Pengorbanan Tanpa Batas: Kisah Ayah yang Tak Pernah Menyerah untuk Dania

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Dalam hidup, tidak ada yang lebih menginspirasi daripada perjuangan seorang ayah untuk memberi yang terbaik bagi anaknya, meskipun terkadang mereka harus menghadapi ujian berat.

Cerpen “Harapan yang Tak Pernah Padam” mengisahkan tentang Dania, seorang gadis SMA yang aktif dan gaul, yang menyaksikan perjuangan tanpa henti ayahnya yang berjuang untuk bertahan hidup. Bersama-sama, mereka melalui masa-masa sulit dengan harapan dan kerja keras yang tak pernah padam. Simak cerita penuh emosi, perjuangan, dan cinta keluarga yang akan menggerakkan hati pembaca.

 

Kisah Ayah yang Tak Pernah Menyerah untuk Dania

Tawa di Balik Kesulitan

Aku tidak pernah tahu betapa beratnya hidup yang dijalani ayah. Aku hanya tahu, setiap kali aku pulang dari sekolah, ayah selalu ada di rumah, menyambutku dengan senyuman, meskipun matanya terlihat lelah. Aku selalu merasa bahwa segala sesuatunya baik-baik saja sampai aku mulai mengenal dunia lebih dalam.

Namaku Dania. Aku seorang anak SMA yang aktif, banyak teman, dan selalu ingin tahu lebih tentang segala hal yang ada di sekitar. Di sekolah, aku dikenal sebagai cewek yang gaul, mudah bergaul, dan penuh tawa. Tapi ada satu hal yang jarang orang tahu tentang aku—aku sangat dekat dengan ayahku. Ayahku adalah segalanya bagiku.

Ayah bekerja sebagai buruh kasar di sebuah pabrik tekstil. Setiap hari, ia berangkat pagi sekali dan baru pulang malam. Ketika aku masih kecil, aku selalu mengira bahwa ayah pulang terlambat hanya karena sibuk dengan pekerjaannya. Aku tidak tahu bahwa kenyataannya jauh lebih berat dari itu.

Hari itu, seperti biasanya, aku pulang ke rumah setelah les matematika. Saat memasuki rumah, aku mendengar suara cekikan ayah yang terdengar sedikit terpaksa, seperti ada beban yang tak bisa ia sembunyikan. Aku melihatnya duduk di kursi, matanya terpejam, dan tangan kanannya memegang pundaknya yang tampak sakit.

“Kenapa, Yah?” tanyaku, berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.

Ayah tersenyum lemah, mencoba menutupi rasa sakit yang terlihat jelas di wajahnya. “Ah, cuma sedikit pegal. Jangan khawatir, Dania. Ayah cuma capek sedikit,” jawabnya, namun aku bisa merasakan ada yang salah.

Aku tidak berkata apa-apa lagi, hanya mengamati ayah dengan hati yang mulai terasa berat. Setiap hari aku melihatnya bekerja keras, dari pagi hingga malam, kadang sampai aku tidak bisa menghitung berapa banyak kali ia mengeluh. Ayah adalah sosok yang sangat kuat, tapi aku tahu, di balik tubuh kekar dan senyum yang ia tunjukkan, ada beban yang terus menerus ia pikul.

Ketika aku duduk di sampingnya, aku mulai merasa cemas. Rasanya ada yang tidak beres. Ayah terlihat jauh lebih lelah dari biasanya. Namun, aku berusaha untuk tetap tersenyum, berpura-pura tidak tahu apa-apa. “Yah, besok aku ada ujian, doakan aku ya,” kataku dengan nada ceria, mencoba mengalihkan perhatian.

Ayah tersenyum, meski tampak sedikit terpaksa. “Tentu, Dania. Kamu pasti bisa, ayah yakin.” Sambil mengusap kepalaku dengan lembut, ia menambahkan, “Jangan lupa belajar, ya.”

Aku menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan air mata yang sudah mulai menggenang. Ayah sudah melakukan begitu banyak untukku, dan aku hanya bisa memberi sedikit kebahagiaan dengan senyumku. Tapi aku merasa, aku belum cukup memberi. Aku belum cukup bisa membalas segala pengorbanan yang ia lakukan.

Saat itu, aku mulai menyadari betapa kerasnya hidup yang dijalani ayah. Tidak hanya fisiknya yang lelah, tapi hatinya pun penuh dengan beban. Ia berjuang tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk masa depan aku anaknya yang ia harap bisa meraih semua impian.

Dari situlah aku mulai berpikir. Aku ingin melakukan lebih banyak untuk ayah. Aku ingin membuktikan bahwa segala pengorbanannya tidak sia-sia. Aku ingin melihat ayah bahagia, meskipun aku tahu ia tak pernah berharap banyak. Bagi ayah, kebahagiaanku adalah segalanya. Tapi aku ingin memberinya sesuatu yang lebih.

Sejak hari itu, aku bertekad untuk berusaha lebih keras di sekolah, bukan hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk ayah. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa menjadi anak yang membuatnya bangga. Namun, aku tahu itu tidak akan mudah. Terkadang, hidup memang penuh dengan perjuangan untuk ayah, untukku, untuk masa depan kami berdua.

 

Bayang-Bayang Kesulitan

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan aku merasa semakin terhimpit oleh kenyataan hidup yang semakin jelas terlihat. Setiap pagi, aku terbangun lebih awal, bergegas ke sekolah, dan menatap wajah ayah yang masih tertidur di kursi favoritnya, lelah setelah semalaman bekerja. Hatiku terasa berat, dan aku mulai merasa bahwa hidupku tidak akan selalu bisa hanya tentang tawa dan pertemanan. Ada yang lebih besar yang harus kutanggung.

Pagi itu, aku berangkat sekolah seperti biasa, dengan ransel di punggung dan mata yang sedikit mengantuk karena tidur yang kurang. Namun, di balik mataku yang setengah terpejam, ada pikiran yang terus mengganggu. Semakin aku berusaha mengabaikannya, semakin aku merasakannya dengan jelas aku harus lebih memperhatikan ayah. Aku harus berbuat lebih untuknya.

Di sekolah, aku menjadi lebih fokus. Pelajaran terasa lebih berat, namun aku tidak bisa membiarkan diriku melupakan tujuan utama untuk membahagiakan ayah. Setiap kali aku duduk di kelas, aku melihat teman-temanku yang bebas tertawa, bercanda, dan sepertinya tidak ada beban yang mereka rasakan. Mereka tidak tahu apa yang aku alami, dan aku tidak bisa memberi tahu mereka. Ini adalah perjuanganku sendiri.

Suatu hari, saat aku sedang berdiskusi tentang tugas fisika di kantin, aku menerima telepon dari rumah. Nomor yang muncul di layar adalah ayah. “Yah, ada apa?” tanyaku, merasa cemas.

“Ada yang harus ayah katakan, Dania,” suara ayah terdengar lemah. “Hari ini ayah tidak bisa pulang lebih awal. Ada masalah di pabrik. Kerjaanku semakin sulit.”

Aku terdiam. Rasanya dunia tiba-tiba terasa berat. “Ayah, jangan terlalu dipikirkan. Nanti akan ada jalan keluarnya,” kataku, mencoba menenangkan ayah meskipun hatiku juga dipenuhi kekhawatiran. Namun, aku tahu satu hal apa yang ayah katakan bukan hanya masalah di pabrik. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa dia ceritakan padaku.

Setelah menutup telepon, aku merasa semakin cemas. Selesai pelajaran, aku langsung pulang. Tidak peduli seberapa banyak teman-temanku yang mengajakku pergi, aku tidak peduli lagi dengan apapun selain ayah.

Sesampainya di rumah, aku melihat ayah duduk di meja makan, terlihat lebih lelah dari biasanya. Di meja, ada secangkir kopi yang sudah lama dingin, dan wajah ayah terlihat lebih tua dari biasanya. Aku mendekat, duduk di hadapannya, dan menyentuh tangan ayah dengan lembut. “Yah, kenapa?” tanyaku pelan.

Ayah hanya tersenyum tipis, senyum yang tampak berusaha menghibur aku meski tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. “Tidak ada apa-apa, Dania. Ayah cuma lelah,” jawabnya, suaranya sedikit serak.

Tapi aku tahu ada lebih dari itu. Ayah selalu berusaha keras menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya. Aku bisa melihat kesedihannya yang terpendam. Wajahnya yang keriput lebih dalam, matanya yang mulai kehilangan semangat. Aku merasa seperti ada sesuatu yang mencuri kebahagiaan ayah sedikit demi sedikit. Dan aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya bisa duduk di sana, menyaksikan ayah yang begitu keras berjuang, namun tampak kelelahan.

Di malam hari, aku duduk di samping ayah, menemani dia makan. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Suasana terasa hening, penuh dengan rasa cemas yang belum terungkapkan. Satu hal yang kupahami saat itu, perjuangan ayah bukan hanya soal pekerjaan yang berat, tetapi juga soal bagaimana ia mencoba memberikan hidup yang lebih baik untukku. Ayah berusaha keras agar aku bisa sekolah dengan nyaman, agar aku bisa meraih impian-impian yang aku punya tanpa harus memikirkan kesulitan-kesulitan yang ada.

Aku teringat kata-kata ayah yang pernah diucapkannya saat aku masih kecil: “Hidup itu kadang tidak mudah, Dania. Tapi percayalah, ayah akan selalu berjuang untukmu. Kamu harus selalu percaya bahwa di balik setiap kesulitan, ada jalan keluar yang bisa kita tempuh bersama.”

Aku ingin menjadi seperti ayah tak pernah menyerah meskipun segala sesuatu terasa mustahil. Dengan tekad yang semakin kuat, aku tahu aku harus melakukan lebih banyak untuk membantu ayah. Aku ingin mengurangi beban yang ada di pundaknya. Aku ingin bekerja keras, belajar lebih giat, dan membuktikan bahwa segala pengorbanan ayah tidak sia-sia. Aku ingin ayah tahu bahwa aku tidak akan pernah menyerah, tidak hanya untuk diriku, tetapi juga untuknya.

Namun, aku tahu ini bukan perjalanan yang mudah. Perjuanganku baru dimulai, dan meskipun jalan yang akan aku tempuh penuh dengan tantangan, aku tidak akan berhenti. Karena ayah sudah terlalu banyak berkorban untukku, dan kini saatnya aku memberikan sesuatu kembali sesuatu yang bisa membuat ayah tersenyum tanpa rasa lelah yang menggerogoti tubuhnya.

Saat aku duduk di samping ayah, aku berjanji dalam hati aku akan terus berjuang, untuknya, untuk masa depan kami berdua.

 

Titik Balik

Hari-hari setelah perbincangan itu berjalan dengan penuh keheningan. Setiap hari, aku bangun lebih pagi dari biasanya, membantu pekerjaan rumah sebelum berangkat sekolah. Ayah semakin sering pulang larut malam, dan aku tahu betul betapa lelahnya dia. Wajahnya semakin terlihat tua, garis-garis lelah semakin mendalam, dan aku merasa hatiku semakin sesak melihatnya. Tapi meskipun begitu, ayah tidak pernah mengeluh. Dia tetap berusaha untuk memberi yang terbaik, walaupun terlihat jelas bahwa beban hidup mulai semakin terasa berat.

Pada suatu malam, saat aku pulang dari sekolah, aku melihat lampu rumah yang sudah padam, dan hanya ada suara kipas angin yang berputar pelan di ruang tamu. Di dapur, aku mendapati ayah sedang duduk sendirian, matanya kosong memandang secangkir kopi yang sudah tidak hangat lagi. Begitu aku masuk, dia menoleh, tersenyum, namun senyum itu tidak mampu menutupi kelelahan yang ada di matanya.

“Dania, kamu sudah pulang?” tanya ayah pelan, sambil mencoba terdengar ceria meskipun aku tahu betapa beratnya yang sedang dia rasakan.

“Iya, Yah. Sudah makan?” tanyaku, menatapnya dengan penuh perhatian.

Ayah menggeleng, kemudian mengangkat bahu. “Nggak, nggak lapar.”

Aku menatapnya khawatir, tetapi memilih untuk tidak memaksanya. Aku tahu, ayah lebih suka mengabaikan rasa lapar jika dia terlalu lelah. Aku duduk di hadapannya, menarik napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang bisa meringankan suasana hati kami. Tapi, entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Sesuatu yang aku tidak bisa ungkapkan.

“Kamu nggak usah khawatir, Dania. Aku baik-baik saja,” kata ayah, sambil mencoba untuk tersenyum. Namun, suaranya serak, seperti menahan rasa sakit yang terpendam dalam diri.

Aku merasa sesak. Tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ayah mungkin tidak mengeluh, tapi aku bisa merasakan rasa sakit yang ia sembunyikan. Aku tahu betul dia berjuang keras, bahkan mungkin sampai batas yang tak terjangkau olehku. Aku hanya seorang anak SMA yang mencoba menjalani kehidupan sebaik mungkin, tetapi ada bagian dari diriku yang merasa bersalah karena tidak bisa lebih banyak membantu ayah.

Keesokan harinya, ayah tidak pulang sampai larut malam. Aku terbangun tengah malam, dan tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk menungguinya di ruang tamu. Aku hanya ingin berbicara, memberi dukungan, meskipun aku tidak tahu harus mulai dari mana. Waktu terasa begitu lama ketika akhirnya ayah pulang sekitar pukul dua pagi. Keringat bercucuran di wajahnya, dan tubuhnya tampak lemas. Dia berjalan pelan menuju ruang tamu, tidak menyadari aku yang sedang duduk di sana.

“Ayah…” aku memanggilnya dengan suara pelan, namun suaraku teredam oleh keheningan malam.

Ayah terkejut, menoleh, dan menatapku dengan tatapan penuh kelelahan. “Dania, kenapa kamu masih terjaga?”

“Ayah… kamu nggak usah sendiri, loh. Aku di sini,” jawabku, sambil berusaha untuk tersenyum meskipun hatiku terasa sesak.

Ayah menunduk, menarik napas panjang. “Aku hanya tidak ingin membebanimu, Dania. Kamu masih muda, kamu harus fokus belajar dan meraih masa depanmu.”

“Ayah…” aku mendekat, duduk di sampingnya, dan menggenggam tangannya. “Aku nggak mau hanya hidup untuk diriku sendiri. Aku juga mau bantu ayah, walaupun aku tahu ini nggak mudah. Tapi, aku janji, Yah, aku nggak akan menyerah. Aku akan tetap berjuang, untuk kita berdua.”

Aku bisa merasakan tangan ayah yang gemetar di tanganku, dan saat itu, aku tahu kami tidak bisa terus hidup seperti ini. Kami harus berubah. Kami harus bangkit bersama.

Hari-hari selanjutnya, aku semakin berusaha keras untuk menunjukkan dukunganku kepada ayah. Setiap malam, aku tetap duduk menemaninya, berbicara tentang apa saja untuk mengalihkan perasaan lelahnya. Aku mencoba untuk lebih mandiri, menyelesaikan pekerjaan rumah tanpa harus membuatnya khawatir. Meski tidak banyak yang bisa kulakukan, aku tahu ini adalah cara terbaik untuk meringankan beban ayah. Aku juga mulai mengerjakan lebih banyak tugas, mencoba lebih giat di sekolah. Aku tidak ingin ayah merasa sia-sia berjuang keras.

Suatu sore, saat aku sedang belajar di meja, ayah datang membawa sepucuk surat. Wajahnya tampak berbeda, sedikit lebih cerah. “Dania, ada sesuatu yang baik,” katanya dengan suara yang lebih bersemangat dari biasanya. Aku menatapnya dengan penuh harap.

“Apa, Yah?” tanyaku penasaran.

Ayah menunjukkan surat itu padaku. Itu adalah surat pemberitahuan bahwa dia diterima dalam program pelatihan kerja yang lebih baik, dengan gaji yang lebih tinggi. Ayah akan mendapatkan kesempatan untuk bekerja di perusahaan yang lebih besar, dengan kesempatan yang lebih baik. Aku terdiam sejenak, mencerna semua itu.

“Tapi… apa ini berarti ayah harus pergi?” tanyaku, sambil merasa takut jika ayah harus bisa meninggalkan kami.

Ayah tersenyum lembut. “Tidak, Dania. Ini artinya aku bisa bekerja dengan lebih baik di sini. Kita akan bisa mengubah hidup kita, bisa lebih baik dari sebelumnya.”

Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Aku merasa sangat lega dan bangga pada ayah. Perjuangannya tidak sia-sia. Setiap tetes keringatnya, setiap malam yang terlewat, akhirnya membuahkan hasil. Kami akhirnya menemukan secercah harapan.

Aku memeluk ayah erat-erat, merasakan betapa kerasnya perjuangan yang telah dia lakukan untukku. “Ayah, terima kasih,” bisikku, dengan suara yang serak karena menahan tangis. “Aku janji akan selalu berusaha lebih keras, untuk kita berdua.”

Saat itu, aku menyadari satu hal perjuangan tidak akan pernah mudah, tetapi dengan usaha dan ketekunan, kita pasti bisa menemukan jalan. Aku akan terus berjuang, tidak hanya untuk masa depanku, tetapi juga untuk masa depan ayah dan kami berdua. Aku tidak akan pernah berhenti, apapun yang terjadi.

 

Harapan yang Terpancar

Malam itu, langit dipenuhi bintang-bintang yang bercahaya terang. Aku dan ayah duduk di beranda rumah, menikmati udara malam yang terasa segar. Hati kami sudah tidak sekaku dulu, ada harapan yang tumbuh perlahan, seperti bunga yang mulai mekar di tengah musim kemarau. Walaupun perjalanan yang kami jalani penuh perjuangan, kami akhirnya mulai merasakan sedikit kedamaian setelah banyak pertempuran yang kami lewati bersama. Ayah tidak lagi pulang dengan wajah lelah, dan aku pun tidak lagi merasa khawatir sepanjang waktu.

Namun, kenyataan hidup tidak selalu berjalan mulus seperti yang diharapkan. Pagi itu, ayah menerima panggilan telepon yang mengubah segalanya. Aku sedang duduk di ruang tamu, menatap layar ponsel, saat mendengar suara ayah yang terdengar sedikit tegang dari ruang belakang.

“Dania, kamu bisa ke sini sebentar?” panggilnya dari ruang kerjanya.

Aku menutup ponselku, berjalan mendekat, merasakan ketegangan yang tiba-tiba mencengkeram hatiku. Ayah duduk di meja kerjanya, wajahnya serius, dan ada sesuatu yang berbeda kali ini. Mungkin ada yang tidak beres, pikirku.

“Ada apa, Yah?” tanyaku dengan suara pelan, mencoba membaca ekspresi ayah yang tampak cemas.

Ayah menghela napas panjang, kemudian menatapku. “Dania, ada kabar buruk. Perusahaan tempat aku bekerja mengurangi banyak karyawan, dan sayangnya, aku salah satu yang terpaksa diberhentikan.”

Seperti ada batu besar yang jatuh menimpa dadaku, aku merasa dunia seakan berhenti berputar sejenak. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja ayah katakan. Ayah yang selama ini berjuang keras untuk memberikan yang terbaik, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan pahit ini.

“Apa yang harus kita lakukan, Yah?” aku akhirnya berhasil berbicara, meski suaraku serak, menahan air mata yang ingin keluar.

Ayah menatapku dengan mata yang penuh kelelahan, namun ada kekuatan yang tidak bisa aku pungkiri di dalam sorot matanya. “Aku tidak tahu, Dania. Tapi aku akan terus berusaha. Kita harus tetap bertahan.”

Kata-kata itu, meskipun sederhana, menguatkan hatiku. Ayah mungkin merasa terpuruk, namun dia tidak akan menyerah. Kami berdua tahu, tidak ada jalan yang mudah dalam hidup ini. Kami hanya perlu berusaha lebih keras lagi, bertahan, dan terus maju meskipun rintangan datang silih berganti.

Sejak saat itu, hidup kami berubah lagi. Ayah mulai mencari pekerjaan baru, mengirimkan lamaran ke sana-sini, meskipun itu bukan hal yang mudah di tengah kondisi yang tidak pasti. Sementara itu, aku pun mulai berusaha lebih keras di sekolah, menjaga supaya tidak ada yang berubah dalam diriku. Aku sadar, aku harus lebih mandiri, karena tidak ada lagi yang bisa ayah andalkan selain diriku.

Hari demi hari, kami menghabiskan waktu berdua. Aku membantu ayah mencari peluang pekerjaan, mengisi waktu dengan hal-hal positif, dan berusaha meringankan beban yang dia rasakan. Kadang aku merasa lelah, dan ada kalanya aku ingin menyerah. Namun setiap kali melihat ayah yang tetap tegar, aku merasa malu jika aku mengeluh. Ayah terus bekerja keras, walaupun kadang matanya tampak semakin lelah.

Satu hari, saat aku pulang dari sekolah, aku mendapati ayah sedang duduk di ruang tamu dengan wajah yang sedikit lebih cerah dari biasanya. Ada surat di tangannya, dan aku bisa melihat sedikit senyum di bibirnya. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda.

“Ayah, ada apa?” tanyaku, mendekat.

Ayah menatapku dengan senyum yang lebih lebar. “Aku dapat pekerjaan baru, Dania. Tidak besar, tapi ini cukup untuk kita bertahan.”

Aku terdiam, hampir tidak percaya. Rasanya seperti ada beban berat yang terangkat dari pundak kami berdua. Wajah ayah yang semula suram kini dipenuhi kebahagiaan yang tulus. Aku bisa merasakan hati kami yang dipenuhi harapan kembali, meskipun tantangan masih akan terus ada di depan.

“Ayah… terima kasih,” bisikku, memeluknya erat. Aku tahu, meskipun hidup kami belum sempurna, kami sudah melalui banyak hal bersama. Kami belajar untuk saling mendukung dan tidak pernah menyerah, apapun yang terjadi.

Pada hari-hari berikutnya, kami menjalani kehidupan dengan cara yang baru. Ayah bekerja keras di pekerjaan barunya, dan aku berusaha lebih giat belajar. Kami berdua tahu bahwa jalan yang kami tempuh tidak mudah, tetapi kami tidak akan pernah berhenti berjuang. Kami saling memberi kekuatan dan percaya bahwa suatu hari nanti, semuanya akan menjadi lebih baik.

Suatu malam, saat kami duduk bersama, ayah memandangiku dengan tatapan yang penuh kasih sayang. “Dania, kamu adalah alasan aku bertahan. Terima kasih sudah menjadi anak yang luar biasa.”

Aku tersenyum, merasakan hangatnya cinta ayah yang tak ternilai. “Tidak, Yah. Kita berjuang bersama-sama. Kamu lebih dari cukup bagi aku. Aku akan terus berjuang, untuk kita.”

Dan malam itu, kami berdua duduk dalam keheningan yang penuh makna. Mungkin perjalanan hidup kami tidak sempurna, tetapi kami tahu satu hal pasti: kami akan terus bersama, saling mendukung, dan berjuang untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Karena kami percaya, tidak ada perjuangan yang sia-sia, dan harapan selalu ada, meskipun datang dalam bentuk yang tak terduga.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerpen “Harapan yang Tak Pernah Padam” mengajarkan kita tentang kekuatan cinta seorang ayah dan pentingnya tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Meskipun hidup tak selalu mudah, perjuangan seorang ayah untuk memberi kebahagiaan dan masa depan yang lebih baik bagi anaknya akan selalu menginspirasi. Semoga cerita ini memberikan motivasi dan pengingat bagi kita semua untuk menghargai orang tua yang telah berjuang tanpa kenal lelah demi kebahagiaan kita. Jangan pernah ragu untuk terus berusaha, karena setiap usaha, sekecil apapun, pasti membawa harapan baru.

Leave a Reply