Pemulung Cilik yang Jujur: Kisah Haru Anak Jalanan yang Difitnah tapi Berakhir Tak Terduga!

Posted on

Kadang dunia ini emang nggak adil—orang baik malah dituduh, sementara yang curang sering lolos begitu aja. Ini cerita tentang Raka, bocah pemulung yang cuma mau jujur tapi malah kena fitnah. Dipandang sebelah mata, dituduh maling, bahkan hampir dipenjara! Tapi hidup selalu punya cara buat nunjukin kebenaran. Baca sampai habis, karena ending-nya beneran nggak ketebak!

 

Pemulung Cilik yang Jujur

Jejak Kecil di Jalanan Kota

Langit Jakarta masih abu-abu ketika Raka melangkah keluar dari rumahnya yang sempit di sudut gang kumuh. Udara pagi bercampur dengan bau got yang tergenang dan asap kendaraan yang mulai memenuhi jalanan. Di pundaknya tergantung sebuah karung besar yang sudah bolong di beberapa bagian, tetapi masih cukup kuat untuk menampung botol plastik dan kardus yang akan ia kumpulkan hari ini.

“Jangan lupa pulang sebelum gelap, Nak,” suara ibunya terdengar lemah dari dalam rumah.

Raka menoleh, melihat ibunya yang duduk bersandar di dinding dengan selimut tipis melilit tubuhnya. Mata perempuan itu sayu, kulitnya pucat, tetapi senyumnya tetap ada.

“Iya, Bu,” jawabnya cepat sebelum bergegas pergi.

Di jalanan yang sibuk, Raka menyelinap di antara trotoar dan gang-gang sempit, mencari barang-barang bekas yang bisa ia jual. Tangan kecilnya terampil memilah sampah, sementara matanya terus awas mencari botol plastik atau kardus yang bisa dikumpulkan.

“Hoi, pemulung cilik!” suara keras membuat Raka menoleh.

Tiga anak sebayanya berdiri di seberang jalan, menyeringai ke arahnya. Mereka bukan teman, hanya bocah-bocah yang selalu mengejeknya setiap kali mereka bertemu.

“Kalian mau apa?” Raka bertanya tanpa banyak ekspresi.

“Lihat tuh bajunya!” salah satu dari mereka menunjuk kaos Raka yang lusuh dan berbau sampah. “Udah kayak kain pel! Kenapa nggak sekalian aja kamu gulung di tempat sampah?”

Anak-anak itu tertawa, tetapi Raka hanya menghela napas. Ini bukan pertama kalinya ia dirundung. Jika dulu ia masih melawan, sekarang ia memilih diam.

“Dasar anak bau sampah!” seru anak yang lain sebelum mereka pergi meninggalkan Raka.

Bocah itu hanya menggelengkan kepala lalu kembali bekerja. Hidupnya memang seperti ini, dan ia sudah terbiasa.

Setelah berjam-jam berjalan dan mengumpulkan cukup banyak barang bekas, perutnya mulai keroncongan. Ia berhenti di sebuah warung kecil, melihat gorengan yang tersusun rapi di etalase.

Raka merogoh saku celananya, hanya ada beberapa keping koin yang ia dapat dari hasil penjualan kemarin.

“Bu, gorengan satu aja,” ujarnya kepada penjual warung.

Ibu pemilik warung itu, seorang wanita paruh baya dengan celemek lusuh, tersenyum dan mengambilkan satu tahu goreng untuknya.

“Kamu udah makan dari pagi, Nak?” tanyanya sambil menyerahkan gorengan itu.

“Belum, Bu, tapi nggak apa-apa. Saya udah biasa,” jawab Raka sambil tersenyum kecil.

Wanita itu menatapnya dengan iba. “Ini ambil dua lagi, ya. Makan yang cukup biar kuat kerja.”

Raka tertegun. Ia tahu uangnya hanya cukup untuk satu gorengan, tetapi wanita itu tetap menyodorkan dua tambahan.

“Tapi Bu, aku cuma bisa bayar satu…”

“Nggak apa-apa, anggap aja rezekimu hari ini,” kata si ibu dengan lembut.

Raka menundukkan kepala dalam-dalam. “Makasih, Bu.”

Tanpa menunggu lebih lama, ia segera menyantap gorengannya dengan lahap. Rasa hangat dari tahu goreng itu terasa jauh lebih dari sekadar makanan—itu adalah kebaikan yang jarang ia terima dari orang lain.

Setelah selesai makan, ia kembali menyusuri kota, menyelinap di antara tumpukan kardus dan tempat sampah di belakang pertokoan. Sore semakin mendekat, tetapi Raka ingin mengumpulkan lebih banyak sebelum pulang.

Di belakang sebuah toko roti besar, ia melihat beberapa kardus berserakan. Mata Raka berbinar. Ia berjongkok, mulai memilah kardus yang masih layak.

Namun, sesuatu di bawah salah satu kardus menarik perhatiannya. Sebuah dompet hitam, tebal, dan tampak mahal.

Jantung Raka berdegup kencang. Matanya menatap dompet itu lekat-lekat.

Tidak ada orang di sekitar. Jalanan belakang toko itu sepi, hanya suara kendaraan dari kejauhan yang terdengar samar.

Ia meraih dompet itu dengan tangan gemetar, membukanya sedikit. Tumpukan uang kertas berjejer rapi di dalamnya, bersama beberapa kartu identitas dan kartu ATM.

Pikiran-pikiran mulai berkelebat di kepalanya. Dengan uang sebanyak ini, ia bisa membeli makanan yang lebih layak untuk ibunya. Bisa membeli obat. Bisa membeli baju yang tidak penuh tambalan.

Tetapi kata-kata ibunya langsung menggema di dalam pikirannya. “Jangan pernah mengambil yang bukan milikmu, Nak.”

Raka menarik napas dalam, lalu mengatupkan dompet itu erat-erat.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Tanpa ragu, ia berdiri dan bergegas menuju bagian depan toko roti. Sementara langit mulai berubah jingga, langkah kecilnya membawa sebuah kejujuran yang akan diuji lebih berat dari yang pernah ia bayangkan.

 

Dompet Hitam di Antara Sampah

Raka berdiri di depan toko roti itu dengan dompet hitam masih tergenggam di tangannya. Di balik kaca besar toko, ia bisa melihat orang-orang duduk menikmati roti dan kopi hangat. Pakaian mereka bersih, rapi, dan beraroma wangi, berbanding terbalik dengan dirinya yang dekil dan bau sampah.

Ia menelan ludah. Tangan kecilnya sedikit gemetar, tetapi ia tetap melangkah masuk.

Seorang kasir perempuan berusia sekitar dua puluhan menatapnya dengan alis terangkat. “Mau beli apa?” tanyanya dengan nada datar.

Raka menggeleng cepat. “Aku nggak mau beli apa-apa, Kak. Aku cuma mau nanya… ada yang kehilangan dompet nggak?”

Kasir itu mengerutkan kening. “Kenapa emangnya?”

Raka mengangkat dompet hitam itu. “Aku nemu ini di belakang toko.”

Kasir itu menatapnya lama. Sorot matanya berubah sedikit curiga, seolah ia tidak percaya begitu saja dengan apa yang Raka katakan.

“Bentar,” ucapnya sebelum berbalik dan berjalan ke arah pintu kaca di belakang kasir.

Beberapa menit kemudian, seorang pria berjas rapi keluar dari ruangan itu. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya bersih, tetapi tatapan matanya tajam dan dingin. Raka bisa menebak kalau ini pasti pemilik toko.

“Jadi kamu yang nemuin dompet ini?” tanya pria itu sambil melipat tangannya di dada.

Raka mengangguk. “Iya, Pak. Aku nemu di belakang, waktu lagi ngumpulin kardus.”

Pria itu melangkah lebih dekat dan meraih dompet dari tangan Raka. Ia membukanya, memeriksa isinya, lalu mengerutkan kening. “Kenapa dompet ini bisa ada di belakang toko?”

Raka mengangkat bahu. “Aku nggak tahu, Pak. Aku cuma nemu aja.”

Pria itu menatapnya tajam, seakan sedang menilai apakah bocah di depannya ini jujur atau tidak. Seisi toko mulai memperhatikan mereka, beberapa pelanggan mulai berbisik-bisik.

“Kamu yakin nggak ngambil ini dari dalam toko?” suara pria itu lebih keras dari sebelumnya.

Raka menggeleng cepat. “Aku nggak ngambil, Pak. Aku cuma nemu di luar.”

“Jangan bohong!” suara pria itu semakin meninggi. “Kamu pemulung, kan? Aku nggak kaget kalau anak sepertimu coba-coba ambil sesuatu dari sini.”

Dada Raka langsung sesak. Orang-orang di sekitarnya mulai berbisik lebih kencang, beberapa bahkan menatapnya dengan tatapan merendahkan.

“Sumpah, Pak! Aku nemu ini di belakang! Aku cuma mau balikin,” suara Raka sedikit bergetar.

Kasir yang tadi berbicara dengannya menyelipkan tangan di pinggangnya dan menatap sinis. “Aneh aja, bocah kayak kamu bisa tiba-tiba nemu dompet penuh uang dan mau balikin. Mana ada sih?”

Raka merasa tenggorokannya kering. Matanya mulai terasa panas, tapi ia menahannya. Ia tidak boleh menangis.

Tiba-tiba, salah satu pelanggan, seorang pria berkacamata yang duduk di dekat kasir, ikut menyahut. “Kayaknya anak ini pura-pura baik aja, deh. Supaya nggak ketahuan kalo sebenernya dia yang nyolong.”

“Bener juga,” sahut pelanggan lain. “Mana mungkin dia jujur?”

Semua mata sekarang menatapnya dengan curiga. Beberapa orang mulai mengangguk-angguk, seolah tuduhan itu sudah pasti benar.

Raka menggigit bibirnya. Perasaan marah, takut, dan kecewa bercampur jadi satu. Ia hanya ingin berbuat baik, tapi malah dituduh seperti ini.

Tiba-tiba, seseorang menarik kerah kaosnya dari belakang. Seorang pegawai toko bertubuh besar menyeretnya ke samping.

“Kita panggilin polisi aja biar jelas,” kata pegawai itu dengan suara kasar.

Jantung Raka hampir berhenti. Polisi? Dia tidak melakukan apa-apa!

“Lepasin aku! Aku nggak salah!” serunya, berusaha melepaskan diri.

“Anak kayak kamu mana bisa dipercaya?” bentak pegawai itu.

Beberapa orang di toko mulai tertawa kecil, beberapa lainnya hanya menonton tanpa peduli. Raka ingin berteriak lebih kencang, ingin menjelaskan lebih banyak, tapi suara mereka jauh lebih kuat.

Lalu, tiba-tiba—

“Lepasin anakku!”

Suara itu membuat semua orang terdiam.

Seorang wanita dengan tubuh kurus dan wajah lelah berdiri di ambang pintu toko. Napasnya tersengal-sengal, keringat membasahi dahinya, tapi tatapannya penuh keberanian.

Itu ibunya.

Dengan langkah tertatih, ia berjalan ke arah Raka, lalu berdiri di antara anaknya dan orang-orang yang menuduhnya.

“Anakku nggak pernah diajarin mencuri!” suara ibunya bergetar, tapi nadanya tegas. “Kalian menilai dia cuma karena dia pemulung? Apa salahnya dia menemukan dompet dan mau balikin?”

Semua orang terdiam.

Ibunya melirik pria pemilik toko dengan tajam. “Apa kamu lihat sendiri dia nyolong? Apa ada buktinya?”

Pria itu terdiam. Mulutnya sedikit terbuka, tetapi tidak ada jawaban yang keluar.

Seisi toko mulai merasa ragu. Tatapan mereka yang tadinya tajam kini berubah lebih bimbang.

Raka masih berdiri kaku di tempatnya, tetapi hatinya sedikit lebih tenang. Ibunya datang, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa tidak sendirian.

Namun, semua ini belum selesai.

Mereka masih harus membuktikan bahwa ia memang tidak bersalah.

 

Fitnah di Toko Roti

Suasana di dalam toko roti masih tegang. Ibunya berdiri tegak di depan Raka, melindungi anaknya dari tatapan penuh tuduhan. Wajahnya yang letih dan tubuhnya yang kurus tidak mengurangi ketegasan dalam suaranya.

Pemilik toko masih terdiam. Beberapa pelanggan mulai terlihat tidak nyaman, mungkin menyadari bahwa mereka baru saja ikut menuduh seorang anak kecil tanpa bukti apa pun.

Tapi pegawai toko yang tadi menyeret Raka tidak terlihat ragu sedikit pun. “Bu, anak ibu ini jelas-jelas mencurigakan! Mana ada pemulung tiba-tiba nemuin dompet tebel penuh duit terus balikin?”

Ibunya menatap tajam. “Jadi kamu bilang anakku bohong?”

Pegawai itu berkacak pinggang. “Ya iyalah! Mana ada maling yang ngaku?”

Raka mengepalkan tangannya, menahan marah. Kenapa mereka tidak mau percaya? Kenapa kejujuran malah dianggap sebagai kebohongan?

Ibunya menarik napas dalam, menahan emosinya. “Kalau kamu bilang anakku nyuri, mana buktinya?”

Pegawai itu membuka mulut, tapi tidak ada jawaban. Beberapa pelanggan yang tadi ikut menuduh mulai saling pandang. Tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar melihat Raka mencuri.

Pemilik toko akhirnya berdehem. “Sudahlah, kita panggil polisi saja biar jelas.”

Dada Raka langsung sesak. Polisi? Ia tidak melakukan apa-apa!

Ibunya juga terlihat tegang, tapi ia tidak mundur. “Baik, panggil saja. Aku mau lihat siapa yang sebenarnya salah di sini.”

Beberapa pegawai mulai sibuk menelepon. Orang-orang masih menonton dengan tatapan penuh penilaian. Raka menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tapi apa gunanya? Mereka sudah terlanjur menganggapnya bersalah.

Lima belas menit kemudian, seorang polisi datang. Seorang pria bertubuh besar dengan seragam biru tua melangkah masuk dengan tatapan serius.

“Apa yang terjadi di sini?” tanyanya dengan suara berat.

Pemilik toko segera maju. “Pak, anak ini pemulung. Dia nemuin dompet saya di belakang toko, tapi saya curiga dia yang nyuri.”

Polisi itu menatap Raka, lalu ke arah ibunya yang masih berdiri tegap. “Ada bukti?”

Pemilik toko sedikit terdiam, lalu menoleh ke arah pegawainya. “Kamera CCTV di belakang toko ada, kan?”

Raka langsung menahan napas. Jika ada CCTV, maka segalanya akan jelas!

Pegawai itu menggaruk kepalanya. “Ehh… yang di belakang toko rusak dari minggu lalu, Pak.”

Beberapa orang mulai berbisik lagi. Polisi itu menatap pemilik toko. “Jadi, nggak ada bukti kalau anak ini mencuri?”

Pemilik toko terlihat ragu. “Tapi… mana mungkin pemulung jujur, Pak?”

Polisi itu langsung mengangkat tangan, menyela ucapan pria itu. “Jangan asal menilai orang dari pekerjaannya.”

Suasana semakin hening.

Lalu, seorang pelanggan yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara. Seorang pria berusia sekitar lima puluhan, berpakaian rapi dengan jam tangan mahal di pergelangannya.

“Maaf, saya rasa saya tahu siapa pemilik dompet itu.”

Semua kepala langsung menoleh ke arahnya.

Pria itu melangkah maju, mengambil dompet dari tangan pemilik toko, lalu membukanya. Setelah beberapa detik, wajahnya berubah.

“Ini dompet saya,” katanya, terdengar sedikit terkejut.

Raka terbelalak. Semua orang di toko juga terkejut.

Pemilik toko terlihat panik. “T-tunggu… maksud Bapak…?”

Pria itu menatap Raka, lalu ke arah ibunya. “Saya ingat, tadi saya berdiri di depan toko ini sebentar untuk mengangkat telepon. Mungkin dompet saya jatuh tanpa saya sadari.”

Tatapan pria itu berubah lembut saat melihat Raka. “Jadi kamu yang nemuin ini?”

Raka mengangguk perlahan. “Iya, Pak… Aku nemu di belakang waktu lagi cari kardus.”

Pria itu tersenyum kecil. “Dan kamu langsung mau balikin?”

Raka mengangguk lagi.

Senyum pria itu semakin lebar. “Kamu anak baik.”

Seisi toko langsung menjadi sunyi. Semua yang tadi menuduhnya kini terlihat malu.

Pemilik toko menelan ludah. “Jadi… jadi dia nggak nyuri?”

Pria itu menggeleng. “Jelas tidak.”

Kasir yang tadi memandang Raka dengan sinis langsung menundukkan kepala. Pegawai yang menyeretnya tampak canggung. Pelanggan yang tadi ikut menuduh hanya bisa diam.

Polisi itu menghela napas, lalu menatap pemilik toko dengan tajam. “Kalian hampir menuduh anak kecil tanpa bukti.”

Pemilik toko membuka mulut, ingin membela diri, tapi tidak ada satu pun kata yang keluar.

Sementara itu, pria pemilik dompet itu berjongkok di depan Raka, menatapnya dengan penuh penghargaan.

“Kamu udah nolong saya,” katanya sambil merogoh dompetnya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dan menyodorkannya pada Raka. “Ini sebagai ucapan terima kasih.”

Raka langsung menggeleng cepat. “Nggak usah, Pak. Aku nggak mau apa-apa.”

Pria itu mengerutkan kening. “Kenapa?”

Ibunya tersenyum kecil dan menyentuh bahu Raka. “Anakku cuma diajarin buat selalu jujur, Pak. Bukan buat dapat hadiah.”

Pria itu menatap mereka lama, lalu tersenyum. Ia menarik kembali uangnya, tapi kemudian menoleh ke pemilik toko.

“Saya rasa toko ini harus lebih berhati-hati dalam menilai orang.”

Pemilik toko tidak bisa berkata apa-apa.

Raka dan ibunya kemudian melangkah keluar dari toko roti itu. Langit di luar sudah mulai gelap, tetapi hatinya terasa jauh lebih ringan.

Hari ini, kejujurannya memang sempat diuji. Ia sempat dihina, dirundung, bahkan hampir dipenjara. Tapi akhirnya, kebenaran tetap menemukan jalannya.

Yang membuatnya lebih lega adalah ibunya. Wanita itu tetap berdiri di sampingnya, membelanya sampai akhir.

Dan bagi Raka, itu lebih berharga dari apa pun.

 

Cahaya di Ujung Jalan

Langkah Raka dan ibunya meninggalkan toko roti terasa ringan, meskipun tubuh mereka masih lelah setelah seharian memulung. Jalanan mulai redup, lampu-lampu jalan perlahan menyala, dan udara sore terasa lebih sejuk daripada biasanya.

“Ibu, tadi aku takut banget…” suara Raka lirih, nyaris tak terdengar.

Ibunya meremas tangannya lembut. “Ibu tahu, Nak. Tapi kamu nggak sendiri.”

Raka menatap ibunya dengan mata berbinar. “Kalau Ibu nggak datang, aku nggak tahu gimana jadinya…”

Ibunya tersenyum kecil. “Ibu juga nggak akan biarin siapa pun ngeremehin anak Ibu. Kamu udah jujur, itu yang paling penting.”

Mereka berjalan melewati gang kecil menuju rumah kontrakan mereka yang sederhana. Di ujung jalan, beberapa anak sebaya Raka yang sering mengejeknya sebagai “anak pemulung bau sampah” terlihat sedang bermain bola.

Salah satu dari mereka, Andi, yang paling sering mengejeknya, menyeberang jalan dan menatap Raka dengan penuh rasa ingin tahu.

“Eh, Raka… beneran tadi lo hampir ditangkep polisi?” tanyanya sambil menyeringai.

Raka menghela napas. Ia sudah bisa menebak kalau kabar kejadian tadi pasti sudah menyebar.

“Iya,” jawabnya santai.

Andi terkekeh. “Makanya, jadi pemulung tuh susah, kan? Orang gampang curiga!”

Beberapa anak lain tertawa kecil. Tapi kali ini, Raka tidak merasa tersinggung. Ia hanya menatap mereka dengan senyum tipis.

“Justru aku bersyukur,” katanya tenang.

Andi mengerutkan kening. “Bersyukur? Dituduh maling?”

Raka mengangguk. “Aku bersyukur karena aku tetap jujur, meskipun nggak ada yang percaya. Dan yang paling penting, kebenaran akhirnya ketahuan.”

Anak-anak lain terdiam. Andi, yang biasanya selalu punya jawaban untuk mengejek Raka, kali ini hanya melipat tangan di dada, tampak tidak puas.

“Ah, sok bijak banget sih,” gumamnya sebelum kembali ke teman-temannya.

Raka hanya tertawa kecil dan melanjutkan langkahnya.

Saat mereka sampai di depan kontrakan, seseorang tiba-tiba memanggil.

“Dik, tunggu sebentar.”

Raka menoleh dan melihat pria berkacamata pemilik dompet tadi berjalan ke arahnya.

Pria itu tersenyum ramah. “Kamu masih ingat saya, kan?”

Raka mengangguk. “Iya, Pak. Ada apa?”

Pria itu menepuk bahu Raka dengan lembut. “Saya sudah cerita soal kamu ke teman saya. Dia punya usaha pengolahan barang bekas, dan dia butuh tenaga buat memilah barang-barang yang masih layak dijual.”

Ibunya dan Raka saling pandang, bingung.

Pria itu melanjutkan, “Kalau kamu mau, kamu dan ibumu bisa kerja di sana. Tempatnya lebih bersih, gajinya juga cukup untuk biaya hidup kalian.”

Raka terbelalak. “B-beneran, Pak?”

Pria itu mengangguk. “Tentu saja. Kamu sudah melakukan hal baik, dan saya percaya orang baik pantas dapat kesempatan yang lebih baik juga.”

Mata ibunya berkaca-kaca. “Terima kasih banyak, Pak… Kami benar-benar bersyukur…”

Pria itu tersenyum. “Saya yang harus berterima kasih. Dunia butuh lebih banyak orang jujur seperti kalian.”

Malam itu, saat Raka berbaring di atas kasur tipisnya, ia menatap langit-langit rumahnya yang sederhana dengan hati penuh harapan.

Hari ini ia belajar bahwa kejujuran memang tidak selalu dihargai sejak awal. Akan ada orang yang meragukan, menertawakan, bahkan menuduh tanpa bukti.

Tapi selama ia tetap percaya pada kebaikan dan tidak goyah, kebenaran akan selalu menemukan jalannya.

Dan mungkin, hanya mungkin—ini adalah awal dari kehidupan yang lebih baik.

 

Hidup Raka berubah gara-gara satu keputusan kecil: memilih buat tetap jujur meski nggak ada yang percaya. Dari yang hampir masuk sel polisi, sampai akhirnya dapet kesempatan buat hidup lebih baik. Bukti kalau kejujuran itu emang mahal, tapi selalu punya tempat di hati orang-orang yang tepat. Jadi, masih ragu buat jadi orang baik?

Leave a Reply