Pengorbanan Cinta di Balik Senja: Kisah Haru yang Menggetarkan Hati

Posted on

Apakah Anda pernah merasakan dilema antara mengejar mimpi dan tanggung jawab kepada keluarga? Pengorbanan Cinta di Balik Senja adalah cerpen yang menghadirkan kisah mendalam tentang Lintang Aruna, seorang gadis desa dengan bakat melukis, yang terjebak di persimpangan antara ambisi pribadi dan pengorbanan untuk kebahagiaan orang tua. Dengan latar desa Sukawarna yang memukau dan alur yang penuh emosi, cerita ini mengajak Anda menyelami makna sejati dari cinta, keluarga, dan perjuangan. Siapkah Anda terhanyut dalam kisah yang akan menggugah jiwa?

Pengorbanan Cinta di Balik Senja

Bayang-Bayang di Rumah Tua

Di sebuah desa kecil bernama Sukawarna, tersembunyi di antara perbukitan hijau dan aliran sungai yang jernih, berdiri sebuah rumah tua berdinding kayu yang mulai lapuk. Rumah itu milik keluarga Renggana, sebuah keluarga sederhana yang hidup dari hasil kebun kecil dan tenunan kain tradisional. Di dalam rumah itu, tinggal tiga jiwa: Widari, seorang ibu berusia 54 tahun dengan rambut beruban yang selalu diikat rapi, suaminya, Suryanta, yang kini terbaring lemah karena penyakit paru-paru, dan putri semata wayang mereka, Lintang Aruna, gadis berusia 24 tahun dengan mata cokelat yang menyimpan sejuta mimpi.

Lintang adalah sosok yang penuh semangat, namun hidupnya di desa terasa seperti sangkar emas yang indah namun membatasi. Ia memiliki bakat luar biasa dalam melukis, sebuah kemampuan yang ia warisi dari kakeknya, seorang pelukis terkenal di masa mudanya. Setiap sore, Lintang akan duduk di beranda rumah, menghadap ke arah perbukitan yang disapu warna jingga senja, dengan kuas dan kanvas di tangannya. Ia melukis pemandangan, tetapi lebih sering ia melukis perasaan—campuran rindu, harapan, dan beban yang tak pernah ia ucapkan.

Hari itu, seperti biasa, Lintang duduk di beranda dengan kanvas kosong di depannya. Angin sepoi-sepoi membelai wajahnya, membawa aroma tanah basah setelah hujan pagi. Ia memandang ke arah ibunya, Widari, yang sedang menenun di sudut ruangan. Gerakan tangan Widari begitu lincah, namun matanya tampak kosong, seolah pikirannya melayang ke tempat yang jauh. Di kamar sebelah, terdengar batuk keras Suryanta, yang kini hanya mampu berbaring di tempat tidur sederhana dengan kasur kapuk yang sudah usang.

“Lintang, apa kau sudah makan siang?” tanya Widari tanpa mengalihkan pandangan dari kain tenunnya.

“Sudah, Bu. Tadi pagi Ibu masak sayur kol, ‘kan? Enak sekali,” jawab Lintang, meski sebenarnya ia hanya memakan sepiring nasi dengan garam karena persediaan makanan di rumah semakin menipis.

Widari mengangguk pelan, tapi Lintang tahu ibunya bisa merasakan kebohongan kecil itu. Kehidupan mereka memang semakin sulit. Obat-obatan untuk Suryanta menghabiskan hampir seluruh tabungan keluarga, dan hasil penjualan kain tenun Widari tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lintang sering memikirkan cara untuk membantu, tapi ia tahu bahwa mimpinya untuk menjadi pelukis profesional di kota besar hanyalah angan-angan yang terlalu mahal untuk dikejar.

Malam itu, setelah membantu Widari membersihkan dapur, Lintang duduk di samping ayahnya. Suryanta, yang dulu dikenal sebagai pria kuat yang mampu mengangkat karung beras dengan satu tangan, kini tampak rapuh. Kulitnya pucat, dan nafasnya tersengal-sengal. Namun, matanya masih menyimpan kehangatan yang sama saat ia memandang putrinya.

“Lintang, apa kau masih melukis?” tanya Suryanta dengan suara parau.

Lintang tersenyum kecil. “Tentu, Yah. Tapi akhir-akhir ini kanvasnya sering kosong. Entah kenapa, kuas ini seperti tak mau menari lagi.”

Suryanta menghela nafas panjang, lalu meraih tangan Lintang. “Jangan pernah berhenti melukis, Nak. Itu anugerahmu. Ayah tahu, hidup ini berat, tapi kau harus tetap bermimpi. Jangan seperti Ayah, yang menyerah pada mimpinya dulu.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Lintang. Ia tahu ayahnya dulu bercita-cita menjadi seorang guru, tapi ia meninggalkan mimpinya demi menikahi Widari dan membangun keluarga. Lintang ingin menangis, tapi ia menahan air matanya. Ia tak ingin ayahnya melihatnya lemah.

Pagi berikutnya, saat matahari baru saja muncul di ufuk timur, Lintang berjalan ke pasar desa untuk menjual beberapa lukisannya. Ia membawa tiga kanvas yang telah ia selesaikan beberapa bulan lalu: satu lukisan tentang senja di perbukitan, satu lagi tentang seorang wanita tua yang menenun di bawah pohon beringin, dan satu lukisan abstrak yang penuh warna-warni emosi yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Pasar desa Sukawarna bukan tempat yang ideal untuk menjual lukisan—kebanyakan orang di sana lebih tertarik membeli beras atau sayuran—tapi Lintang tak punya pilihan lain.

Di sudut pasar, ia bertemu dengan Pak Darma, seorang pedagang tua yang dikenal baik hati. Pak Darma memandang lukisan-lukisan Lintang dengan kagum. “Kau punya bakat besar, Lintang. Lukisanmu hidup, seperti punya jiwa. Tapi sayang, di desa ini orang lebih butuh makanan daripada seni.”

Lintang tersenyum pahit. “Saya tahu, Pak. Tapi saya harus mencoba. Ayah saya sakit, dan obatnya mahal.”

Pak Darma mengangguk, lalu mengeluarkan dompetnya. “Aku beli yang ini,” katanya sambil menunjuk lukisan senja. “Bukan karena aku mengerti seni, tapi karena aku tahu kau butuh bantuan. Ini bukan sedekah, ya. Lukisan ini memang bagus.”

Lintang menerima uang itu dengan tangan gemetar. Ia tahu harga yang diberikan Pak Darma jauh lebih tinggi dari nilai lukisan itu di pasar desa. “Terima kasih, Pak,” katanya, suaranya hampir pecah.

Sepulang dari pasar, Lintang menyerahkan uang itu kepada Widari. Ibunya memandangnya dengan mata berkaca-kaca. “Kau tak seharusnya menjual lukisanmu begitu murah, Lintang. Itu karya hatimu.”

“Tapi ini untuk Ayah, Bu,” jawab Lintang lembut. “Lukisan bisa dibuat lagi. Kesehatan Ayah jauh lebih penting.”

Widari memeluk putrinya erat-erat. Dalam pelukan itu, Lintang merasakan beban yang tak pernah ia ucapkan: rasa bersalah karena tak bisa berbuat lebih banyak, dan ketakutan bahwa waktu ayahnya mungkin tak lama lagi.

Malam itu, saat hujan mulai turun dan suara tetesan air menghantam atap seng, Lintang duduk di kamarnya, memandang kanvas kosong yang masih tersisa. Ia teringat sebuah surat yang ia terima beberapa minggu lalu dari sebuah galeri seni di Jakarta. Galeri itu menawarkan kesempatan untuk mengikuti pameran seni nasional, sebuah kesempatan yang bisa mengubah hidupnya. Tapi syaratnya, ia harus pindah ke Jakarta dan membayar biaya pendaftaran yang tak murah. Lintang tahu, jika ia pergi, ia harus meninggalkan ayah dan ibunya yang sedang berjuang. Tapi jika ia tinggal, mimpinya untuk menjadi pelukis mungkin akan terkubur selamanya di desa ini.

Dengan tangan gemetar, ia mengambil kuas dan mulai melukis. Kali ini, ia melukis wajah ayahnya—wajah yang penuh keriput namun dipenuhi cinta. Setiap goresan kuas terasa seperti pengakuan atas pengorbanan yang telah ayah dan ibunya lakukan untuknya. Tapi di sudut hatinya, ada suara kecil yang bertanya: apakah ia juga harus mengorbankan mimpinya demi mereka?

Hujan semakin deras, dan di tengah suara gemuruh itu, Lintang menangis dalam diam. Ia tahu, keputusan yang ia buat dalam beberapa hari ke depan akan mengubah hidupnya—dan hidup keluarganya—selamanya.

Pilihan di Persimpangan

Pagi di Sukawarna selalu dimulai dengan kabut tipis yang menyelimuti perbukitan, seolah alam ingin menyembunyikan rahasia dunia dari mata manusia. Lintang Aruna bangun sebelum fajar, seperti kebiasaannya sejak kecil. Ia menyalakan tungku di dapur, memanaskan air untuk teh pahit yang selalu diminum ibunya, Widari, sebelum mulai menenun. Namun, pagi ini, pikiran Lintang tak setenang biasanya. Surat dari galeri seni di Jakarta masih tergeletak di atas meja kecil di kamarnya, tersembunyi di antara tumpukan sketsa dan cat yang mulai mengering. Surat itu seperti mercusuar yang memanggilnya ke dunia baru, namun juga seperti jangkar yang mengikatnya pada kenyataan pahit di rumah.

Lintang berjalan keluar rumah, membawa sekeranjang pakaian kotor menuju sungai kecil yang mengalir tak jauh dari rumah. Air sungai yang jernih mencerminkan langit yang mulai memerah. Ia mencuci pakaian dengan gerakan mekanis, namun pikirannya melayang. Ia membayangkan dirinya berdiri di tengah galeri seni yang megah, dikelilingi orang-orang yang mengagumi lukisannya. Ia membayangkan wajah ayah dan ibunya yang bangga, tapi bayangan itu segera lenyap ketika ia teringat batuk keras Suryanta semalam, yang membuatnya terjaga hingga dini hari.

Saat kembali ke rumah, Lintang melihat Widari sedang duduk di beranda, menatap ke arah perbukitan dengan ekspresi yang sulit dibaca. Di tangannya, ia memegang kain tenun yang belum selesai, motifnya rumit dengan perpaduan warna merah dan biru tua yang mencerminkan jiwa Sukawarna. Lintang duduk di samping ibunya, mencoba mencari kata-kata untuk memulai percakapan, tapi Widari lebih dulu membuka suara.

“Lintang, aku tahu kau menyimpan sesuatu,” katanya lembut, namun nada suaranya penuh kepastian. “Kau tak bisa menyembunyikan beban di hatimu dari ibumu.”

Lintang tersentak. Ia ingin menyangkal, tapi matanya yang berkaca-kaca mengkhianatinya. Dengan hati-hati, ia mengambil surat dari galeri seni yang ia simpan di saku roknya dan menyerahkannya kepada Widari. “Ini datang beberapa minggu lalu, Bu. Mereka mengundangku untuk pameran seni di Jakarta. Tapi… aku harus ke sana, dan biayanya… kita tidak mampu.”

Widari membaca surat itu dengan saksama, jari-jarinya yang kasar karena bertahun-tahun menenun menyentuh kertas itu dengan lembut, seolah takut merusaknya. Setelah beberapa saat, ia menghela nafas panjang. “Ini kesempatan besar, Lintang. Kau tahu betapa ayahmu dan aku selalu ingin kau mengejar mimpimu.”

“Tapi bagaimana dengan Ayah?” tanya Lintang, suaranya bergetar. “Obatnya mahal, Bu. Dan kalau aku pergi, siapa yang akan membantu Ibu di sini? Aku tidak bisa meninggalkan kalian.”

Widari memandang putrinya dengan mata yang penuh cinta, namun juga penuh kesedihan. “Kau bukan hanya anak kami, Lintang. Kau adalah harapan kami. Jika kau tinggal di sini demi kami, kau akan menyesalinya seumur hidup. Dan itu… itu akan lebih menyakitkan bagi kami daripada apa pun.”

Kata-kata Widari seperti anak panah yang menembus hati Lintang. Ia ingin berdebat, ingin berkata bahwa ia tak akan menyesal, tapi ia tahu itu bohong. Di sudut hatinya, ia merindukan dunia yang lebih luas, dunia di mana ia bisa melukis tanpa khawatir tentang tagihan rumah sakit atau stok beras yang menipis. Tapi setiap kali ia membayangkan dirinya pergi, wajah ayahnya yang semakin pucat dan suara batuknya yang memilukan menghentikan langkahnya.

Siang itu, Lintang memutuskan untuk pergi ke kota kecil terdekat, sekitar dua jam perjalanan dengan angkot tua yang sering mogok. Ia membawa dua lukisan lagi, berharap bisa menjualnya di galeri kecil yang dikelola oleh seorang wanita bernama Ibu Sari, yang dikenal menyukai seni lokal. Perjalanan ke kota selalu melelahkan, dengan jalan berbatu yang membuat tubuhnya terombang-ambing di dalam angkot. Tapi Lintang tak peduli. Ia harus mencoba, demi ayahnya.

Sesampainya di galeri, Ibu Sari menyambutnya dengan senyum hangat. Wanita berusia 60-an tahun itu memiliki rambut pendek yang dicat merah menyala, sebuah kontras dengan pakaian sederhananya. “Lintang, sudah lama kau tak mampir. Apa kabar ayahmu?” tanyanya sambil mengajak Lintang masuk.

“Masih sama, Bu,” jawab Lintang, mencoba tersenyum. “Saya bawa dua lukisan lagi. Mungkin Ibu tertarik?”

Ibu Sari memeriksa lukisan-lukisan itu dengan saksama. Yang pertama adalah potret seorang anak kecil yang bermain di tepi sungai, dengan air yang berkilauan di bawah sinar matahari. Yang kedua adalah lukisan abstrak, penuh dengan goresan warna biru dan abu-abu yang seolah menggambarkan badai di hati Lintang. Ibu Sari mengangguk pelan, matanya tak lepas dari kanvas.

“Lukisanmu selalu punya cerita, Lintang,” katanya. “Aku akan beli keduanya. Tapi… aku dengar kau dapat undangan dari galeri di Jakarta. Kenapa kau masih di sini?”

Lintang terdiam. Ia tak tahu bahwa kabar itu telah menyebar. “Saya… saya belum tahu apa yang harus saya lakukan, Bu. Keluarga saya membutuhkan saya.”

Ibu Sari mengangguk, seolah memahami. “Aku dulu juga punya mimpi, Lintang. Aku ingin menjadi penari. Tapi aku memilih tinggal di kota ini demi ibuku yang sakit. Aku tak menyesal, tapi kadang aku bertanya-tanya, bagaimana jika aku berani melangkah? Jangan biarkan ‘bagaimana jika’ itu menghantuimu.”

Ucapan Ibu Sari membuat Lintang terdiam. Ia meninggalkan galeri dengan uang di tangannya, tapi hatinya semakin berat. Di perjalanan pulang, ia memandang keluar jendela angkot, melihat hamparan sawah yang hijau dan langit yang mulai merona jingga. Ia teringat kata-kata ayahnya: “Jangan seperti Ayah, yang menyerah pada mimpinya dulu.” Tapi bagaimana ia bisa mengejar mimpinya tanpa merasa bersalah meninggalkan keluarganya?

Malam itu, Lintang duduk di samping ayahnya, seperti kebiasaannya. Suryanta tampak lebih lemah dari biasanya, namun ia masih berusaha tersenyum. “Lintang, ceritakan padaku tentang lukisanmu hari ini,” katanya, suaranya hampir tak terdengar.

Lintang menggenggam tangan ayahnya, mencoba menahan air mata. “Saya melukis Ibu tadi sore, Yah. Ibu sedang menenun, dengan sinar matahari di belakangnya. Seperti lukisan kakek dulu.”

Suryanta tersenyum lemah. “Kau selalu bisa melihat keindahan, bahkan di saat-saat sulit. Itulah yang membuatmu istimewa, Nak.”

Lintang tak bisa menahan tangisnya lagi. Ia memeluk ayahnya, merasakan tulang-tulang rapuh di bawah kulitnya yang tipis. “Yah, saya dapat kesempatan untuk pameran di Jakarta. Tapi saya tak bisa pergi. Saya tak bisa meninggalkan Ayah dan Ibu.”

Suryanta memandang putrinya dengan mata yang penuh kasih. “Lintang, hidup ini tentang pilihan. Tapi jangan pernah memilih karena rasa takut atau rasa bersalah. Pilih karena cinta. Jika kau pergi, itu bukan karena kau meninggalkan kami, tapi karena kau ingin membuat kami bangga.”

Kata-kata itu terngiang di kepala Lintang sepanjang malam. Ia tak bisa tidur, berbaring di kasurnya sambil memandang langit-langit kayu yang penuh retakan. Di luar, suara jangkrik dan angin malam bercampur dengan aroma tanah basah. Lintang tahu, ia berdiri di persimpangan yang akan menentukan hidupnya. Apakah ia akan memilih mimpinya, atau pengorbanan demi keluarganya? Dan apakah ada cara untuk memiliki keduanya tanpa kehilangan salah satunya?

Langkah di Tengah Badai

Pagi di Sukawarna kembali menyapa dengan aroma tanah basah dan suara ayam jantan yang berkokok di kejauhan. Lintang Aruna terbangun dengan mata sembab, bekas tangis semalam masih terasa di kelopak matanya. Kata-kata ayahnya, Suryanta, tentang memilih karena cinta, terus bergema di kepalanya, namun kepastian yang ia cari tak kunjung datang. Surat dari galeri seni di Jakarta masih terlipat rapi di saku roknya, seperti pengingat yang tak pernah reda. Hari ini, ia memutuskan untuk mencari jawaban, meski ia tak tahu di mana harus memulai.

Lintang berjalan ke dapur, tempat Widari sudah sibuk mengaduk bubur jagung di atas tungku kayu. Asap tipis mengepul, membawa aroma sederhana yang selalu mengingatkan Lintang pada masa kecilnya, saat hidup terasa lebih ringan. Widari memandang putrinya sekilas, lalu kembali fokus pada masakannya. “Kau tidak tidur nyenyak, ya?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.

Lintang hanya mengangguk pelan, lalu duduk di bangku kayu di sudut dapur. “Bu, apa Ibu pernah menyesal? Maksudku… menikah dengan Ayah, tinggal di desa ini, meninggalkan mimpi Ibu?”

Widari berhenti mengaduk. Ia memandang Lintang dengan ekspresi yang sulit dibaca, campuran antara nostalgia dan kepedihan. “Dulu, Ibu ingin menjadi penutur cerita, seperti nenekmu. Ibu suka menceritakan legenda-legenda desa di depan api unggun, membuat orang-orang terpukau. Tapi ketika Ibu bertemu Ayah, Ibu tahu bahwa cinta itu kadang berarti memilih jalan yang berbeda. Aku tak menyesal, Lintang. Tapi itu tidak berarti aku tak pernah bertanya-tanya.”

Lintang menunduk, merasakan beban kata-kata ibunya. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi suara batuk keras Suryanta dari kamar sebelah menghentikan percakapan mereka. Widari segera beranjak, membawa segelas air hangat untuk suaminya. Lintang mengikuti dari belakang, hatinya terasa seperti dihimpit batu besar saat melihat ayahnya berbaring di kasur, napasnya tersengal-sengal.

“Lintang, bantu Ibu ambilkan obat Ayah di lemari,” pinta Widari dengan suara tenang, meski matanya menunjukkan kekhawatiran.

Lintang membuka lemari kayu yang sudah tua, mencari botol kecil berisi pil yang harganya setara dengan hasil tenunan ibunya selama seminggu. Saat ia mengambil botol itu, ia melihat sebuah kotak kecil di sudut lemari, tersembunyi di balik tumpukan kain. Kotak itu berdebu, seolah tak pernah disentuh selama bertahun-tahun. Rasa penasaran menggodanya, tapi ia menahan diri dan menyerahkan obat kepada ibunya.

Setelah Suryanta meminum obatnya dan kembali tertidur, Lintang kembali ke lemari itu. Dengan hati-hati, ia mengambil kotak kecil tadi. Kotak itu terbuat dari kayu jati, diukir dengan motif bunga yang sudah memudar. Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku catatan tua dan beberapa lembar foto. Foto-foto itu menunjukkan Widari muda, tersenyum lebar di depan panggung kecil dengan latar belakang kain batik. Di foto lain, ada Suryanta muda, mengenakan seragam guru dengan pena di saku bajunya, memandang Widari dengan cinta yang jelas terlihat. Buku catatan itu berisi tulisan tangan Widari, penuh dengan puisi dan cerita pendek tentang cinta, pengorbanan, dan mimpi yang tertunda.

Lintang duduk di lantai, membaca setiap halaman dengan air mata yang tak terbendung. Ia baru menyadari betapa besar pengorbanan yang telah dilakukan ayah dan ibunya demi keluarga mereka. Widari yang meninggalkan panggungnya, Suryanta yang meninggalkan kelasnya, semua demi membesarkan Lintang di rumah tua ini. Rasa bersalah menyelimuti hatinya, tapi di saat yang sama, ia merasa terinspirasi. Jika ayah dan ibunya bisa berkorban demi cinta, mungkin ia juga bisa menemukan cara untuk menyeimbangkan mimpinya dengan tanggung jawabnya.

Siang itu, Lintang memutuskan untuk pergi ke bukit kecil di belakang desa, tempat ia sering melukis saat kecil. Ia membawa kanvas, kuas, dan cat, berharap alam bisa memberinya jawaban. Bukit itu dipenuhi rumput hijau dan pohon-pohon pinus yang berderit ditiup angin. Dari puncak bukit, ia bisa melihat seluruh desa Sukawarna, termasuk rumah tua mereka yang tampak kecil dari kejauhan. Lintang duduk di bawah pohon pinus, memandang kanvas kosong di depannya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa kuasnya ingin menari lagi.

Ia mulai melukis, menuangkan emosinya ke dalam warna-warna yang hidup. Ia melukis rumah tua mereka, dikelilingi oleh bunga-bunga liar yang tumbuh di halaman. Di depan rumah, ia melukis Widari dan Suryanta muda, berdiri bergandengan tangan, tersenyum seperti di foto-foto yang ia temukan tadi. Di langit, ia melukis senja dengan warna jingga dan ungu, seolah alam ikut merayakan cinta mereka. Setiap goresan kuas terasa seperti pelepasan, sekaligus pengakuan atas beban yang ia pikul.

Saat matahari mulai tenggelam, Lintang mendengar langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Widari, yang ternyata telah mengikutinya ke bukit. Ibunya membawa sehelai kain tenun baru, motifnya sederhana namun penuh makna, dengan warna-warna yang serasi dengan lukisan Lintang. “Aku tahu kau di sini,” kata Widari sambil duduk di sampingnya. “Kau selalu ke sini saat hatimu gelisah.”

Lintang tersenyum kecil, lalu menunjukkan lukisannya. “Ini untuk Ibu dan Ayah. Aku ingin kalian tahu bahwa aku melihat semua yang kalian lakukan untukku.”

Widari memandang lukisan itu dengan mata berkaca-kaca. “Lintang, kau harus pergi ke Jakarta. Ini bukan hanya tentang mimpimu, tapi juga tentang membawa cerita kami—cerita desa ini, cerita keluarga kita—ke dunia yang lebih luas. Aku dan Ayah akan baik-baik saja.”

“Tapi bagaimana dengan biayanya, Bu? Dan obat Ayah?” tanya Lintang, suaranya penuh keraguan.

Widari mengeluarkan sebuah amplop kecil dari saku bajunya. “Ini tabungan yang aku simpan selama bertahun-tahun. Tidak banyak, tapi cukup untuk tiketmu ke Jakarta dan biaya awal. Untuk Ayah, aku akan terus menenun. Dan kau… kau bisa mengirimkan hasil lukisanmu dari sana.”

Lintang memandang amplop itu dengan tak percaya. “Bu, ini… ini tabungan Ibu. Aku tidak bisa—”

“Kau bisa, dan kau harus,” potong Widari dengan tegas. “Ini bukan pengorbanan, Lintang. Ini cinta.”

Malam itu, Lintang duduk di kamarnya, memandang lukisan yang ia buat di bukit tadi. Amplop dari ibunya tergeletak di sampingnya, bersama surat dari galeri seni. Ia tahu keputusan yang harus ia ambil, tapi ketakutan masih mengintai di sudut hatinya. Bagaimana jika ia gagal di Jakarta? Bagaimana jika ayahnya memburuk saat ia pergi? Tapi di tengah semua pertanyaan itu, ia teringat lukisan yang ia buat—gambaran ayah dan ibunya yang tersenyum, penuh cinta. Ia tahu, apa pun yang terjadi, ia harus melangkah, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk mereka.

Hujan mulai turun lagi, suaranya menggema di atap seng. Lintang mengambil kuas dan mulai melukis lagi, kali ini sebuah potret dirinya sendiri, berdiri di tengah kota yang tak ia kenal, dengan senja Sukawarna di belakangnya. Lukisan itu adalah janjinya—janji untuk membawa cinta dan pengorbanan keluarganya ke mana pun ia pergi.

Cahaya di Ufuk Baru

Hujan telah reda di Sukawarna, meninggalkan udara segar yang membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Lintang Aruna berdiri di beranda rumah tua keluarganya, memandang perbukitan yang disapu cahaya pagi. Di tangannya, ia memegang tiket bus ke Jakarta yang dibelinya dengan tabungan Widari, ibunya. Amplop kecil itu kini kosong, tapi beratnya masih terasa di hati Lintang. Malam sebelumnya, ia telah berkemas: sebuah koper tua berisi pakaian sederhana, beberapa kanvas kosong, dan kotak cat yang sudah usang namun penuh kenangan. Di sudut koper, ia menyimpan buku catatan milik Widari yang ia temukan di lemari, sebagai pengingat akan pengorbanan ibunya.

Hari ini adalah hari keberangkatannya. Lintang merasa seperti burung yang akan lepas dari sangkar, namun sayapnya terasa berat oleh rasa rindu dan ketakutan. Ia melangkah masuk ke rumah, tempat Widari sedang menyiapkan sarapan sederhana: nasi hangat, telur dadar, dan sambal terasi yang aroma pedasnya memenuhi ruangan. Di kamar sebelah, Suryanta duduk di tempat tidur, bersandar pada bantal yang disusun untuk menopang tubuhnya yang semakin lemah. Batuknya kini lebih jarang, tapi setiap helaan napasnya terdengar seperti perjuangan.

“Lintang, makan dulu sebelum berangkat,” panggil Widari dari dapur, suaranya lembut namun penuh kehangatan.

Lintang duduk di meja makan, memandang piring di depannya. Ia tahu ini mungkin sarapan terakhir bersama keluarganya untuk waktu yang lama. “Bu, apa Ibu yakin aku harus pergi?” tanyanya, suaranya hampir berbisik. Meski keputusan sudah diambil, keraguan masih mengintai.

Widari duduk di sampingnya, menggenggam tangan Lintang. “Aku yakin, Nak. Kau membawa harapan kami bersamamu. Jangan pernah lupa itu.”

Suryanta, yang mendengar percakapan mereka dari kamar, berusaha bangkit dan berjalan perlahan menuju meja makan, dibantu oleh tongkat kayu yang ia gunakan akhir-akhir ini. Widari buru-buru berdiri untuk membantu, tapi Suryanta mengangkat tangan, menolak dengan senyum lemah. “Biarkan Ayah duduk bersama kalian,” katanya, suaranya parau namun penuh tekad.

Lintang menahan air mata saat melihat ayahnya duduk dengan susah payah. Suryanta memandang putrinya dengan mata yang penuh cinta. “Lintang, ingat apa yang Ayah bilang. Pilih karena cinta. Kau pergi ke Jakarta karena kau mencintai mimpimu, dan karena kau ingin membuat kami bangga. Itu cukup untuk Ayah.”

Kata-kata itu seperti pelita yang menerangi kegelapan di hati Lintang. Ia mengangguk, lalu memeluk ayahnya erat-erat, merasakan kehangatan tubuh yang kini terasa rapuh. Widari bergabung dalam pelukan itu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Di tengah rumah tua yang penuh retakan, cinta mereka tetap utuh, lebih kuat dari apa pun.

Perjalanan ke Jakarta dimulai siang itu. Lintang naik bus tua yang berderit, duduk di dekat jendela dengan koper di pangkuannya. Pemandangan desa Sukawarna perlahan memudar, digantikan oleh hamparan sawah, lalu jalan raya yang semakin ramai. Di dalam bus, ia menggenggam lukisan kecil yang ia buat malam sebelumnya—potret dirinya berdiri di tengah kota dengan senja Sukawarna di belakangnya. Lukisan itu adalah janjinya untuk tidak melupakan akarnya, apa pun yang terjadi.

Jakarta menyambut Lintang dengan hiruk-pikuk yang asing. Terminal bus dipenuhi orang-orang yang berlalu-lalang, suara klakson, dan aroma campur aduk dari asap knalpot dan makanan pedagang kaki lima. Lintang merasa kecil di tengah kota yang begitu besar, tapi ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah menuju alamat galeri seni yang tertera di surat. Dengan sisa uang dari Widari, ia menyewa kamar kos sederhana di gang sempit, tempat tidurnya hanya berupa kasur tipis di lantai dan jendelanya menghadap tembok tetangga.

Hari-hari pertama di Jakarta terasa seperti badai. Lintang menghadiri pertemuan dengan panitia pameran, yang ternyata jauh lebih ketat dari yang ia bayangkan. Mereka memintanya menyiapkan sepuluh lukisan baru dalam waktu sebulan, dengan tema “Cinta dan Pengorbanan.” Biaya bahan-bahan seperti kanvas dan cat ternyata jauh lebih mahal daripada di desa, dan Lintang harus berhemat dengan hanya makan sekali sehari, biasanya mie instan atau nasi bungkus dengan lauk tempe.

Di tengah kesulitan itu, Lintang menemukan kekuatan dalam buku catatan Widari. Setiap malam, setelah seharian melukis hingga tangannya kram, ia membaca puisi-puisi ibunya, yang menceritakan tentang cinta yang bertahan di tengah cobaan. Salah satu puisi berbunyi:
“Cinta adalah menanti di tengah hujan,
bukan karena takut basah,
tetapi karena janji untuk tetap ada.”

Puisi itu menginspirasinya untuk melukis. Ia menciptakan karya-karya yang penuh emosi: lukisan tentang Widari menenun di bawah cahaya bulan, Suryanta muda yang berdiri di depan papan tulis dengan kapur di tangannya, dan senja Sukawarna yang seolah menyimpan rahasia keluarga mereka. Setiap goresan kuas adalah curahan hati, pengakuan atas pengorbanan yang telah membawanya ke titik ini.

Hari pameran akhirnya tiba. Galeri seni di pusat kota Jakarta dipenuhi orang-orang, mulai dari kolektor seni hingga jurnalis yang membawa kamera. Lintang berdiri di sudut ruangan, mengenakan rok sederhana dan blus yang ia jahit sendiri dari kain tenun peninggalan Widari. Ia merasa tak pantas berada di sana, di antara orang-orang dengan pakaian mewah dan percakapan yang penuh istilah seni yang asing. Tapi ketika pengunjung mulai memandang lukisannya, berbisik tentang emosi yang terkandung di dalamnya, Lintang merasa jantungan hatinya mulai terbayar.

Seorang kolektor bernama Pak Wirawan, pria paruh baya dengan kacamata tebal, mendekatinya. “Lukisan Anda luar biasa, Nona Lintang. Saya ingin membeli tiga di antaranya, dan saya juga ingin menawarkan Anda kontrak untuk pameran berikutnya. Anda punya jiwa yang langka.”

Lintang hampir tak percaya. Uang dari penjualan itu cukup untuk mengirimi ayahnya obat selama setahun, dan kontrak itu berarti ia bisa terus melukis tanpa khawatir kehabisan dana. Ia mengangguk, air matanya mengalir tanpa suara. “Terima kasih, Pak. Ini… ini lebih dari yang saya impikan.”

Malam itu, Lintang menelpon Widari dari telepon umum di dekat kosannya. “Bu, lukisan saya laku! Saya akan mengirim uang besok. Ayah apa kabar?”

Widari terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang penuh kebanggaan. “Ayah baik, Nak. Ia tersenyum tadi saat Ibu ceritakan tentang pameranmu. Kami bangga padamu.”

Lintang menangis dalam diam, merasakan campuran kebahagiaan dan rindu yang tak terucapkan. Ia tahu perjalanan masih panjang, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa pengorbanannya—dan pengorbanan ayah dan ibunya—tidak sia-sia.

Setahun kemudian, Lintang kembali ke Sukawarna untuk pertama kalinya. Ia membawa hadiah: sebuah lukisan besar yang menjadi karya terbaiknya dalam pameran. Lukisan itu menggambarkan keluarganya: Widari dan Suryanta berdiri di beranda rumah tua, dengan Lintang kecil di antara mereka, dikelilingi senja yang berwarna jingga. Di bawah lukisan, ia menulis: “Untuk Ayah dan Ibu, karena cinta kalian, saya terbang.”

Suryanta, yang kini bisa duduk lebih lama berkat obat-obatan yang dikirim Lintang, memandang lukisan itu dengan air mata. “Kau berhasil, Nak,” katanya, suaranya penuh. Widari memeluk putrinya, dan untuk sesaat, rumah tua itu kembali penuh dengan tawa dan kehangatan.

Lintang tahu, perjalanan masih belum selesai. Tapi di bawah senja Sukawarna, ia merasa telah menemukan keseimbangan antara mimpinya dan cinta untuk keluarganya. Dan itu, baginya, adalah kemenangan terbesar.

Pengorbanan Cinta di Balik Senja bukan sekadar cerita, melainkan cerminan kehidupan yang mengajarkan kita tentang kekuatan cinta dan keberanian dalam menghadapi pilihan sulit. Kisah Lintang, Widari, dan Suryanta mengingatkan kita bahwa pengorbanan yang lahir dari hati selalu membawa cahaya, bahkan di tengah senja yang kelam. Jangan lewatkan untuk membaca cerpen ini dan temukan inspirasi dari perjuangan mereka yang begitu manusiawi.

Terima kasih telah menyimak ulasan tentang Pengorbanan Cinta di Balik Senja. Semoga kisah ini menginspirasi Anda untuk menghargai setiap momen bersama keluarga dan berani mengejar mimpi. Sampai jumpa di artikel berikutnya, dan jangan lupa bagikan cerita ini kepada mereka yang Anda sayangi!

Leave a Reply