Daftar Isi
Pernah ngerasa hidup kayak jalan di lorong gelap dan cuma bisa berharap ada cahaya kecil di ujung sana? Nah, di cerpen ini kamu bakal diajak ikut dalam kisah Viyara—seorang cewek biasa yang nekat keliling dunia lewat program budaya, tapi justru nemuin hal luar biasa: dirinya sendiri.
Cerita ini bukan sekadar soal destinasi, tapi tentang keberanian buat jatuh, bangkit, dan bersinar lagi, kayak ribuan bintang di langit malam. Penuh warna, penuh makna, dan pastinya bikin kamu senyum-senyum sendiri pas baca. Yuk, ikuti perjalanan seru dan jujur dari Viyara yang bisa banget bikin kamu ngerasa… “Wah, ini gue banget!”
Pengalaman Pribadi Viyara
Langit Pertama di Suraloka
Desa Suraloka selalu tampak tenang dari luar, seperti potret hitam putih yang tak pernah berubah. Jalanan berbatu masih dibiarkan begitu saja, tanpa aspal atau lampu jalan. Setiap pagi, suara ayam jantan bersahut-sahutan seperti orkestra dadakan yang menandai dimulainya hari. Tapi di balik ketenangan itu, ada satu rumah dengan jendela kayu yang tiap malam memancarkan cahaya remang dari lampu belajar. Di balik jendela itu, Viyara—gadis berusia tujuh belas—sedang menulis mimpi-mimpinya dengan pena biru yang ujungnya sudah tumpul.
Ia bukan tipe yang suka ramai. Di sekolah, ia lebih sering duduk di bangku dekat jendela, memperhatikan awan atau mencatat hal-hal kecil yang bahkan guru pun tak sempat sampaikan. Tapi bukan berarti ia tak punya teman. Justru sebaliknya, orang-orang mengenalnya sebagai sosok yang aneh tapi menyenangkan. Aneh karena sering membawa kamus bahasa asing ke kelas matematika. Menyenangkan karena senyumnya jarang absen.
Suatu sore, saat langit mulai jingga dan angin beraroma basah karena hujan tadi siang, Viyara naik ke loteng rumah kakeknya. Di sana, ia berniat mencari buku tua untuk tugas esai. Tapi matanya justru menangkap sesuatu yang lebih menarik—sebuah majalah tebal berdebu, dengan judul mengilat “Horizon Dunia”. Ia membuka halaman pertamanya pelan, dan di sanalah semua berubah.
Tiap lembar majalah itu seperti undangan ke dunia lain. Foto-foto menampilkan tempat-tempat asing: pasar terapung di Thailand, balon udara di Turki, dan festival cahaya di Jepang. Tapi satu halaman berhenti di tangannya cukup lama: sebuah artikel tentang program pertukaran pelajar bernama Stellar Steps, program internasional yang mengajak remaja dari berbagai belahan dunia untuk tinggal di enam negara dalam setahun. Judulnya sederhana: “Menjadi Bintang Kecil di Langit Dunia.”
Satu kalimat di dalam artikel itu mengusik hatinya:
“Bukan dunia yang terlalu besar, tapi langkah kita yang sering terlalu kecil.”
Keesokan harinya, ia langsung membawa majalah itu ke sekolah. Di bawah pohon jambu yang jadi tempat nongkrong favorit mereka, Viyara menunjukkannya ke dua sahabatnya, Leya dan Mavin.
Leya menatap halaman itu sambil mengunyah keripik. “Jadi kamu mau ikut ini? Ke luar negeri gitu?”
“Ya… pengin sih. Tapi kayaknya nggak mungkin juga,” jawab Viyara sambil nyengir, “daftar aja belum.”
“Kenapa nggak? Kamu tuh pinter, Vi. Bahasa Inggris kamu paling bagus di kelas,” potong Mavin, nada suaranya serius.
“Pinter doang nggak cukup, Min. Harus pede juga. Dan modal,” balasnya sambil memelintir ujung rambutnya yang mulai mengembang karena lembap.
Tapi malam itu, ia menulis. Ia menulis seperti orang jatuh cinta. Bukan pada seseorang, tapi pada ide bahwa mungkin, hanya mungkin, hidupnya bisa lebih dari sekadar bangun, sekolah, tidur. Ia mulai mencari tahu lebih banyak soal Stellar Steps, mencatat semua syarat, menyiapkan berkas-berkas, dan diam-diam melatih public speaking di depan cermin. Tiap hari, setelah membantu ibunya mencuci piring atau menyapu halaman, ia kembali ke kamarnya, memutar lagu instrumental, dan membayangkan dirinya berdiri di bandara sambil membawa koper.
Tapi tidak semua orang mendukungnya.
“Apa kamu yakin, Vi?” tanya Bu Rati, wali kelas yang terkenal kalem.
Viyara mengangguk pelan. “Aku mau coba, Bu. Nggak tahu bisa keterima atau nggak. Tapi aku nggak mau nyesel.”
Wali kelas itu tersenyum kecil, lalu menepuk bahunya. “Kalau begitu, aku dukung.”
Namun reaksi paling mengejutkan datang dari ibunya sendiri. Saat Viyara menunjukkan formulir aplikasi yang sudah diisi lengkap, ibunya sempat terdiam lama.
“Kamu yakin mau pergi jauh?” tanyanya, pelan.
“Iya, Bu. Aku pengin tahu dunia di luar sini.”
Ibunya menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata, “Kalau begitu… Ibu bantu doa.”
Dengan izin yang akhirnya dikantongi, Viyara mengirimkan aplikasinya. Hari-hari selanjutnya terasa seperti menunggu hujan di musim kemarau. Setiap email yang masuk, detak jantungnya ikut naik. Hingga suatu pagi yang tampaknya biasa saja, saat suara ayam jantan baru dua kali berkokok, ia membuka email dan melihat satu baris subjek:
“Selamat datang di Program Stellar Steps 2025”
Ia membaca ulang tiga kali, lalu menjerit. Bahkan kucing tetangga yang biasanya cuek ikut lari terbirit-birit karena kaget.
Leya dan Mavin langsung datang ke rumahnya siang itu.
“Jadi kamu keterima beneran?!” seru Leya sambil nyaris menjatuhkan es teh yang dibawanya.
“Kamu nggak bohong, kan?” tambah Mavin.
“Nggak! Nih, lihat emailnya!” Viyara menyerahkan ponsel dengan tangan bergetar.
Mereka bertiga berpelukan seperti anak kecil yang baru saja memenangkan undian permen seumur hidup. Tapi ada keheningan yang mengambang sebentar di antara mereka. Rasa senang itu bercampur dengan kesadaran bahwa sebentar lagi, salah satu dari mereka akan pergi jauh.
“Nanti kamu jangan lupa, ya,” kata Leya, lirih.
“Jangan berubah jadi orang sombong yang lupa sahabat,” tambah Mavin, setengah bercanda.
“Aku tetap aku, kok. Cuma… aku bakal bawa kalian di kepalaku. Dan di hatiku juga,” jawab Viyara, suaranya sedikit serak.
Hari-hari berikutnya jadi seperti mimpi yang belum sepenuhnya percaya diri untuk bangun. Visa diurus, koper dipilih, dan daftar negara tujuan dikirim lewat email kedua: Turki, Maroko, Korea Selatan, Brasil, Norwegia, Jepang, dan Selandia Baru.
Dan malam sebelum keberangkatan, Viyara duduk sendiri di beranda rumah. Langit Suraloka cerah, bertabur bintang. Tak ada suara selain detak jam dan napasnya sendiri. Ia mendongak, memandangi titik-titik cahaya yang dulu hanya jadi latar tidur, tapi sekarang jadi simbol dari sesuatu yang lebih besar.
Bintang-bintang itu seperti berbisik padanya:
“Kami sudah menunggumu.”
Jejak di Tanah Asing
Udara di Göreme datang seperti kejutan yang menyapa pelan tapi menusuk. Viyara berdiri di luar bandara dengan jaket yang terlalu tipis untuk angin musim gugur. Aroma tanah, rempah, dan debu tua bercampur dalam satu tarikan napas. Matanya terpaku pada lanskap aneh dan indah: bebatuan raksasa berbentuk cerobong jamur menjulang di kejauhan, dan langitnya—entah kenapa—terasa lebih luas dari langit manapun yang pernah ia lihat.
Seorang pria tua dengan kumis putih lebat dan sorot mata ramah menghampirinya sambil membawa papan nama bertuliskan “Viyara A. – Türkiye Host.” Di sampingnya, seorang anak laki-laki berusia sekitar sembilan tahun berlari-lari kecil sambil membawa tas kresek penuh roti bulat.
“Selam!” sapa pria itu sambil menunduk ringan.
“Selam, uh… halo,” jawab Viyara kikuk.
Pria itu tertawa pelan, lalu mengangguk. “I am Mustafa. This is Deniz, my grandson. We are your family here.”
Mustafa tidak banyak bicara dalam bahasa Inggris, tapi setiap gerak-geriknya seperti bahasa yang bisa dimengerti siapa pun. Sementara Deniz, si kecil yang tak bisa diam, justru langsung menembus jarak budaya dan bahasa hanya dengan satu kalimat polos:
“Kamu beneran dari Indonesia?”
“Iya,” jawab Viyara, tersenyum.
“Indonesia itu deket sama gunung api, kan? Aku suka gunung api!”
“Haha, iya. Bahkan rumahku deket gunung juga.”
Dan begitu saja, es di antara mereka mencair.
Rumah mereka berada di lembah kecil dengan dinding batu dan atap datar. Di dalamnya, lampu temaram membuat suasana seperti dalam dongeng kuno. Ada rak buku tua, teko tanah liat, dan permadani dengan motif yang membuat kepala ingin tenggelam di setiap lekuk polanya.
Hari-hari pertama Viyara dipenuhi adaptasi. Sarapan dengan roti pipih dan keju asin. Belajar menyapa tetangga dengan “Merhaba!” dan membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. Tapi bagian terbaiknya adalah ketika mereka mengunjungi bengkel tembikar milik Mustafa.
“Ini tempat paling sabar di dunia,” kata Mustafa sambil membuka pintu kayu besar yang berderit.
“Tempat paling sabar?” tanya Viyara, mengernyit.
“Tanah butuh waktu. Air butuh rasa. Tangan butuh niat. Kamu nggak bisa buru-buru bikin tembikar. Sama seperti kamu nggak bisa buru-buru paham dunia.”
Viyara belajar duduk di depan roda putar, menekankan telapak tangannya pada lempung basah, dan merasakan tanah hidup di bawah jemarinya. Awalnya berantakan—ada pot yang miring, ada juga yang malah jadi gumpalan jelek seperti donat gagal. Tapi setiap hari, ia mulai memahami. Tentang tekanan. Tentang irama. Tentang kapan harus lembut, dan kapan harus tegas.
Setiap malam, setelah makan malam sederhana dengan sup lentil dan roti, Deniz akan menarik tangannya keluar rumah.
“Lihat langit!” katanya, penuh semangat. “Ada bintang jatuh!”
“Mana? Aku nggak lihat,” ujar Viyara sambil menajamkan pandangan.
“Harus percaya dulu, baru bisa lihat.”
Ucapan anak itu terdengar sederhana, tapi menggantung lama di kepala Viyara.
Satu malam, mereka duduk di atap rumah, membungkus diri dengan selimut dan menyeruput teh manis yang mengepul dari gelas kaca kecil. Deniz memandangi bintang dan berkata,
“Kamu tahu? Aku pengin jadi astronaut.”
“Kenapa?”
“Soalnya dari atas sana, semua orang kelihatan kecil. Jadi nggak ada yang sombong.”
Viyara tertawa kecil, lalu menjawab, “Kalau gitu aku pengin jadi bintang.”
“Kenapa?” balas Deniz.
“Biar bisa nemenin kamu di atas sana.”
Anak itu tersipu, lalu tertawa keras sampai menumpahkan tehnya.
Waktu sebulan berlalu dengan cepat. Di akhir pekan terakhirnya di Göreme, keluarga Mustafa mengajak Viyara naik balon udara. Matahari baru akan naik, tapi sudah banyak orang berkumpul di lapangan terbuka, menyiapkan balon warna-warni yang menggembung perlahan.
Ketika mereka akhirnya mengudara, Viyara terdiam. Kota batu di bawah mereka terlihat seperti miniatur dunia lain. Matahari menyembul pelan, membakar langit jadi warna emas, dan balon-balon lain mengambang di sekeliling mereka seperti lukisan yang bergerak.
Mustafa memandang ke bawah sambil bergumam, “Lihat itu, Viyara. Dunia ini indah bukan karena besar. Tapi karena kamu mau lihat dari sudut yang berbeda.”
Dan pagi itu, di udara Göreme yang dingin dan menggetarkan, Viyara menangis. Diam-diam, tanpa suara, hanya air mata yang jatuh karena tak sanggup menampung perasaan penuh. Ia bukan menangis karena sedih, tapi karena hatinya dipenuhi oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kata. Mungkin itu namanya syukur. Mungkin juga cinta.
Beberapa hari kemudian, ia harus melanjutkan perjalanan ke negara selanjutnya: Maroko. Saat ia berpamitan di depan pintu, Deniz menyelipkan selembar kertas ke tangannya.
“Buka nanti di pesawat,” bisiknya.
Di pesawat, setelah take off, Viyara membuka kertas itu. Tulisannya berantakan, tapi pesannya jelas:
“Kamu bintang pertama yang aku kenal. Jangan berhenti nyala.”
Langit malam di atas Turki perlahan terganti oleh langit Afrika Utara. Tapi Viyara tahu, satu bagian kecil dari hatinya akan selalu tertinggal di lembah batu, di sebuah rumah sederhana, di bawah langit Göreme—tempat di mana ia pertama kali belajar berjalan sebagai bintang kecil.
Saat Bintang Redup
Seoul menyambut Viyara dengan cara yang sama seperti dunia menyambut mereka yang datang tanpa arah—ramai, terang, dan terlalu cepat. Di sini, tidak ada aroma rempah seperti di Maroko, tidak ada senyum ramah seperti di Göreme, tidak ada pelukan hangat dari anak kecil bernama Deniz. Yang ada hanya gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti tak peduli, suara klakson, dan langkah kaki yang seolah berpacu dengan waktu.
Host family kali ini tinggal di apartemen lantai 18, di distrik yang ramai dan modern. Mereka baik, tapi juga sibuk. Sang ibu bekerja sebagai pengacara, sang ayah dosen di universitas, dan anak perempuan mereka—Jinhee—seusia Viyara, tapi seakan hidup dalam dunia yang sangat berbeda. Gadis itu pendiam, gemar membaca buku psikologi, dan hampir tak pernah bicara kecuali ditanya.
Setiap pagi, Viyara berangkat ke pusat program menggunakan subway. Di kereta, semua orang menunduk, entah melihat ponsel atau sekadar menghindari kontak mata. Di kelas budaya, mereka belajar tentang Hangul, sejarah Korea, dan etika sopan santun. Tapi Viyara, untuk pertama kalinya sejak perjalanannya dimulai, merasa tidak terlihat.
Pada minggu ketiga, ia mulai merasa kelelahan yang tidak seperti biasanya. Bukan karena jetlag, bukan juga karena pelajaran yang sulit. Tapi lebih seperti tubuhnya menolak untuk semangat. Ia mulai jarang membuka catatan harian, tidak lagi memotret momen-momen kecil seperti biasanya, dan beberapa malam hanya duduk di balkon, memandangi jalanan kota yang tak pernah tidur.
Suatu malam, hujan turun dengan lebat. Jinhee mengetuk pintu kamarnya dengan segelas teh panas.
“Kamu belum tidur?” tanya gadis itu, suaranya pelan tapi jelas.
“Belum. Kamu juga?”
“Aku dengar kamu batuk tadi.”
Viyara mengambil teh itu dan mengangguk pelan.
“Makasih. Kamu baik banget.”
Jinhee duduk di lantai, punggungnya bersandar ke tembok. Ia menggulung selimut tipis ke lututnya dan berkata,
“Aku juga pernah ngerasa kayak kamu. Asing di negeriku sendiri.”
Viyara mengernyit. “Maksud kamu?”
“Orang-orang pikir Korea itu modern dan sempurna. Tapi kadang… terlalu cepat, terlalu keras. Aku sering ngerasa capek sama standar yang tinggi, sama ekspektasi orang tua, sama diriku sendiri. Tapi aku nggak bisa cerita ke siapa-siapa.”
Kata-kata Jinhee seperti menampar pelan.
“Mungkin… itu juga yang aku rasain sekarang,” kata Viyara akhirnya. “Aku pikir bisa terus kuat, terus senang kayak di negara sebelumnya. Tapi di sini… aku kayak kehilangan arah.”
Keheningan menyelimuti kamar kecil itu sejenak, hanya diisi suara hujan yang menghantam kaca jendela.
“Kamu nggak harus selalu jadi kuat, Vi,” kata Jinhee pelan. “Kadang, jadi rapuh juga bentuk dari keberanian.”
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak ia sampai di Seoul, Viyara menangis. Bukan karena sedih, tapi karena lega. Ia tak tahu kenapa kata-kata dari seorang hampir asing bisa menembus dinding yang selama ini ia bangun sendiri.
Hari-hari berikutnya berjalan perlahan, tapi lebih ringan. Viyara dan Jinhee mulai saling mengenal. Mereka menonton drama Korea sambil mengomentari tokoh-tokohnya dengan suara pelan. Mereka pergi ke pasar malam, mencoba odeng dan hotteok, dan tertawa waktu Viyara kepedasan sambil minum susu kotak.
Suatu sore, mereka duduk di tangga taman Namsan Tower, memandangi kota dari atas bukit.
“Kamu tahu?” kata Jinhee tiba-tiba, “Aku iri sama kamu.”
“Iri kenapa?”
“Kamu berani ninggalin zona nyamanmu. Ngelihat dunia. Sedangkan aku… cuma berani lihat dari buku.”
Viyara tertawa pelan. “Tapi kamu berani bilang hal kayak gini. Dan jujur, itu jauh lebih berani daripada pergi ke negara lain.”
Mereka berdua saling menatap, lalu tertawa bersama. Tawa yang pendek, tapi penuh arti. Karena pada akhirnya, keberanian bukan cuma soal berpindah tempat. Tapi juga tentang membuka hati.
Beberapa hari sebelum keberangkatannya ke negara berikutnya, Jinhee memberinya sebuah kotak kecil. Di dalamnya, ada gantungan kunci berbentuk bulan sabit.
“Ini buat kamu. Biar kamu ingat, bahkan kalau bintang lagi nggak kelihatan, bulan masih nyala,” katanya.
“Dan kamu… bulan itu, ya?” goda Viyara.
“Mungkin. Atau sekadar lampu taman,” jawab Jinhee sambil nyengir.
Saat pesawat meninggalkan landasan Seoul, Viyara memandangi lampu kota yang perlahan mengecil. Hatinya tak lagi kosong. Ia tahu, mungkin di tempat lain ia akan bersinar lebih terang. Tapi di sini, justru ia belajar menerima saat cahayanya sempat meredup. Dan itu tak membuatnya lemah.
Karena bintang yang paling kuat pun butuh gelap untuk bersinar.
Pulang Bersama Cahaya
Langit Zurich menggantung kelabu saat Viyara menuruni bus bandara, mengenakan mantel panjang dan sepatu bot yang berat. Udara musim dingin menusuk tulang, tapi ia menyambutnya seperti pelukan dari dunia yang baru. Ini adalah negara terakhir dalam program pertukaran budayanya—dan anehnya, juga yang paling tenang.
Rumah host terakhirnya tidak jauh dari danau. Sebuah rumah kayu dua lantai yang hangat, dipenuhi lukisan pemandangan dan aroma roti panggang. Tuan rumahnya adalah pasangan lansia bernama Anneliese dan Gerhardt—seniman yang sudah pensiun dari dunia galeri, tapi tidak pernah berhenti mencintai warna.
Hari-hari di Zurich terasa lambat, tapi damai. Viyara membantu menyapu daun di halaman belakang, membuat sup keju, dan sesekali diajak ke desa-desa kecil dengan kereta. Mereka tidak banyak bicara, tapi keheningan di antara mereka terasa seperti lagu klasik—mengisi ruang tanpa memaksa.
Suatu pagi, Anneliese mengajaknya ke loteng rumah.
“Ini studio lamaku,” ucap wanita tua itu sambil membuka jendela lebar. Cahaya putih susu menerobos masuk, menerangi kanvas-kanvas usang dan botol cat kering.
“Aku dulu suka melukis bintang,” tambahnya sambil mengelus salah satu lukisan.
Viyara menatap lukisan itu—hanya sapuan biru tua dengan bintik-bintik putih acak. Tapi entah kenapa, rasanya seperti menatap langit malam di dalam dirinya sendiri.
“Kamu boleh bikin satu lukisan di sini,” kata Anneliese, tersenyum.
“Aku? Tapi aku nggak bisa gambar…”
“Justru itu. Biar kamu belajar melihat, bukan cuma membuat.”
Awalnya ragu, tapi ia mencoba. Setiap malam, setelah makan malam dengan roti keras dan cokelat panas, ia naik ke loteng dan menggoreskan warna. Ungu untuk malam di Maroko, oranye untuk matahari Turki, abu-abu untuk hari-hari berat di Seoul, dan merah muda untuk tawa Jinhee. Tapi di tengah semua itu, ia biarkan putih tetap ada. Untuk ruang yang belum selesai. Untuk kemungkinan yang belum diketahui.
Suatu sore, Gerhardt mengajaknya jalan kaki ke pinggir danau. Mereka duduk di bangku kayu, memandangi bebek dan riak air yang tenang.
“Sudah hampir waktumu pulang, ya,” kata Gerhardt perlahan.
“Iya. Rasanya cepat banget…”
“Bukan waktunya yang cepat, mungkin kamu yang sudah terlalu penuh.”
Viyara tersenyum kecil. “Penuh, ya… itu kata yang tepat.”
Ia tak bilang pada siapa pun, tapi selama beberapa minggu terakhir, ia mulai bermimpi tentang rumah. Tentang ibunya yang tertawa saat menggoreng tempe, tentang kamar yang jendelanya menghadap pohon jambu, tentang tumpukan buku-buku kecil yang dulu ia pikir tak penting.
Untuk pertama kalinya, ia merasa rindu. Tapi bukan rindu yang menyakitkan. Lebih seperti rindu yang lembut, yang tumbuh bukan karena kehilangan, tapi karena siap kembali.
Di hari terakhirnya, Anneliese menggulung lukisan Viyara dan mengikatnya dengan pita biru.
“Ini bukan hasil yang indah,” ucap Viyara sambil menatap karyanya.
“Tapi ini kamu,” sahut Anneliese. “Dan itu lebih indah dari apapun.”
Di bandara, saat ia menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya, mata Viyara tak menangkap gedung atau tanda. Tapi justru melihat dirinya sendiri yang berdiri di sana. Versi yang dulu—yang takut, yang ragu, yang belum tahu siapa ia. Dan versi itu tersenyum padanya.
Pesawat membawa tubuhnya pulang, tapi hatinya membawa ribuan bintang. Setiap negara adalah titik cahaya. Setiap pertemuan adalah percikan. Dan setiap pengalaman, sekecil apapun, kini menyala di dalam dirinya.
Di kursi pesawat, ia membuka jurnal terakhirnya dan menulis dengan tangan gemetar karena emosi:
“Aku pergi untuk mencari sesuatu yang kupikir hilang. Tapi yang kutemukan justru diriku sendiri—dalam bahasa yang tak kupahami, di tangan yang tak kukenal, di langit-langit asing yang ternyata sudah menunggu untuk kutatap. Kini aku pulang. Tapi aku bukan lagi yang dulu. Aku pulang, bersama cahaya.”
Dan saat pesawat menembus awan, Viyara memejamkan mata. Tidak lagi takut. Tidak lagi ragu. Karena ia tahu, bintangnya tidak hanya ada di langit.
Ia sendiri adalah salah satunya.
TAMAT
Cerita Viyara mungkin fiksi, tapi rasanya deket banget sama kenyataan. Kita semua pernah ada di titik bingung, capek, atau ngerasa nggak cukup berani buat ngambil langkah baru. Tapi lewat kisah ini, kita diingetin kalau setiap langkah—meskipun kecil—punya cahaya sendiri.
Jadi, kalau kamu lagi nyari makna, semangat baru, atau cuma pengin baca sesuatu yang bikin hati hangat, cerpen ini bisa jadi jawabannya. Karena pada akhirnya, siapa pun bisa jadi bintang… termasuk kamu.