di buku hitam itu? Terus, rasanya gimana?”
Kaela menatap bakpia di tangannya, uap hangat membentuk spiral kecil di udara. “Seperti ketemu Ibu lagi, Thari. Tapi juga… sakit. Kayak buka luka yang gue coba lupain.”
Tharindra mendengarkan dengan penuh perhatian, tangannya berhenti mengambil bakpia. “Lo tau nggak, Kak, dulu lo selalu bilang lukis itu nyanyi buat lo. Kapan lo mulai diam?”
Pertanyaan itu menusuk hati Kaela seperti goresan kuas yang terlalu keras. Ia menunduk, mencoba mencari jawaban di antara kenangan yang bergulir. “Mungkin… sejak Ibu pergi. Lukis tuh kayak ngobrol sama Ibu, Thari. Setiap goresan yang gue buat buat diri gue sendiri, rasanya kayak denger suara Ibu lagi. Dan itu terlalu berat buat diingat.”
Tharindra mengangguk pelan, matanya penuh empati. “Tapi lo tau, luka yang lo biarin tertutup lama-lama bisa jadi racun, Kak. Mungkin lukis—atau nulis—itu cara lo nyanyi lagi, bukan cuma buat lo, tapi buat gue dan yang lain juga.”
Kaela menghela napas, menggigit bakpia yang rasanya manis tapi pahit di lidahnya. “Tapi dunia sekarang beda, Thari. Siapa yang peduli sama lukisan yang butuh waktu? Orang maunya foto instan, video pendek, atau seni yang viral sehari. Gue ngerasa… cara Ibu ngajarin gue lukis udah nggak ada tempat.”
Tharindra tersenyum kecil, tapi ada nada serius di suaranya. “Lo salah, Kak. Dunia mungkin cepet, tapi orang-orang masih nyari makna. Lo lihat sendiri, kan, berapa banyak yang email lo minta pameran baru? Mereka haus, Kak. Haus sama sesuatu yang bener-bener nyentuh jiwa, bukan cuma hiburan sesaat.”
Kaela terdiam. Tharindra punya cara untuk membuat dunia terasa lebih sederhana, tapi ia tahu perjuangannya sendiri tak semudah itu. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, “Gue pengen coba lukis lagi, Thari. Tapi… gue takut. Takut nggak kuat, takut orang nggak peduli, takut gue nggak bisa selesai.”
“Takut itu wajar,” jawab Tharindra, mencondongkan tubuhnya ke depan. “Tapi lo nggak akan tahu kalo nggak coba. Lo punya sesuatu, Kak. Lo punya goresan yang bikin orang ngerasa… hidup. Gunain itu.”
Sore itu, setelah berpisah dengan Tharindra, Kaela pulang dengan pikiran yang sedikit lebih jernih, tapi juga penuh pertanyaan. Di rumahnya, ia kembali membuka buku harian kulit hitam itu. Kali ini, ia menulis tentang ide untuk melukis lagi—bukan untuk pameran, tapi untuk mencatat hidupnya yang tersisa. Ia membayangkan sebuah kanvas besar, penuh warna yang mencerminkan emosinya, sebuah lukisan yang menjadi warisan bagi Tharindra.
Malam harinya, Kaela membuka kotak cat air tua yang penuh debu, mengambil kuas, dan mendekati kanvas setengah jadi yang tergeletak di sudut ruangan. Ia memulai dengan warna kuning pucat, mencoba menggambarkan matahari terbenam yang ia ingat bersama ibunya. Tapi tangannya gemetar, dan rasa sakit di perutnya kembali menyerang, memaksanya berhenti. Ia duduk di lantai, menatap kanvas itu dengan air mata yang mengalir.
“Maaf, Ibu… gue nggak kuat,” gumamnya, suaranya hampir hilang dalam isakan.
Tapi di tengah keputusasaan itu, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari email: “@ArtSoul: Kaela, tolong jangan berhenti lukis. Lukisan lo di galeri minggu lalu bikin aku ngerasa hidup lagi. Kita butuh goresan lo.” Pesan itu seperti suntikan semangat. Kaela mengambil buku harian lagi, menulis: “Aku akan coba lagi, meski sakit. Untuk Ibu, untuk Thari, untuk yang masih percaya.”
Malam semakin larut, dan Kaela kembali ke kanvasnya. Ia melukis dengan perlahan, setiap goresan penuh dengan emosi mentah—kuning untuk harapan, biru untuk kesedihan, merah untuk rasa sakit. Saat fajar mulai menyelinap di ufuk timur, ia berhasil menyelesaikan bagian kecil lukisan itu: sebuah matahari yang tenggelam di tengah lautan gelap, tapi masih menyisakan cahaya tipis. Napasnya terasa lebih pendek, tapi ada kelegaan di hatinya, seolah ia telah menorehkan sepotong hidupnya di kanvas.
Tapi di sudut jiwanya, ada pertanyaan yang masih menggantung: Apa artinya lukisan ini kalau aku nggak bisa selesai sebelum akhir? Di luar rumah, hujan ringan kembali turun, membasahi jalanan Yogyakarta yang sepi. Tapi di dalam hati Kaela, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada sedikit cahaya yang mulai menyala di antara tetes-tetes tinta dan cat, menandakan perjalanan baru yang penuh tantangan.
Warna di Tengah Rasa Sakit
Pagi di Yogyakarta pada pukul 01:10 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara hangat yang bercampur aroma tanah basah setelah hujan semalam, menyelinap melalui jendela kayu rumah Kaelithra Zorayne. Cahaya matahari siang menyelinap lembut, menerangi buku harian kulit hitam yang terbuka di mejanya, penuh dengan tinta dan cat yang telah mengering menjadi jejak emosi dari malam sebelumnya. Kaela duduk di kursi rotan tua, menggenggam secangkir teh herbal hangat yang diresepkan dokter untuk meredakan nyeri, dikelilingi oleh kuas-kuas yang tersebar dan kanvas setengah jadi yang kini mulai terisi warna. Di depannya, ponsel menampilkan pesan terbaru dari Tharindra Veloris, yang menanyakan kondisinya setelah pertemuan sore kemarin.
Sejak malam di mana ia mulai melukis lagi, hidup Kaela terasa seperti gelombang yang tak bisa ia kendalikan. Setiap hari, ia mencoba melanjutkan lukisan matahari terbenam itu, meski tangannya sering gemetar dan rasa sakit di perutnya semakin sering datang. Email dan pesan dari penggemar seni, seperti dari @ArtSoul, terus berdatangan, memintanya untuk melanjutkan karya-karyanya. Kata-kata itu membawa kehangatan di hatinya, tapi juga menambah tekanan untuk tetap bertahan di tengah tubuhnya yang semakin lemah.
Namun, di balik semangat itu, ada ketakutan yang terus mengintai seperti bayang di sudut ruangan. Kaela masih dihantui pertanyaan: Apa aku bisa selesaikan lukisan ini sebelum akhir? Bagaimana kalau aku jatuh sebelum bisa memberikan sesuatu untuk Thari? Malam sebelumnya, ia terbangun karena nyeri yang tak tertahankan, dan untuk sesaat, ia berpikir untuk menyerah.
Pagi ini, Kaela mencoba mengusir ketakutan itu dengan menulis di buku harian. Ia menuangkan daftar kekhawatirannya, satu per satu, seperti ritual untuk melepaskan beban: Takut nggak selesai. Takut Thari kehilangan aku tanpa warisan. Takut penyakit ini menang sebelum aku bisa melawan. Setelah menulis, ia merasa sedikit lebih tenang, tapi rasa sakit fisik dan emosional itu masih menggantung seperti awan kelabu.
Ponselnya bergetar lagi, menampilkan pesan dari Tharindra.
Tharindra: Kak, lo oke nggak? Gue denger lo nulis dan lukis lagi semalem. Bangga banget sama lo!
Kaela: Thari, gue coba bertahan. Tapi sakitnya… kadang bikin gue pengen nyerah.
Tharindra: Lo kuat, Kak. Gue bakal bantu apa aja. Besok gue dateng bawa cat baru, kita lanjutin bareng, ya?
Kaela tersenyum kecil membaca pesan itu. Tharindra selalu punya cara untuk membangkitkan semangatnya, meski ia tahu adiknya juga menyimpan kekhawatiran di balik senyumnya. Dengan tenaga yang tersisa, ia bangkit dari kursi dan mendekati kanvasnya. Ia mengambil kuas, mencoba menorehkan warna biru tua untuk lautan di lukisannya, tapi tangannya gemetar hebat, dan ia terpaksa berhenti lagi.
“Maaf, Ibu… gue nggak sekuat dulu,” gumamnya, air mata mengalir membasahi pipinya.
Namun, di tengah keputusasaan itu, ia teringat pesan ibunya di buku harian: “Hidup adalah lukisan yang harus diselesaikan.” Kata-kata itu seperti dorongan untuk melanjutkan. Kaela mengambil cat akrilik merah, warna yang melambangkan rasa sakitnya, dan mulai menorehkan goresan di kanvas. Setiap sentuhan kuas terasa seperti pertarungan, tapi ia terus melukis—menggabungkan warna kuning pucat untuk harapan, hijau untuk kenangan, dan hitam untuk bayang kematian yang semakin dekat.
Sore itu, Tharindra tiba dengan kotak cat baru dan kanvas kecil. Ia duduk di samping Kaela, membantunya memegang kuas saat tangannya terlalu lemah. “Kita bikin ini bareng, Kak. Lukisan ini buat Ibu, buat kita,” kata Tharindra, suaranya penuh kelembutan. Bersama, mereka melukis—Tharindra mengisi detail langit, sementara Kaela menambahkan sentuhan emosi di laut. Proses itu penuh tawa dan isak, tapi juga penuh kebersamaan yang menghangatkan hati.
Hari-hari berikutnya, Kaela menghabiskan waktunya di antara istirahat dan lukisan. Ia menulis di buku harian setiap malam, mencatat perkembangan lukisannya dan perasaannya. Ia juga mulai merekam pesan suara untuk Tharindra, berbagi cerita tentang ibunya, tentang mimpinya, dan tentang apa yang ia harapkan dari adiknya setelah ia pergi. “Thari, jaga lukisan ini. Ini bagian dari aku,” katanya dalam salah satu rekaman, suaranya lemah tapi penuh cinta.
Pada hari keenam setelah workshop dimulai, Kaela mengadakan pertemuan kecil dengan penggemar seni melalui video call. Dengan bantuan Tharindra, ia menunjukkan kemajuan lukisannya, menceritakan perjuangannya melawan penyakit. Wajah-wajah di layar menunjukkan ekspresi haru, dan beberapa bahkan menangis saat Kaela berkata, “Lukisan ini mungkin nggak selesai, tapi aku harap kalian lihat hidup di setiap goresannya.”
Salah satu peserta, seorang wanita bernama Vionette Seraphis, mengirim pesan pribadi setelah acara. “Kaela, aku kagum sama kekuatan lo. Aku kehilangan ibuku juga, dan lukisan lo bikin aku ngerasa nggak sendirian. Terima kasih.” Pesan itu membuat Kaela menangis, tapi juga memberinya kekuatan untuk melanjutkan.
Malam itu, Kaela kembali ke kanvasnya. Dengan bantuan Tharindra, ia menyelesaikan bagian tengah lukisan—matahari yang hampir tenggelam, dikelilingi lautan gelap yang perlahan berubah menjadi warna harapan. Napasnya semakin pendek, dan rasa sakit di perutnya semakin hebat, tapi ia tersenyum. “Ini cukup, Thari. Ini cukup buat aku,” katanya pelan, tangannya menahan kuas untuk terakhir kalinya.
Di luar rumah, hujan ringan turun lagi, membasahi jalanan Yogyakarta yang sepi. Di dalam hati Kaela, ada kedamaian kecil yang muncul di antara warna-warna lukisannya, meski ia tahu perjuangannya belum selesai. Di sudut jiwanya, ada bisikan: Ini baru langkah, Kaela. Apa yang terjadi kalau aku nggak bisa lihat lukisan ini selesai? Tapi untuk saat ini, ia memilih menikmati cahaya yang masih ada, setitik demi setitik, di kanvas hidupnya.
Warisan di Ujung Cahaya
Pagi di Yogyakarta pada pukul 01:08 WIB, Senin, 16 Juni 2025, membawa udara hangat yang bercampur aroma kopi dari warung seberang rumah Kaelithra Zorayne. Cahaya matahari siang menyelinap melalui jendela kayu yang sedikit terbuka, menerangi buku harian kulit hitam yang terbuka di mejanya, penuh dengan tinta, cat, dan catatan terakhir yang ia tulis semalam. Kaela duduk di kursi rotan tua, tubuhnya kini sangat lemah, menggenggam secangkir teh herbal yang sudah dingin, dikelilingi oleh kanvas setengah jadi yang hampir selesai dan tumpukan surat dari penggemar seni. Di depannya, Tharindra Veloris duduk dengan wajah penuh kekhawatiran, memegang tangan adiknya yang semakin dingin.
Sejak malam di mana Kaela dan Tharindra melukis bersama, hidup Kaela terasa seperti detik-detik terakhir sebuah lukisan yang perlahan menuju garis akhir. Lukisan matahari terbenam itu kini hampir selesai, dengan warna-warna yang bercerita tentang harapan, kesedihan, dan cinta. Pesan dari penggemar seperti Vionette Seraphis terus berdatangan, memuji kekuatan dan keberaniannya, tapi juga memohon agar ia bertahan lebih lama. Kata-kata itu membawa kehangatan di hatinya, namun tubuhnya semakin menyerah pada penyakit yang menggerogoti.
Namun, di balik kemajuan itu, Kaela menghadapi realitas yang tak bisa dihindari. Nyeri di perutnya kini konstan, bahkan dengan obat yang diresepkan dokter, dan napasnya semakin pendek. Dokter yang berkunjung kemarin pagi memberi peringatan: waktu yang tersisa mungkin hanya hitungan hari, bukan minggu. Tharindra, dengan air mata yang ia coba sembunyikan, berjanji akan tetap di sisinya hingga akhir.
Pagi ini, Kaela merasa sangat lemah. Ia membuka buku harian, tapi jarinya tak mampu lagi memegang pena dengan kuat. Ia menatap Tharindra, yang kini mengambil alih menulis atas perintahnya. “Tulis ini, Thari… aku ingin meninggalkan sesuatu,” bisiknya, suaranya hampir hilang. Tharindra mengangguk, air matanya jatuh ke kertas saat ia menulis: “Aku takut, tapi aku bahagia. Lukisan ini adalah hidupku, dan aku serahkan pada kamu, Thari. Jaga warna-warna ini, seperti Ibu jaga aku dulu.”
Ponsel di meja bergetar, menampilkan panggilan dari galeri seni lokal. Tharindra mengangkatnya atas nama Kaela. “Halo, ini Tharindra, adik Kaela. Iya, dia masih di sini, tapi kondisinya lemah. Oh… terima kasih.” Ia menutup telepon dengan ekspresi campur aduk. “Kak, galeri mau adakan pameran khusus buat lukisan lo. Mereka bilang ini akan jadi warisan seni Yogyakarta.”
Kaela tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Bagus… aku ingin orang lihat cahaya di balik sakitku,” katanya pelan. Tharindra mengangguk, lalu membantunya duduk lebih nyaman di ranjang.
Malam itu, dengan bantuan Tharindra, Kaela menyelesaikan lukisan terakhirnya. Mereka menambahkan sentuhan akhir—garis cahaya tipis di horizon yang melambangkan harapan abadi. Proses itu penuh tangis dan tawa, dengan Tharindra menceritakan kenangan masa kecil mereka—hari-hari di studio ibu, saat Kaela mengajarinya mencampur warna, dan saat mereka tertawa bersama di bawah hujan. Setiap goresan terasa seperti ucapan selamat tinggal, tapi juga salam perpisahan yang penuh cinta.
Besok paginya, tepat pukul 01:08 WIB, Kaela terbangun dengan napas yang sangat lemah. Tharindra duduk di sisinya, memegang tangannya erat. “Kak, lo kuat… lo udah bikin sesuatu yang abadi,” bisiknya, air matanya tak tertahankan. Kaela menatap adiknya, lalu buku harian, lalu kanvas yang kini selesai. “Thari… aku pergi dengan damai. Jaga lukisan ini… jaga dirimu,” katanya, suaranya hampir tak terdengar.
Beberapa menit kemudian, napas Kaela berhenti. Tharindra menangis tersedu, memeluk tubuh adiknya yang kini tenang. Di luar, hujan turun perlahan, seolah menyapa kepergiannya dengan lembut. Lukisan itu berdiri di sudut ruangan, penuh warna yang menceritakan perjuangan dan cinta seorang wanita yang tak menyerah hingga akhir.
Dua minggu kemudian, pameran khusus “Warisan Cahaya Kaela” diadakan di galeri seni Yogyakarta. Ratusan pengunjung datang, termasuk Vionette Seraphis, yang menangis saat melihat lukisan matahari terbenam itu. Tharindra berdiri di samping kanvas, membaca pesan terakhir Kaela dari buku harian kepada audiens. “Ini bukan cuma lukisan,” katanya, suaranya gemetar. “Ini warisan hidup Kakakku, dan aku harap kalian lihat cahayanya seperti aku.”
Lukisan itu terjual dengan harga tinggi, tapi Tharindra memilih menyimpannya di galeri sebagai monumen untuk Kaela. Uangnya ia gunakan untuk mendirikan yayasan seni bernama “Cahaya Zorayne,” yang membantu seniman muda dengan penyakit kronis untuk terus berkarya. Setiap tahun, yayasan mengadakan pameran, dan lukisan Kaela menjadi pusat perhatian, mengingatkan semua orang tentang kekuatan seni di tengah penderitaan.
Malam itu, di balkon rumahnya, Tharindra duduk dengan buku harian Kaela di pangkuannya, memandang langit Yogyakarta yang cerah dengan bintang-bintang yang bersinar terang. Ia menulis satu kalimat terakhir: “Kak, lukisanmu masih menyala, dan aku akan jaga cahayamu selamanya.” Untuk pertama kalinya setelah kepergian Kaela, ia merasa bahwa adiknya tidak benar-benar pergi—cahayanya tetap hidup di setiap goresan warna yang ia tinggalkan.
Di kejauhan, suara kota perlahan mereda, dan Tharindra tahu bahwa warisan Kaela akan terus bersinar, menerangi kegelapan yang pernah ia hadapi, dan menjadi inspirasi bagi generasi yang datang.
Penyakit Ini Akhir Hidupku bukan sekadar kisah sedih, melainkan bukti bahwa seni dan cinta dapat meninggalkan warisan abadi meski di ujung waktu. Seperti Kaelithra, Anda pun bisa menemukan kekuatan untuk berkarya dan menginspirasi orang lain, bahkan dalam penderitaan terberat. Mulailah mengekspresikan diri Anda hari ini, dan jadilah cahaya bagi dunia!
Terima kasih telah menikmati kisah inspiratif ini! Ambil kuas, pena, atau alat seni Anda sekarang, dan mulailah menciptakan warisan Anda sendiri. Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar atau ikuti kami untuk lebih banyak cerita menyentuh hati. Sampai jumpa di artikel berikutnya!