Daftar Isi [hide]
Kadang, dalam hidup, kita terjebak dalam penantian yang nggak jelas arahnya. Terus menunggu sesuatu yang mungkin nggak pernah datang, sementara dunia terus berjalan.
Cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam perjalanan seorang wanita yang berjuang untuk melepaskan janji yang terlanjur terlupakan, dan akhirnya menemukan kekuatan untuk melangkah maju. Gak gampang, tapi siapa bilang hidup itu harus selalu mudah, kan?
Penantian Tak Pasti
Di Bawah Pohon Flamboyan
Cuaca sore itu sejuk, dengan langit yang masih menyisakan biru meskipun matahari hampir terbenam. Di halaman kampus, pohon flamboyan yang sudah tua berdiri gagah, daunnya yang hijau rimbun seakan menyelimuti segala keramaian. Sementara itu, di bawah pohon tersebut, seorang perempuan duduk bersandar, matanya menatap ke arah jalan yang membelah kampus.
Ananta menggigit bibir bawahnya, menahan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. Sebuah perasaan yang sudah lama tak ia rasakan. Tepat di depan dirinya, seorang pria tampan dengan rambut hitam legam dan pakaian yang rapi berjalan mendekat. Namanya Sagara. Sosok yang sudah cukup lama mengisi hari-harinya, walau hanya dengan obrolan ringan dan sesekali senyuman.
Sagara berhenti di depan Ananta, tersenyum dengan lembut.
“Hei,” sapanya, suaranya tenang, tapi cukup untuk membuat hati Ananta berdebar.
Ananta mengangkat wajahnya, tersenyum malu. “Hei, Sagara.”
Mereka saling menatap. Tak ada yang mengatakan apapun untuk beberapa detik, hanya ada rasa canggung yang mengendap di udara. Namun, seiring berjalannya waktu, keduanya mulai merasa nyaman dalam diam itu. Akhirnya, Sagara duduk di samping Ananta, membiarkan tubuhnya terkulai santai.
“Hari ini kuliah berat ya?” tanya Sagara, memecah kebisuan.
Ananta mengangguk. “Iya, mata kuliah itu benar-benar bikin kepala pusing.”
Sagara tertawa pelan. “Aku juga merasakannya.” Matanya berbinar, menatap ke depan. “Tapi, lebih baik kita nikmati sore ini, kan?”
Ananta menghela napas, merasa sedikit lebih rileks. Suara angin yang berhembus lembut menggerakkan daun-daun pohon, menciptakan suasana yang damai. Mereka berdua duduk dalam keheningan, saling berbagi ruang tanpa perlu kata-kata yang berlebihan.
Tak lama kemudian, Sagara memecah keheningan lagi. “Ananta…”
“Ya?” Ananta menoleh, merasa sedikit terkejut.
“Sepertinya kita harus bicara tentang sesuatu.”
Ananta menatapnya dengan bingung. “Tentang apa?”
Sagara mengangkat alis, lalu menatap mata Ananta dengan serius. “Tentang aku dan kamu.”
Ananta terdiam. Hatinya berdebar lebih cepat. “Apa maksud kamu?”
Sagara menarik napas panjang. “Aku ingin pergi, Ananta.”
“Pergi?” Ananta terperanjat. “Kemana?”
Sagara menghela napas lagi, kali ini lebih berat. “Aku… aku harus pergi jauh. Tidak ada yang bisa mencegahku.”
Ananta merasa seperti seluruh dunia mendadak berhenti berputar. “Kenapa?” suaranya tercekat.
“Karena ada hal yang harus kulakukan, sesuatu yang lebih besar dari kita berdua.”
Ananta merasa ada sesuatu yang aneh dengan perkataan Sagara. “Tapi… kamu janji, kan? Kamu janji akan tetap di sini.”
Sagara menatapnya dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Aku tahu. Aku tahu aku sudah berjanji, Ananta. Tapi kadang hidup tidak berjalan sesuai harapan. Aku harus pergi.”
Ananta merasa hatinya hancur berkeping-keping. “Jadi… kamu pergi tanpa alasan yang jelas?”
Sagara menunduk, tampaknya merasa bersalah. “Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Tapi, aku ingin kamu tahu, bahwa aku sangat menghargai waktu yang kita habiskan bersama.”
Ananta merasa seperti ada sesuatu yang menyakitkan merobek hatinya. Semua yang ia pikirkan, semua yang ia harapkan, seakan runtuh begitu saja. “Jadi, begitu saja?” tanyanya pelan.
Sagara hanya bisa mengangguk dengan perlahan. “Aku harap kamu bisa mengerti. Aku harap kamu bisa bahagia.”
Ananta hanya bisa diam, tidak tahu harus berkata apa. Sesuatu di dalam dirinya rasanya seperti tertahan di tenggorokan, membuatnya sulit untuk berbicara. Ia tahu bahwa ini adalah akhir dari segala harapan yang ia pelihara selama ini, tapi hatinya tidak bisa begitu saja menerima kenyataan itu.
Sagara bangkit berdiri, merapikan jaketnya. “Aku harus pergi sekarang.”
Ananta masih duduk di tempatnya, menatap sosok Sagara yang berjalan menjauh, langkahnya semakin menjauh, semakin jauh, hingga akhirnya hilang di balik gerbang kampus.
Ananta tetap diam, tak bisa berbuat apa-apa. Hatinya bergejolak, namun ia tetap tidak bisa bergerak. Perasaan sepi itu menyelimuti, memeluknya dengan erat, dan ia tidak tahu apakah ia bisa bertahan.
“Jadi… aku menunggu,” gumamnya perlahan, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Namun, di dalam hatinya, ada satu hal yang tak bisa dia lepaskan. Sagara mungkin sudah pergi, tapi Ananta masih berharap. Ia menunggu, meskipun tidak tahu sampai kapan, meskipun tahu bahwa tak ada kepastian.
“Aku akan menunggumu, Sagara.”
Dan begitulah, Ananta mulai menunggu. Dalam kesendirian, di bawah pohon flamboyan yang masih tetap berdiri, tanpa tahu kapan dia akan melihat Sagara kembali.
Centang Biru Tanpa Respon
Hari-hari berlalu, dan setiap pagi Ananta berjalan melewati tempat yang dulu selalu ia kunjungi bersama Sagara. Taman kampus, halte tempat mereka sering duduk berdua, bahkan jalan kecil yang pernah mereka lewati dengan langkah kaki bersamaan. Namun sekarang, semua itu terasa berbeda. Semuanya kosong, seolah kehadiran Sagara telah menghilang bersama hembusan angin yang membawa aroma tanah basah setelah hujan.
Ananta kembali ke dunia yang sama, namun ada rasa yang hilang—sesuatu yang dulu selalu ada di sana, tepat di sisi hidupnya. Ia mencoba untuk mengisi hari-hari dengan kuliah, dengan teman-temannya, tetapi semua terasa hampa. Tanpa sadar, ia sering kali membuka ponselnya, berharap melihat pesan dari Sagara, meski tahu bahwa itu mungkin tak akan pernah terjadi lagi.
Pada suatu pagi yang cerah, Ananta duduk di bangku depan kafe kampus, menatap layar ponselnya. Tidak ada pesan masuk, tidak ada kabar, hanya deretan aplikasi yang menunggu untuk dibuka. Tak ada centang biru yang menandakan pesan dari Sagara.
“Ananta, kamu kok masih nggak bisa move on sih?” tanya Sari, sahabat dekatnya, sambil duduk di sebelahnya, memerhatikan dengan cermat layar ponsel Ananta.
Ananta menoleh pelan, sedikit terkejut, tetapi tidak bisa berbohong. “Aku cuma… kangen.”
Sari menghela napas, terlihat tak sabar. “Tapi kamu tahu sendiri kan? Dia sudah nggak ada lagi di sini. Kenapa kamu masih terus menunggu?”
Ananta menatap ponselnya, matanya berkaca-kaca. “Aku nggak tahu, Sar. Aku cuma merasa kalau aku masih harus menunggu. Seperti dia akan kembali.”
“Kalau dia benar-benar peduli, pasti dia akan memberi kabar. Kamu sudah cukup disakiti, Ananta. Jangan biarkan dirimu terluka lebih lama lagi.”
Namun kata-kata Sari tidak bisa mengusir perasaan itu. Ananta tahu apa yang Sari katakan ada benarnya, tetapi hatinya—perasaannya—berbeda. “Aku nggak bisa begitu saja melupakan. Kamu nggak mengerti.”
Sari menatapnya sejenak, tampak bingung. “Tapi, kamu tahu kan kalau dia nggak kembali? Dia sudah memilih jalan hidupnya sendiri.”
Ananta hanya bisa diam. “Aku… aku nggak tahu apa yang terjadi, Sar. Kadang-kadang, aku hanya berharap dia masih memikirkan aku, meski sejenak.”
Sari menepuk pelan punggung tangan Ananta. “Aku cuma mau kamu bahagia. Jangan biarkan penantian itu menghancurkanmu.”
Hari itu berlalu dengan perasaan yang sama. Ananta kembali ke apartemennya, membuka ponselnya, dan mencari nama Sagara di daftar pesan. Satu-satunya pesan yang tersisa adalah pesan-pesan lama yang sudah tidak memiliki arti apa-apa lagi. Kecuali satu pesan terakhir yang mengirimkan janji: “Aku akan kembali. Tunggu aku.”
Ananta menghela napas, matanya tetap terfokus pada pesan itu. Ia menyadari sesuatu yang sudah ia ketahui jauh di dalam hatinya: bahwa ia sudah lama menunggu sesuatu yang tak pasti.
Namun, setiap kali membuka pesan itu, harapan itu kembali muncul, meski sangat kecil. Mungkin, entah kapan, entah bagaimana, dia akan kembali.
Tiba-tiba, ponsel Ananta bergetar. Satu pesan masuk. Matanya terbelalak sejenak. Dengan tangan yang gemetar, ia membuka pesan itu.
Pesan itu datang dari nomor yang tidak dikenal. Ia membuka pesan itu dengan hati yang penuh harap, namun begitu membacanya, dadanya sesak.
“Maaf, aku nggak bisa lagi melanjutkan ini. Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Maaf kalau aku menyakitimu.”
Ananta menatap pesan itu lama, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Kata-kata itu memukulnya lebih keras dari apapun yang pernah ia rasakan. Perasaan sakit itu datang begitu mendalam, tapi anehnya, tidak ada air mata yang keluar.
Hatinya merasa kosong. Semuanya terasa hancur, namun ia tetap tidak bisa menghapus perasaan yang ada.
Beberapa detik kemudian, notifikasi lain muncul di layar. Sebuah pesan dari teman kuliah, Dwi, yang mengajak untuk bertemu di kafe. Tanpa banyak berpikir, Ananta merespon dan berjalan keluar.
Sesampainya di kafe, Dwi sudah duduk menunggunya. Ia memandang Ananta dengan pandangan yang penuh perhatian. “Kamu nggak baik-baik aja, ya?”
Ananta hanya menggelengkan kepala. “Aku nggak tahu lagi, Dwi. Aku rasa aku sudah bodoh banget.”
Dwi tersenyum pelan, mengerti lebih dari yang ia ingin akui. “Kadang, kita harus menerima kenyataan. Bukannya menyiksa diri dengan harapan yang nggak pasti.”
Ananta menatap secangkir kopi di depan mereka, merasa semakin kosong. “Aku cuma nggak tahu bagaimana harus berhenti menunggu.”
Dwi tidak berkata apa-apa, hanya duduk di sana, menemani Ananta dalam keheningan yang berat. Untuk pertama kalinya, Ananta merasakan seolah waktu terhenti. Ia tahu, bahwa meskipun ia menunggu, Sagara sudah tidak lagi ada di dunia yang sama dengannya. Dan dia harus belajar untuk melepaskan, meskipun rasanya sangat sulit.
Namun, satu hal yang masih berputar di benaknya adalah satu kata yang terus terngiang—tunggu aku.
Dan meskipun ia tahu itu hanyalah sebuah janji yang kosong, Ananta tetap berusaha bertahan.
Janji yang Menghilang
Ananta berjalan di jalan yang biasa ia lewati. Langkahnya teratur, namun kosong. Tidak ada lagi kebahagiaan yang mengisi hari-harinya, hanya rutinitas yang semakin memudarkan harapan. Pagi yang cerah itu terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang mengikutinya kemana pun ia pergi. Setiap langkah seolah mengingatkannya pada Sagara, dan janji yang kini terasa seperti bayang-bayang di balik langit yang suram.
Sudah beberapa minggu sejak pesan terakhir dari Sagara, dan meskipun ia berusaha untuk melupakan, tidak mudah untuk menghilangkan bayangan pria itu dari pikirannya. Kadang, saat duduk sendirian di kamar, Ananta teringat tawa Sagara, percakapan-percakapan ringan mereka, dan tatapan mata yang dulu begitu penuh harapan. Namun kini, semua itu hanya menjadi kenangan yang semakin kabur, seperti gambar yang terhapus dari ingatan.
Pagi itu, Ananta memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kampus, berharap bisa menyelam dalam tumpukan buku dan menghindari pikiran-pikiran yang terus mengganggunya. Namun begitu ia memasuki ruang perpustakaan, matanya tertuju pada sebuah meja di pojok ruangan, tempat yang dulu sering mereka duduki bersama. Ada rasa asing yang tiba-tiba menyelip di hatinya, tetapi ia mencoba mengabaikannya dan mencari tempat duduk yang jauh dari meja itu.
Sambil menata bukunya, sebuah suara menyapa dari belakang. “Ananta?”
Ananta menoleh, terkejut, namun langsung mengenali suara itu.
Ternyata Bima, teman sekelasnya yang selama ini ia anggap biasa, berdiri di belakangnya dengan senyum ramah. “Kamu sendirian aja?” tanyanya.
Ananta mengangguk pelan, mencoba tersenyum. “Iya, lagi cari bahan untuk tugas.”
Bima duduk di sebelahnya, matanya meneliti buku yang ada di meja Ananta. “Tugas kuliah lagi, ya? Bener-bener nggak ada habisnya, ya.”
Ananta hanya mengangguk, namun pikirannya kembali terbang ke tempat yang jauh. Entah mengapa, kehadiran Bima tidak bisa mengusir bayangan Sagara yang tiba-tiba datang begitu saja.
“Hey, kenapa sepertinya kamu nggak fokus?” tanya Bima, mengamati Ananta dengan cermat.
Ananta menarik napas panjang. “Gak apa-apa, Bima. Lagi banyak pikiran aja.”
“Masalah pribadi?” tanya Bima, tanpa basa-basi.
Ananta terdiam sejenak. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa tertahan di tenggorokan. Bagaimana menjelaskan rasa sakit yang begitu dalam? Bagaimana menjelaskan penantian yang tak pasti ini?
Bima tampaknya bisa merasakan kegelisahan itu. “Aku nggak tahu apa yang terjadi, Ananta. Tapi aku cuma mau bilang, kamu nggak harus menunggu sesuatu yang nggak jelas. Mungkin ada hal yang lebih baik yang bisa kamu dapatkan.”
Ananta menoleh, sedikit terkejut dengan kejujuran Bima. “Kamu nggak mengerti,” jawabnya pelan.
Bima tersenyum, tetapi ada kehangatan di matanya. “Aku nggak perlu mengerti, Ananta. Aku cuma ingin kamu tahu, kalau kamu nggak harus sendiri.”
Ananta mengalihkan pandangan, matanya kembali tertuju pada tumpukan buku di meja. “Aku… aku nggak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, Bima. Aku sudah berusaha melupakan. Aku sudah mencoba untuk berhenti menunggu, tapi setiap kali aku berpikir untuk berhenti, bayangan dia datang lagi.”
Bima menghela napas, duduk lebih tegak. “Aku tahu itu sulit, tapi aku ingin kamu tahu, kamu lebih dari sekedar menunggu seseorang yang tidak tahu menghargai kamu. Kamu punya hidup sendiri.”
Ananta terdiam, kata-kata Bima masuk ke dalam hati, meskipun ia masih merasa sulit untuk sepenuhnya percaya. Ia tahu bahwa ia harus melepaskan, tetapi hatinya tidak bisa dengan mudah menerima kenyataan itu.
Hari-hari berlalu, dan meskipun ia berusaha fokus pada kuliah dan teman-temannya, setiap detik yang ia lewati terasa seperti penantian yang sia-sia. Ia masih membuka ponselnya setiap kali ada getaran, berharap ada pesan dari Sagara. Namun, yang ia dapatkan hanya sebuah notifikasi kosong, tanda bahwa dunia luar terus bergerak, sementara dirinya tetap terjebak dalam ingatan tentang janji yang kini tak berarti.
Suatu sore, ketika Ananta berjalan pulang setelah kuliah, ia melihat seseorang yang sedang duduk di bangku taman dekat kampus. Pria itu memandang ke depan dengan tatapan kosong, seperti sedang menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Ananta terhenti di tempat, menatap sosok itu, merasakan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Rasanya seperti melihat dirinya sendiri, menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Ia melangkah mendekat, dan pria itu menoleh. Ananta hampir tidak mengenalinya, tetapi ketika ia melihat mata pria itu, ia merasa ada sesuatu yang familiar.
“Sagara…”
Sagara tersenyum tipis, namun senyumnya tidak bisa menyembunyikan rasa bersalah yang tampak jelas di wajahnya. “Ananta…”
Semua perasaan yang selama ini ia pendam, yang sudah berbulan-bulan terkubur dalam hati, tiba-tiba datang begitu saja. Ananta tidak bisa mengendalikan emosinya. “Kenapa? Kenapa kamu datang sekarang? Setelah semuanya?”
Sagara hanya terdiam, matanya memancarkan penyesalan yang begitu dalam. “Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana.”
“Kenapa kamu tidak memberi kabar? Kenapa tidak ada kata-kata penjelasan apapun?” suara Ananta bergetar, mengandung segala rasa sakit yang ia pendam selama ini.
Sagara menghela napas, tampak sangat lelah. “Aku salah, Ananta. Aku membuatmu menunggu tanpa alasan yang jelas. Aku terlalu egois.”
Ananta menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Jadi, kamu datang sekarang hanya untuk mengatakan itu?”
Sagara menggigit bibir bawahnya, seakan mencoba mengatur kata-kata. “Aku… aku ingin kamu tahu, bahwa aku menyesal. Aku tidak bisa kembali lagi, tapi aku ingin kamu tahu, kalau kamu selalu ada dalam pikiranku.”
Ananta merasakan kepalanya pusing. Semua yang ia harapkan, semua yang ia tunggu, kini datang terlambat. “Tapi itu tidak cukup, Sagara. Kamu sudah pergi, dan aku sudah terlalu lama menunggu tanpa kepastian.”
Sagara menunduk, mencoba menyembunyikan rasa bersalahnya. “Aku tidak meminta maaf karena aku membuatmu menunggu. Aku meminta maaf karena aku tidak bisa jadi orang yang kamu harapkan.”
Ananta terdiam, hatinya terasa hancur. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Semua janji, semua harapan, seakan lenyap begitu saja.
“Aku harus pergi,” kata Ananta pelan, berbalik meninggalkan Sagara di sana, tanpa menoleh kembali.
Dan untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun menunggu, Ananta merasa bahwa ia bisa melepaskan.
Mengikhlaskan yang Tak Pernah Kembali
Ananta berjalan tanpa arah, langkahnya ringan meski hatinya masih terasa berat. Semua yang terjadi dengan Sagara, dengan penantian panjang yang tak pasti, kini seolah-olah telah dilepaskan ke angin yang berhembus perlahan. Kepergian Sagara membawa luka, tetapi juga membuka ruang untuk sesuatu yang baru—sesuatu yang tidak lagi terikat oleh harapan-harapan kosong yang dulunya ia simpan rapat-rapat di dalam hatinya.
Hari-hari setelah pertemuan itu berubah perlahan. Meski ada rasa sakit yang masih mengintip dari balik dinding hatinya, Ananta belajar untuk hidup dengan luka itu. Waktu seolah memegang peranan penting, membantu menyembuhkan luka meski hanya sedikit demi sedikit. Dia tak lagi membuka ponselnya dengan harapan kosong, tak lagi menunggu kabar yang tak kunjung datang.
Suatu sore, ketika dia duduk di bangku taman, dia merasa ada kelegaan yang tidak biasa. Mungkin karena sudah lama dia menahan segala perasaan ini, mencoba menyangkal kenyataan yang sudah ada di hadapannya.
Bima datang mendekat, kali ini tanpa kata-kata yang terburu-buru. Dia duduk di sebelah Ananta, tanpa mengucapkan apa-apa, hanya menikmati keheningan yang mereka bagi. Dalam keheningan itu, Ananta menyadari bahwa meskipun Sagara bukan lagi bagian dari hidupnya, ada orang lain yang tetap ada di sini, yang tidak pernah meninggalkan.
“Bima,” suara Ananta terdengar pelan. “Terima kasih, ya.”
Bima menoleh, tersenyum kecil. “Mungkin nggak banyak yang bisa aku bantu, tapi aku selalu ada kalau kamu butuh teman.”
Ananta mengangguk, matanya menatap jauh ke depan, seperti mencari sesuatu yang tak tampak. “Aku sudah terlalu lama menunggu yang tak pasti, Bima. Dan aku sadar, kadang kita harus berani melepaskan.”
Bima tidak menjawab, hanya mendengarkan. Karena dia tahu, terkadang yang dibutuhkan seseorang bukanlah kata-kata, melainkan kehadiran yang setia di sampingnya.
Hari demi hari berlalu, dan Ananta mulai merasa lebih kuat. Dia mendaftar untuk beberapa kursus tambahan, berusaha lebih fokus pada impian-impian yang sempat tertunda. Dia memulai perjalanan baru, bukan lagi untuk mencari seseorang yang hilang, tetapi untuk menemukan dirinya sendiri yang selama ini terabaikan.
Suatu pagi yang cerah, ketika ia sedang duduk di kafe kampus, ponselnya bergetar. Dengan kebiasaan lama, Ananta membuka pesan itu dengan harapan, tetapi kali ini ia merasa tidak ada lagi yang perlu ia harapkan.
Pesan itu datang dari nomor yang tidak dikenal, namun kali ini, ia tidak merasa cemas. “Maaf kalau aku mengganggu,” isi pesan itu singkat, namun Ananta bisa merasakannya—bahwa pesan ini bukan lagi untuk mencari penjelasan atau permintaan maaf.
“Ananta, aku harap kamu menemukan kebahagiaanmu sendiri.”
Ananta menatap pesan itu lama. Ada keheningan dalam dirinya. Entah sudah berapa lama dia menunggu kata-kata itu, dan sekarang, kata-kata itu datang tanpa beban. Tanpa rasa sakit.
Ia menatap keluar jendela, memandangi langit yang cerah. Semua itu terasa lebih ringan dari sebelumnya.
“Aku sudah lepas, Sagara.”
Itulah yang sebenarnya ia katakan pada dirinya sendiri. Tanpa perlu melibatkan orang lain. Tanpa perlu menunggu apapun yang tak pernah ada.
Ketika ia berdiri dan berjalan keluar dari kafe itu, langkahnya kini terasa lebih pasti. Dia tidak lagi membawa bayang-bayang yang mengikatnya, tidak lagi terperangkap dalam penantian yang sia-sia. Dia telah menemukan kekuatan untuk berdiri sendiri, untuk menjalani hidup tanpa harus menunggu seseorang yang mungkin tidak akan kembali.
Di kejauhan, dia melihat Bima sedang duduk di bangku taman yang biasa mereka lewati. Dengan langkah yang penuh keyakinan, Ananta berjalan menuju bangku itu. Bima melihatnya, dan senyumnya yang tulus mengingatkan Ananta pada hal-hal yang lebih sederhana—persahabatan, dukungan, dan keberanian untuk memulai lagi.
“Ananta,” Bima menyapa, memandangnya dengan mata yang penuh makna.
Ananta tersenyum lebar, senyum yang sudah lama tidak ia rasakan begitu tulus. “Aku siap untuk melangkah lagi.”
Bima mengangguk, dan mereka duduk bersama di bangku itu, menikmati sore yang tenang. Tanpa ada lagi penantian yang tak pasti. Tanpa ada lagi bayang-bayang yang mengganggu.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Ananta merasa bebas.
Jadi, setelah semua itu, mungkin kamu bakal sadar bahwa penantian yang nggak pasti tuh, ya, cuma buang waktu. Kalau kamu terus nunggu yang gak jelas, kamu malah bakal kehilangan kesempatan buat hidup di sini dan sekarang.
Cerpen ini mungkin gak punya happy ending yang konvensional, tapi siapa bilang hidup harus selalu happy? Yang penting, kita bisa belajar melepaskan dan melangkah lebih baik ke depan. So, jangan takut buat move on, guys!