Pentingnya Literasi Menulis bagi Milenial: Kisah Tinta di Ujung Malam

Posted on

Di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang didominasi konten instan, literasi menulis menjadi jembatan emosional yang menghubungkan jiwa milenial dengan makna sejati. Kisah Tinta di Ujung Malam karya Vionara Estrelia menggambarkan perjuangan seorang content creator yang menemukan kembali kekuatan menulis untuk menyembuhkan luka batin dan menginspirasi orang lain. Artikel ini mengupas mengapa literasi menulis tetap relevan bagi generasi milenial, bagaimana menulis dapat menjadi alat ekspresi diri, dan pelajaran berharga dari cerpen inspiratif ini untuk hidup di era media sosial. Siap terinspirasi untuk menggoreskan tinta jiwa Anda sendiri?

Kisah Tinta di Ujung Malam

Bayang di Balik Cahaya Layar

Langit Jakarta malam itu berwarna kelabu, seolah menyembunyikan rahasia di balik tabir awan yang bergulung. Di sebuah apartemen kecil di sudut Kuningan, cahaya biru dari layar laptop menerangi wajah Vionara Estrelia, seorang gadis berusia 27 tahun dengan mata cokelat tua yang selalu tampak mencari sesuatu yang tak pernah ia temukan. Rambutnya yang panjang, sedikit berantakan, terikat asal di belakang kepala, dan hoodie abu-abu yang sudah sedikit pudar menjadi saksi bisu malam-malam panjangnya di depan layar.

Vionara, atau yang sering dipanggil Vio oleh teman-temannya, adalah seorang content creator yang sedang naik daun. Dengan 200 ribu pengikut di Instagram, ia dikenal karena ulasan buku-bukunya yang tajam dan estetis, dipadukan dengan foto-foto seni yang ia ambil sendiri. Namun, di balik kilau dunia maya, ada sesuatu yang menggerogoti hatinya—sesuatu yang tak pernah ia ceritakan, bahkan kepada sahabatnya, Kaelum Ardivan, seorang desainer grafis yang selalu jadi penutup luka emosionalnya.

Malam ini, seperti biasa, Vio duduk di meja kayu kecil di sudut kamarnya, dikelilingi tumpukan buku dan secangkir teh chamomile yang sudah dingin. Jarinya menari di atas keyboard, mengetik caption untuk postingan terbarunya: sebuah ulasan tentang novel dystopia yang sedang viral. Tapi, entah kenapa, kata-kata terasa hampa. Ia menghapus kalimat yang baru ditulis, lalu menulis lagi, hanya untuk menghapusnya kembali.

“Kenapa sih, Vio? Dulu nulis kayak bernapas, sekarang kok kayak nyanyi tanpa suara?” gumamnya pada dirinya sendiri, menatap layar dengan frustrasi.

Di sudut meja, ada sebuah buku catatan kulit berwarna hitam yang sudah lama tak disentuh. Buku itu pemberian ayahnya, Almascario, sebelum ia meninggal lima tahun lalu karena kanker paru-paru. Di halaman pertama, ayahnya pernah menulis dengan tinta biru tua: “Tulis apa yang kau rasakan, Vio. Dunia mungkin tak mendengar, tapi kertas selalu setia.” Dulu, Vio menulis setiap hari di buku itu—puisi, cerita pendek, bahkan keluh kesah tentang dunia yang terasa terlalu berat. Tapi sejak ayahnya tiada, buku itu seperti relik yang terlalu sakral untuk disentuh.

Vio menghela napas panjang, matanya tertuju pada buku catatan itu. Jarinya hampir menyentuh sampulnya, tapi ia menarik tangan kembali, seolah takut membuka luka lama. Sebagai gantinya, ia membuka aplikasi pesan di ponselnya dan mengetik pesan untuk Kaelum.

Vio: Kael, lo lagi apa? Gue stuck banget nih, nulis kayak ngerem di tanjakan.
Kaelum: Lagi bikin desain buat klien, bro. Lo kenapa? Biasanya kan lo nulis kayak air mengalir.
Vio: Entah kenapa, rasanya kata-kata gue gak hidup. Kayak cuma tempelan buat konten doang.
Kaelum: Lo kebanyakan main di dunia maya, Vi. Coba deh nulis buat diri lo sendiri, bukan buat likes.
Vio: Gampang ngomong, susah ngejalanin. Dunia ini kan maunya yang instan.
Kaelum: Dunia boleh instan, tapi lo nggak harus ikut-ikutan. Besok ketemu, gue traktir kopi, ceritain apa yang ngeganjel.

Vio tersenyum kecil membaca pesan Kaelum. Pria itu selalu tahu cara membuatnya merasa sedikit lebih ringan, meski hanya lewat kata-kata di layar. Tapi malam ini, bahkan kehangatan pesan Kaelum tak cukup untuk mengusir kegelisahan yang mengendap di dadanya.

Ia bangkit dari kursi, berjalan menuju jendela, dan menatap lampu-lampu kota yang berkelip seperti bintang yang jatuh ke bumi. Jakarta, kota yang tak pernah tidur, seolah menertawakan kegelisahannya. Di luar sana, orang-orang berlomba mengejar mimpi, sementara Vio merasa seperti berlari di tempat.

“Apa gue cuma akting di depan kamera? Apa gue beneran masih suka nulis, atau cuma pura-pura demi konten?” tanyanya pada bayangannya di kaca jendela.

Kegelisahan itu bukan hal baru. Sejak ayahnya meninggal, Vio merasa kehilangan arah. Almascario adalah seorang jurnalis lokal yang tak pernah terkenal, tapi penuh semangat. Ia sering membawa Vio kecil ke perpustakaan kota, membacakan cerita-cerita dari buku-buku tua yang berbau kertas usang. “Menulis itu seperti menanam pohon, Vio,” katanya suatu kali. “Buahnya mungkin nggak langsung kelihatan, tapi suatu hari, dia bakal ngasih teduh buat orang lain.”

Tapi dunia telah berubah. Kini, menulis bukan lagi soal menanam pohon, tapi soal siapa yang paling cepat memanen perhatian. Vio merasa terjebak dalam algoritma media sosial, di mana nilai sebuah tulisan diukur dari jumlah likes dan komentar. Ia rindu menulis seperti dulu—tanpa tekanan, tanpa ekspektasi, hanya ia dan kertas yang mendengar.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari Instagram: “@LitVibes: Vio, kapan bikin workshop nulis? Aku suka banget gaya lo, pengen belajar!” Vio menatap pesan itu, hatinya terasa hangat sekaligus perih. Ia ingin mengajar, ingin berbagi, tapi bagaimana ia bisa mengajarkan sesuatu yang kini terasa asing baginya?

Malam semakin larut, dan Vio kembali ke mejanya. Kali ini, ia memberanikan diri mengambil buku catatan hitam itu. Jarinya gemetar saat membuka halaman pertama, membaca tulisan tangan ayahnya. Air mata menggenang tanpa ia sadari. Ia mengambil pulpen dari laci, lalu menulis satu kalimat sederhana: “Aku rindu menulis untukku sendiri.”

Kata-kata itu terasa seperti pintu yang terbuka setelah lama terkunci. Vio terus menulis, tanpa memikirkan struktur atau tata bahasa. Ia menulis tentang ayahnya, tentang malam-malam di perpustakaan, tentang rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar pergi. Ia menulis tentang Jakarta yang bising, tentang layar yang mencuri jiwanya, tentang ketakutan bahwa ia telah kehilangan bagian dari dirinya yang paling murni.

Saat fajar mulai menyelinap di ufuk timur, Vio akhirnya berhenti. Halaman buku catatan itu kini penuh dengan tinta biru, coretan-coretan yang tak sempurna tapi jujur. Napasnya terasa lebih ringan, seolah beban di dadanya telah terbagi dengan kertas.

Tapi di sudut hatinya, ada pertanyaan yang masih menggantung: Apa artinya menulis di dunia yang tak lagi menghargai kata-kata? Dan tanpa ia sadari, perjalanan untuk menemukan jawaban itu baru saja dimulai.

Di luar apartemen, hujan mulai turun, membasahi aspal Jakarta yang lelah. Tapi di dalam kamar Vio, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada secercah harapan yang ikut bertumbuh di antara tetes-tetes tinta.

Jejak di Antara Baris

Pagi di Jakarta selalu punya cara untuk membangunkan jiwa dengan caranya sendiri—bising, kacau, namun penuh energi. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah-celah tirai di apartemen Vionara Estrelia, menerangi buku catatan hitam yang masih terbuka di mejanya. Tinta biru dari malam sebelumnya telah mengering, meninggalkan jejak kata-kata yang jujur, mentah, dan penuh emosi. Vio duduk di tepi ranjang, memandang buku itu dari kejauhan, seolah takut menyentuhnya lagi, takut keberanian semalam akan lenyap begitu ia membuka halaman baru.

Hari ini, ia dijadwalkan bertemu Kaelum Ardivan di sebuah kafe kecil di Kemang, tempat favorit mereka untuk berbagi cerita di sela hiruk-pikuk kota. Vio mengenakan kemeja flanel biru tua yang sedikit oversized, celana jeans, dan sepatu kets putih yang sudah mulai usang. Rambutnya dibiarkan tergerai, menutupi sebagian wajahnya yang tampak lelah. Cermin di kamar mandi memantulkan bayangan matanya yang bengkak—jejak air mata semalam yang tak sempat ia sembunyikan.

Di kafe, aroma kopi robusta menyapa hidungnya begitu ia membuka pintu. Kaelum sudah ada di sana, duduk di sudut dekat jendela dengan sketsa tablet di tangannya, wajahnya fokus namun santai. Pria berusia 28 tahun itu memiliki rambut ikal yang selalu sedikit acak-acakan, kulit sawo matang, dan sepasang kacamata bulat yang membuatnya terlihat seperti seniman dari era lain. Begitu melihat Vio, ia melambai dengan senyum lebar.

“Vi, lo kelihatan kayak habis lari marathon. Apa kabar?” tanya Kaelum sambil mendorong secangkir latte ke arahnya.

Vio tersenyum tipis, menarik kursi, dan duduk. “Marathon emosi, mungkin. Semalem gue nulis lagi, Kael. Bukan buat konten, tapi… buat gue sendiri.”

Kaelum mengangkat alis, terkejut tapi juga penasaran. “Serius? Di buku hitam itu?” Ia tahu betul arti buku cat-pernyataan itu bagi Vio. “Terus, rasanya gimana?”

Vio menatap cangkirnya, uap kopi membentuk spiral kecil di udara. “Seperti ketemu temen lama yang udah lama banget nggak ketemu. Tapi juga… sakit. Kayak buka luka yang udah gue tutup-tutupin bertahun-tahun.”

Kaelum mendengarkan dengan penuh perhatian, jari-jarinya berhenti menggambar di tablet. “Lo tau nggak, Vi, dulu lo selalu cerita tentang nulis kayak itu. Lo bilang nulis buat lo itu kayak napas. Kapan lo berhenti napas, Vi?”

Pertanyaan itu seperti pukulan halus di dada Vio. Ia menunduk, mencoba mencari jawaban di antara bayang-bayang kenangan. “Mungkin… sejak Papa pergi. Nulis tuh kayak nyanyi lagu yang dia ajarin, Kael. Setiap kata yang gue tulis buat diri gue sendiri, rasanya kayak denger suara Papa lagi. Dan itu sakit.”

Kaelum mengangguk pelan, matanya penuh empati. “Tapi lo tau, kan, luka yang lo biarin tertutup lama-lama bisa infeksi? Mungkin nulis itu cara lo beresin luka itu, Vi. Bukan cuma buat lo, tapi… mungkin juga buat orang lain.”

Vio menghela napas, menyeruput kopinya yang sudah mulai dingin. “Tapi dunia sekarang beda, Kael. Siapa yang peduli sama tulisan yang nggak bisa di-scroll dalam tiga detik? Orang maunya video pendek, meme, atau caption yang cuma sepuluh kata. Gue ngerasa… nulis kayak yang dulu Papa ajarin udah nggak relevan.”

Kaelum tertawa kecil, tapi ada nada serius di suaranya. “Lo salah, Vi. Dunia mungkin cepet, tapi orang-orang masih nyari makna. Lo lihat sendiri, kan, berapa banyak yang komen di postingan lo, minta lo bikin workshop nulis? Mereka haus, Vi. Haus sama sesuatu yang bener-bener nyata, bukan cuma filter atau algoritma.”

Vio terdiam. Kaelum punya cara untuk membuat dunia terasa lebih sederhana, tapi ia tahu perjuangannya sendiri tak semudah itu. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, “Gue pengen coba bikin workshop nulis, Kael. Tapi… gue takut. Takut gagal, takut orang nggak tertarik, takut gue nggak bisa ngasih apa-apa.”

“Takut itu wajar,” jawab Kaelum, mencondongkan tubuhnya ke depan. “Tapi lo nggak akan pernah tahu kalo nggak coba. Lo punya sesuatu, Vi. Lo punya cerita, lo punya cara ngomong yang bikin orang ngerasa… dilihat. Gunain itu.”

Sore itu, setelah berpisah dengan Kaelum, Vio pulang dengan pikiran yang sedikit lebih jernih, tapi juga penuh pertanyaan. Di kamarnya, ia kembali membuka buku catatan hitam itu. Kali ini, ia menulis tentang ide workshop—bukan hanya tentang teknik menulis, tapi tentang bagaimana menulis bisa menjadi jembatan untuk memahami diri sendiri. Ia membayangkan sebuah ruang kecil, penuh dengan orang-orang yang sama seperti dirinya: bingung, tersesat, tapi rindu untuk menemukan makna.

Malam harinya, Vio membuka laptop dan mulai merancang pengumuman workshop. Ia mengetik dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tak hanya menarik tapi juga jujur. Ia menulis tentang perjalanannya sendiri, tentang bagaimana menulis pernah menyelamatkannya dari kegelapan, dan bagaimana ia ingin berbagi itu dengan orang lain.

Judul: “Tinta Jiwa: Menulis untuk Menemukan Diri”
Deskripsi: Pernah merasa kata-kata di kepalamu ingin keluar tapi tak tahu caranya? Atau merasa dunia terlalu bising untuk mendengar ceritamu? Ikut workshop ini, dan kita akan belajar bersama bagaimana menulis bisa menjadi cermin jiwa, tempat di mana kamu bisa jujur pada dirimu sendiri. Bersama Vionara Estrelia, kita akan menjelajahi kekuatan kata-kata, satu baris pada satu waktu.

Setelah memposting pengumuman itu di Instagram, Vio merasa jantungan. Tangannya gemetar, dan ia hampir menutup laptop karena takut melihat respons. Tapi dalam hitungan menit, notifikasi mulai berdatangan. Komentar demi komentar mengalir:

@LitVibes: Akhirnya! Aku daftar, Vi! Kapan mulai?
@StarryWords: Ini yang aku tunggu-tunggu! Cerita lo selalu bikin aku pengen nulis lagi.
@MoonlitPages: Vi, aku nggak pinter nulis, tapi boleh ikut, kan? Aku cuma pengen belajar ngungkapin apa yang ada di hati.

Vio menatap layar, air matanya kembali menggenang. Bukan karena sedih, tapi karena ada sesuatu yang hangat di dadanya—sesuatu yang terasa seperti harapan. Tapi di balik kegembiraan itu, ada bayangan keraguan. Apa aku benar-benar bisa melakukan ini? Apa aku cukup untuk mengajar orang lain?

Malam itu, sebelum tidur, Vio kembali membuka buku catatan hitamnya. Ia menulis sebuah puisi pendek, sesuatu yang tiba-tiba muncul di benaknya:

Di ujung malam, tinta bercerita,
Tentang luka yang tak pernah selesai,
Tapi di setiap baris, ada harapan kecil,
Bahwa kata-kata bisa menyelamatkan hati.

Ia menutup buku itu, memeluknya erat di dadanya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidur dengan senyum tipis di bibirnya. Di luar, Jakarta masih bising, tapi di dalam hati Vio, ada kedamaian kecil yang mulai bertumbuh, seperti bibit pohon yang baru ditanam di tanah yang telah lama kering.

Cermin di Atas Kertas

Langit Jakarta pagi itu diselimuti awan tipis, seolah memberikan ruang bagi matahari untuk mengintip dengan malu-malu. Di apartemen kecil Vionara Estrelia, aroma kopi instan yang baru diseduh mengisi udara, bercampur dengan bau kertas tua dari buku-buku yang bertumpuk di sudut ruangan. Vio duduk di lantai, dikelilingi oleh catatan-catatan kecil yang ia buat semalaman: ide untuk workshop “Tinta Jiwa” yang akan digelar dua minggu lagi. Di depannya, laptop menampilkan dokumen berisi rundown acara, daftar peserta, dan beberapa kutipan inspiratif yang ia kumpulkan dari novel-novel favoritnya.

Sejak pengumuman workshop di Instagram, hidup Vio terasa seperti roller coaster. Ada 30 orang yang mendaftar, jumlah yang jauh melebihi ekspektasinya. Setiap hari, ia menerima pesan dari calon peserta—beberapa berbagi cerita tentang mimpi mereka menulis novel, yang lain mengaku hanya ingin belajar mengekspresikan emosi yang terpendam. Pesan-pesan itu membuat hati Vio hangat, tapi juga menambah beban di pundaknya. Ia ingin workshop ini berarti, bukan sekadar acara yang lewat begitu saja.

Namun, di balik semangat itu, ada keraguan yang terus mengintai seperti bayangan di sudut ruangan. Vio masih dihantui pertanyaan: Apa aku benar-benar layak mengajar mereka? Bagaimana kalau aku gagal memberikan apa yang mereka harapkan? Malam sebelumnya, ia bahkan terbangun dari mimpi buruk di mana peserta workshop menertawakannya karena tak bisa menjelaskan apa itu menulis dengan jujur.

Pagi ini, Vio mencoba mengusir keraguan itu dengan menulis lagi di buku catatan hitamnya. Ia menuliskan daftar ketakutannya, satu per satu, seperti ritual untuk melepaskan beban: Takut gagal. Takut dianggap nggak cukup. Takut mereka tahu aku juga masih mencari jalan. Setelah menulis, ia merasa sedikit lebih ringan, tapi tidak sepenuhnya bebas.

Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari Kaelum Ardivan.

Kaelum: Vi, lo udah siap buat workshop? Gue bikin desain poster buat lo, nih. Mau gue kirim sekarang?
Vio: Kael, lo nggak pernah gagal bikin gue kagum. Kirim dong! Btw, gue deg-degan banget. Kayak mau ujian skripsi lagi.
Kaelum: Haha, wajar. Tapi lo bisa, Vi. Lo punya cerita yang orang-orang pengen dengar. Fokus ke itu, jangan ke ketakutan lo.

Vio tersenyum kecil membaca pesan itu. Kaelum selalu punya cara untuk membuatnya merasa didukung, meski kadang ia merasa pria itu terlalu optimis. Poster yang dikirim Kaelum sederhana namun menawan: latar belakang berwarna biru tua dengan ilustrasi pena dan buku yang tampak hidup, dipadukan dengan tulisan “Tinta Jiwa” dalam font kaligrafi yang elegan. Vio langsung membagikan poster itu di Instagram, dan dalam hitungan jam, pesan-pesan baru berdatangan, beberapa bahkan dari orang-orang yang ingin mendaftar meski kuota sudah penuh.

Hari-hari menjelang workshop berlalu dengan cepat. Vio menghabiskan waktu untuk menyusun materi, membaca ulang buku-buku tentang menulis, dan berlatih berbicara di depan cermin. Ia ingin workshop ini terasa personal, bukan seperti kelas formal yang membosankan. Ia merancang sesi di mana peserta bisa berbagi cerita mereka, menulis bebas berdasarkan emosi, dan mendiskusikan bagaimana kata-kata bisa menjadi cermin jiwa.

Akhirnya, hari workshop tiba. Vio memilih sebuah ruang komunal di co-working space di Senopati, tempat dengan dinding kaca besar yang menghadap ke taman kecil. Meja-meja kayu disusun melingkar, di tengahnya ada setumpuk buku catatan baru dan pulpen yang ia siapkan untuk peserta. Di sudut ruangan, sebuah proyektor menampilkan kutipan dari ayahnya, Almascario: “Tulis apa yang kau rasakan, Vio. Dunia mungkin tak mendengar, tapi kertas selalu setia.”

Saat peserta mulai berdatangan, Vio merasakan jantungan yang hampir membuatnya ingin kabur. Ada wajah-wajah yang ia kenali dari Instagram, tapi kebanyakan adalah orang asing dengan mata penuh harap. Salah satu peserta, seorang gadis muda bernama Sylvara Tandri, langsung mendekatinya. Sylvara, yang berusia 22 tahun, memiliki rambut pendek dicat biru dan tato kecil berbentuk burung di pergelangan tangannya.

“Vio, aku nggak sabar banget buat workshop ini,” kata Sylvara dengan antusias. “Aku suka baca postingan lo, tapi aku nggak pernah berani nulis apa-apa. Aku cuma… takut nulis sesuatu yang jelek.”

Vio tersenyum, meski hatinya masih berdebar. “Aku juga takut, Syl. Tapi kita di sini buat coba, ya? Nggak ada tulisan yang jelek kalo itu jujur.”

Workshop dimulai dengan sesi perkenalan. Vio meminta setiap peserta untuk menuliskan satu kalimat tentang alasan mereka ingin menulis, lalu membacakan dengan suara keras. Ada yang ingin menulis novel, ada yang ingin mencurahkan trauma, dan ada pula yang hanya ingin merasa “hidup” lagi. Saat giliran Sylvara, gadis itu membaca kalimatnya dengan suara gemetar: “Aku ingin menulis supaya aku nggak lupa siapa aku sebenarnya.”

Kalimat itu seperti menampar Vio. Ia teringat dirinya sendiri, bertahun-tahun lalu, ketika menulis adalah caranya untuk bertahan hidup setelah kehilangan ayahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memulai sesi pertama: menulis bebas selama 15 menit dengan tema “Apa yang Paling Kamu Rindukan?”

Ruangan menjadi sunyi, hanya terdengar suara pulpen yang mencoret kertas dan sesekali isakan kecil dari sudut ruangan. Vio juga ikut menulis, membiarkan tangannya mengalir tanpa berpikir. Ia menulis tentang ayahnya, tentang malam-malam di perpustakaan, tentang tawa mereka saat membaca buku bersama. Tapi di tengah tulisannya, ia menambahkan sesuatu yang baru: Aku merindukan diriku yang dulu, yang menulis tanpa takut dihakimi.

Setelah sesi selesai, Vio meminta beberapa peserta untuk berbagi apa yang mereka tulis, jika mereka nyaman. Sylvara mengangkat tangan, matanya berkaca-kaca. Dengan suara pelan, ia membaca:

“Aku merindukan masa kecilku, ketika aku nggak takut bermimpi. Dulu aku suka menulis cerita tentang petualangan di hutan ajaib, tapi sekarang aku cuma nulis status di medsos yang nggak ada artinya. Aku takut orang-orang bakal nertawain kalo aku coba nulis lagi, tapi aku kangen banget sama perasaan bebas itu.”

Ruangan terdiam. Beberapa peserta mengangguk, seolah merasakan hal yang sama. Vio merasa air matanya sendiri mulai menggenang, tapi ia menahannya. “Terima kasih, Syl,” katanya lembut. “Itu… itu jujur banget. Dan itulah kenapa kita di sini. Menulis itu nggak cuma tentang bikin sesuatu yang sempurna, tapi tentang jadi jujur sama diri kita sendiri.”

Sesi demi sesi berlalu, dan Vio mulai merasa lebih percaya diri. Ia memandu peserta untuk menulis puisi pendek, membuat karakter fiksi berdasarkan emosi mereka, dan bahkan berbagi cerita dalam kelompok kecil. Di akhir workshop, ia membagikan buku catatan dan pulpen kepada setiap peserta, meminta mereka untuk menulis setidaknya satu halaman setiap hari, apa pun itu, selama sebulan.

“Jangan pikirin bagus atau jelek,” kata Vio, suaranya kini lebih mantap. “Tulis aja apa yang ada di hati kalian. Kertas nggak bakal nge-judge.”

Saat peserta berpamitan, Sylvara mendekati Vio lagi. “Vio, makasih banget. Aku ngerasa… kayak ketemu diriku lagi hari ini.” Ia memeluk Vio, dan untuk sesaat, Vio merasa seperti memeluk dirinya sendiri yang dulu—gadis kecil yang menulis tanpa beban di samping ayahnya.

Malam itu, kembali ke apartemennya, Vio membuka buku catatan hitamnya. Ia menulis tentang hari itu, tentang wajah-wajah penuh harap, tentang Sylvara, tentang betapa menulis telah menghubungkannya dengan orang-orang yang tak ia kenal. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa menulis bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang orang lain—tentang membangun jembatan antara hati yang terpisah.

Tapi di sudut hatinya, ada bisikan kecil: Ini baru awal, Vio. Apa yang terjadi kalau dunia nyata nggak seindah ini? Di luar, hujan mulai turun lagi, dan Vio tahu bahwa perjalanannya masih jauh dari selesai.

Tinta yang Tak Pernah Kering

Hujan gerimis menyapa Jakarta malam itu, meninggalkan kilau lembut di jalanan yang basah. Di dalam apartemen kecil Vionara Estrelia, lampu meja memancarkan cahaya hangat, menerangi buku catatan hitam yang kini penuh dengan coretan tinta biru. Vio duduk bersila di lantai, dikelilingi oleh tumpukan kertas berisi catatan dari workshop “Tinta Jiwa” yang telah berlangsung sebulan lalu. Di depannya, laptop menampilkan email dari Sylvara Tandri, salah satu peserta workshop, yang berisi cerita pendek yang ditulisnya setelah mengikuti sesi tersebut. Cerita itu sederhana, tentang seorang gadis yang belajar memaafkan dirinya sendiri, tapi setiap barisnya dipenuhi kejujuran yang membuat Vio tersenyum sekaligus menangis.

Sejak workshop selesai, hidup Vio berubah. Ia mulai rutin mengadakan sesi menulis kecil-kecilan setiap dua minggu, kadang di kafe, kadang di taman kota, bersama peserta workshop yang masih ingin melanjutkan perjalanan menulis mereka. Sylvara, dengan rambut birunya yang kini sedikit memudar, menjadi salah satu yang paling aktif. Gadis itu sering mengirimkan tulisannya kepada Vio, meminta saran, dan berbagi bagaimana menulis telah membantunya menghadapi hari-hari yang sulit.

Namun, di balik kesuksesan kecil itu, Vio masih bergulat dengan dunia media sosial yang tak pernah puas. Postingan Instagram-nya tentang workshop mendapat ribuan likes, tapi juga komentar-komentar yang menyakitkan. Ada yang menyebut workshop-nya “terlalu emosional” atau “kurang praktis untuk zaman sekarang.” Ada pula yang membandingkannya dengan content creator lain yang menawarkan kelas menulis dengan janji “sukses instan.” Komentar-komentar itu seperti duri kecil yang menusuk, mengingatkannya pada ketakutan lamanya: bahwa menulis yang ia cintai, menulis yang jujur, mungkin tak lagi punya tempat di dunia yang serba cepat ini.

Malam ini, Vio merasa gelisah lagi. Ia membuka buku catatan hitamnya, tapi jarinya berhenti di atas kertas, tak tahu harus menulis apa. Pikirannya dipenuhi oleh suara-suara dari dunia maya, suara yang mempertanyakan nilai dari apa yang ia lakukan. Ia bangkit, berjalan ke jendela, dan menatap kota yang berkilau di bawah hujan. “Papa, apa aku beneran ngelakuin ini dengan benar?” gumamnya, seolah ayahnya, Almascario, masih ada di sisinya, siap menjawab dengan senyum bijaknya.

Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari Kaelum Ardivan.

Kaelum: Vi, lo lagi apa? Gue denger workshop lo makin rame. Bangga banget sama lo!
Vio: Kael, gue lagi bingung. Workshop-nya sih oke, tapi… gue ngerasa kayak nggak cukup. Orang-orang di medsos bilang menulis kayak yang gue ajarin nggak relevan lagi.
Kaelum: Vi, lo dengerin orang-orang yang cuma bisa komen, tapi nggak pernah coba nulis dari hati? Lo udah bikin perubahan, Vi. Lo bikin orang kayak Sylvara berani nulis lagi. Itu bukan hal kecil.
Vio: Tapi kenapa rasanya kayak gue masih lari di tempat?
Kaelum: Karena lo manusia, Vi. Lo nggak harus sempurna. Besok ketemu, gue bawa kopi favorit lo, kita ngobrol.

Vio tersenyum kecil membaca pesan itu. Kaelum selalu tahu cara membuatnya merasa sedikit lebih baik, tapi malam ini, ia tahu ia harus menghadapi kegelisahannya sendiri. Ia kembali ke mejanya, mengambil pulpen, dan mulai menulis di buku catatan hitamnya. Kali ini, ia menulis surat untuk dirinya sendiri:

Aku tahu kamu takut, Vio. Takut gagal, takut nggak cukup, takut dunia nggak ngerti apa yang kamu coba kasih. Tapi ingat, menulis bukan cuma tentang hasil, bukan cuma tentang likes atau komen. Menulis adalah tentang kamu, tentang orang-orang yang baca tulisanmu dan ngerasa nggak sendirian. Jadi, jangan berhenti. Jangan biarin dunia nyanyi lagu yang bukan lagumu.

Menulis surat itu terasa seperti melepas beban yang telah lama ia pikul. Vio menutup buku catatan, lalu membuka laptop untuk mengecek email lain dari peserta workshop. Salah satu email datang dari seorang peserta bernama Radivian Luthra, pria berusia 30 tahun yang jarang berbicara selama workshop. Dalam emailnya, ia menulis:

Vio, aku nggak pernah bilang ini di workshop, tapi aku mau terima kasih. Aku dulu nulis jurnal buat ngatasin depresi setelah kehilangan adikku. Tapi aku berhenti karena ngerasa nggak ada gunanya. Workshop kamu bikin aku nulis lagi, dan sekarang aku ngerasa kayak bisa ngomong sama adikku lewat kertas. Aku nggak tahu caranya ngucapin terima kasih yang bener, tapi aku harap kamu tahu ini berarti banget.

Air mata Vio mengalir tanpa ia sadari. Ia membaca email itu berulang-ulang, setiap kata terasa seperti pelukan dari seseorang yang tak ia kenal. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa bahwa menulisnya, workshop-nya, telah menyentuh hidup orang lain.

Keesokan harinya, Vio bertemu Kaelum di kafe favorit mereka di Kemang. Pria itu membawa kopi latte dengan gambar hati di busanya, sengaja memesan yang “paling estetis” untuk menggoda Vio. Mereka duduk di sudut dekat jendela, ditemani suara hujan yang masih mengguyur kota.

“Jadi, apa kabar hati lo sekarang, Vi?” tanya Kaelum, menyeruput kopinya.

Vio menghela napas, tapi ada senyum kecil di bibirnya. “Masih naik-turun, Kael. Tapi kemarin gue baca email dari salah satu peserta workshop. Dia bilang nulis bikin dia ngerasa bisa ngomong sama adiknya yang udah nggak ada. Itu… itu bikin gue ngerasa apa yang gue lakuin punya arti.”

Kaelum tersenyum lebar. “See? Gue bilang kan, lo punya sesuatu, Vi. Lo nggak cuma bikin konten, lo bikin perubahan.”

Vio menatap cangkirnya, uap kopi membentuk spiral lembut di udara. “Tapi gue juga belajar, Kael. Menulis itu nggak cuma buat orang lain, tapi juga buat gue sendiri. Setiap kali gue nulis di buku hitam itu, gue ngerasa kayak ketemu Papa lagi, ketemu diriku yang dulu. Dan itu… itu cukup buat gue lanjut.”

Kaelum mengangguk, matanya penuh kehangatan. “Lo udah nemuin lagu lo sendiri, Vi. Sekarang tinggal nyanyi terus, meski dunia kadang-kadang nggak denger.”

Sore itu, Vio pulang ke apartemen dengan hati yang lebih ringan. Ia membuka buku catatan hitamnya sekali lagi, tapi kali ini, ia menulis sesuatu yang berbeda: sebuah cerita pendek tentang seorang gadis yang belajar menulis untuk menemukan dirinya sendiri, tentang tinta yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Cerita itu bukan hanya tentang dirinya, tapi juga tentang Sylvara, Radivian, dan setiap orang yang pernah berbagi kata-kata dengannya.

Beberapa bulan kemudian, Vio menerbitkan antologi cerita pendek berjudul Tinta Jiwa, berisi karya-karya dari peserta workshop-nya, termasuk ceritanya sendiri. Buku itu tak langsung jadi bestseller, tapi setiap eksemplar yang terjual terasa seperti kemenangan kecil. Di halaman pembuka, ia menulis dedikasi: “Untuk Papa, yang mengajarku bahwa kertas selalu setia, dan untuk setiap jiwa yang berani menulis.”

Malam itu, di bawah langit Jakarta yang kini cerah, Vio duduk di balkon apartemennya, memandang bintang yang berkelip di kejauhan. Buku catatan hitam ada di pangkuannya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa tinta di dalamnya tak akan pernah kering. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa menulis bukan hanya tentang menemukan makna, tapi juga tentang membaginya—dengan dunia, dengan orang lain, dan dengan dirinya sendiri.

Hujan telah berhenti, dan Jakarta terasa sedikit lebih tenang. Tapi di dalam kamar Vio, tinta terus mengalir, menceritakan kisah-kisah yang tak akan pernah selesai.

Kisah Tinta di Ujung Malam bukan sekadar cerpen, melainkan pengingat bahwa menulis adalah cara milenial menemukan diri, menyembuhkan luka, dan membangun koneksi di tengah dunia yang serba cepat. Dengan setiap goresan pena, kita tak hanya menciptakan cerita, tetapi juga merangkai makna yang abadi. Mulailah menulis hari ini, karena tinta Anda bisa menjadi cahaya bagi seseorang di ujung malam.

Terima kasih telah menyimak kisah inspiratif ini! Yuk, ambil pena atau buka laptop Anda, dan mulailah menulis cerita Anda sendiri. Jangan lupa bagikan pengalaman Anda di kolom komentar atau ikuti kami untuk inspirasi literasi lainnya. Sampai jumpa di artikel berikutnya!

Leave a Reply