Daftar Isi
Gak ada yang nyangka kalau jadi penggembala domba itu lebih dari sekadar nyuruh domba makan dan ngikutin ke mana mereka pergi. Kadang harus lari-larian, kadang harus adu strategi biar mereka gak nyasar, dan kalau lagi apes?
Bisa aja harus berjuang ngelawan badai! Nah, ini kisah Ladran, seorang penggembala muda yang harus menghadapi malam penuh bahaya demi menyelamatkan domba-dombanya. Siap buat ikut petualangannya?
Penggembala Domba dan Badai
Jejak di Padang Hijau
Matahari baru saja muncul dari balik Pegunungan Orvani, menumpahkan cahaya keemasan ke padang rumput yang masih diselimuti embun. Angin pagi berembus lembut, menggoyangkan rumput-rumput liar yang berkilauan diterpa sinar matahari. Suara gemerisik dedaunan dan nyanyian burung menjadi latar yang menemani pagi itu.
Di tengah lanskap hijau yang membentang luas, seorang pemuda berdiri dengan tongkat kayu di tangannya. Ladran, penggembala muda yang sudah terbiasa dengan kehidupan di antara kawanan domba, menghela napas panjang sambil menatap hewan-hewan berbulu putih itu bergerak perlahan menyusuri padang.
“Rengo, awasi yang di belakang,” katanya sambil melirik anjing gembalanya.
Rengo, anjing berbulu coklat dengan telinga yang selalu tegak, menggonggong pelan sebelum berlari ke bagian belakang kawanan. Gerakannya lincah, mengitari beberapa ekor domba yang mulai melambat agar mereka kembali ke barisan. Ladran memperhatikan kawanan dengan saksama. Mereka harus mencapai padang rumput di dekat hutan sebelum matahari terlalu tinggi.
Namun, seperti yang sudah ia duga, ada satu ekor domba yang tak pernah benar-benar patuh. Seek.
Seek, domba dengan bulu lebih tebal dan langkah yang selalu lincah, tampak berjalan menjauh dari kawanan, menuju semak-semak yang tumbuh lebat di tepi jalur mereka. Domba lain tampak mengikuti arahannya, seolah Seek adalah pemimpin mereka, meskipun Ladran tahu betul domba itu hanya keras kepala.
“Seek! Kembali!” seru Ladran.
Seek berhenti sejenak, menoleh dengan tatapan yang hampir seperti mengejek. Kemudian, alih-alih kembali, domba itu malah melompat melewati semak dan masuk lebih dalam ke rerumputan tinggi.
Ladran mendesah panjang.
“Kamu selalu bikin masalah,” gumamnya sebelum melangkah menyusul.
Dua ekor domba lain ikut terseret ke dalam aksi Seek. Mereka tampak mengendus-endus sesuatu di tanah, kemungkinan bunga liar yang wanginya lebih kuat daripada rumput biasa. Ladran mempercepat langkahnya, melewati semak-semak yang hampir setinggi pinggangnya.
Begitu sampai di tempat mereka berkumpul, Ladran bersedekap sambil menatap Seek yang tampak santai mengunyah dedaunan.
“Hei, kamu pikir aku punya waktu buat ngejar kamu terus?”
Seek tentu saja tidak menjawab. Tapi tatapannya seolah mengatakan, Aku hanya mencari makan yang lebih enak. Apa salahnya?
Domba-domba lain sudah kembali ke kawanan, hanya Seek yang masih enggan bergerak. Ladran memutar matanya sebelum mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sejumput rumput hijau segar yang sengaja ia bawa sebagai umpan jika ada yang bandel. Ia menggoyangkannya di udara, menunggu reaksi.
Benar saja, mata Seek langsung berbinar. Domba itu maju selangkah, lalu dua langkah, sampai cukup dekat untuk Ladran meraih dan menepuk kepalanya.
“Ayo, kembali,” katanya, menuntun Seek dengan santai.
Saat mereka kembali ke kawanan, matahari sudah lebih tinggi. Ladran mempercepat langkahnya agar mereka bisa tiba di padang rumput sebelum siang. Seek tampak berjalan lebih tertib kali ini, tapi Ladran tahu itu hanya sementara.
“Kamu pasti bakal nyusahin aku lagi besok,” gumamnya sambil tersenyum tipis.
Seek mengembik kecil, seolah mengiyakan.
Mereka masih punya perjalanan panjang sebelum hari berakhir. Dan ini baru permulaan.
Langkah di Tepi Jurang
Angin siang mulai berembus lebih kencang saat Ladran dan kawanan dombanya tiba di padang rumput dekat hutan. Matahari terik di atas kepala, tapi rerumputan hijau yang lebat membuat tempat itu terasa sejuk. Domba-domba langsung menyebar, mengunyah rumput segar dengan lahap.
Ladran duduk di atas batu besar sambil memperhatikan mereka. Rengo berbaring di dekatnya, lidahnya menjulur karena kepanasan. Hanya Seek yang tidak langsung makan. Domba itu malah berdiri di dekat tepi hutan, mengendus udara seperti mencium sesuatu yang menarik.
“Jangan mulai lagi, Seek,” gumam Ladran sambil mengangkat tongkatnya, seolah memperingatkan.
Seek tetap diam, tapi Ladran bisa melihat kakinya bergeser sedikit, siap melompat kapan saja.
“Kamu gak bakalan ke mana-mana,” katanya lagi, kali ini dengan nada lebih tegas.
Seek akhirnya menyerah dan mulai makan, meskipun Ladran tetap menaruh curiga.
Beberapa jam berlalu, dan langit perlahan mulai berubah. Awan kelabu menggantung di ufuk barat, bergerak perlahan ke arah mereka. Ladran mengerutkan kening. Ia tahu betul, cuaca di daerah pegunungan bisa berubah dalam hitungan jam.
Saat ia hendak berdiri untuk mengumpulkan domba-dombanya, Rengo tiba-tiba menggonggong keras.
Ladran menoleh dan langsung melihat apa yang terjadi—Seek sudah tidak ada di tempatnya.
“Brengsek!”
Ia langsung mencari-cari ke sekitar, matanya menyisir padang rumput. Beberapa domba tampak menoleh ke arah bukit berbatu di sisi barat. Ladran merasakan firasat buruk.
Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah sana. Begitu melewati semak-semak tinggi, ia melihat Seek berdiri di tepi jurang kecil, mengunyah rumput dengan santai seolah tidak menyadari bahaya yang mengintainya. Dua domba lain berdiri tidak jauh di belakangnya, tampak ragu-ragu antara mengikuti atau kembali.
“Seek! Jangan ke situ!” suara Ladran nyaris terbawa angin.
Seek hanya menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada makanannya.
Ladran mendekat perlahan, tak ingin membuat Seek terkejut dan malah melompat ke arah yang salah. Ia bisa melihat tanah di sekitar kaki domba itu tampak rapuh—sedikit saja tekanan berlebihan, tanah itu bisa longsor.
“Kamu denger aku, kan?” Ladran berbicara pelan, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.
Seek berhenti mengunyah, telinganya bergerak sedikit.
Ladran mengulurkan tangan ke sakunya, mencari sesuatu yang bisa menarik perhatian domba itu. Namun, sebelum ia bisa melakukan apa pun, tanah di bawah kaki Seek mulai retak.
Mata Ladran membesar.
Tanpa pikir panjang, ia melompat ke depan, meraih Seek sebelum domba itu sempat terpeleset. Seek memberontak, tapi Ladran menahannya erat sambil perlahan mundur.
“Diem, Seek, atau kita bakal jatuh bareng-bareng!” desisnya.
Seek akhirnya berhenti melawan. Dengan hati-hati, Ladran menariknya menjauh dari tepi jurang, nafasnya terengah-engah. Begitu mereka cukup jauh dari bahaya, ia langsung menjatuhkan diri ke tanah, dadanya naik turun.
Seek berdiri di sampingnya, mengembik pelan, seolah bertanya apakah ia baik-baik saja.
“Kamu…,” Ladran mengusap wajahnya, “…gak bisa diem sebentar aja, ya?”
Seek hanya mengedipkan matanya.
Ladran tertawa kecil, meskipun tubuhnya masih gemetar sedikit. Ia lalu menoleh ke arah langit yang semakin gelap.
“Ayo, kita harus balik. Kayaknya bakal ada badai.”
Seek mengikuti Ladran tanpa banyak protes kali ini, dan domba-domba lain yang melihat kejadian tadi langsung bergegas kembali ke kawanan.
Saat mereka tiba di padang rumput, Rengo berlari mendekat, menggonggong seolah menegur Ladran karena terlalu lama.
“Ya, ya, aku tahu,” kata Ladran sambil mengacak-acak bulu anjing itu.
Ia menatap kawanan dombanya yang masih asik makan, lalu melihat ke arah pegunungan di kejauhan. Angin semakin dingin, dan awan hitam semakin dekat.
Ia tahu, malam ini tidak akan mudah.
Awan Gelap di Ufuk Timur
Angin yang tadinya hanya bertiup sepoi-sepoi kini berhembus lebih kencang. Rerumputan bergoyang liar, dan domba-domba mulai gelisah. Langit semakin gelap, ditelan awan badai yang menggantung rendah di atas cakrawala.
Ladran berdiri di tengah kawanan dombanya, menggenggam tongkat erat-erat. Ia tahu mereka harus segera kembali ke tempat perlindungan sebelum hujan turun, tapi gerakan kawanan sudah mulai kacau. Seek dan beberapa domba lain bergerak tidak beraturan, saling bertabrakan, sementara yang lain terlihat ragu melangkah.
Rengo menggonggong nyaring, mencoba mengatur barisan, tapi insting kawanan mulai mengambil alih—rasa takut membuat mereka sulit dikendalikan.
“Tenang! Jangan lari sembarangan!” suara Ladran berusaha mengalahkan suara angin.
Kilatan petir muncul di kejauhan, disusul suara gemuruh yang menggetarkan tanah. Domba-domba langsung bereaksi panik. Seek, yang biasanya keras kepala, kali ini justru terlihat kebingungan. Matanya liar, kakinya bergerak gelisah.
Ladran tahu, jika satu saja domba mulai berlari dalam kepanikan, yang lain akan mengikuti. Ia harus segera membawa mereka kembali ke tempat yang aman.
“Ayo! Semua ikut aku!”
Ia mengayunkan tongkatnya ke tanah, menciptakan bunyi khas yang biasa ia gunakan untuk memberi aba-aba. Rengo berlari ke sisi kanan kawanan, menggiring mereka agar tidak menyebar.
Domba-domba mulai bergerak mengikuti Ladran, meskipun beberapa masih tampak ragu. Hujan mulai turun, rintik-rintiknya dingin menusuk kulit.
Namun, di tengah suara angin dan gemuruh petir, tiba-tiba Ladran menyadari sesuatu.
Seek tidak ada.
Ia menoleh panik, matanya menyapu seluruh kawanan. Seek yang tadi ada di dekatnya, kini menghilang.
Sial.
Ladran merutuk dalam hati. Ia ingin segera membawa kawanan ini ke tempat aman, tapi ia juga tidak bisa meninggalkan Seek.
“Rengo, jaga mereka!” perintahnya.
Rengo menggonggong sebagai tanda mengerti, lalu terus menggiring kawanan ke depan. Sementara itu, Ladran berlari ke arah berlawanan, menerobos hujan yang semakin deras.
Ia tidak perlu waktu lama untuk menemukannya.
Seek berdiri di atas bukit kecil di sisi padang, tubuhnya kaku, matanya menatap ke satu arah—ke dalam hutan.
“Seek! Kamu ngapain di sana?!” seru Ladran.
Seek tidak bergerak. Ia tetap diam, seolah sedang mendengarkan sesuatu.
Ladran melangkah lebih dekat, tubuhnya basah kuyup oleh hujan. Saat ia hampir mencapai Seek, suara samar terdengar dari dalam hutan.
Suara embikan.
Darah Ladran langsung berdesir.
Ada domba lain yang tertinggal di dalam sana.
Ia menoleh ke belakang. Kawanan sudah semakin jauh, tapi mereka masih dalam jangkauan Rengo. Jika ia pergi sekarang, ia masih bisa menyelamatkan yang tertinggal sebelum badai benar-benar mengamuk.
Seek mengembik pelan, seolah mengatakan bahwa ia tidak akan pergi tanpa mereka.
Ladran menghela napas dalam.
“Baiklah,” gumamnya. “Ayo, kita cari mereka.”
Ia merapatkan jubahnya yang sudah basah dan melangkah masuk ke dalam hutan, dengan Seek mengikuti di belakangnya.
Semoga mereka belum terlambat.
Cahaya Setelah Hujan
Hutan terasa lebih gelap dari biasanya. Ranting-ranting bergoyang liar diterpa angin, dan dedaunan berbisik nyaring, seolah memperingatkan bahaya yang mengintai. Ladran bergerak cepat di antara pepohonan, tubuhnya menggigil karena basah kuyup. Seek mengikuti di belakangnya, sesekali mengembik lirih.
Embikan samar kembali terdengar di tengah hujan. Lebih jelas kali ini.
Ladran mempercepat langkahnya, menembus semak-semak yang basah. Matanya menyapu sekitar, mencari sumber suara. Lalu, di bawah sebuah pohon ek tua yang miring, ia melihat mereka—dua ekor domba kecil yang menggigil ketakutan, tubuh mereka terjebak di antara akar pohon yang besar.
“Astaga… Kalian ngapain di sini?” gumamnya.
Seek langsung mendekati mereka, mengendus-endus dengan cemas. Kedua domba itu mengembik lemah, tubuh mereka terlalu basah dan lemah untuk bergerak sendiri.
Ladran tidak berpikir lama. Ia menancapkan tongkatnya ke tanah dan meraih satu per satu domba itu, mengangkatnya ke dalam pelukannya. Mereka ringan, tapi badannya sudah dingin.
Ia menatap Seek. “Kita harus cepat.”
Seek mengangguk—atau setidaknya, begitulah yang terlihat di mata Ladran.
Dengan domba di pelukannya dan Seek berjalan di sampingnya, Ladran bergegas keluar dari hutan. Hujan masih turun deras, tapi pikirannya hanya fokus pada satu hal—membawa mereka kembali dengan selamat.
Begitu mereka tiba di padang rumput, Ladran langsung melihat siluet kawanan dombanya yang berkumpul di dekat batu besar, tempat mereka biasa berteduh. Rengo berlari ke arahnya, menggonggong panik begitu melihat Ladran basah kuyup dengan dua domba kecil di tangannya.
“Ya, aku tahu aku lama,” katanya, setengah tertawa, setengah terengah.
Rengo berlari-lari mengitari Ladran, sementara domba-domba lain mulai mengembik begitu melihat dua ekor yang sempat hilang. Seek membantu mendorong mereka masuk ke dalam kawanan, memastikan mereka mendapat tempat di tengah, di mana lebih hangat.
Ladran menjatuhkan diri ke tanah, membiarkan hujan mengguyurnya. Napasnya masih berat, tapi dadanya terasa lebih ringan. Semua selamat.
Ia menoleh ke Seek, yang berdiri tak jauh darinya.
“Kamu hebat,” katanya sambil menghela napas. “Kalau bukan karena kamu, mereka bisa aja mati kedinginan di sana.”
Seek menatapnya sebentar, lalu mengembik kecil, seolah mengatakan bahwa ia hanya melakukan apa yang harus dilakukan.
Hujan mulai mereda. Awan perlahan menipis, dan semburat cahaya matahari kembali muncul di cakrawala.
Ladran tersenyum kecil. Besok, mereka akan kembali menggembala seperti biasa. Akan ada hari-hari lain yang sulit, domba-domba lain yang bandel, dan mungkin Seek akan kembali membuatnya berlari ke sana kemari.
Tapi hari ini, mereka semua telah melewati badai bersama.
Dan itu lebih dari cukup.
Setelah semua yang terjadi, satu hal yang pasti: menggembala itu bukan cuma soal menjaga kawanan, tapi juga tentang keberanian, kesabaran, dan ikatan tanpa kata antara manusia dan hewan.
Besok, mungkin Ladran bakal tetap ngejar-ngejar Seek yang bandel, atau Rengo bakal tetap menggonggongin domba yang gak nurut. Tapi malam ini? Mereka semua udah melewati badai bareng. Dan itu, adalah kemenangan yang sebenarnya.


