Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih, ngerasain nunggu sesuatu yang nggak pasti? Nunggu yang nggak tahu kapan datangnya, tapi kamu tetap percaya kalau itu bakal datang di waktu yang tepat?
Nah, cerpen ini bakal ngasih kamu gambaran soal penantian jodoh, sabar, dan doa yang nggak pernah sia-sia. Kadang, kita ngerasa kayak penantian itu berat banget, tapi percaya deh, semua indah pada waktunya. Gimana kisahnya? Yuk, simak!
Penantian Jodoh yang Indah
Bab 1: Penantian di Hati yang Tertutup
Di sebuah desa kecil yang sunyi, jauh dari hiruk-pikuk kota, seorang pemuda bernama Ayyan menjalani hari-harinya dengan penuh kesederhanaan. Setiap pagi, ia bangun lebih awal untuk menunaikan shalat tahajud, dilanjutkan dengan menyiram tanaman di kebun ayahnya. Tanah yang subur dan udara yang segar menjadikan desa ini tempat yang penuh ketenangan. Namun, meskipun segalanya tampak tenang, ada rasa kosong yang tak mudah terisi dalam hati Ayyan. Sebuah penantian panjang yang terkadang terasa begitu membebani.
Di usianya yang ke-30, Ayyan sering kali merasa bahwa takdir telah memberikan cobaan yang berat dalam hal perasaan. Dalam dunia yang seolah penuh dengan pilihan, ia justru merasa terjebak dalam kesunyian. Teman-temannya sudah menikah dan memiliki anak, sementara ia masih saja sendiri. Ia ingin menikah, tentu saja, namun hatinya merasa enggan menerima cinta yang datang begitu saja tanpa izin dari Allah.
Pernah ada satu waktu, beberapa tahun yang lalu, saat Ayyan benar-benar merasa jatuh hati. Faiqah—gadis tetangga yang memiliki segalanya yang bisa membuat hati pria mana pun tergoda—adalah alasan di balik keraguan pertama Ayyan tentang cinta. Faiqah cantik, cerdas, dan penuh kebaikan. Setiap kali mereka bertemu, Ayyan merasa seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Namun, cinta mereka tidak pernah berbuah. Faiqah menerima pinangan orang lain, meninggalkan Ayyan dengan luka yang dalam.
“Ayyan, aku… aku mohon maaf. Aku harus menerima pinangan dari keluarga Zainal. Mungkin ini yang terbaik,” kata Faiqah suatu sore, dengan suara yang bergetar.
Ayyan hanya bisa menatapnya dalam diam. Ada rasa sakit yang menyusup ke dalam jiwanya, namun ia tahu bahwa takdir memang tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. “Kalau itu yang terbaik untukmu, aku akan mendoakanmu, Faiqah. Semoga Allah memberimu kebahagiaan.”
Namun, meskipun kata-kata itu keluar dari mulutnya, hatinya tidak bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu. Setiap malam setelah kejadian itu, Ayyan akan berdoa dengan lebih sungguh-sungguh, memohon agar Allah memberikan jalan terbaik untuknya.
“Wahai Allah, jika dia bukan takdirku, maka gantikan dia dengan seseorang yang lebih baik untuk agamaku dan hidupku,” doanya penuh harap, dengan air mata yang kadang menetes tanpa disadari.
Waktu berlalu, dan meskipun Ayyan tampak baik-baik saja di luar, rasa kosong itu tetap menghantuinya. Kadang ia merasa lelah dengan penantiannya. Ketika teman-teman mulai berbicara tentang calon istri mereka, Ayyan merasa seolah-olah ia berada di luar lingkaran. Mereka mungkin berpikir bahwa Ayyan terlalu pemilih, atau bahkan tidak berani membuka hatinya. Namun, ia tahu bahwa yang ia tunggu bukanlah sekadar seseorang yang bisa mengisi kekosongan hatinya, melainkan seseorang yang bisa membuat hidupnya lebih bermakna, yang bisa mendekatkan dirinya pada Allah.
Pernah suatu kali, ibunya bertanya dengan nada cemas, “Ayyan, kamu sudah cukup umur. Kenapa kamu masih belum menikah? Bukankah di luar sana banyak gadis yang ingin bersanding denganmu?”
Ayyan hanya tersenyum tipis, kemudian menjawab, “Bu, aku ingin istri yang tidak hanya mengisi hatiku, tapi juga hatinya. Aku ingin menikah dengan seseorang yang bisa aku bimbing menuju surga Allah.”
Meski ibunya terkadang khawatir, Ayyan merasa yakin dengan pilihannya. Di hatinya, ia berdoa, berharap Allah akan mengirimkan jodoh yang tepat pada waktu yang tepat.
Suatu hari, ketika Ayyan sedang dalam perjalanan pulang dari pasar, ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang sedang duduk di pinggir jalan. “Ayyan, anak muda, bolehkah aku meminta bantuanmu?” tanya lelaki itu dengan suara tenang, namun penuh kerendahan hati.
Tentu saja, Ayyan segera mendekatinya, merasa tergerak untuk membantu. “Tentu, Pak Harun. Apa yang bisa saya bantu?”
Lelaki tua itu tersenyum, matanya menyiratkan kebijaksanaan yang mendalam. “Aku baru pindah ke desa ini, dan aku ingin meminta bantuanmu untuk mengajari anak perempuanku mengaji. Dia baru saja pulang dari kota dan ingin lebih mendalami agama,” kata Pak Harun.
“Insya Allah, Pak, saya akan membantu. Tentu saja, saya akan mengajari Ruqayya,” jawab Ayyan, merasa tergerak untuk membantu.
Keesokan harinya, Ayyan datang ke rumah Pak Harun. Ia disambut dengan hangat oleh keluarga tersebut. Kemudian, ia bertemu dengan Ruqayya—gadis yang menjadi alasan Pak Harun meminta bantuannya. Ruqayya tampak sederhana, dengan hijab yang menutupi rambutnya rapi. Namun, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ada kedalaman di balik tatapannya, dan meskipun ia tampak tenang, Ayyan bisa merasakan ada kepedihan yang tersembunyi di dalam hatinya.
“Ayyan, terima kasih sudah datang. Aku harap kamu bisa membimbingku dalam belajar mengaji,” kata Ruqayya dengan suara yang lembut namun penuh ketulusan.
“Insya Allah, saya akan membantu. Semoga kita bisa sama-sama belajar,” jawab Ayyan dengan senyum.
Hari demi hari, Ayyan dan Ruqayya mulai lebih sering bertemu. Mereka duduk bersama, mengaji dan berbincang tentang kehidupan. Setiap kali Ayyan melihat Ruqayya, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ruqayya bukan hanya gadis yang cerdas dan baik hati, tetapi juga seseorang yang begitu tulus dalam mencari kebenaran. Namun, Ayyan tetap berhati-hati. Ia tidak ingin membuat kesalahan yang sama seperti sebelumnya. Ia tidak ingin tergesa-gesa, karena baginya, penantian itu adalah ujian untuk kesabaran dan keikhlasan hati.
Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bertumbuh—sesuatu yang tak bisa ia pungkiri. Rasanya, Allah sedang membimbingnya, memberinya kesempatan kedua untuk menemukan cinta yang benar-benar sesuai dengan kehendak-Nya. Tapi, Ayyan masih belum berani mengungkapkan perasaannya. Ia tahu bahwa segala sesuatunya harus berjalan sesuai dengan waktu yang Allah tentukan.
“Sabar, Ayyan,” ia sering berbisik pada dirinya sendiri. “Segala sesuatu indah pada waktunya.”
Dan waktu, meskipun berjalan perlahan, ternyata memiliki rahasia yang tidak dapat diselami manusia.
Dalam Keheningan Shalat Malam
Malam itu, Ayyan berdiri sendirian di dalam kamar kecilnya, dikelilingi hanya oleh cahaya redup dari lampu minyak yang menggelitik bayangan di dinding. Angin malam yang sejuk berbisik melalui celah-celah jendela, membawa aroma segar tanah basah setelah hujan. Ia mengenakan pakaian sederhana, tapi hati yang sedang resah ini lebih berat daripada biasanya. Setiap kali ia mencoba menutup matanya, wajah Ruqayya muncul dalam ingatan. Entah kenapa, perasaan itu semakin lama semakin sulit ia hindari. Namun, Ayyan tahu bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk menghadapinya. Ia harus tetap fokus pada tujuan yang lebih besar.
Ayyan menundukkan kepala, menatap sejenak sajadah yang terhampar di depannya. Ia mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat tahajud, ibadah yang selalu memberinya ketenangan. Ia tahu, dalam keheningan malam itulah ia bisa lebih dekat dengan Allah. Hanya dengan-Nya ia bisa menemukan jawaban atas segala kebingungannya.
“Ya Allah, aku datang kepada-Mu dengan hati yang penuh harap,” doanya dalam hati. “Engkau yang Maha Mengetahui, tunjukkanlah jalan terbaik untukku.”
Ia mulai mengangkat kedua tangannya, memulai shalat dengan penuh kesungguhan. Setiap gerakan, setiap bacaan, terasa sangat mendalam malam itu. Ayyan merasa bahwa seolah-olah dunia berhenti sejenak, memberi ruang untuk dia berdialog dengan Tuhannya. Di tengah shalat malam itu, ia berdoa agar Allah menunjukkan jalan yang terang, baik dalam hal jodoh maupun kehidupannya.
“Ya Allah, aku tahu jodohku sudah ditentukan. Tapi aku juga tahu, Engkau memberi kami pilihan untuk berusaha. Berilah aku kekuatan untuk menunggu, untuk bersabar, dan untuk tetap istiqamah dalam berdoa. Jangan biarkan hatiku gelisah, ya Allah…”
Di luar, suara jangkrik dan angin yang berhembus seakan menjadi penyejuk jiwa Ayyan yang gelisah. Dia sadar, segala sesuatu di dunia ini adalah ujian. Dan di ujian itu, ada hadiah yang telah disiapkan untuk mereka yang bersabar. Namun, seiring berjalannya waktu, Ayyan semakin merasa lelah. Rasa kosong yang terus menghantuinya kian terasa berat. Ia ingin melangkah maju, ingin menemukan pasangan hidup yang akan mendampinginya dalam perjuangan menuju surga. Namun, terkadang penantian itu membuatnya merasa seperti berjalan tanpa arah.
Pagi pun datang. Ayyan keluar dari rumahnya dengan langkah perlahan, namun ada satu hal yang terasa berbeda. Hari ini, setelah beberapa waktu, Ayyan merasa hatinya sedikit lebih ringan. Ia merasa doanya malam tadi sedikit mengusir kekhawatirannya. Terkadang, memang, hanya dengan berdamai dengan Allah-lah seseorang bisa mendapatkan ketenangan sejati.
Setelah menunaikan shalat subuh, Ayyan mengisi waktu dengan berkeliling desa, membantu beberapa tetangga yang membutuhkan. Entah kenapa, hari itu ia merasa lebih banyak tersenyum. Setiap tetangga yang ia bantu merasa sangat berterima kasih, dan meskipun terasa sederhana, Ayyan tahu bahwa kebaikan itu akan kembali pada dirinya suatu saat nanti.
Malam berikutnya, Ayyan kembali menyendiri di kamar kecilnya, merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam hati, ia terus berdoa. Kali ini doanya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang ia sayangi—termasuk Ruqayya. Ia berharap agar Allah memberikan kedamaian dalam hatinya dan memberikan yang terbaik untuk setiap langkah hidupnya.
Saat ia menyelesaikan shalat tahajud, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Ayyan sedikit terkejut, karena jarang sekali ada yang datang begitu malam. Ia membuka pintu dengan hati-hati dan melihat Pak Harun berdiri di sana dengan senyum ramah.
“Ayyan, maaf mengganggu malam-mu. Ada sedikit urusan penting yang ingin kutanyakan,” kata Pak Harun dengan nada lembut.
Ayyan terkejut, namun ia segera mempersilakan Pak Harun masuk. Mereka duduk bersama di ruang tamu kecil, di atas karpet yang hangat.
“Ada apa, Pak? Apakah ada sesuatu yang perlu saya bantu?” Ayyan bertanya dengan ramah.
Pak Harun menarik napas panjang sebelum berbicara, “Ayyan, aku ingin membicarakan sesuatu yang sudah lama aku pertimbangkan. Ini tentang Ruqayya.”
Hati Ayyan berdegup kencang mendengar nama itu. Namun, ia berusaha tetap tenang, mencoba menahan perasaannya. “Tentu, Pak. Apa yang bisa saya bantu mengenai Ruqayya?”
Pak Harun menatapnya dalam-dalam, seolah ingin membaca pikiran Ayyan. “Aku sudah lama memperhatikanmu, Ayyan. Dan aku melihat bagaimana perhatianmu terhadap Ruqayya. Mungkin kamu belum menyadarinya, tetapi aku rasa ada sesuatu yang tulus dalam dirimu terhadapnya. Aku ingin bertanya, apakah kamu sudah siap untuk melangkah lebih jauh dengan niat yang baik? Aku ingin memastikan bahwa Ruqayya tidak salah pilih.”
Ayyan terdiam sejenak. Kata-kata Pak Harun begitu jelas dan langsung menyentuh hatinya. Rasa harapannya semakin berkembang, namun ia tahu ini bukanlah sesuatu yang bisa diputuskan begitu saja. Ia harus benar-benar siap dan berdoa agar Allah memberikan petunjuk-Nya.
“Aku… aku belum tahu, Pak. Tetapi jika itu yang terbaik, aku akan berusaha sebaik mungkin. Yang penting, aku ingin semuanya dilaksanakan sesuai dengan agama dan sesuai dengan kehendak Allah,” jawab Ayyan dengan penuh keyakinan.
Pak Harun tersenyum, puas dengan jawaban itu. “Aku tahu kamu adalah orang yang baik, Ayyan. Aku hanya ingin memastikan bahwa langkah kita semua dilakukan dengan niat yang bersih, demi kebaikan di dunia dan di akhirat.”
Malam itu, setelah Pak Harun pulang, Ayyan kembali merenung. Hatinya terasa lebih tenang, meskipun pertanyaan besar masih menggelayuti pikirannya: Apakah ia siap? Apakah ini waktu yang tepat? Apakah Ruqayya juga merasakan hal yang sama?
Namun, Ayyan tahu satu hal yang pasti. Allah telah mempertemukan mereka dalam keadaan yang penuh rahasia, dan ia hanya bisa berharap bahwa dengan doa dan kesabaran, semua akan menjadi indah pada waktunya.
“Ya Allah, aku serahkan semua pada-Mu,” bisiknya, sambil menatap langit malam yang penuh bintang.
Pertemuan yang Mengubah Segalanya
Pagi itu, Ayyan bangun lebih awal dari biasanya. Setelah shalat subuh, ia duduk sejenak di dekat jendela, menatap langit yang masih gelap, berusaha mencerna perbincangannya semalam dengan Pak Harun. Perasaan hati yang penuh harap, cemas, dan rasa tanggung jawab bercampur menjadi satu. Ada sesuatu yang masih mengganjal, seolah langkahnya menuju Ruqayya harus melewati jalan yang penuh teka-teki. Ia tahu, itu bukan sekadar tentang perasaan, tetapi juga tentang niat yang tulus dan usaha yang benar.
Pagi itu, ia memutuskan untuk berkunjung ke rumah Pak Harun. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, sesuatu yang mungkin bisa memberi penegasan. Namun, ia juga merasa bahwa pertemuan itu bukan hanya tentang dirinya dan Ruqayya. Terkadang, Allah memberikan kesempatan bukan untuk kita mendapatkan jawaban langsung, tetapi untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya di hadapan-Nya.
Setibanya di rumah Pak Harun, Ayyan disambut dengan senyum hangat dari Pak Harun dan Ruqayya yang sedang sibuk di dapur. Mata Ayyan teralih ke sosok itu. Ruqayya, seperti biasa, tampak anggun dengan jilbab yang sederhana, namun menyiratkan kekuatan dan keteguhan. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan matanya, seolah dia mengetahui sesuatu yang Ayyan sendiri belum sepenuhnya pahami.
Pak Harun mengajak Ayyan duduk di ruang tamu. “Ayyan, kamu tampaknya ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan. Jangan ragu, ini adalah tempat yang tepat.”
Ayyan menatap Pak Harun dengan penuh kesungguhan. “Pak, aku ingin berbicara lebih serius tentang apa yang terjadi antara aku dan Ruqayya. Aku menghargai semua yang Pak Harun katakan tentang niat baik dan pentingnya menjalani semua sesuai dengan agama. Aku ingin memastikan bahwa niatku benar, dan aku siap jika memang ini adalah takdirku.”
Pak Harun menatap Ayyan dengan tatapan penuh pengertian. “Aku mengerti, Ayyan. Tidak mudah memang, tetapi kamu sudah menunjukkan bahwa niatmu adalah untuk kebaikan. Namun, kamu juga perlu memahami satu hal: jodoh itu adalah anugerah, bukan sekadar hasil dari usaha kita semata. Allah yang menentukan.”
Ayyan mengangguk, menyadari bahwa perasaan dan usaha saja tidak cukup tanpa izin Allah. Ia kemudian memandang Ruqayya, yang keluar dari dapur sambil membawa secangkir teh hangat. Ada keheningan yang tiba-tiba terasa kental di udara. Ruqayya duduk di hadapan mereka, dan sepertinya ia mengetahui bahwa ada pembicaraan penting yang sedang berlangsung.
“Ayyan, aku tahu kamu sedang berpikir banyak tentang ini. Tetapi aku ingin kamu tahu satu hal,” kata Ruqayya dengan suara lembut, matanya menatap lurus ke arah Ayyan. “Jodoh itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, apalagi hanya karena perasaan semata. Aku ingin semua ini terjadi dengan cara yang baik, sesuai dengan apa yang diajarkan agama.”
Ayyan merasa ada kedamaian dalam kata-kata Ruqayya. Seolah semuanya menjadi lebih jelas, namun masih ada rasa takut dalam dirinya. “Ruqayya, aku hanya ingin memastikan bahwa jika aku melangkah lebih jauh, itu bukan karena terburu-buru, tetapi karena kita sama-sama siap. Aku ingin agar segala sesuatu berjalan dalam koridor yang benar. Tidak ada paksaan, tidak ada ketergesaan.”
Ruqayya tersenyum tipis. “Aku juga ingin yang terbaik, Ayyan. Kita sama-sama menanti jawaban dari Allah. Jika Allah mengizinkan, maka tidak ada yang bisa menghalangi. Jika tidak, maka kita harus menerima dengan ikhlas.”
Percakapan itu membawa Ayyan dalam satu kesimpulan yang lebih jelas. Ia tidak harus terburu-buru dalam menjalani semua ini, dan yang terpenting, ia harus lebih banyak berserah diri kepada Allah. Ia harus menunggu, berdoa, dan berusaha sebaik mungkin. Dalam penantian ini, ia belajar tentang kesabaran dan keikhlasan, dua hal yang selama ini sering ia lupakan dalam keinginan dan harapan besar akan jodoh.
Hari itu berlalu dengan penuh keheningan yang memberi kedamaian. Ayyan pulang ke rumah dengan hati yang lebih ringan, meski masih ada keraguan yang menggelayuti. Namun, keraguan itu bukan karena ketidakpastian, melainkan karena ia tahu bahwa dalam segala sesuatu, Allah yang memiliki takdir.
Malam harinya, setelah shalat isya, Ayyan duduk di sisi tempat tidurnya, merenung. Doa-doa yang terucap selama ini terasa begitu penting baginya. Ia menyadari bahwa terkadang, jawaban Allah datang dalam bentuk yang tidak kita duga. Tidak selalu berupa pemberian, tetapi terkadang melalui penantian yang penuh makna.
Ayyan kembali mengangkat tangannya, berdoa dalam keheningan malam. “Ya Allah, aku berserah kepada-Mu. Apa pun yang terbaik menurut-Mu, aku terima dengan hati yang lapang. Berikan aku petunjuk-Mu, dan jangan biarkan aku tersesat dalam harapan yang sia-sia.”
Langit malam yang penuh bintang menjadi saksi atas doa Ayyan. Ada rasa tenang yang menyelubungi hatinya, seolah Allah sedang membisikkan bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya, seperti yang selalu ia dengar dalam setiap ceramah yang ia ikuti. Jodoh adalah bagian dari takdir yang sudah ditulis, dan Ayyan hanya perlu menunggu dengan sabar, berdoa, dan terus berbuat baik.
Tak lama setelah itu, Ayyan kembali tidur, dan meskipun hatinya penuh dengan pertanyaan, ia merasa sedikit lebih siap untuk menghadapi perjalanan hidup yang masih panjang. Pertanyaan terbesar kini adalah, apakah ia cukup sabar menunggu takdir itu datang? Apakah hati ini cukup ikhlas untuk menerima segala keputusan Allah?
Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Indah Pada Waktunya
Waktu berlalu begitu cepat, dan Ayyan semakin menyadari betapa penantian yang ia jalani selama ini membawanya pada pemahaman yang lebih dalam tentang arti sebuah ikhlas dan sabar. Hari-hari yang terasa panjang pada awalnya, kini semakin terasa ringan. Ia merasa seperti sedang mempersiapkan diri untuk sesuatu yang besar, meski ia tidak tahu apa itu. Ia tahu satu hal: ia sudah melakukan segalanya dengan cara yang benar. Ia telah berdoa, berusaha, dan terus berbuat baik tanpa menuntut hasil yang langsung.
Beberapa bulan kemudian, ketika musim semi mulai menghiasi jalanan kota, Ayyan menerima kabar yang mengejutkan dari Pak Harun. Suatu hari, saat ia sedang menunaikan shalat dhuha di masjid, Pak Harun menghubunginya melalui pesan singkat.
“Ayyan, kalau kamu tidak keberatan, bisa kah kita bertemu sore ini? Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu,” begitu bunyi pesan itu.
Ayyan merasa cemas, tetapi juga tidak bisa menepis rasa penasaran yang membuncah. Ia merasa bahwa pertemuan ini adalah titik penting dalam penantian panjangnya. Setiap doa dan usaha yang ia lakukan seperti memunculkan rasa harap yang menggebu-gebu.
Saat sore itu, Ayyan duduk di ruang tamu rumah Pak Harun. Suasana rumah itu selalu memberi kedamaian. Ada aroma teh yang harum dari ruang sebelah, dan suara anak-anak yang bermain di halaman rumah. Ruqayya tampak sibuk dengan buku-buku di meja, seolah tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Pak Harun masuk ke ruang tamu dengan senyum yang tidak biasa. Wajahnya terlihat lebih cerah daripada sebelumnya, dan Ayyan merasa ada sesuatu yang istimewa. “Ayyan, setelah berbicara panjang lebar dengan keluarga, kami memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Kami ingin tahu, apakah kamu siap untuk menjadi bagian dari keluarga kami?”
Ayyan merasa hatinya berdegup kencang. Ada perasaan haru yang mendalam mengalir di hatinya. Semua usaha, doa, dan penantian panjang yang terasa berat kini tampak seperti sebuah hadiah yang indah dari Allah. “Saya… saya siap, Pak Harun. Jika ini adalah jalan yang Allah ridhoi, saya siap menerima Ruqayya sebagai pasangan hidup saya.”
Pak Harun tersenyum dengan penuh kehangatan. “Aku tahu kamu sudah berusaha sebaik mungkin, Ayyan. Ini adalah proses yang panjang, dan kita hanya perlu percaya bahwa Allah memberikan yang terbaik untuk kita.”
Ayyan memandang Ruqayya yang kini berdiri di ambang pintu, matanya bertemu mata Ayyan dengan tatapan yang penuh pengertian. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan. Semua terasa begitu dalam, seolah semuanya terhubung dalam satu takdir yang ditentukan oleh Allah.
Ruqayya tersenyum lembut. “Aku percaya, Ayyan. Ini adalah langkah yang tepat. Aku yakin, segala sesuatunya akan berjalan sesuai dengan kehendak Allah.”
Ayyan merasa seperti sebuah beban terangkat dari hatinya. Semua penantian itu bukanlah sebuah kebetulan. Semua yang telah ia lalui, rasa sakit, keraguan, bahkan kegelisahan yang datang dan pergi, semuanya membawanya pada momen ini—momen yang penuh kedamaian dan harapan.
Hari itu menjadi titik awal bagi mereka berdua untuk memulai sebuah perjalanan baru dalam hidup mereka. Tidak ada lagi penantian yang penuh kecemasan. Tidak ada lagi rasa takut terhadap masa depan. Yang ada hanya keyakinan bahwa Allah memiliki rencana yang lebih indah dari apa yang bisa dibayangkan.
Keesokan harinya, setelah berbicara dengan keluarga masing-masing, Ayyan dan Ruqayya sepakat untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menikah. Dalam hati Ayyan, ia merasa begitu bersyukur. Ia tahu, proses panjang ini bukan hanya untuk dirinya dan Ruqayya, tetapi juga untuk memurnikan niat mereka agar tetap berjalan dalam koridor yang benar.
“Semoga Allah selalu memberi petunjuk pada setiap langkah kita,” bisik Ayyan dalam hati, saat melihat Ruqayya berjalan di sampingnya. Ia merasa begitu ringan, seperti ada angin sejuk yang menyapu seluruh kegelisahannya. Allah memang selalu memberikan yang terbaik di waktu yang tepat, dan ia menyadari bahwa penantian ini adalah bentuk kasih sayang Allah yang paling indah.
Pada akhirnya, Ayyan menyadari bahwa penantian bukanlah sebuah ujian yang menguji sejauh mana kita mampu menahan diri. Penantian adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk memantaskan diri menjadi yang terbaik untuk orang yang kita harapkan. Dan kini, setelah melalui semua itu, ia tahu bahwa ia siap untuk menjalani kehidupan baru dengan Ruqayya, penuh berkah dan takdir yang indah.
Dan akhirnya, semua penantian itu terbayar sudah. Terkadang, kita merasa lelah dan bingung, tapi pada akhirnya, kita akan sadar bahwa semua yang kita tunggu-tunggu datang dengan cara yang tak terduga. Jadi, buat kamu yang lagi nunggu atau berjuang untuk mendapatkan apa yang terbaik, ingatlah bahwa Allah punya rencana indah yang lebih dari apa yang kita bayangkan. Semua akan indah pada waktunya.