Daftar Isi [hide]
Pencarian Jati Diri
BAYANGAN YANG HILANG
Hujan turun sejak pagi, membasahi atap-atap rumah dan jalanan yang sepi. Langit kelabu, sama seperti perasaan Kaladin yang terus-menerus tenggelam dalam kehampaan. Di dalam kamarnya yang redup, ia duduk di sudut ranjang, memeluk lutut sambil menatap jendela yang berembun.
Kamarnya bukan sekadar tempat tinggal. Itu adalah dunia kecil yang ia bangun sendiri, benteng yang melindunginya dari dunia luar yang terasa terlalu bising, terlalu penuh kepura-puraan. Dindingnya dipenuhi rak buku yang hampir tak pernah ia sentuh lagi. Ada juga gitar tua di pojok ruangan, berdebu karena sudah lama tak dimainkan.
Sejak kepergian orang tuanya lima tahun lalu, Kaladin perlahan menarik diri. Tidak ada teman, tidak ada percakapan yang benar-benar berarti. Hanya ada kesunyian yang menemaninya setiap hari.
Suara ketukan pelan di pintu menyadarkannya dari lamunan.
“Kaladin?”
Itu suara Reya, sepupunya. Satu-satunya orang yang masih mencoba berinteraksi dengannya.
Kaladin tidak menjawab. Ia berharap Reya menyerah dan pergi. Namun, gadis itu justru membuka pintu sedikit, mengintip ke dalam.
“Kamu udah makan?” tanyanya hati-hati.
“Aku gak lapar,” jawab Kaladin singkat.
Reya menghela napas. “Kamu gak bisa terus kayak gini. Udah berapa lama kamu diem di kamar?”
Kaladin menatapnya sebentar, lalu kembali memalingkan wajah. Ia tahu pertanyaan itu tak perlu dijawab.
Reya masuk ke dalam, duduk di kursi dekat meja belajar. “Aku ngerti kamu masih… belum bisa nerima semuanya. Tapi aku gak mau lihat kamu hancur kayak gini.”
Kaladin tersenyum miring. “Aku gak hancur, Reya. Aku cuma… gak mau repot berurusan sama dunia luar.”
“Kamu cuma takut.”
Mata Kaladin menajam, menatap Reya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Reya melanjutkan, “Takut buat menghadapi dunia. Takut kalau kamu harus terhubung sama orang lain terus kehilangan mereka lagi. Takut kalau kamu harus mulai sesuatu dari awal.”
Kaladin tidak menjawab. Sebagian dari dirinya ingin menyangkal, tapi ia tahu itu percuma. Kata-kata Reya benar, meskipun ia enggan mengakuinya.
Setelah beberapa saat, Reya berdiri. “Aku gak maksa kamu buat berubah sekarang juga. Tapi aku harap suatu hari nanti kamu sadar kalau dunia ini gak selamanya buruk.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan Kaladin dalam sunyi.
Kaladin menatap bayangannya di kaca jendela. Mata yang dulu penuh semangat kini terlihat kosong. Rambutnya berantakan, kulitnya pucat karena kurang terkena matahari. Apa yang tersisa dari dirinya yang dulu?
Tiba-tiba, sesuatu terasa begitu menyiksa di dadanya. Perasaan itu seperti jeratan yang semakin kencang setiap ia mencoba mengabaikannya. Ia ingin melawan, tapi ia tidak tahu bagaimana caranya.
Di luar, hujan semakin deras, seolah menggambarkan gejolak yang ada dalam dirinya.
TOKO DI PINGGIRAN KOTA
Langit masih muram ketika Kaladin melangkah keluar rumah untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu. Udara lembap menyelimuti jalanan yang masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia tidak tahu kenapa akhirnya ia memutuskan untuk keluar—mungkin karena kata-kata Reya terus berputar di kepalanya, atau mungkin karena ia hanya ingin merasa sedikit berbeda hari ini.
Langkahnya tanpa arah, mengikuti trotoar yang sepi. Mobil-mobil sesekali melintas, tapi kota kecil ini tidak pernah benar-benar ramai. Dulu, ia suka berjalan-jalan di sini, sebelum semuanya berubah. Tapi sekarang, setiap sudut terasa asing.
Tanpa sadar, kakinya membawanya ke area pinggiran kota, tempat deretan toko-toko tua masih bertahan di antara gedung-gedung yang lebih modern. Kebanyakan sudah tutup atau terlihat sepi, tapi ada satu toko yang menarik perhatiannya.
Toko barang antik.
Jendelanya berdebu, dan papan namanya sudah hampir tidak terbaca karena catnya terkelupas. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang membuat Kaladin ingin masuk ke dalam.
Bel kecil di atas pintu berdenting ketika ia mendorongnya terbuka. Aroma kayu tua dan buku-buku lama memenuhi udara. Lampu gantung redup menerangi rak-rak yang dipenuhi barang-barang aneh—jam dinding kuno, patung-patung kecil, buku-buku tebal dengan sampul kulit yang sudah rapuh.
Di balik meja kayu di sudut ruangan, seorang pria tua duduk sambil membaca. Ia memiliki rambut putih yang ditarik ke belakang dan mata tajam yang seolah bisa menembus pikiran seseorang.
Kaladin melangkah masuk lebih dalam, membiarkan matanya menelusuri barang-barang di toko itu. Ia tidak benar-benar mencari sesuatu. Hanya berjalan, menyentuh benda-benda yang menarik perhatiannya.
Lalu ia melihatnya.
Sebuah cermin.
Bingkainya terbuat dari kayu gelap dengan ukiran rumit berbentuk akar-akar yang saling melilit. Kacanya sedikit buram dan memiliki retakan kecil di sudutnya. Tapi meskipun begitu, cermin itu masih cukup jernih untuk memantulkan bayangan dirinya.
Anehnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan bayangan itu. Seperti ada sesuatu yang bersembunyi di balik refleksinya sendiri.
“Kau tertarik dengan cermin itu?”
Kaladin tersentak. Pria tua di balik meja kini menatapnya, tatapannya penuh arti.
“Entahlah,” jawab Kaladin pelan. “Cermin ini… terasa aneh.”
Pria itu tersenyum samar. “Setiap benda punya kisahnya sendiri. Dan kadang, mereka menemukan pemiliknya di waktu yang tepat.”
Kaladin mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Pria itu berdiri dan berjalan mendekat, menepuk bingkai cermin dengan ujung jarinya. “Cermin ini bukan sekadar benda mati. Ia bisa menunjukkan sesuatu yang tidak selalu bisa dilihat dengan mata biasa.”
Kaladin menatap refleksinya lagi. Untuk sesaat, ia merasa pantulan di cermin itu menatapnya dengan cara yang berbeda. Tapi mungkin itu hanya pikirannya yang sedang lelah.
“Aku bisa membawanya?” tanyanya tiba-tiba.
Pria tua itu menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. “Boleh. Tapi ingat, cermin ini hanya akan memberi jawaban jika kau benar-benar ingin mencarinya.”
Kaladin tidak terlalu mengerti maksud kata-kata itu, tapi ia tidak bertanya lebih jauh. Ia membayar dengan uang yang masih tersimpan di sakunya dan membawa cermin itu keluar dari toko.
Saat ia berjalan pulang, hujan mulai turun gerimis.
Dan tanpa ia sadari, sesuatu di dalam cermin itu mulai bergerak.
SUARA DARI DALAM CERMIN
Malam sudah larut ketika Kaladin akhirnya berdiri di depan cermin itu. Ia menggantungnya di dinding kamar, tepat di seberang ranjang. Hujan di luar sudah berhenti, menyisakan suara tetesan air dari atap yang jatuh ke tanah.
Kamar itu redup, hanya diterangi lampu meja di sudut ruangan. Kaladin menatap bayangannya sendiri di cermin. Wajah yang terlihat di sana masih wajahnya—pucat, dengan lingkaran hitam di bawah mata karena kebiasaan begadang. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa berpaling.
Cermin itu… terasa hidup.
Bukan dalam arti bergerak atau bersinar, tapi lebih ke sesuatu yang ada di dalamnya. Seperti sebuah rahasia yang tersembunyi di balik refleksi itu, menunggu untuk ditemukan.
Kaladin menyentuh permukaan kaca dengan ujung jarinya. Dingin. Retakan kecil di sudutnya seperti akar yang menjalar, seolah semakin dalam setiap kali ia menatapnya.
Lalu sesuatu terjadi.
Bayangannya berkedip.
Kaladin mundur dengan napas tercekat. Ia tahu ia tidak berkedip barusan. Tapi refleksinya di dalam cermin… ia melihatnya dengan jelas.
“Siapa kau?”
Suara itu terdengar di kepalanya, namun bibirnya sendiri tidak bergerak. Itu bukan suara asing. Itu suaranya sendiri—tapi lebih dalam, lebih tajam.
Kaladin menelan ludah. “Apa… yang terjadi?”
Bayangannya di cermin tersenyum samar. Senyum yang terasa begitu asing di wajahnya sendiri.
“Kau bertanya siapa aku?” suara itu kembali terdengar. “Aku adalah kau yang sebenarnya.”
Jantung Kaladin berdegup kencang. Ini tidak mungkin. Cermin ini hanya cermin biasa. Ia pasti sedang berhalusinasi.
Namun, sebelum ia bisa meyakinkan dirinya sendiri, refleksinya mulai berubah.
Gambarannya di dalam cermin mulai bergeser. Bukan sekadar pantulan, tapi seperti ada sosok lain yang berusaha keluar dari balik kaca. Wajahnya terlihat lebih kuat, lebih percaya diri, lebih… utuh.
“Tidak mungkin…” bisik Kaladin.
Bayangan itu tertawa kecil, suara yang terdengar seperti gema di dalam pikirannya. “Kau telah menghindari dunia selama ini, Kaladin. Tapi kau tidak bisa menghindari dirimu sendiri.”
Kaladin menggeleng, mundur selangkah. “Aku… aku gak ngerti apa yang terjadi.”
“Tentu saja kau mengerti,” bayangan itu menyahut. “Kau hanya tidak mau mengakuinya.”
Kaladin menggigit bibirnya. Dadanya terasa sesak. Bayangan itu… bukan hantu, bukan makhluk lain. Itu dirinya. Tapi versi dirinya yang terasa begitu asing.
“Kau tahu kenapa kau merasa hampa selama ini?” lanjut pantulan itu. “Karena kau telah membuang dirimu yang sebenarnya. Kau memilih bersembunyi, mengunci diri di kamar ini, berpura-pura bahwa dunia luar tidak layak untukmu.”
“Tapi aku…” Kaladin mengepalkan tangan. “Aku kehilangan semuanya. Aku kehilangan mereka!”
“Dan karena itu kau juga kehilangan dirimu sendiri,” potong bayangan itu dengan suara dingin. “Tapi kau tidak benar-benar mati, Kaladin. Kau masih ada di sini. Kau hanya lupa bagaimana rasanya hidup.”
Hening.
Kaladin berdiri kaku, pikirannya berputar. Ia ingin menyangkal semuanya, tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu pantulan itu benar.
Selama ini, ia bukan hanya menjauh dari dunia. Ia menjauh dari dirinya sendiri.
Pantulan di cermin menatapnya tajam. “Pertanyaannya sekarang… apa kau siap menemukannya kembali?”
Sebuah desir aneh menjalar di tubuh Kaladin. Ia tidak tahu apakah ia siap. Tapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Ia menatap cermin itu dalam-dalam.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia ingin mencari jawabannya.
MELANGKAH KE DUNIA BARU
Pagi datang dengan lambat. Langit masih kelabu, tapi sinar matahari tipis mulai menembus tirai jendela, menyinari kamar Kaladin yang terasa berbeda.
Cermin itu masih tergantung di dinding, tapi pantulannya kini tak lagi bergerak sendiri. Bayangan Kaladin kembali seperti seharusnya—hanya refleksi biasa. Tapi sesuatu di dalam dirinya berubah.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap tangannya sendiri. Kata-kata dari bayangannya semalam masih terngiang di kepalanya. Apa kau siap menemukannya kembali?
Selama ini, ia merasa kehilangan, tapi ia tak pernah benar-benar mencari. Ia hanya terjebak dalam lubang yang ia gali sendiri, membiarkan dirinya larut dalam kehampaan.
Tapi sekarang…
Kaladin menarik napas panjang.
Ia berdiri, berjalan menuju lemari dan menarik laci paling bawah yang sudah lama tak ia sentuh. Jemarinya mengangkat sebuah buku sketsa yang sampulnya sudah berdebu.
Dulu, menggambar adalah dunianya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menuangkan pikirannya ke atas kertas. Tapi setelah orang tuanya pergi, ia berhenti. Seakan warna-warna di dunia ikut memudar bersamanya.
Jari-jarinya menyentuh halaman pertama. Garis-garis pensil yang ia buat bertahun-tahun lalu masih jelas. Ada wajah-wajah, pemandangan, bahkan beberapa coretan abstrak yang dulu ia buat hanya untuk melampiaskan emosinya.
Ia tersenyum kecil. Ada sesuatu yang terasa akrab di sini. Sesuatu yang hampir ia lupakan.
Tapi belum selesai ia tenggelam dalam kenangan itu, suara ketukan di pintu kembali terdengar.
“Kaladin?” Reya memanggil dari luar.
Kali ini, ia tidak diam saja. Ia berjalan ke pintu, membuka kenopnya, dan membiarkan Reya melihatnya dalam keadaan yang berbeda dari sebelumnya.
Reya tampak terkejut. “Kamu… bangun pagi?” tanyanya hati-hati.
Kaladin mengangkat alis. “Memangnya aku selalu bangun siang?”
“Selalu,” jawab Reya tanpa ragu.
Kaladin terkekeh kecil. Itu bukan tawa yang besar, tapi cukup untuk membuat Reya menatapnya dengan ekspresi heran.
“Ada apa?” tanya Reya, matanya menyipit curiga.
Kaladin menghela napas pelan. “Aku cuma… mikir mungkin aku harus keluar hari ini.”
Hening sejenak.
“Kamu serius?”
“Aku kelihatan bercanda?”
Reya masih menatapnya, seolah mencoba memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Lalu tiba-tiba, wajahnya berbinar dan ia mendorong bahu Kaladin pelan.
“Akhirnya! Aku udah hampir menyerah buat ngebujuk kamu keluar rumah!” katanya dengan nada penuh kemenangan.
Kaladin hanya menggeleng sambil tersenyum tipis.
Ia tidak tahu persis apa yang menunggunya di luar. Mungkin dunia masih sama—bising, kacau, penuh kemungkinan untuk kehilangan. Tapi ia juga tahu, selama ini ia telah kehilangan dirinya sendiri lebih dulu.
Sekarang, ia ingin menemukannya kembali.
Dan itu dimulai dengan satu langkah kecil.
Ia mengambil jaketnya dan berjalan keluar. Cermin di dinding tetap berada di tempatnya, dengan retakan kecil yang tidak pernah berubah.
Namun kali ini, Kaladin tak lagi takut untuk menatap bayangannya sendiri.