Pengorbanan Ayah dan Ibu: Warisan Langit dari Rumah Kecil Bernama Cempaka

Posted on

Pernah nggak sih kamu mikir seberapa besar pengorbanan orang tua kita, terutama ayah dan ibu, yang kadang diem-diem rela ngorbanin segalanya cuma buat lihat anaknya maju? Cerpen yang satu ini bakal bikin kamu diem sejenak, merenung, bahkan mungkin mewek.

“Warisan Langit dari Rumah Kecil Bernama Cempaka” bukan cuma sekadar cerita fiksi—ini adalah gambaran nyata tentang cinta yang nggak banyak ngomong, tapi dalamnya nggak main-main. Dari jahitan ibu yang diam-diam menahan sakit, sampai keringat ayah yang nggak pernah berhenti ngalir demi satu kata: masa depan.

Pengorbanan Ayah dan Ibu

Rumah Cempaka dan Tangan Kasar Ayah

Di sebuah sudut kota kecil bernama Ciberang, rumah dengan cat krem yang mulai kusam berdiri diam seperti saksi bisu perjalanan waktu. Atapnya sering bocor saat hujan, dan jendela kayunya sudah sedikit miring karena engsel yang mulai aus. Tapi dari balik kaca yang buram, tergambar jelas kehidupan yang penuh makna.

Pak Gunadi, pria setengah baya dengan rambut yang mulai dihiasi uban, memikul hidup seperti memikul papan kayu di bahunya—berat, tapi tak pernah ia jatuhkan. Setiap pagi sebelum fajar menyentuh ubin rumahnya, ia sudah bangun. Badannya tegap meski umur tak lagi muda, dan tangannya… tangan itu seperti batang pohon tua: keras, berurat, tapi kuat dan hangat.

Sementara istrinya, Bu Raras, lebih senyap dalam berjuang. Ia menjahit pakaian di ruang tengah yang juga merangkap ruang makan, tempat tidur tamu, dan gudang buku sekolah. Suara mesin jahit menjadi musik pengiring sarapan dan malam hari. Ia tidak pernah banyak bicara tentang lelahnya, tapi caranya menyeduh teh hangat setiap malam, mengusap kepala anaknya pelan, sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan segalanya.

“Nayaka udah bangun?” tanya Bu Raras sambil mengangkat ujung baju sekolah Kirana dari mesin jahit.

“Belum, Bu. Tadi malam katanya mau belajar soal fisika lagi,” jawab Pak Gunadi dari depan rumah, membersihkan serbuk kayu yang menempel di sepatu kerjanya.

Kirana, adik Nayaka, muncul dari kamar dengan rambut kucir satu dan kertas lipat di tangan. “Aku udah siap, Bu,” katanya sambil menyodorkan hasil lukisannya—langit jingga dengan satu pohon cempaka berdiri sendiri di tengah halaman.

“Ini gambar apa, Na?” tanya Pak Gunadi sambil mengamati kertas itu dengan seksama.

“Langit rumah kita, Yah. Kalau kamu lihat dari loteng sore hari, warnanya gitu.”

Pak Gunadi tertawa kecil. “Langit ya? Bagus. Nanti Ayah bikinin bingkai kayunya, kamu tempel di dinding ruang tamu.”

Hari-hari mereka memang begitu. Tak banyak kejutan, tak banyak keluhan. Tapi segalanya selalu diselimuti rasa saling menjaga.

Setiap jam lima pagi, Pak Gunadi berjalan kaki ke bengkel kayu yang jaraknya hampir dua jam dari rumah. Sepeda motornya sudah lama rusak, dan ia belum pernah benar-benar berniat memperbaikinya. Bukan karena pasrah, tapi karena semua uangnya harus diprioritaskan untuk buku Nayaka, kain jahitan Bu Raras, atau sekadar membeli pensil warna untuk Kirana.

“Pak, jangan lupa makan siang ya,” pesan Bu Raras tiap pagi, menyelipkan bekal sederhana ke tas kain suaminya.

“Iya. Aku titip rumah ya,” jawabnya, sebelum menuruni jalanan tanah yang membelah gang perumahan sederhana.

Di bengkel, ia tak sekadar memahat kayu. Ia mengukir kehidupan. Setiap meja makan, setiap rak buku yang ia buat, selalu ia kerjakan seperti sedang membuat sesuatu untuk anak-anaknya sendiri. Ada kasih sayang yang ia titipkan pada tiap permukaan yang ia haluskan, tiap lubang sekrup yang ia sesuaikan dengan teliti.

Sementara itu, di rumah, Bu Raras bertarung dengan jarum dan benang. Ia menerima pesanan jahit dari tetangga, kadang juga dari pelanggan tetap yang tahu betul kualitas tangannya. Seringkali ia menjahit hingga larut malam, lampu kecil menyorot meja kerja sementara suara jangkrik jadi satu-satunya teman.

Satu malam, saat Nayaka pulang dari pelatihan olimpiade sains, ia meletakkan tasnya pelan dan duduk di ruang tengah. Di sana, ibunya masih menggerakkan kaki di pedal mesin jahit.

“Ibu belum tidur?” tanyanya sambil memijat bahu ibunya perlahan.

“Belum. Ini harus jadi besok pagi. Baju seragam perpisahan anak tetangga Bu Rini.”

“Nanti biar aku bantu setrika yang udah jadi. Aku juga belum ngantuk,” katanya lagi.

Bu Raras tersenyum tipis. “Nggak usah, kamu udah capek seharian. Nanti pusing. Ibu kuat, kok.”

Di balik kata-kata itu, ada ratusan malam tanpa tidur, ada ribuan detik yang dihabiskan menahan nyeri di bahu, dan ada luka-luka kecil di ujung jarinya karena tak sempat pakai pelindung.

Pak Gunadi pun sebenarnya tahu. Tapi ia juga sama—menyimpan lelah dan takutnya dalam-dalam. Satu malam, saat hujan turun deras, ia pulang lebih lambat dari biasanya. Pakaiannya basah kuyup, dan di tangannya, ada bingkai kayu kecil yang ia buat dari sisa bahan proyek hari itu.

“Na, Kirana, ini… buat gambar langit kalian,” katanya sambil mengulurkan bingkai itu pada putrinya.

Kirana melonjak girang. “Ayah, ini keren banget!”

“Gambarnya kamu tempel di ruang tamu, ya. Biar kita ingat… rumah ini kecil, tapi langit di atasnya luas.”

Dan sejak hari itu, gambar Kirana tergantung di dinding ruang tamu rumah Cempaka, dibingkai oleh tangan yang tak pernah meminta balasan apa pun.

Sementara itu, Nayaka semakin sering pulang malam, sibuk mempersiapkan seleksi beasiswa untuk kuliah teknik impiannya. Ia menyadari betul pengorbanan ayah dan ibunya. Tapi ia juga tahu, satu-satunya cara membalas semua itu adalah dengan berhasil.

Di suatu sore yang basah oleh gerimis, Nayaka duduk bersama ayahnya di beranda rumah.

“Ayah,” katanya pelan, “kalau aku nanti keterima di universitas itu… uangnya dari mana?”

Pak Gunadi menatap ke kejauhan, ke arah pohon cempaka yang menjulang di ujung gang.

“Kita usahain bareng-bareng. Kamu nggak usah pikirin soal itu sekarang. Kamu fokus aja dulu sama ujianmu.”

“Tapi, aku tahu ayah—”

Pak Gunadi menoleh dan tersenyum. “Kamu anak Ayah. Kalau kamu bisa sampai sana, Ayah yang akan cari cara. Nggak usah takut.”

Malam itu, suara mesin jahit dan aroma kayu basah kembali mengisi rumah kecil mereka. Tapi di balik suara-suara itu, sebuah janji tanpa suara sedang tumbuh—janji seorang ayah dan ibu, bahwa mereka akan membayar mimpi anak-anaknya dengan apapun yang mereka punya, bahkan bila itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.

Dan di rumah Cempaka yang sederhana, cerita tentang pengorbanan itu baru saja dimulai.

Jahitan Ibu dan Langit di Kertas Kirana

Pagi di rumah Cempaka tak pernah benar-benar sunyi, bahkan sebelum ayam tetangga sempat berkokok. Suara batuk kecil Bu Raras biasanya jadi tanda hari dimulai. Ia jarang mengeluh, tapi makin hari, tubuhnya terlihat mulai rapuh. Mungkin karena semakin banyak baju yang harus ia selesaikan, atau mungkin karena waktu sudah terlalu lama berlalu tanpa sempat memberi ruang istirahat.

Hari itu, Kirana duduk di lantai dekat pintu dapur. Di pangkuannya terbentang kertas putih hasil sobekan dari sisa pola baju yang tak terpakai. Pensil warna tersebar di sekitar kakinya. Ia menggambar lagi, seperti biasa. Tapi kali ini bukan langit. Ia menggambar ibunya.

Bu Raras dalam gambar itu sedang duduk di depan mesin jahit, dikelilingi benang warna-warni, dan di langit-langit rumah, ada tulisan kecil: “Ibu yang menjahit langit untuk kami.”

Saat gambarnya selesai, Kirana melipatnya menjadi bentuk surat dan menyelipkannya diam-diam di meja kerja ibunya. Ia tidak pernah tahu bahwa gambar itu akan disimpan Bu Raras di laci bawah—laci yang hanya dibuka saat malam benar-benar hening.

Sementara itu, Nayaka sedang mempersiapkan presentasi akhir untuk lomba sains tingkat provinsi. Ia menjadi satu dari sedikit siswa sekolah pinggiran yang bisa melangkah sejauh itu. Satu-satunya di angkatannya yang dipercaya sekolah sebagai harapan besar. Tapi semua itu tak datang tanpa harga.

Bu Raras harus menolak tiga pesanan jahit besar dari klien tetapnya hanya demi mengantar Nayaka ke kota. Ia tahu, jika anaknya datang sendiri dengan pakaian seadanya dan wajah pucat, para juri takkan bisa melihat betapa besarnya potensi anak itu. Maka ia meminjam baju batik dari tetangga, menyiapkan bekal dari bahan dapur seadanya, dan menjual sebagian bahan jahit yang masih tersisa.

“Aku nggak usah diantar juga nggak apa-apa, Bu,” kata Nayaka malam sebelumnya.

“Ibu nggak mau kamu datang ke sana sendirian. Kalau kamu jatuh di jalan, siapa yang jagain?”

“Aku udah gede.”

“Gede bukan berarti nggak butuh ditemani.”

Nadanya lembut, tapi tegas. Dan benar saja, esoknya mereka berangkat bersama. Naik angkot berulang kali, menunggu sambungan bus yang datang telat, dan sempat kehujanan di terminal. Tapi Nayaka tampil meyakinkan di hadapan juri, dan lebih dari itu—ia tampil dengan kepala tegak, karena tahu di barisan paling belakang ruangan, ada ibunya yang memandang dengan bangga, meski bajunya basah kuyup dan sepatu tuanya robek di ujung.

Malam-malam berikutnya semakin berat. Bu Raras mulai sering jatuh tertidur di depan mesin jahit. Terkadang benang masih tergulung di jarinya. Tapi ia tetap menolak diajak tidur lebih awal.

“Aku harus kejar pesanan. Uangnya buat beli komponen proyek Nayaka,” katanya saat Kirana memintanya istirahat.

Kirana mulai belajar diam-diam menjahit dari sisa kain yang tak terpakai. Ia menirukan cara ibunya memasukkan benang ke jarum, memijak pedal, dan mengatur potongan kain. Tidak sempurna, tapi cukup membantu menyelesaikan beberapa bagian sederhana.

Satu malam, ketika Bu Raras kembali tertidur di atas meja, Kirana memberanikan diri mengambil sisa-sisa kain perca. Ia memotongnya jadi bentuk langit—ada warna jingga, biru muda, dan ungu. Semua ia jahit jadi satu di atas kain putih besar. Di bagian bawah, ia bordir tulisan kecil:

“Langit ibu, tempat kami terbang.”

Ia menyimpannya diam-diam di bawah bantal ibunya, berharap suatu hari bisa mempersembahkan karya itu bukan sebagai anak kecil, tapi sebagai seseorang yang bisa membanggakan seperti kakaknya.

Beberapa minggu kemudian, hasil lomba Nayaka diumumkan. Ia juara dua. Tidak ada piala emas, tidak ada hadiah uang besar. Tapi satu hal tak terduga terjadi: nama Nayaka masuk koran lokal. Seorang jurnalis sekolah menulis tentang perjuangannya, disertai foto ia dan ibunya yang diambil diam-diam saat mereka menunggu bus pulang di bawah hujan.

Artikel itu tersebar, dan satu surat undangan datang dari universitas teknik terbaik di Jawa. Mereka menawarkan seleksi awal program beasiswa penuh. Itu bukan kemenangan, tapi sudah cukup membuat Pak Gunadi dan Bu Raras saling berpandangan di ruang tengah rumah Cempaka—dalam diam, dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ibu bangga sama kamu,” bisik Bu Raras malam itu di kamar, saat semua sudah tidur.

“Ayah juga pasti bangga, Bu,” jawab Nayaka sambil memeluk ibunya erat.

Dan di sisi lain rumah, Kirana duduk dengan senter kecil, menulis puisi pendek:

Jika Ibu adalah benang, maka kami adalah kainnya.
Jika Ayah adalah paku, maka kami adalah papan tempat bertahan.
Kami akan jadi bentuk yang utuh. Tapi hanya karena kalian dulu patah duluan.

Ia menuliskannya pelan, dengan tangan kecil yang belum tahu dunia, tapi sudah mengerti tentang cinta yang tak pernah meminta apa-apa sebagai imbalannya.

Hari-hari terus berjalan. Rumah Cempaka tetap berdiri, meski dindingnya semakin tua dan suara hujan makin sering bocor di atap. Tapi dari dalam rumah itu, satu mimpi telah mulai tumbuh di pundak Nayaka, dan satu lagi diam-diam menyusun sayap di balik mata Kirana.

Mereka belum tahu ke mana hidup akan membawa, tapi satu hal yang pasti: mereka sudah lahir dari pengorbanan yang tak bisa diukur dengan angka, dan tak akan pernah cukup dibalas dengan ucapan.

Harga Sebuah Mimpi

Selebaran seleksi beasiswa dari universitas teknik terkemuka itu kini ditempel rapi di dinding ruang tengah, tepat di samping gambar langit buatan Kirana. Kirana sendiri yang menempelkannya pakai isolasi bening, senyum kecil tak bisa ia tahan meski belum sepenuhnya paham apa artinya semua itu. Yang ia tahu, kakaknya akan kuliah, dan itu sesuatu yang besar.

Tapi di balik euforia kecil itu, Pak Gunadi duduk diam di pojok ruangan, memandang selebaran itu seperti memandang batu besar yang belum tahu harus dipindahkan pakai apa.

Pendaftaran butuh biaya. Transportasi ke ibu kota pun tak murah. Ujiannya memang gratis, tapi ongkos untuk sampai ke sana, menginap dua hari, dan membawa semua dokumen yang diminta, adalah kenyataan yang tak bisa dicetak ulang oleh mesin mimpi.

Di bengkel, Pak Gunadi bekerja lebih keras dari biasanya. Ia mengambil pekerjaan lembur, bahkan mulai menawarkan diri untuk menyapu dan merapikan sisa potongan kayu meski itu bukan tugasnya. Rekannya yang seangkatan menyarankan untuk berhenti memaksakan.

“Gun, kamu itu udah bukan anak muda. Jangan sampai tumbang cuma gara-gara pengin ngejar idealisme.”

Pak Gunadi hanya tersenyum. “Yang aku kejar bukan idealisme. Tapi masa depan anakku.”

Di rumah, Bu Raras semakin sering batuk. Suaranya kering, dan wajahnya mulai pucat. Kirana beberapa kali mendapati ibunya memegang dada dan memejamkan mata erat-erat. Tapi setiap ditanya, jawabannya selalu sama.

“Ibu cuma masuk angin.”

Kirana tak puas. Suatu sore, diam-diam ia membuka kantong plastik kecil yang ibunya simpan di dalam laci lemari. Isinya resep dokter lama dan satu nota kecil dari klinik. Obat-obatan pengencer dahak, vitamin B, dan satu kalimat yang tertulis dengan tangan dokter:

“Diduga awal penyakit paru, perlu pemeriksaan lanjut.”

Ia membacanya pelan, napasnya tercekat. Kirana masih terlalu kecil untuk benar-benar memahami isi diagnosa itu, tapi cukup besar untuk tahu ini bukan sekadar masuk angin.

Malam itu, ia mengendap ke kamar Nayaka dan menunjukkan kertas itu.

“Nayaka… kamu harus lihat ini.”

Nayaka membaca cepat, lalu pelan-pelan menatap adiknya. Di luar, suara jangkrik terdengar seperti bisikan takut-takut.

“Ibu nggak pernah cerita,” ucap Nayaka lirih.

“Kayaknya nggak mau kamu tahu…”

Mereka diam cukup lama. Lalu Nayaka bangkit, mengambil tasnya, dan mulai membuka berkas-berkas lomba, piagam, dan semua sertifikat yang pernah ia kumpulkan.

“Aku akan daftar semua beasiswa yang bisa aku temukan. Pokoknya aku harus lulus seleksi itu.”

“Tapi uang buat berangkat aja belum ada, Kak.”

“Aku akan cari caranya.”

Dan benar saja, esoknya Nayaka mendatangi kepala sekolah. Ia mengajukan proposal bantuan dana pribadi. Ia juga mengirim surel ke panitia lomba tingkat provinsi, menceritakan kondisinya. Tak semua membalas, dan tak semua memberikan jawaban positif. Tapi satu surel datang dua hari kemudian, dari alumni kampus teknik yang bekerja di lembaga pendidikan. Ia menawarkan bantuan ongkos dan tempat tinggal selama seleksi.

Pak Gunadi membaca surel itu berkali-kali. Ia tak bisa menahan haru, meski ia tetap berkata, “Kalau bantuannya datang, berarti kamu memang layak diperjuangkan.”

Waktu berjalan cepat. Tanggal seleksi makin dekat, dan tubuh Bu Raras makin lemah. Tapi ia tetap menjahit. Tangannya gemetar, matanya sering berair karena kelelahan, tapi ia tak pernah berhenti.

Suatu malam, ia menjahit sambil batuk keras. Kirana yang duduk tak jauh langsung menghampiri, memegangi bahu ibunya.

“Ibu, udah istirahat, ya. Nanti aku yang lanjut lipat bajunya.”

“Ibu belum selesai, Na…”

“Ibu harus selesai istirahat dulu.”

Bu Raras tertawa kecil, tapi matanya basah. “Kamu makin mirip Ibu dulu, ya. Ngeyel.”

“Aku nggak ngeyel. Aku sayang.”

Dan saat itu, Bu Raras menangis. Bukan karena sakitnya. Tapi karena ada sesuatu di dalam hatinya yang rasanya seperti pecah—antara bangga, takut, dan lega, bercampur jadi satu.

Hari keberangkatan Nayaka tiba. Ia berdiri di teras rumah, mengenakan jaket pinjaman dari guru sekolah. Di tangannya, sebuah map berisi semua dokumen seleksi. Pak Gunadi berdiri di sebelahnya, sambil memegangi amplop kecil berisi uang hasil lembur terakhirnya.

“Kamu simpan baik-baik ini. Jangan boros, ya. Dan jangan malu minta bantuan sama orang-orang baik di sana.”

“Iya, Yah. Aku janji.”

Bu Raras tak ikut mengantar. Ia terlalu lemah untuk berdiri lama. Tapi ia duduk di jendela, melambaikan tangan kecil dengan selimut menyelimuti tubuhnya.

“Jaga dirimu, Nak,” katanya pelan.

“Ibu juga harus jaga diri,” balas Nayaka sambil menahan air mata.

Saat mobil alumni yang menjemput Nayaka melaju keluar gang, Kirana berlari kecil mengejar, lalu berhenti dan melambaikan tangan tinggi-tinggi.

Di dalam dadanya, ada rasa bangga. Tapi juga takut. Karena mereka semua tahu, mimpi itu mahal. Dan harga yang harus dibayar untuk sampai ke sana tak pernah murah.

Beberapa hari kemudian, di malam yang tenang, Pak Gunadi pulang dengan wajah lelah. Ia duduk di ruang tengah, menatap meja kayu buatannya sendiri.

“Ibu kamu makin sering sesak, Na,” katanya lirih pada Kirana.

“Aku tahu, Yah…”

“Kita harus bawa dia ke dokter. Tapi uangnya belum cukup.”

Kirana mengangguk. “Aku bisa bantu jaga Ibu dulu. Ayah nggak usah khawatir.”

Dan malam itu, di rumah Cempaka, tak ada bintang, tak ada langit cerah. Hanya suara mesin jahit yang berhenti, dan sepasang mata kecil yang tetap menyala demi menjaga cahaya rumah tetap hidup, meski angin di luar makin kencang menggoyang dinding kayu tua.

Warisan Langit dan Daun Cempaka

Pagi itu, hujan turun seperti air yang tak mau selesai tumpah. Rumah Cempaka, dengan jendela tuanya yang berembun, terasa lebih sepi dari biasanya. Suara mesin jahit tak lagi terdengar. Tak ada lagi bunyi batuk ringan dari dapur. Tak ada aroma kopi hitam atau kain yang baru selesai disetrika.

Bu Raras telah tiada.

Ia menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Kirana, di atas kasur tua yang pernah ia jahit sendiri dari bahan sisa. Sakitnya memang sudah terlalu lama bersarang, tapi ia memilih bertahan cukup lama hanya untuk memastikan satu hal: Nayaka bisa sampai ke gerbang mimpinya. Setelah itu, barulah ia melepaskan dunia dengan senyum tipis dan tangan Kirana yang masih menggenggam jemarinya.

Kirana tidak menangis saat itu. Ia hanya diam. Memandang wajah ibunya yang tenang, seperti baru tertidur setelah hari yang sangat panjang. Tapi dalam diam itu, hatinya retak. Ia memeluk ibunya erat-erat, seperti anak kecil yang berusaha menghentikan waktu dengan pelukan.

Pak Gunadi menangis sendirian di ruang belakang. Ia bukan pria yang mudah runtuh, tapi hari itu, ia tak kuasa. Dunia yang dulu ia bangun bersama Raras kini kehilangan pondasinya. Tapi ia tahu, ia tak boleh roboh sepenuhnya. Masih ada Kirana. Masih ada mimpi yang belum selesai.

Kabar kepergian Bu Raras tak langsung sampai ke Nayaka. Hari itu, ia sedang mengikuti ujian tahap akhir di kampus. Kirana dan Pak Gunadi sepakat menunggu satu hari, agar anak sulung mereka menyelesaikan tahap seleksi dengan tenang.

Esoknya, Kirana mengirim pesan suara, pelan, dengan suara yang sempat patah di tengah kata.

“Nayaka… Ibu udah nggak ada.”

Butuh waktu beberapa detik sebelum suara Nayaka terdengar di ujung telepon. Hanya satu kata.

“Kenapa?”

Kirana tak bisa menjawab. Ia hanya menangis. Nayaka pun ikut menangis, tapi bukan tangis histeris. Tangisnya dalam, seperti air hujan yang jatuh pelan tapi menghanyutkan segalanya.

Seminggu kemudian, Nayaka pulang. Ia membawa kabar bahwa ia lulus seleksi dan resmi mendapat beasiswa penuh di kampus teknik impiannya. Tapi tak ada senyum bangga di wajahnya. Ia berdiri di depan makam ibunya, memegang piagam seleksi di tangan kanan, dan selembar surat kecil yang ditulisnya di perjalanan pulang.

“Ibu, aku keterima. Tapi aku telat. Aku janji, semua perjuangan Ibu nggak akan sia-sia. Aku akan kuliah, Ibu. Dan aku akan jadi orang yang bisa bikin nama Ibu disebut bukan cuma di rumah ini… tapi di mana-mana.”

Surat itu ia lipat, diselipkan pelan ke batu nisan. Angin bergerak pelan, menggerakkan daun-daun Cempaka yang berguguran di sekitar makam.

Hari-hari berikutnya, rumah Cempaka kembali ke rutinitasnya. Tapi tak ada yang benar-benar sama. Kirana mulai menggantikan ibunya menjahit pesanan-pesanan kecil. Pak Gunadi membuatkan meja kerja khusus untuk anaknya, agar punggung Kirana tak cepat pegal. Ia juga membelikan lampu belajar bekas dari pasar loak agar Kirana bisa menggambar lagi di malam hari.

Di dalam kamar, di atas meja belajar, Kirana menempel satu gambar baru: ia dan ibunya duduk berdua, menjahit kain langit. Di bawahnya, tertulis puisi pendek yang ditulis tangan:

Ibu mengajariku menjahit, bukan sekadar benang dan kain,
tapi menjahit hidup dari sobeknya harapan.
Ayah mengajariku bertahan, bukan hanya dari lelah,
tapi dari runtuhnya waktu dan kehilangan.

Tiga tahun kemudian, Nayaka berdiri di atas panggung kelulusan. Ia mengenakan toga biru tua, dan di dadanya tergantung medali emas lulusan terbaik. Di tangan kirinya, ia memegang kotak kayu kecil berisi kenang-kenangan dari kampus. Dan saat ia maju ke mikrofon, ia tak membacakan pidato klise. Ia hanya berkata:

“Semua pencapaian ini bukan karena aku hebat. Tapi karena aku lahir dari orang tua yang memilih berkorban, bahkan ketika dunia menertawakan mereka. Mereka bukan profesor, bukan pejabat, bukan orang kaya. Tapi mereka membuatku percaya bahwa mimpi besar bisa lahir dari rumah kecil, dan langit yang dijahit dari kain sisa.”

Tepuk tangan pecah. Tapi Nayaka hanya menatap satu arah—ke bangku paling belakang, tempat ayahnya duduk dengan tubuh yang mulai bungkuk, memeluk Kirana yang sudah remaja dan kini membawa sketsa buku ilustrasi pertamanya.

Setelah acara selesai, mereka bertiga duduk di bawah pohon Cempaka di taman kampus. Kirana membuka buku sketsanya dan menunjukkan satu halaman baru. Gambar ibu mereka sedang memegang sehelai langit, dan dua anak yang berdiri di bawahnya. Di pojoknya ada satu kalimat:

Langit itu kini kami lanjutkan, Bu.

Pak Gunadi memejamkan mata, menengadah sedikit ke langit. Angin sore menyentuh wajahnya, seperti membawa suara lembut dari masa lalu.

Dan meski Bu Raras tak lagi hadir secara fisik, ia tetap hidup—dalam sketsa Kirana, dalam langkah Nayaka, dan dalam setiap hela nafas pengorbanan yang kini telah berubah menjadi warisan.

TAMAT.

Cerpen ini bukan cuma tentang sedihnya kehilangan atau beratnya hidup dalam keterbatasan. Ini tentang gimana pengorbanan ayah dan ibu bisa jadi pondasi paling kuat buat mimpi yang kadang terasa terlalu jauh. Dan mungkin setelah baca ini, kamu bakal lebih sering manggil orang tua, lebih sering bilang makasih, atau bahkan sekadar duduk bareng mereka tanpa harus ngomong banyak.

Karena sesungguhnya, cinta orang tua itu nggak pernah minta dibalas—mereka cuma pengin tahu kalau anaknya baik-baik aja. Jadi, setelah baca Warisan Langit dari Rumah Kecil Bernama Cempaka, sempatkan sebentar… buat nginget lagi siapa yang selama ini diam-diam nyiapin langit buat kamu terbang tinggi.

Leave a Reply