Daftar Isi
Siapa bilang hidup itu selalu adil? Kadang, kita bisa berjuang habis-habisan dan tetap kehilangan yang paling berharga. Cerita ini bukan soal dongeng dengan akhir bahagia, tapi tentang seorang ayah yang rela mengorbankan segalanya untuk putri kecilnya, meski dunia tak selalu berpihak padanya. Siapkan tisu, karena kisah nyata ini bakal bikin kamu tersentuh dan sadar, bahwa cinta sejati nggak selalu datang dengan keajaiban.
Cerita Nyata yang Mengharukan
Di Ujung Harapan
Di sebuah desa kecil yang terletak jauh dari keramaian kota, hiduplah sebuah keluarga kecil yang sederhana. Di rumah berdinding bambu dan beratap seng itu, tinggallah Andi, Siti, dan anak perempuan mereka, Rika. Desa itu memang tak punya banyak, tapi bagi mereka, desa itulah dunia mereka. Rika adalah cahaya di tengah-tengah kehidupan mereka yang penuh keterbatasan.
Hari itu, seperti biasa, Siti sudah bangun lebih pagi dari ayam jantan. Udara pagi masih segar dan dingin, tapi Siti sudah duduk di depan mesin jahit tua yang menjadi satu-satunya sumber penghasilan tambahan keluarga mereka. Siti tahu, hari itu tidak akan mudah, karena Rika, anak semata wayangnya, sudah beberapa hari ini sering demam dan batuk.
“Mas, kamu sudah siap?” tanya Siti pelan, membangunkan Andi yang masih setengah tertidur. Andi membuka mata dan mengangguk.
“Iya, aku harus berangkat sekarang. Ada yang butuh tenaga di pasar,” jawab Andi sambil bangkit dari tempat tidur.
Andi selalu berangkat pagi untuk mencari pekerjaan apa saja yang bisa ia lakukan. Kadang ia mengangkut karung beras di pasar, kadang menjadi kuli bangunan, atau pekerjaan lainnya yang bisa menghasilkan uang meski hanya beberapa ribu rupiah. Semua itu ia lakukan demi Siti dan Rika, karena baginya, mereka adalah segalanya.
“Ayah, Rika ingin ikut!” Suara Rika yang tiba-tiba muncul dari balik pintu membuat Siti dan Andi terkejut. Rika, dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih setengah tertutup, berusaha tersenyum lebar seperti biasanya. Tapi kali ini, senyumnya tak seceria dulu. Matanya terlihat sedikit sayu, dan wajahnya pucat.
Andi menghampiri Rika, lalu berjongkok di hadapannya. “Rika, sayang, kamu masih sakit. Di rumah saja ya sama Ibu. Ayah janji nanti sore pulang bawa es krim, gimana?”
Rika menggeleng pelan, “Rika pengen ikut Ayah… biar Ayah gak capek sendiri.”
Siti menatap Andi dengan tatapan cemas. Ia tahu Rika sangat ingin membantu, meski usianya masih terlalu muda untuk memahami betapa beratnya beban hidup ini. Tapi Siti juga tahu bahwa kondisi Rika semakin memburuk, dan ia tak ingin mengambil risiko.
“Sayang, nanti kalau kamu sudah sembuh, kita main ke pasar ya,” kata Siti lembut, berusaha membujuk Rika.
Rika akhirnya mengangguk, meskipun terlihat enggan. Andi tersenyum dan mengusap kepala putrinya, “Pintar. Ayah akan cepat pulang, ya?”
Andi beranjak pergi, meninggalkan Siti dan Rika di rumah. Siti terus memandangi suaminya yang berjalan menjauh, hatinya penuh kekhawatiran. Ia tahu, kondisi Rika tidak bisa diabaikan lagi. Rasa takut bahwa mereka mungkin tidak akan punya cukup uang untuk mengobati Rika selalu menghantui pikiran Siti. Tapi, ia berusaha menepis kekhawatiran itu dan kembali pada pekerjaannya, berusaha keras menghasilkan sedikit uang tambahan dari setiap jahitan yang ia buat.
Siang itu, Rika semakin lemas. Siti yang sedang sibuk menjahit mendengar Rika batuk keras dari kamar. Ia segera berlari ke kamar Rika dan menemukan putrinya terbaring dengan wajah merah dan napas tersengal. Siti merasa panik, tapi ia tahu tak ada gunanya panik. Ia harus kuat, harus tetap tenang demi putrinya.
“Rika, sayang, kita minum obat dulu ya,” Siti mengangkat Rika dan memberinya obat yang mereka beli dari puskesmas. Rika menelan obat itu dengan susah payah, lalu bersandar lemah di pelukan ibunya.
“Ibu, kapan Rika bisa sembuh? Rika kangen main sama teman-teman…” Rika bertanya dengan suara lirih, membuat hati Siti terasa perih.
“Rika pasti sembuh, sayang. Kamu harus istirahat yang banyak, nanti kalau sudah sembuh, kita bisa main lagi di halaman, ya?” jawab Siti, meski di dalam hatinya, ia meragukan kata-katanya sendiri.
Siti menghabiskan siang itu di samping Rika, menunggu suaminya pulang. Setiap kali mendengar langkah kaki di luar, Siti berharap itu adalah Andi yang pulang membawa kabar baik. Tapi setiap kali, yang datang hanya kesunyian dan angin sore yang berhembus pelan.
Malam mulai tiba, dan Siti semakin cemas. Andi belum juga pulang. Biasanya, Andi tidak pernah pulang terlalu malam, tapi hari ini entah kenapa ia terlambat. Siti mencoba menenangkan dirinya, berpikir mungkin Andi sedang bekerja lembur untuk mendapatkan lebih banyak uang.
Rika tertidur di pangkuan Siti, dengan napas yang sedikit membaik setelah minum obat. Siti mengelus rambut Rika dengan lembut, berusaha menenangkan hatinya yang gelisah. Tiba-tiba, terdengar langkah kaki dari luar, dan kali ini Siti yakin itu adalah Andi.
Pintu terbuka, dan Andi masuk dengan wajah lelah. Ia meletakkan karung kecil di sudut ruangan, lalu duduk di samping Siti. “Maaf, aku pulang terlambat. Ada pekerjaan tambahan di pasar tadi,” ujar Andi dengan suara pelan.
Siti hanya mengangguk. Ia tahu suaminya telah berusaha sekuat tenaga. “Rika batuknya semakin parah tadi siang,” kata Siti pelan, mencoba menahan tangis.
Andi terdiam sejenak, menatap wajah Rika yang terlelap dalam kelelahan. “Besok kita bawa Rika ke kota, ke rumah sakit. Aku akan cari uang lagi, apa saja, biar bisa bayar biaya dokter.”
“Aku juga akan kerja lebih keras, Mas. Aku akan cari jahitan tambahan dari tetangga,” kata Siti, mencoba menguatkan suaminya.
Malam itu, mereka berdua terjaga, saling menenangkan satu sama lain sambil menjaga Rika yang tidur di tengah-tengah mereka. Mereka tahu, perjuangan mereka belum selesai. Masih ada jalan panjang di depan, dan meskipun mereka tak tahu bagaimana akhirnya, mereka sepakat untuk terus berjuang demi anak mereka.
Asa yang Terkikis
Pagi hari di desa itu selalu dimulai dengan suara kokok ayam dan gemerisik daun yang dihembus angin. Namun, pagi ini terasa berbeda. Siti bangun lebih awal dari biasanya, rasa cemas yang menekan hatinya semalaman belum juga surut. Andi yang tertidur di samping Rika tampak lelah, dengan kerutan di dahinya yang semakin dalam. Semalaman ia tidak benar-benar tidur, pikirannya sibuk memikirkan cara untuk mendapatkan uang yang cukup membawa Rika ke rumah sakit di kota.
Rika masih terlelap, tapi napasnya terdengar sedikit berat. Siti menyentuh dahi putrinya dan merasakan panas yang tidak kunjung turun. Ia menghela napas panjang, menahan perasaan takut yang semakin menghantui pikirannya.
“Mas Andi… kita harus segera membawa Rika ke kota,” bisik Siti pelan, meski ia tahu suaminya mungkin sudah memikirkan hal yang sama sejak semalam.
Andi membuka matanya, menatap Siti dengan pandangan yang penuh kelelahan. “Iya, aku tahu, Siti. Aku akan mencari uang lebih banyak hari ini. Apa pun yang bisa kulakukan, akan kulakukan,” jawabnya, mencoba menenangkan istrinya meski dalam hatinya ia tahu bahwa ini bukan perkara yang mudah.
Siti mengangguk, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Aku akan mengumpulkan semua uang yang kita punya. Mungkin kita bisa menjual beberapa barang di rumah ini.”
Andi terdiam. Rumah mereka hampir tidak memiliki apa-apa lagi untuk dijual. Beberapa perabot sederhana yang mereka miliki pun sudah tua dan usang. Namun, ia tahu bahwa Siti benar; mereka harus melakukan apa saja demi Rika.
“Aku akan mencoba mencari pinjaman ke Pak RT, atau siapa pun yang bisa membantu. Mungkin kita bisa mendapat sedikit bantuan,” kata Andi akhirnya, meski ia tahu bahwa di desa yang kecil dan miskin ini, tidak banyak orang yang mampu meminjamkan uang.
Siti mengangguk, meski hatinya dipenuhi keraguan. Ia tahu betapa sulitnya hidup di desa ini, di mana hampir semua orang hidup dalam kekurangan. Namun, harapan adalah satu-satunya yang mereka punya sekarang.
Setelah memastikan bahwa Rika masih tidur nyenyak, Andi bergegas keluar rumah. Pagi itu, ia berjalan dari satu rumah ke rumah lain, mencoba meminta pinjaman dari tetangga-tetangga mereka. Namun, setiap pintu yang diketuknya membawa jawaban yang sama—penyesalan yang dalam dan ketidakmampuan untuk membantu.
Di rumah, Siti duduk termenung di samping Rika. Ia menatap mesin jahit tua di sudut ruangan, seolah berharap alat itu bisa memberinya solusi. Tapi, yang ada hanya kebisuan dan ketidakberdayaan.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang cepat dan napas yang terengah-engah dari luar. Andi masuk dengan wajah yang penuh kecemasan. Siti tahu, tidak ada kabar baik yang dibawanya.
“Aku sudah mencoba ke mana-mana, Siti. Tak ada yang bisa meminjamkan uang. Mereka semua juga sedang kesulitan,” kata Andi dengan suara yang bergetar. Ada rasa putus asa yang mendalam dalam kata-katanya, sesuatu yang membuat hati Siti semakin hancur.
Siti menunduk, air mata yang sejak tadi ditahannya mulai jatuh. Ia tahu, mereka sudah kehabisan pilihan. “Mas, kita harus segera membawa Rika ke rumah sakit. Bagaimanapun caranya,” ujarnya dengan suara bergetar.
“Aku akan coba ke kota, mencari pekerjaan tambahan. Mungkin ada seseorang di sana yang bisa membantu. Tapi aku harus pergi sekarang, Siti. Kamu jaga Rika di rumah, ya?” kata Andi, berusaha menenangkan istrinya meski ia tahu waktu semakin menipis.
Siti hanya bisa mengangguk. Ia tahu bahwa Andi akan melakukan apa saja demi keluarga mereka. Tapi rasa takut yang menyelinap di hatinya tak kunjung hilang. Bagaimana jika ini terlalu terlambat? Bagaimana jika mereka tidak sempat menyelamatkan Rika?
Andi segera pergi, meninggalkan Siti dan Rika sendirian di rumah. Waktu terasa berjalan lambat saat Siti duduk di samping Rika, berharap dan berdoa agar suaminya bisa pulang dengan membawa secercah harapan.
Siang itu, panas matahari menyengat, membuat suasana di dalam rumah semakin sumpek. Rika terbangun dengan napas yang semakin berat. Siti segera memberinya minum dan mencoba menenangkan anaknya. Tapi Rika terlihat semakin lemah, matanya yang dulu cerah kini tampak sayu dan kosong.
“Ibu, Rika sakit banget,” bisik Rika dengan suara yang hampir tidak terdengar. Siti menahan air mata yang hampir tumpah. Hatinya terasa hancur mendengar keluhan anaknya yang tak bisa ia bantu.
“Ibu di sini, sayang. Kamu kuat ya, sebentar lagi kita ke dokter,” kata Siti, meski di dalam hatinya ia tahu bahwa dokter di puskesmas tidak punya banyak obat yang bisa menyembuhkan Rika. Mereka butuh rumah sakit di kota, dan itu membutuhkan uang yang tidak mereka miliki.
Sore hari mulai tiba, dan Andi belum juga pulang. Siti sudah berulang kali menatap ke arah pintu, berharap suaminya segera datang dengan kabar baik. Namun, hingga senja mulai turun, yang terdengar hanya suara jangkrik di kejauhan.
Rika kembali tertidur setelah lelah menahan sakit yang terus mendera. Siti duduk di sampingnya, menggenggam tangan kecil putrinya dengan erat. Ia tahu bahwa mereka sedang berpacu dengan waktu, dan setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin teriris.
Malam itu, ketika Andi akhirnya pulang, Siti bisa melihat kelelahan dan kekalahan di wajah suaminya. Andi tidak berkata apa-apa saat masuk ke dalam rumah, hanya melempar pandangan sedih ke arah Rika yang terbaring lemah.
Siti tahu bahwa harapan mereka semakin menipis. Meski Andi mencoba sekuat tenaga, dunia seolah tak berpihak pada mereka. Mereka hanya keluarga kecil yang tersingkir, berjuang keras di tengah kerasnya kehidupan, dan sekarang mereka dihadapkan pada kenyataan yang tak bisa mereka lawan.
“Aku tidak bisa menemukan siapa pun yang bisa membantu,” kata Andi akhirnya dengan suara yang berat. Siti hanya bisa menatap suaminya, air mata yang sudah ditahannya sejak pagi akhirnya jatuh juga.
Malam itu, mereka berdua duduk di samping Rika, saling menggenggam tangan, berharap keajaiban terjadi di tengah malam yang sunyi. Namun, yang ada hanya kesunyian, dan rasa takut yang semakin mendalam akan hari esok.
Di Ujung Asa
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Di luar, angin berdesir lembut, seolah berbisik dalam kesunyian. Namun, di dalam rumah kecil itu, hati Andi dan Siti penuh dengan kecemasan yang menyesakkan. Rika masih terbaring lemah, wajahnya yang pucat semakin mencerminkan kondisinya yang memburuk.
Andi dan Siti bergantian menjaga Rika. Setiap kali putri kecil mereka merintih kesakitan, hati mereka terasa teriris. Andi menatap wajah Rika yang tenang saat tidur, dan dalam keheningan malam, ia berdoa. Ia berdoa dengan seluruh kekuatannya, memohon keajaiban yang bisa menyelamatkan nyawa putrinya. Namun, di sudut hatinya, ada rasa takut yang tak bisa hilang—takut bahwa usahanya tidak akan cukup.
Pagi mulai menjelang, dan sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah jendela yang sudah tua. Namun, bagi Andi dan Siti, tidak ada yang berubah. Rika masih berbaring dengan lemah, dan kondisinya semakin mengkhawatirkan.
“Aku akan pergi lagi ke kota,” kata Andi dengan suara serak. Ia belum tidur sepanjang malam, memikirkan cara untuk mendapatkan uang yang mereka butuhkan. “Mungkin aku bisa menemukan pekerjaan di pasar, atau apa saja yang bisa menghasilkan uang cepat.”
Siti hanya bisa mengangguk. “Hati-hati di jalan, Mas,” ujarnya pelan, meski dalam hatinya, ia tahu bahwa waktu mereka semakin sedikit.
Setelah pamit pada Siti, Andi segera pergi. Dengan langkah cepat, ia menuju kota dengan harapan bisa menemukan pekerjaan apa saja yang bisa membantunya mendapatkan uang. Namun, di pasar yang ramai, Andi hanya menemukan wajah-wajah yang juga penuh kelelahan dan kecemasan. Pekerjaan tidak mudah ditemukan, apalagi dengan kondisi ekonomi yang sulit di desa mereka.
Andi mencoba menawarkan tenaganya kepada beberapa pedagang di pasar, namun kebanyakan dari mereka sudah memiliki pekerja sendiri. Meski demikian, Andi tidak menyerah. Ia terus berkeliling, berharap ada seseorang yang bisa memberinya pekerjaan, walau hanya untuk beberapa hari.
Setelah hampir seharian berkeliling, akhirnya Andi menemukan seorang pedagang buah yang bersedia membayarnya untuk membantu mengangkat dan mengangkut barang dagangan. Tanpa pikir panjang, Andi menerima pekerjaan itu, meski upahnya tidak seberapa. Bagi Andi, setiap rupiah adalah harapan untuk menyelamatkan nyawa putrinya.
Di rumah, Siti menjaga Rika dengan hati-hati. Ia terus berdoa, berharap bahwa Andi bisa pulang dengan membawa kabar baik. Namun, semakin lama Rika tampak semakin lemah. Panas tubuhnya semakin tinggi, dan napasnya semakin terengah-engah. Siti berusaha memberikan air, tapi Rika tidak lagi mampu menelannya.
Menjelang sore, Andi pulang dengan uang di tangan. Meski tidak banyak, ia berharap uang itu cukup untuk membawa Rika ke kota dan mendapatkan perawatan yang lebih baik. Namun, begitu ia melihat wajah Siti yang pucat dan cemas, hatinya terasa tenggelam.
“Bagimana Rika?” tanyanya dengan suara serak.
Siti hanya bisa menatap suaminya dengan mata yang berkaca-kaca. “Mas… Rika semakin lemah. Aku takut kita terlambat,” jawabnya dengan suara bergetar.
Tanpa menunggu lebih lama, Andi segera menggendong Rika yang kini sangat lemah. Dengan langkah cepat, mereka berdua berjalan menuju jalan utama, berharap ada kendaraan yang bisa membawa mereka ke kota. Namun, desa mereka terpencil, dan kendaraan yang lewat sangat jarang.
Siti terus menenangkan Rika yang kini berada di pelukan Andi. “Sebentar lagi kita sampai, sayang. Kamu kuat, ya,” bisiknya, meski ia tahu bahwa kondisinya semakin kritis.
Ketika mereka akhirnya berhasil menumpang sebuah truk yang menuju kota, hati Andi dan Siti penuh dengan harapan baru. Namun, harapan itu dihantam oleh kenyataan yang tak bisa mereka tolak—perjalanan itu terlalu lama, dan setiap menit yang berlalu adalah pertaruhan dengan nyawa Rika.
Di dalam truk yang bergoyang-goyang, Rika semakin sulit bernapas. Wajahnya semakin pucat, dan tubuhnya semakin dingin. Siti tak bisa lagi menahan air mata yang terus mengalir. Andi menggenggam tangan Rika erat-erat, berharap kehangatan dari tangannya bisa mengalir ke tubuh kecil putrinya yang semakin lemah.
Tiba di rumah sakit, Andi dan Siti segera berlari ke bagian gawat darurat. Dokter dan perawat segera menangani Rika, namun ekspresi di wajah mereka tidak memberikan banyak harapan. Setelah pemeriksaan singkat, dokter memandang Andi dan Siti dengan serius.
“Kondisinya sangat kritis. Kami akan melakukan yang terbaik, tapi kalian harus siap dengan kemungkinan terburuk,” kata dokter itu dengan suara datar namun tegas.
Andi dan Siti hanya bisa menatap dokter itu dengan perasaan hancur. Mereka tahu bahwa mereka telah melakukan semua yang bisa mereka lakukan, tapi mungkin itu tidak cukup.
Di ruang tunggu, Andi dan Siti duduk terdiam, menunggu dengan hati yang penuh kecemasan. Waktu terasa berjalan sangat lambat, dan setiap detik terasa seperti pukulan yang menghantam hati mereka. Namun, di balik kecemasan itu, ada doa yang terus mengalir, memohon keajaiban yang bisa menyelamatkan Rika.
Namun, ketika dokter akhirnya keluar dari ruang perawatan, wajahnya yang serius tidak membawa kabar baik.
“Saya minta maaf,” kata dokter itu pelan. “Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi kondisi Rika sudah terlalu lemah.”
Kalimat itu terasa seperti petir yang menyambar hati Andi dan Siti. Segala harapan yang mereka bangun selama ini seolah runtuh seketika. Siti jatuh berlutut, menangis tanpa suara, sementara Andi hanya bisa berdiri kaku, tak mampu menerima kenyataan yang begitu pahit.
Mereka telah berjuang sekuat tenaga, namun kenyataan tak berpihak pada mereka. Rika, putri kecil mereka yang mereka cintai lebih dari apa pun di dunia ini, telah pergi.
Akhir dari Sebuah Perjuangan
Setelah kabar duka itu, dunia Andi seolah berhenti. Ia menatap kosong ke arah dokter, namun kata-kata yang keluar dari mulut dokter itu tak lagi terdengar jelas di telinganya. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dalam hatinya, ia berulang kali bertanya, “Kenapa harus Rika?” Namun, tak ada jawaban yang bisa menghapus kesedihannya.
Siti masih berlutut di lantai, menangis tanpa suara. Kesedihannya begitu mendalam hingga ia merasa seluruh dunianya runtuh. Selama ini, harapan mereka bertahan hanya karena Rika, dan kini, dengan kepergian Rika, seluruh harapan itu lenyap seketika. Tangisannya semakin keras saat perawat membawa Rika keluar dari ruang perawatan, terbungkus kain putih yang dingin.
Andi berjalan perlahan menghampiri tubuh kecil putrinya. Dengan tangan gemetar, ia membuka kain yang menutupi wajah Rika. Wajah itu tampak tenang, seolah sedang tidur, namun tak ada lagi kehidupan di dalamnya. Rasa sakit yang tak terkatakan menguasai hatinya, meremas setiap bagian dari jiwanya hingga ia merasa nyaris tak bisa bernapas.
“Rika sayang…” bisik Andi dengan suara serak. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir tanpa bisa dihentikan. “Maafkan Ayah, sayang… Ayah nggak bisa menyelamatkan kamu…”
Siti merangkul tubuh Rika yang dingin, mendekapnya erat-erat seolah enggan melepaskan putri kecilnya itu pergi. Tangisnya berubah menjadi isakan putus asa, dan Andi hanya bisa memeluk istri dan anaknya dalam kesedihan yang mendalam.
Malam itu, mereka membawa pulang tubuh Rika ke rumah kecil mereka di desa. Perjalanan yang seharusnya membawa harapan kini berubah menjadi perjalanan penuh duka. Setiap langkah terasa berat, dan dunia di sekitar mereka seolah berwarna abu-abu. Tak ada lagi canda tawa yang pernah menghiasi hari-hari mereka; yang tersisa hanyalah keheningan yang menyakitkan.
Di rumah, tetangga-tetangga mereka sudah berkumpul, menunggu kedatangan mereka dengan perasaan iba. Ketika Andi dan Siti tiba, suasana semakin muram. Beberapa tetangga ikut menangis melihat tubuh Rika yang terbungkus kain kafan, sementara yang lain hanya bisa menundukkan kepala, tak tahu harus berkata apa.
Prosesi pemakaman Rika dilakukan dengan cepat. Andi ikut mengangkat peti kecil yang berisi tubuh putri kecilnya, langkahnya terasa berat namun ia berusaha untuk tetap tegar. Siti, yang tidak berhenti menangis sejak mendengar kabar duka itu, berjalan di belakang, menggenggam tangan Andi erat-erat seolah mencari kekuatan.
Saat peti itu diturunkan ke dalam tanah, Andi merasa seluruh dunianya ikut terkubur bersama Rika. Tangannya gemetar saat ia mengambil sekop dan mulai menaburkan tanah ke atas peti. Setiap sekop tanah yang jatuh terasa seperti menghancurkan hatinya lebih dalam. Siti tak lagi bisa berdiri, ia harus ditopang oleh tetangga-tetangga mereka agar tidak jatuh pingsan.
Ketika makam Rika telah tertutup sepenuhnya, Andi jatuh berlutut di depan nisan kecil itu. Ia menatap nisan itu dengan mata yang dipenuhi air mata, menyadari bahwa inilah akhirnya. Semua perjuangan, semua harapan, semuanya berakhir di sini.
“Ayah janji, Rika, Ayah pasti akan selalu ingat kamu,” bisik Andi sambil menyentuh nisan itu dengan lembut. “Maafkan Ayah… Maafkan Ayah yang nggak bisa ngelindungi kamu…”
Siti hanya bisa terduduk di samping Andi, menggenggam tangannya erat-erat. Meski mereka tak saling berbicara, keheningan di antara mereka sudah cukup menggambarkan betapa dalamnya rasa kehilangan yang mereka rasakan. Mereka telah kehilangan segalanya, dan kini hanya ada kesedihan yang mendalam dan kenangan yang tak akan pernah bisa hilang.
Malam itu, rumah kecil mereka terasa lebih sepi dari biasanya. Tidak ada suara Rika yang biasanya memanggil mereka, tidak ada tawa kecil yang mengisi ruangan. Hanya ada kesunyian yang begitu menusuk, meninggalkan luka yang tak akan pernah sembuh.
Andi duduk di depan jendela, menatap keluar ke arah langit malam yang gelap. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: mengapa semua ini harus terjadi? Namun, tidak ada jawaban yang datang. Ia hanya bisa menatap bintang-bintang di langit, berharap bahwa di suatu tempat di sana, Rika sedang tersenyum, bebas dari rasa sakit yang pernah ia rasakan.
Siti duduk di samping Andi, memegang tangannya erat-erat. Meski rasa sakit itu tak akan pernah benar-benar hilang, mereka tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Namun, mereka juga tahu bahwa hidup mereka tak akan pernah sama lagi tanpa Rika di sisi mereka.
Andi menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang hancur. “Kita akan baik-baik saja, kan, Siti?” tanyanya pelan, meski ia sendiri meragukan jawabannya.
Siti mengangguk pelan, meski air mata masih mengalir di pipinya. “Iya, Mas… Kita harus kuat. Untuk Rika.”
Malam itu, mereka berdua duduk di sana, dalam keheningan yang penuh makna. Meski mereka tahu bahwa luka di hati mereka tak akan pernah benar-benar sembuh, mereka berjanji pada diri mereka sendiri untuk terus hidup, untuk tetap mengenang Rika dalam setiap langkah yang mereka ambil. Mereka tahu bahwa Rika akan selalu ada di hati mereka, dan meski dunia ini terasa lebih gelap tanpa kehadirannya, mereka akan terus mencari cahaya, meski itu hanya secercah kecil harapan.
Kadang, cinta yang paling dalam datang dengan rasa sakit yang paling menusuk. Hidup memang nggak selalu adil, dan nggak semua perjuangan berakhir dengan kebahagiaan.
Tapi satu hal yang pasti, cinta sejati nggak pernah hilang, meski harus terpisah oleh batas yang tak terlihat. Kisah Andi dan Siti ini mungkin sudah berakhir, tapi cinta mereka untuk Rika akan selalu hidup dalam kenangan. Terima kasih telah mengikuti perjalanan mereka yang penuh haru ini.