Pengalaman Kerja Penuh Drama: Antara Ambisi, Beban, dan Jalan Keluar

Posted on

Dunia kerja nggak selalu seindah presentasi PowerPoint atau janji-janji manis saat wawancara. Kadang, kita harus berhadapan dengan bos yang penuh trik, rekan kerja yang siap menjatuhkan, dan tekanan yang bikin kepala nyut-nyutan. Tapi, di balik semua itu, ada pelajaran berharga yang bisa mengubah cara kita memandang karier.

Dalam cerita ini, kita bakal menyelami perjalanan Arka—seorang karyawan baru yang awalnya penuh semangat, tapi kemudian dihadapkan pada realitas keras dunia kerja. Dari kerja rodi tanpa apresiasi, permainan politik kantor, hingga pilihan sulit antara bertahan atau pergi. Ini bukan sekadar cerita tentang kerja, tapi juga tentang menemukan nilai diri di tengah sistem yang nggak selalu adil. Siap buat menyelami lika-liku dunia profesional dari sudut pandang yang beda? Yuk, simak kisahnya!

Pengalaman Kerja Penuh Drama

Sambutan yang Tak Terduga

Gedung kaca itu menjulang tinggi, memantulkan sinar matahari yang mulai naik. Di lobi, suara sepatu hak tinggi berpadu dengan obrolan para pegawai yang sibuk dengan panggilan telepon. Aroma kopi dari kafe kecil di pojok ruangan bercampur dengan wangi parfum mahal.

Arka Rahadian menarik napas dalam sebelum melangkah masuk. Setelan abu-abunya tampak rapi, dan sepatu kulitnya berkilat sempurna. Ia memeriksa jam tangannya. Masih lima belas menit sebelum jam kerja dimulai. Lebih baik datang lebih awal daripada memberi kesan pertama yang buruk.

Seorang wanita dengan name tag bertuliskan “Resepsionis – Mira” tersenyum ramah. “Selamat pagi! Ada yang bisa saya bantu?”

“Selamat pagi. Saya Arka, karyawan baru di divisi pemasaran. Ini hari pertama saya,” jawabnya.

“Oh, kamu pasti anak baru yang ditungguin Pak Farhan! Ruangan tim kamu di lantai 23. Lift sebelah kanan, langsung belok kiri pas keluar.”

Arka mengucapkan terima kasih sebelum berjalan ke lift. Di dalam, ia merapikan dasinya dan menenangkan dirinya. Semua akan baik-baik saja. Ia sudah menyiapkan diri untuk hari ini.

Saat pintu lift terbuka di lantai 23, pemandangan kantor terbuka dengan meja-meja kerja yang tertata rapi. Beberapa karyawan sibuk di depan laptop mereka, sementara lainnya mengobrol santai di dekat pantry.

Seorang pria dengan kemeja biru muda melangkah mendekat, memasukkan tangan ke saku celananya.

“Kamu Arka, kan?”

“Iya, betul. Kamu?”

“Danis. Senior kamu di tim ini.” Danis tersenyum, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang sulit ditebak. “Santai aja, di sini nggak perlu terlalu tegang.”

Arka mengangguk, meski ia tetap merasa canggung.

“Eh, ayo ke meja kamu. Ntar kenalan sama yang lain.”

Mereka berjalan melewati deretan meja. Seorang wanita dengan rambut panjang berombak menoleh dan tersenyum tipis.

“Ini Nadia,” kata Danis. “Senior juga. Kalo butuh sesuatu, tanya aja.”

“Kamu anak baru?” Nadia bertanya, suaranya datar.

“Iya. Aku Arka, baru masuk di tim pemasaran.”

“Hmm.” Nadia hanya mengangguk singkat sebelum kembali mengetik di laptopnya.

Arka melirik Danis yang hanya mengangkat bahu, seolah mengatakan “biarkan saja”.

Saat mereka sampai di meja yang dimaksud, Danis menunjuk sebuah kursi. “Ini tempat kamu. Nanti siang ada rapat kecil, sekalian kenalan sama Pak Farhan, kepala tim kita.”

Arka mengangguk. Ia baru saja akan duduk ketika Danis menepuk pundaknya pelan.

“Sedikit saran,” kata Danis, kali ini dengan nada lebih rendah. “Jangan terlalu keras kerja, nanti malah kena zonk.”

Arka mengerutkan kening. “Maksudnya?”

Danis hanya terkekeh. “Lihat aja nanti.”

Arka tidak terlalu memikirkan kata-kata itu. Ia lebih fokus pada layar laptopnya, membuka email kantor yang sudah aktif, lalu mengecek tugas pertama yang diberikan. Tidak ada yang sulit. Ia pernah mengerjakan hal serupa saat magang dulu.

Namun, seiring berjalannya hari, ia mulai merasa ada sesuatu yang aneh di tempat ini.

Saat istirahat siang, Arka mengajak beberapa rekan timnya untuk makan bareng, tapi hanya Nita yang mau ikut.

“Biasanya mereka makan bareng?” tanya Arka saat mereka duduk di salah satu restoran dekat kantor.

“Kadang-kadang,” jawab Nita sambil mengaduk es tehnya. “Tapi kamu anak baru, jadi masih belum masuk radar mereka.”

“Maksudnya?”

Nita tersenyum samar. “Di sini, lingkungan kerja itu… unik.”

“Unik gimana?”

“Kamu akan ngerti sendiri nanti,” katanya, lalu menggigit potongan ayam di piringnya.

Arka mulai tidak nyaman dengan jawaban-jawaban yang terasa seperti teka-teki. Tapi ia memilih tidak bertanya lebih jauh.

Sore itu, rapat kecil berlangsung cukup lancar. Farhan, kepala tim mereka, adalah pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan ekspresi serius. Ia tidak berbicara banyak, hanya memberi instruksi tegas.

Namun, saat Arka mengajukan satu pertanyaan tentang strategi pemasaran yang sedang berjalan, Farhan menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab dengan nada yang terdengar sedikit meremehkan.

“Kamu baru masuk, kan?”

“Iya, Pak.”

“Belajarin dulu sistem di sini. Jangan terlalu cepat ingin mengubah sesuatu.”

Arka mengangguk, meski dalam hati ia merasa tidak nyaman. Ia hanya bertanya, bukan ingin mengubah sistem.

Setelah rapat, ia duduk kembali di mejanya, membuka email. Tapi di sudut matanya, ia menangkap sesuatu—Nadia dan Danis berdiri di pojok ruangan, mengobrol pelan sambil melirik ke arahnya.

Saat Arka menoleh, mereka langsung pura-pura sibuk.

Ada sesuatu yang tidak beres di kantor ini.

Dan ia yakin, cepat atau lambat, ia akan mengetahuinya.

Dunia Tak Seindah PowerPoint

Seminggu pertama di PT Luminary Corp, Arka mulai memahami pola kerja di timnya. Bukan soal strategi pemasaran atau laporan keuangan—itu semua mudah. Yang sulit adalah membaca arah angin.

Ia mengamati bagaimana beberapa orang bisa berbicara santai dengan atasan tanpa rasa takut, sementara yang lain memilih diam. Bagaimana ide yang bagus bisa diabaikan, lalu tiba-tiba muncul lagi dengan nama lain di atasnya. Bagaimana rapat sering kali lebih banyak berisi permainan citra dibandingkan solusi nyata.

Arka duduk di mejanya, mengerjakan laporan analisis pemasaran yang diminta Farhan. Saat sedang fokus mengetik, Nadia tiba-tiba berdiri di sampingnya.

“Kamu udah kelarin data untuk minggu ini?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Udah hampir selesai,” jawab Arka tanpa menoleh.

“Bagus. Kirim ke aku dulu sebelum ke Pak Farhan.”

Arka menoleh. “Kenapa harus ke kamu dulu?”

Nadia mengangkat alis. “Supaya nggak ada kesalahan. Aku yang lebih ngerti gaya laporan yang dia suka.”

Arka ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Oke.”

Setengah jam kemudian, ia mengirimkan laporan itu ke Nadia. Namun, ketika laporan itu akhirnya dibahas dalam rapat siang, ada yang janggal.

Di layar proyektor, laporan yang ditampilkan memiliki banyak bagian yang identik dengan yang ia buat. Tapi nama di bagian atasnya bukan miliknya—melainkan Nadia.

Arka menoleh ke arah Nadia yang duduk tenang, seolah tidak ada yang aneh.

“Ini analisis yang cukup rapi,” kata Farhan. “Bagus, Nadia. Lain kali, coba tambahkan beberapa insight dari data pelanggan juga.”

Arka ingin berbicara, ingin mengatakan bahwa laporan itu miliknya. Tapi saat ia melihat sekeliling, tidak ada satu pun yang tampak peduli.

Setelah rapat selesai, ia berjalan mendekati Nadia di luar ruangan.

“Kamu nggak bilang kalau kamu bakal ambil kredit atas laporanku,” katanya dengan suara terkontrol.

Nadia tersenyum kecil. “Kamu masih anak baru, Arka. Belajar dulu, ya?”

Arka mengepalkan tangannya, tapi ia tahu percuma berdebat di sini.

Sejak hari itu, ia sadar bahwa kerja keras saja tidak cukup.

***

Minggu berikutnya, ia mulai melihat bagaimana sistem di kantor ini bekerja. Orang-orang seperti Nadia dan Danis tahu bagaimana membuat diri mereka terlihat baik di mata atasan. Mereka tidak selalu yang paling pintar atau paling bekerja keras, tapi mereka tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan kapan harus mengambil kesempatan.

Suatu hari, saat sedang di pantry mengambil kopi, ia mendengar dua orang dari tim lain mengobrol pelan.

“Kamu udah denger? Ada proyek baru, katanya bakal dikasih ke tim pemasaran.”

“Yang itu? Wah, pasti Farhan bakal kasih ke orang kesayangannya lagi.”

Arka berpikir keras. Jika ada proyek besar yang masuk, ia harus bisa ikut serta—tanpa harus melalui tangan orang seperti Nadia.

Kesempatan itu datang lebih cepat dari yang ia kira.

Farhan mengadakan rapat mendadak untuk membahas proyek kampanye pemasaran baru. Semua orang berkumpul di ruang meeting dengan ekspresi serius.

“Klien kita kali ini besar,” kata Farhan, menampilkan logo salah satu perusahaan teknologi ternama di layar. “Mereka butuh strategi digital untuk produk terbaru mereka. Siapa yang mau ambil bagian?”

Arka segera mengangkat tangan. “Aku mau coba, Pak.”

Hening.

Mata semua orang menoleh ke arahnya. Danis bersandar ke kursinya dengan ekspresi geli, sementara Nadia menatapnya seperti sedang menilai sesuatu.

Farhan mengetuk meja pelan. “Kamu yakin? Ini proyek besar. Bukan sekadar laporan analisis seperti sebelumnya.”

“Aku yakin,” jawab Arka mantap.

Farhan menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk. “Oke. Kamu bisa ambil bagian. Tapi, kamu akan kerja di bawah Nadia.”

Arka menahan napas. Jadi ini jebakannya.

Namun, ia tidak mundur.

Ia akan melihat sejauh mana permainan ini berjalan. Dan kali ini, ia tidak akan kalah.

Pilihan di Antara Beban

Seminggu setelah proyek besar dimulai, Arka benar-benar tenggelam dalam pekerjaan. Ia menghabiskan hari-harinya di depan layar laptop, merancang strategi pemasaran digital, menganalisis target pasar, dan menyusun konsep kampanye yang bisa menarik klien.

Namun, setiap kali ia mengirimkan progres ke Nadia, hanya ada dua kemungkinan: revisi tanpa alasan jelas atau diam-diam diambil alih tanpa kredit untuknya.

“Arka, revisi lagi bagian segmentasi pasar,” kata Nadia saat mereka sedang berdiskusi di ruang meeting kecil.

Arka menatap layar laptopnya. “Ini udah sesuai dengan data yang kita punya.”

“Aku tahu, tapi coba ubah sedikit supaya lebih ‘cocok’ sama preferensi Pak Farhan.”

“Preferensi atau supaya kelihatan kayak kerjaan kamu?”

Nadia menatapnya tajam, lalu tersenyum tipis. “Kamu mulai ngerti cara kerja di sini.”

Arka mengepalkan tangan di bawah meja. Ia ingin melawan, tapi apa yang bisa ia lakukan? Semua keputusan ada di tangan Nadia. Jika ia protes, justru ia yang akan terlihat bermasalah.

Lembur menjadi bagian dari rutinitasnya.

Malam itu, hanya ada segelintir orang yang masih bertahan di kantor. Arka duduk di meja kerjanya dengan mata lelah, menatap presentasi proyek yang ia buat hampir sendirian.

Suara langkah kaki mendekat.

Nita, dengan sweater abu-abunya, berdiri di sampingnya sambil membawa dua kaleng kopi dingin. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan salah satunya di meja Arka.

“Capek?” tanyanya santai.

Arka menghela napas. “Udah jelas, kan?”

Nita duduk di kursi sebelahnya, membuka kaleng kopinya. “Jadi, gimana rasanya kerja di bawah Nadia?”

“Kayak kerja rodi. Aku ngerjain semuanya, tapi dia yang dapet pengakuan.”

Nita tertawa kecil. “Selamat datang di dunia kerja.”

Arka menatapnya. “Kamu udah berapa lama di sini?”

“Lima tahun.”

“Kenapa masih bertahan?”

Nita mengangkat bahu. “Bukan karena aku suka tempat ini, tapi karena aku butuh gaji ini.”

Arka terdiam. Kata-kata itu begitu sederhana, tapi berat.

Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri—apakah ia benar-benar ingin bertahan di sini? Apakah harga yang harus ia bayar sebanding dengan ambisi yang ia kejar?

Hari presentasi tiba.

Di dalam ruangan besar dengan lampu temaram, Farhan, beberapa manajer senior, dan klien dari perusahaan teknologi itu duduk mengelilingi meja panjang. Nadia berdiri di depan, memulai presentasi dengan percaya diri.

Arka memperhatikan bagaimana ia membawakan materi yang sebagian besar dikerjakan olehnya. Setiap poin yang ia susun, setiap data yang ia analisis, setiap strategi yang ia buat—semua keluar dari mulut Nadia seolah-olah itu hasil kerjanya sendiri.

Namun, kali ini, Arka tidak diam.

Saat sesi tanya jawab, seorang klien bertanya tentang strategi retensi pelanggan dalam kampanye.

Nadia sempat terdiam, terlihat ragu. Ia menoleh ke arah Arka, berharap ia tetap diam.

Tapi Arka tidak peduli lagi.

Ia menegakkan tubuh dan menjawab, “Strateginya adalah dengan meningkatkan interaksi berbasis data. Kami telah menyusun model personalisasi menggunakan data demografi yang diolah untuk memberikan pengalaman yang lebih relevan bagi setiap pelanggan.”

Semua mata tertuju padanya.

Klien itu tampak tertarik. “Menarik. Bisa jelaskan lebih detail?”

Arka menjelaskan tanpa ragu. Saat ia selesai, ada jeda sejenak sebelum salah satu perwakilan klien mengangguk puas.

“Bagus. Ini pendekatan yang cukup matang.”

Farhan menatap Nadia, lalu beralih ke Arka. “Bagus. Pastikan implementasinya sesuai.”

Arka mengangguk, sementara Nadia terlihat kurang senang.

Saat keluar dari ruangan, Nadia mendekatinya. “Kamu mulai berani, ya?”

“Aku cuma menjawab pertanyaan,” jawab Arka santai.

Nadia mendengus. “Lihat aja nanti, Arka. Kamu pikir menang satu poin kecil bisa mengubah sistem di sini?”

Arka tersenyum tipis. “Mungkin nggak, tapi aku nggak akan berhenti mencoba.”

Saat itu, ia sadar.

Beban kerja bisa dipikul. Tapi ada beban lain yang lebih berat—beban keputusan.

Dan ia harus segera memilih. Bertahan dan terus bermain dalam sistem ini, atau mencari jalan keluar sebelum terlambat.

Menemukan Jalan

Seminggu setelah presentasi, suasana di kantor terasa berbeda bagi Arka.

Nadia masih bersikap seperti biasa—mengatur, mendominasi, dan memastikan ia tetap terlihat lebih unggul. Tapi ada sesuatu yang berubah. Setiap kali rapat, Farhan sesekali menoleh ke arah Arka, seolah mulai menyadari bahwa ia bukan sekadar anak baru biasa.

Namun, perubahan ini bukan berarti kemenangan.

“Pak Farhan mau ketemu kamu,” kata Danis suatu pagi, menyeringai seperti seseorang yang menunggu drama menarik.

Arka mengangkat alis. “Sendiri?”

Danis mengangguk. “Yup. Kayaknya penting, deh.”

Di dalam ruangan, Farhan duduk di balik meja dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Kamu anak yang pintar,” katanya tanpa basa-basi.

Arka menegakkan tubuh. “Terima kasih, Pak.”

“Tapi kamu juga terlalu frontal.”

Arka diam.

Farhan menyilangkan tangan. “Dengerin baik-baik, Arka. Di tempat ini, kerja keras itu penting, tapi tahu cara bermain lebih penting lagi.”

Arka mengerti maksudnya.

“Apa maksud Bapak, kalau saya ingin maju, saya harus bermain aman?”

“Bukan bermain aman,” kata Farhan. “Tapi tahu kapan harus melawan dan kapan harus menunggu.”

Arka tidak menjawab.

Farhan melanjutkan, “Aku bisa kasih kamu jalan yang lebih cepat buat naik. Dengan catatan, kamu belajar untuk bekerja dengan sistem, bukan melawan sistem.”

Arka menatapnya lekat. Ia tahu apa arti tawaran ini.

Kesempatan naik jabatan. Gaji lebih tinggi. Pengakuan.

Tapi dengan harga tertentu.

Ia harus bermain seperti Nadia dan Danis. Memilih diam ketika ketidakadilan terjadi. Memanfaatkan kesempatan dengan cara yang mungkin tidak selalu benar.

“Jadi, gimana?” tanya Farhan.

Arka menarik napas pelan.

“Terima kasih atas kesempatannya, Pak,” katanya dengan nada tenang. “Tapi saya rasa ini bukan jalan yang saya inginkan.”

Farhan menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Aku sudah menduga jawabanmu.”

Hari itu, Arka keluar dari ruangan Farhan dengan perasaan yang aneh. Ia telah membuat keputusan, meskipun ia belum tahu apa konsekuensinya.

Sore harinya, ia duduk di meja kerjanya, membuka laptop, dan mulai mengetik.

[Kepada: Pak Farhan]
[Subjek: Pengunduran Diri]

Tangannya sedikit gemetar, tapi hatinya mantap.

Setelah menekan tombol kirim, ia menghela napas panjang dan menatap sekeliling kantor.

Nita, yang duduk di seberangnya, menatapnya dengan ekspresi terkejut. “Kamu serius?”

Arka tersenyum kecil. “Serius.”

“Terus, mau ke mana?”

“Aku nggak tahu,” jawab Arka jujur. “Tapi aku tahu satu hal—aku nggak mau menghabiskan hidupku di tempat yang nggak sejalan sama nilai-nilaiku.”

Nita menatapnya lama, lalu tersenyum. “Kamu berani, Arka.”

Ia mengangkat bahu. “Mungkin. Atau mungkin aku cuma terlalu lelah untuk terus pura-pura nyaman.”

Satu minggu kemudian, Arka berjalan keluar dari gedung kantor itu untuk terakhir kalinya.

Ia tidak tahu ke mana langkah berikutnya akan membawanya.

Tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa ringan. Seolah beban yang selama ini menghimpitnya perlahan mulai menghilang.

Dunia kerja mungkin tidak seindah yang ia bayangkan. Tapi itu bukan berarti ia harus menyerah.

Ia hanya perlu mencari tempat di mana ia bisa berkembang dengan cara yang benar.

Dan perjalanan itu baru saja dimulai.

Dunia kerja memang penuh lika-liku. Kadang kita harus menelan kenyataan pahit, bertemu dengan orang-orang licik, dan menghadapi tekanan yang nggak ada habisnya. Tapi pada akhirnya, keputusan selalu ada di tangan kita—apakah mau bertahan dalam sistem yang nggak sejalan dengan nilai kita, atau berani melangkah mencari jalan lain?

Seperti Arka, kita semua punya pilihan. Hidup bukan cuma soal gaji atau jabatan, tapi juga soal bagaimana kita bisa tetap menghargai diri sendiri di tengah kerasnya dunia profesional. Jadi, apapun jalan yang kamu pilih, pastikan itu adalah jalan yang benar-benar bisa membuatmu berkembang dan bahagia.Siap menghadapi dunia kerja dengan cara yang lebih bijak? Ingat, kamu selalu punya kendali atas hidupmu.

Leave a Reply