Pengakuan yang Tertunda: Kisah Cinta Armand dan Selina

Posted on

Jadi, kamu pernah ngerasa kalau kamu udah lama naksir seseorang tapi nggak pernah berani ngakuin? Nah, cerpen ini bercerita tentang Armand dan Selina, dua orang yang udah lama saling suka tapi takut-takut gitu, lucu kan?

Mereka akhirnya harus berhadapan dengan perasaan mereka masing-masing dan, ya, cari tahu gimana caranya jujur satu sama lain. Yuk, simak perjalanan mereka di cerpen ini—siapa tahu kamu bisa dapet pelajaran tentang cinta dari sini!

 

Kisah Cinta Armand dan Selina

Senja dan Pertemuan yang Tak Terduga

Matahari mulai perlahan turun ke ufuk barat, menciptakan semburat oranye keemasan yang memantul di permukaan laut. Di tepi pantai, ombak datang dan pergi, seolah mengiringi perjalanan waktu yang terus berjalan. Di tempat itu, duduklah seorang pria, Armand, di atas batu besar yang sering ia datangi.

Angin laut berhembus pelan, membawa aroma garam yang khas, membuat rambutnya sedikit berkibar. Dengan tatapan kosong ke arah cakrawala, Armand menghirup napas dalam-dalam, menikmati kesunyian yang ditawarkan sore itu. Baginya, senja selalu menjadi waktu yang pas untuk menyendiri, memikirkan hal-hal yang seharusnya sudah selesai, tapi entah mengapa, terus menghantui pikirannya.

Namun, kesunyian itu tak berlangsung lama.

“Sering banget gue liat lo di sini. Sendiri lagi?” Suara lembut, namun sedikit sinis, terdengar dari arah belakangnya.

Armand tak perlu menoleh. Ia sudah mengenali suara itu. Selina. Dia, dengan segala pesona dan kerumitannya, selalu muncul di saat-saat tak terduga. Selina dan pantai ini—dua hal yang selalu datang bersamaan dalam hidupnya.

“Kayaknya lo juga sering ke sini,” jawab Armand tanpa menoleh, matanya tetap fokus ke laut. Dia tahu Selina pasti akan duduk di sampingnya, seperti biasa.

Selina mendekat, lalu duduk di sebelah Armand. Tangannya memainkan pasir, menciptakan garis-garis acak tanpa arti. “Gue dateng kalau lagi pengen aja. Tapi lo, setiap kali gue ke sini, selalu ada di tempat yang sama. Lo lagi nyari apa sih, di sini?”

Armand menghela napas pelan, lalu akhirnya menoleh ke arah Selina. “Gue nggak nyari apa-apa. Kadang, gue cuma butuh tempat buat tenang.”

Selina tertawa kecil, suaranya sedikit mengejek tapi juga hangat. “Tenang? Di tempat kayak gini? Gue pikir lo bakal lebih tenang kalau jauh dari keramaian. Di gunung, misalnya, atau di hutan. Tapi, lo malah milih pantai.”

Armand tersenyum tipis, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke laut. “Pantai selalu bisa bikin gue ngerasa… nggak sendirian. Walaupun ramai, ada ombak, ada angin, rasanya kayak… ada yang dengerin gue.”

Selina memandang Armand sejenak. Tatapannya yang tajam berubah menjadi lebih lembut. “Gue juga kadang ngerasa gitu. Tapi… lebih sering, gue ngerasa kayak gue nggak ngerti apa-apa. Kayak… ada yang gue cari, tapi nggak pernah ketemu.”

Armand tersenyum samar, kali ini tanpa nada sinis. Dia tahu perasaan itu. Mereka berdua selalu berbagi momen-momen seperti ini—momen di mana kata-kata sederhana sebenarnya menyimpan makna yang lebih dalam.

“Kita semua nyari sesuatu, Sel,” kata Armand akhirnya. “Cuma bedanya, kita nggak selalu tau apa yang kita cari.”

Selina terdiam. Angin sore terus berhembus, mengibaskan rambutnya yang panjang dan sedikit berantakan. “Dan lo, Mand? Lo tau apa yang lo cari?”

Pertanyaan itu, entah mengapa, membuat Armand terdiam lebih lama. Ia memandang laut, seolah mencari jawabannya di balik cakrawala yang jauh. “Gue pikir… gue nyari ketenangan. Tapi makin gue nyari, makin gue sadar kalau ketenangan itu nggak selalu ada di tempat yang kita harapkan.”

Selina mengerutkan kening, terlihat berpikir. “Jadi, lo bakal terus dateng ke sini sampai lo nemu ketenangan itu?”

Armand tertawa kecil. “Mungkin. Mungkin juga nggak. Gue nggak pernah tau apa yang bakal gue temuin di sini. Tapi satu hal yang gue tau, pantai ini selalu kasih gue waktu buat mikir. Buat dengerin apa yang hati gue pengen.”

“Dan lo nggak takut… kalau ternyata lo nggak pernah nemu apa-apa?” tanya Selina pelan, nada suaranya tiba-tiba berubah lebih serius.

Armand menatap Selina kali ini lebih lama. Ada sesuatu di mata Selina yang membuatnya berpikir. Mungkin, ia tak pernah benar-benar sendirian di tempat ini. Mungkin, kehadiran Selina selama ini lebih dari sekadar kebetulan.

“Gue nggak takut,” jawab Armand akhirnya. “Karena gue tau, seenggaknya gue nggak sendiri di sini.”

Selina tersenyum, tapi kali ini senyum itu tidak lagi sinis. Ada kehangatan yang berbeda. Dia berdiri, lalu menepuk bahu Armand dengan ringan. “Gue nggak ngerti apa yang lo maksud, tapi… gue rasa kita semua punya tempat buat nyari ketenangan. Gue juga kadang balik ke sini karena gue tau lo ada di sini.”

Armand terkejut mendengar pernyataan itu. Ia menatap Selina, mencoba membaca maksud dari kata-katanya.

Sebelum Armand sempat berbicara lagi, Selina berjalan meninggalkannya menuju pasir yang lebih basah, di tepi ombak yang mulai menggapai-gapai. Saat ia melangkah pergi, Armand tetap duduk, membiarkan pikirannya terbawa angin laut.

Dalam hati, Armand tahu ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang selalu ia rasakan, tapi tak pernah ia sadari. Selina. Mungkin, dia adalah bagian dari jawabannya selama ini. Tapi belum saatnya untuk mengatakannya. Masih terlalu awal.

Senja terus merangkak turun, dan Armand tahu, ini baru awal dari perjalanan mereka berdua.

 

Ombak dan Angin yang Beradu

Armand masih duduk di atas batu besar, memandangi Selina yang berjalan menjauh. Dia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Kata-kata Selina masih terngiang di telinganya. “Gue juga kadang balik ke sini karena gue tau lo ada di sini.” Kalimat sederhana, tapi penuh arti. Apakah itu hanya kebetulan, atau mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas?

Angin sore bertiup lebih kencang, menggoyangkan pohon-pohon kelapa di sepanjang pantai. Ombak semakin mendekat, sesekali menyentuh kaki Selina yang berjalan tanpa alas di tepi laut. Armand memutuskan untuk tidak berdiam diri lebih lama.

Dia berdiri, melangkah perlahan menuju Selina yang tampak asyik dengan langkah-langkah kecilnya di atas pasir. Setelah beberapa langkah, dia akhirnya sejajar dengan Selina, namun mereka tak langsung bicara. Mereka hanya berjalan, menikmati suara alam di sekitar, seakan memberi ruang untuk pikiran masing-masing.

“Apa lo bener-bener nggak ngerti apa yang gue maksud tadi, Mand?” tanya Selina tiba-tiba, tanpa menoleh. Pandangannya masih fokus ke arah ombak yang terus bergulung.

Armand terdiam sejenak sebelum menjawab. “Mungkin gue ngerti. Mungkin juga enggak. Tapi gue nggak mau buru-buru mikir yang lebih jauh.”

Selina berhenti, membuat Armand juga ikut berhenti. Dia berbalik menghadap Armand, matanya tajam, seolah menembus dinding pertahanan Armand yang selama ini ia bangun.

“Lo selalu gitu. Lo selalu nunda buat ngadepin perasaan lo sendiri. Lo pikir lo bisa sembunyi di balik ketenangan lo itu selamanya?”

Armand menatap Selina balik, terdiam oleh ketegasan dalam suaranya. Dia tahu Selina benar. Dia selalu berusaha menemukan ketenangan di pantai ini, tapi bukan untuk memahami perasaannya, melainkan untuk lari dari apa yang selama ini dia rasakan.

“Lo nggak ngerti, Sel. Kadang, gue cuma butuh waktu buat bisa terima semuanya. Lo sendiri… lo juga lari dari apa yang lo rasain, kan?” balas Armand, kali ini dengan nada yang lebih tenang, namun jelas menunjukkan bahwa dia tak ingin disudutkan.

Selina menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas panjang. “Mungkin lo bener. Gue juga lari. Tapi setidaknya, gue nggak bohong sama diri gue sendiri. Gue tau apa yang gue rasain. Gue tau apa yang gue cari.”

“Oke,” kata Armand, suaranya lebih lembut. “Jadi, apa yang lo cari? Apa yang lo pengen, Sel?”

Selina tersenyum pahit, lalu melangkah mendekat ke laut, membiarkan air dingin membasahi kakinya. Dia mendongak sedikit, memandang langit yang mulai berubah warna menjadi merah keemasan.

“Gue pengen jawaban, Mand. Gue pengen tau kenapa lo selalu ada di sini tiap gue datang. Kenapa lo nggak pernah bener-bener jauh dari gue.”

Armand tersentak oleh pertanyaan itu. Selina selalu punya cara untuk menusuk tepat di tempat yang paling sensitif. Dia menghindari kontak mata, mencoba mencari jawaban di balik deburan ombak.

“Apa lo nggak pernah pikir kalau mungkin ini kebetulan aja?” Armand berusaha mengalihkan, meskipun dia sendiri tahu betapa lemah alasan itu.

Selina tertawa kecil, namun tanpa kehangatan. “Kebetulan? Gimme a break, Mand. Udah berapa kali kita ketemu di tempat ini, terus cuma diem, ngobrol sedikit, tapi kita nggak pernah bener-bener ngomongin hal yang penting.”

Armand menghela napas, lalu akhirnya menatap Selina langsung. “Gue nggak pernah tau gimana harus ngungkapin ini, Sel. Gue selalu mikir, kalau gue ngomong… kalau gue jujur… semua bakal berubah. Dan gue nggak yakin gue akan siap buat itu.”

Selina terdiam. Ombak yang berdebur dan angin yang berdesir menjadi satu-satunya suara di sekitar mereka. Ada jeda yang panjang sebelum akhirnya Selina berkata, dengan suara yang hampir berbisik, “Lo takut apa, Mand? Perubahan? Atau perasaan lo sendiri?”

Kata-kata itu menghantam Armand seperti ombak yang menabrak karang. Selama ini, dia selalu menghindari pertanyaan itu, baik dari orang lain maupun dari dirinya sendiri. Apa dia benar-benar takut akan perubahan? Atau, seperti yang Selina bilang, dia takut menghadapi perasaannya sendiri?

Armand menundukkan kepala, merasakan beban yang tiba-tiba begitu berat. “Gue… gue nggak tau, Sel. Gue nggak pernah siap buat ngakuin apa yang gue rasain.”

Selina mendekat, lalu berdiri di hadapannya. Matanya memancarkan sesuatu yang berbeda kali ini. “Lo nggak harus siap buat ngakuin semuanya sekarang, Mand. Tapi lo harus jujur sama diri lo sendiri. Lo nggak bisa terus kayak gini.”

Armand mendongak, menatap mata Selina dalam-dalam. Ada banyak yang ingin dia katakan, tapi semuanya terasa terjebak di tenggorokannya. Dia merasa seperti terperangkap di antara ombak yang menghantam dan angin yang terus berhembus. Selalu ada dorongan untuk bergerak, tapi dia tak pernah benar-benar bisa melangkah maju.

“Gue butuh waktu,” gumam Armand akhirnya. “Bukan karena gue nggak mau. Tapi karena gue nggak tau harus mulai dari mana.”

Selina mengangguk pelan, seakan memahami. Dia melangkah mundur sedikit, memberi Armand ruang untuk bernapas. “Gue nggak maksa lo buat jawab sekarang, Mand. Gue cuma pengen lo tau kalau lo nggak perlu lari lagi.”

Suasana di antara mereka kembali hening. Matahari hampir sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit yang perlahan berubah menjadi ungu gelap. Armand merasa seolah waktu berhenti sesaat, tapi dia tahu perasaannya tak bisa lagi ditahan terlalu lama.

Sebelum mereka berpisah malam itu, Selina berkata dengan nada lembut, “Gue akan balik ke sini lagi, mungkin minggu depan. Dan gue harap, waktu itu lo udah tau apa yang lo cari.”

Armand hanya bisa menatapnya ketika Selina berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan jejak di atas pasir basah yang perlahan terhapus oleh ombak. Perasaan di dadanya mulai bergejolak, tapi dia tahu ini bukan akhir. Masih ada waktu, dan mungkin… masih ada kesempatan untuk menemukan jawabannya.

 

Perasaan yang Tertahan

Armand duduk di tepi ranjangnya, menatap jendela kamarnya yang setengah terbuka. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma laut yang familiar. Rasanya seperti mengingatkan dia pada setiap percakapan yang pernah dia punya dengan Selina. Namun kali ini berbeda—perasaan yang terus menghantui kepalanya sejak pertemuan terakhir mereka di pantai semakin sulit dia abaikan.

Selina sudah memberinya waktu. Tapi apakah waktu itu cukup? Apakah dia benar-benar bisa memahami apa yang dia rasakan dalam seminggu?

Armand mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Dia ingat bagaimana Selina berdiri di depannya, memaksanya untuk menghadapi perasaan yang dia sendiri tak ingin mengakui. Kenapa semuanya harus jadi rumit?

“Kenapa harus dia?” gumam Armand pelan, berbicara pada dirinya sendiri.

Seketika, ponsel di sebelahnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat dadanya berdegup kencang—Selina.

Armand terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab panggilan tersebut.

“Halo?” suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.

“Halo, Mand,” balas suara di ujung sana. Selina terdengar tenang, bahkan mungkin terlalu tenang untuk situasi ini.

“Ada apa, Sel?” Armand mencoba terdengar biasa saja, tapi dia tak bisa menghilangkan ketegangan yang jelas terdengar di suaranya.

“Gue cuma mau tanya… lo masih di rumah? Gue lagi di deket pantai, lo mau ngobrol nggak?”

Jantung Armand terasa seakan berhenti berdetak untuk sesaat. Dia tak menyangka Selina akan menghubunginya lagi secepat ini. Hatinya berdebar keras, tapi dia berusaha tetap tenang.

“Sekarang?” tanya Armand, sedikit ragu.

“Ya, sekarang. Kalau lo nggak sibuk,” balas Selina, suaranya tetap terdengar santai, tapi Armand bisa menangkap sedikit kecemasan yang tersembunyi di baliknya.

Armand terdiam sejenak. Kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Dia tahu kalau dia bertemu Selina sekarang, perasaan-perasaan yang selama ini dia tahan akan kembali menyerbu. Tapi di sisi lain, dia tahu dia tak bisa menghindari Selina selamanya.

“Oke. Gue ke sana sekarang,” jawab Armand akhirnya.

Sepuluh menit kemudian, Armand sudah tiba di pantai. Langit malam tampak tenang, hanya dihiasi oleh beberapa bintang yang bersinar redup. Suara ombak menjadi teman setia dalam keheningan ini. Selina sudah ada di sana, duduk di sebuah batu besar, seperti biasa.

Dia berjalan mendekat, kali ini tanpa keraguan seperti sebelumnya. Selina menoleh saat mendengar langkahnya, memberikan senyum kecil yang sepertinya memancarkan ketenangan, meskipun Armand tahu ada badai di balik tatapannya.

“Cepet juga lo datang,” ucap Selina sambil sedikit menyisir rambutnya yang terurai, tertiup angin malam.

“Ya, gue pikir lebih baik karena gue nggak bikin lo nunggu lama,” balas Armand sambil duduk di sebelahnya.

Sejenak, mereka hanya duduk dalam diam, menatap ombak yang datang dan pergi. Tidak ada percakapan canggung, hanya keheningan yang terasa familiar. Tapi Armand tahu bahwa diam ini hanya sementara. Cepat atau lambat, mereka harus berbicara tentang apa yang telah tertahan sejak pertemuan terakhir.

“Gue nggak tau apa yang gue cari, Sel,” akhirnya Armand membuka suara, matanya masih fokus ke laut yang bergelombang di hadapannya. “Tapi gue tau satu hal—gue nggak bisa terus lari kayak gini.”

Selina menoleh, matanya memperhatikan Armand dengan seksama. “Terus lo mau apa? Lo mau tetep diem, atau lo mau ngomong?”

Armand menelan ludah, merasakan beratnya pertanyaan itu. “Gue… gue selalu ngerasa nyaman di sini, sama lo. Di pantai ini, gue ngerasa tenang, tapi di saat yang sama, gue juga ngerasa bingung.”

“Bingung kenapa?” tanya Selina, kini suaranya lebih lembut.

“Karena gue nggak pernah ngira kalau perasaan gue ke lo bakal jadi serumit ini,” Armand akhirnya mengaku. Perasaannya yang tertahan selama ini akhirnya keluar, meski hanya dalam bentuk kalimat sederhana. Dia masih belum tahu bagaimana merangkai semuanya menjadi sesuatu yang lebih jelas.

Selina menunduk, seolah memikirkan apa yang Armand katakan. “Jadi, lo bingung sama perasaan lo sendiri?”

Armand mengangguk. “Iya. Gue bingung apakah ini cuma kebiasaan, atau… lebih dari itu.”

Keheningan kembali turun di antara mereka. Selina menggigit bibirnya, mencoba menahan sesuatu yang mungkin ingin dia katakan sejak lama. Namun, kali ini dia tak bisa menahannya lagi.

“Mand, gue suka lo,” katanya tanpa basa-basi. “Dari dulu, gue selalu suka lo. Lo nggak pernah tau, dan gue nggak pernah bilang. Tapi sekarang gue nggak bisa diem lagi. Gue suka lo.”

Armand tersentak. Kalimat itu seperti pukulan yang tak terduga. Dia memandang Selina yang kini menatapnya dengan tatapan penuh keyakinan. Dia telah menduga, tentu saja. Tapi mendengarnya langsung dari Selina membuat semuanya terasa lebih nyata.

“Apa… sejak kapan, Sel?” tanya Armand, mencoba mengendalikan getaran di suaranya.

“Dari SMA. Mungkin sejak kita pertama kali ngobrol serius di sini. Gue nggak pernah yakin lo bakal suka gue balik, jadi gue diem aja. Gue takut kalau gue ngomong, semua akan berubah.”

Armand merasa jantungnya berdegup semakin kencang. Kata-kata itu, perasaan itu—semua yang tertahan selama bertahun-tahun, tiba-tiba tumpah begitu saja. Dia merasa seolah dunia berhenti bergerak, hanya ada mereka berdua di pantai ini.

Tapi di saat yang sama, dia juga merasa terjebak. Perasaan Selina, yang dia tahu nyata dan tulus, membuatnya semakin sulit untuk tetap bertahan dalam kebimbangannya sendiri.

“Gue… gue nggak tau harus jawab apa, Sel,” gumam Armand. “Gue butuh waktu buat ngerti apa yang gue rasain.”

Selina menarik napas dalam, mencoba menahan rasa kecewa yang tiba-tiba menyeruak. Tapi dia tidak menyalahkan Armand. Dia tahu bahwa semuanya tidak bisa dipaksa. “Gue ngerti. Lo nggak harus jawab sekarang.”

Armand mengangguk pelan. Tapi dia juga tahu, jawaban itu tak bisa terus ditunda. Di dalam hatinya, dia merasakan sesuatu yang berbeda setiap kali dia bersama Selina. Sesuatu yang mungkin selama ini dia abaikan karena ketakutan akan perubahan. Tapi perasaan itu ada, dan dia tak bisa terus bersembunyi.

Angin malam semakin dingin, namun keheningan antara mereka terasa hangat, seolah tak ada yang perlu dikatakan lagi malam itu. Armand tahu bahwa perasaan mereka kini telah berada di atas meja, siap untuk dihadapi. Dan meskipun dia masih belum memiliki jawaban, dia tahu bahwa dia tak bisa lari lagi.

 

Di Ujung Pertemuan

Pagi itu, Armand berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Wajahnya tampak lebih kusut dari biasanya. Pikiran tentang Selina masih mengendap di kepalanya sejak pertemuan mereka di pantai. Semua kata-kata yang Selina ucapkan terus terngiang-ngiang—seolah menuntut jawaban yang lebih cepat dari yang dia bisa berikan.

Sudah beberapa hari berlalu sejak Selina mengakui perasaannya, dan sejak itu Armand tidak pernah bisa berhenti memikirkannya. Apa yang dia rasakan sekarang, lebih dari sekadar kebingungan. Ini adalah konflik antara apa yang hatinya inginkan dan ketakutan yang selalu menghantuinya.

“Apa lo udah siap buat semuanya berubah, Mand?” gumamnya pada bayangannya di cermin. Dia tahu bahwa apa pun jawaban yang dia berikan pada Selina, semuanya tidak akan pernah sama lagi.

Teleponnya berdering, membuyarkan lamunannya. Nama yang muncul di layar membuat Armand terdiam sebentar—Selina.

Dengan napas berat, dia mengangkat panggilan itu. “Halo?”

“Mand, bisa ketemu sekarang?” Suara Selina terdengar serius. Tak ada kesan basa-basi seperti biasanya.

Armand menghela napas. Dia sudah tahu ini akan datang. “Ya. Di mana?”

“Pantai. Tempat biasa,” jawab Selina singkat sebelum memutus sambungan.

Armand duduk sejenak di ranjangnya, merasakan kegelisahan yang tak biasa. Ini mungkin momen yang paling dia hindari, tapi sekaligus juga yang paling dia butuhkan. Dia akhirnya berdiri, mengambil jaket, dan menuju ke pantai.

Saat tiba di pantai, matahari masih bersinar lembut, menciptakan bayangan panjang di atas pasir. Selina sudah ada di sana, duduk di atas batu yang sama seperti biasanya, memandang ombak dengan tatapan kosong. Kali ini, dia tampak lebih tenang, tapi ada sesuatu di wajahnya yang berbeda—seperti seseorang yang sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan, seberapa pun pahitnya.

Armand berjalan mendekat, berusaha menyusun kata-kata yang ingin dia katakan. Ketika dia duduk di sebelah Selina, dia menyadari bahwa tak ada lagi ruang untuk menghindar. Ini adalah momen di mana segalanya akan diputuskan.

“Gue udah tau lo bakal dateng,” ucap Selina tanpa menoleh, suaranya tenang namun penuh dengan harapan yang terselip.

“Selina…” Armand menarik napas dalam-dalam, mencoba memulai dengan perlahan. “Gue udah mikirin semua yang lo bilang.”

Selina tersenyum tipis. “Gue juga, Mand. Gue nggak nyesel udah ngomong sama lo tentang perasaan gue.”

Armand mengangguk pelan, berusaha menjaga ketenangannya. “Gue nggak bisa terus lari, Sel. Gue nggak bisa terus pura-pura nggak ngerti apa yang gue rasain selama ini.”

Selina akhirnya menoleh, menatap Armand dengan penuh perhatian. “Dan lo udah tau jawabannya?”

Armand menunduk, merasakan beratnya pertanyaan itu. “Gue… gue nggak bisa bohong. Gue peduli sama lo lebih dari teman. Gue selalu ngerasa aman sama lo, nyaman. Tapi gue juga takut.”

“Takut?” Selina mengernyit, mencoba memahami. “Takut kenapa?”

“Takut semuanya bakal berubah. Takut gue nggak bisa jadi orang yang lo butuhin. Takut gue ngecewain lo,” jawab Armand dengan suara rendah.

Selina tersenyum lagi, kali ini lebih hangat. “Gue nggak butuh lo jadi sempurna, Mand. Gue cuma butuh lo jadi diri lo sendiri. Kalau lo ngerasa nggak siap buat lebih dari ini, nggak apa-apa. Gue nggak minta lo berubah.”

Armand terdiam, hatinya berdebar semakin kencang. Kalimat itu seperti pelepasan dari semua ketakutannya. Di balik kebingungannya, dia tahu ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa nyaman—perasaan yang dia pendam selama ini tapi tidak pernah berani dia akui sepenuhnya.

“Lo yakin, Sel?” tanya Armand, matanya bertemu dengan tatapan Selina.

Selina mengangguk dengan pasti. “Lebih dari apa pun. Gue cuma mau kita jujur satu sama lain. Gue udah jujur tentang perasaan gue. Sekarang giliran lo.”

Armand menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. “Gue suka lo, Sel,” akhirnya dia mengaku, suaranya tegas meski hatinya masih gemetar. “Gue nggak tahu kapan tepatnya, tapi gue udah suka lo sejak lama. Gue cuma terlalu takut buat ngakuin, takut kalau gue ngomong, lo bakal berubah. Tapi gue nggak bisa bohong lagi. Gue suka lo.”

Selina menatap Armand dengan mata yang berkilauan, seolah mendengar pengakuan itu adalah sesuatu yang dia tunggu seumur hidup. Senyum kecil muncul di bibirnya, tetapi dia menahan diri untuk tidak terlalu bereaksi. “Lo serius?”

“Gue serius,” jawab Armand, kali ini tanpa keraguan. “Gue cuma butuh waktu buat ngerti perasaan gue sendiri. Tapi sekarang gue tahu, gue nggak mau kehilangan lo.”

Selina mengangguk pelan, kemudian tersenyum lebar. “Gue udah nunggu lama buat denger itu.”

Armand merasa beban besar terangkat dari dadanya. Untuk pertama kalinya, dia bisa merasakan ketenangan yang nyata. Semua ketakutan dan kebingungannya seolah perlahan menghilang. Dia sadar bahwa kejujuran ini—meski sulit—adalah satu-satunya jalan untuk maju.

“Jadi, kita apa…?” Armand tidak tahu bagaimana menyelesaikan kalimatnya. Dia masih belum yakin apa yang akan terjadi setelah ini.

“Kita? Kita lihat aja nanti,” Selina menjawab dengan santai, matanya bersinar cerah. “Yang penting, kita udah jujur satu sama lain. Nggak perlu buru-buru.”

Armand tersenyum, merasakan kehangatan mengalir di dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa segala sesuatu bisa berjalan dengan cara yang seharusnya—tanpa tekanan, tanpa harapan yang dipaksakan.

Selina berdiri dan menepuk bahunya, memberikan senyum yang menenangkan. “Ayo pulang. Udah cukup mikirin hal-hal rumit buat hari ini.”

Armand berdiri di sampingnya, merasa lebih ringan dari sebelumnya. Bersama Selina, dia merasa bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, mereka akan baik-baik saja. Mereka telah melalui perjalanan panjang—dari kebingungan, ketidakpastian, hingga akhirnya kejujuran yang penuh arti.

Dan untuk pertama kalinya, Armand benar-benar merasa siap untuk menghadapi masa depan—bersama Selina.

 

Jadi, gimana rasanya baca kisah Armand dan Selina? Kadang, menghadapi perasaan sendiri itu lebih menakutkan daripada yang kita kira. Tapi, mungkin setelah ngebaca cerita ini, kamu jadi ngerasa lebih berani buat ngungkapin apa yang kamu rasain.

Jangan lupa untuk terus ngikutin cerita-cerita seru lainnya di sini, karena siapa tahu ada kisah lain yang bakal bikin kamu lebih penasaran dan baper lagi. Bye guys!

Leave a Reply