Daftar Isi [hide]
Pemuda Pemberani
API DI JALANAN
Di sudut kota yang lebih akrab dengan suara deru knalpot ketimbang nyanyian burung, dua geng pemuda menguasai jalanan malam. Guntur Hitam dan Serigala Timur—dua nama yang sudah terpatri di tembok-tembok kumuh, berisi coretan tanda wilayah kekuasaan mereka.
Tak ada yang ingat bagaimana perseteruan ini dimulai. Ada yang bilang ini soal dendam lama. Ada juga yang percaya ini cuma soal harga diri, siapa yang lebih layak disebut penguasa jalanan. Tapi yang jelas, setiap malam yang sunyi selalu saja ada pertarungan, selalu ada amarah yang mencari tempat untuk dilepaskan.
Di bawah jembatan layang yang kumuh, udara malam terasa lebih berat. Puluhan pemuda berdiri berhadapan, mata mereka tajam, tangan mereka menggenggam erat senjata seadanya. Ada yang membawa rantai, ada yang hanya mengandalkan kepalan tangan.
Jati berdiri di tengah-tengah barisan Guntur Hitam. Meski dia bukan pemimpin, setiap orang di geng ini tahu kalau dia bukan tipe yang bakal mundur.
“Udah capek, belum?” tanya Damar dari seberang. Pemimpin Serigala Timur itu melipat tangan di dada, wajahnya datar tapi sorot matanya penuh tantangan.
Reksa, ketua Guntur Hitam, meludah ke tanah. “Ngomong kayak gitu seakan kamu sendiri nggak nungguin momen ini.”
Damar tertawa kecil. “Ya jelas gue nunggu. Udah terlalu lama kita nggak ngajarin kalian pelajaran.”
Beberapa anggota di belakangnya tertawa, sama seperti anak-anak di belakang Reksa. Ketegangan semakin naik, napas mereka berat, siap untuk melesat kapan saja.
Jati menarik napas. Dia tahu, perkelahian ini cuma satu dari sekian banyak yang pernah terjadi. Hasilnya nggak pernah benar-benar berarti. Mau siapa yang menang atau kalah, besok atau lusa mereka bakal bertemu lagi, dengan alasan yang sama, dengan amarah yang sama.
“Udahlah,” kata Jati, suaranya cukup keras untuk didengar semua orang di sana. “Kalian nggak bosen?”
Beberapa orang melirik ke arahnya, bingung. Bahkan Reksa menatapnya dengan alis terangkat.
“Apa maksudmu, Jat?” Reksa bertanya.
Jati melangkah sedikit ke depan, menatap satu per satu wajah di hadapannya. “Ini semua buat apa sih? Setiap malam kita ketemu, saling hajar, terus besoknya balik lagi. Emang ada gunanya?”
Damar menyipitkan mata. “Kamu baru sadar sekarang?”
“Bukan. Gue cuma mulai mikir, kita ini berantem buat sesuatu yang nggak jelas. Geng ini nggak bikin kita lebih kuat, nggak bikin hidup kita lebih baik. Kita cuma anak-anak yang terlalu sibuk nyari musuh buat ngerasa berharga.”
Hening. Beberapa orang terlihat saling pandang, ada yang mengerutkan dahi. Tapi tak semua orang senang mendengar omongan itu.
“Jangan sok filosofis, Jat,” ujar Reksa sambil mendekat. “Jangan bilang kamu mau berhenti dari semua ini?”
Jati menatap pemimpin gengnya itu. “Kalau ini cuma jadi alasan buat kita numpahin emosi tanpa tujuan, ya, mungkin iya.”
Damar tertawa pendek. “Kamu kira ngomong gitu bisa langsung bikin kita semua bubar?”
“Enggak,” kata Jati. “Tapi setidaknya kalian harus mikir. Kita punya adik, punya orang tua, punya hidup yang lebih besar dari sekadar ini.”
Beberapa orang mulai terlihat ragu, tapi Reksa dan Damar masih berdiri tegap.
“Berarti kamu udah nggak ada di pihak kami,” ujar Reksa pelan, tapi penuh tekanan.
“Jangan lebay,” Jati mendengus. “Gue nggak belain siapa pun di sini. Gue cuma muak.”
Ketegangan masih menggantung di udara. Mata-mata tajam masih saling menantang, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Bukan sekadar amarah atau kebencian, tapi kebingungan.
Tapi sebelum siapa pun bisa bereaksi lebih jauh, suara motor meraung dari kejauhan. Cepat, brutal, dan jumlahnya banyak.
Semua kepala langsung menoleh ke arah jalan raya. Lampu motor-motor itu mendekat, sorotnya menyapu wajah-wajah yang tadi siap bertarung.
Jati merasakan bulu kuduknya berdiri.
Malam ini, ada ancaman lain yang lebih besar dari perkelahian mereka sendiri.
PEMUDA YANG BERDIRI DI GARIS DEPAN
Suara deru motor makin mendekat, menggetarkan tanah di bawah jembatan layang. Dari balik gelap, belasan pengendara muncul, mengenakan jaket hitam dengan logo petir menyambar di punggung mereka.
Jati menggeretakkan giginya. Petir Selatan.
Mereka bukan geng sembarangan. Mereka bukan sekadar bocah jalanan yang butuh pengakuan, tapi predator yang mencari wilayah baru. Guntur Hitam dan Serigala Timur bisa bertarung tiap malam, tapi mereka tahu batas. Petir Selatan? Mereka nggak punya batas.
Motor-motor itu berhenti dalam setengah lingkaran, mengepung dua geng yang tadi hendak saling menghajar. Seorang pria turun dari motornya—tinggi, badan kekar, dan bekas luka panjang melintang di dahinya.
Gilang. Pemimpin mereka.
“Seru banget, ya?” suaranya berat, seperti batu yang saling bergesek. “Dua geng kecil sibuk berantem sendiri, sampe lupa kalau ada yang lebih kuat dari mereka.”
Reksa melangkah maju. “Maksud lo apa, Lang?”
Gilang tersenyum miring. “Wilayah ini, mulai sekarang, punya kami.”
Damar tertawa sinis. “Lo pikir kita bakal ngasih gitu aja?”
“Kalau nggak mau kasih, ya, kita ambil,” jawab Gilang enteng. Beberapa anak buahnya tertawa, suara mereka penuh ejekan.
Jati bisa merasakan bagaimana suasana berubah dalam sekejap. Yang tadi musuh, kini berdiri di sisi yang sama.
Gilang melangkah lebih dekat, pandangannya menyapu semua orang di sana. “Kita bisa ngelakuin ini dengan dua cara. Satu, lo semua pergi, biar kita yang urus tempat ini. Dua, lo semua berakhir di aspal.”
Reksa mengepalkan tangan, sementara Damar menyeringai tipis. Jelas, pilihan pertama nggak ada di dalam kepala mereka.
“Kalian nggak tahu tempat ini,” kata Jati akhirnya, suaranya terdengar lebih tegas daripada yang dia sadari. “Jalanan ini bukan punya kalian, bukan punya kami juga. Tapi ini rumah.”
Gilang menatapnya, lalu terkekeh. “Oh, jadi ada pahlawan di sini? Dengar, Nak—di jalanan, yang kuat yang berkuasa. Dan gue nggak liat lo kuat.”
Jati nggak mengalihkan pandangan. Dia tahu, sekali saja dia terlihat ragu, mereka akan kehilangan segalanya.
Reksa mendekat, berdiri di sisi Jati. “Kalau lo mau wilayah ini, lo harus ngelewatin kita.”
Damar melangkah ke depan, berdiri sejajar. “Dan percaya sama gue, Lang… lo bakal nyesel kalau maksain kehendak lo.”
Suasana makin panas. Orang-orang dari kedua geng mulai mengencangkan pegangan mereka di senjata seadanya. Jati bisa mendengar suara napas berat, bisa melihat sorot mata yang dipenuhi tekad.
Gilang mengangguk-angguk pelan, lalu menghela napas panjang. “Baiklah,” katanya akhirnya, sebelum mengangkat tangannya dan menjentikkan jari.
Itu adalah aba-aba.
Dalam sekejap, anggota Petir Selatan menerjang. Ada yang menarik rantai dari pinggangnya, ada yang mengayunkan tongkat kayu.
Jati langsung bergerak. Dia menghindari pukulan pertama, lalu membalas dengan tendangan ke perut lawannya. Seorang anak buah Gilang mengayunkan tongkat ke arahnya, tapi dia menangkapnya tepat waktu dan menarik lawannya ke depan, membuatnya kehilangan keseimbangan.
Damar bertarung di sisi lain, melawan dua orang sekaligus. Reksa menghantam wajah lawannya dengan kepalan keras.
Suara benturan memenuhi udara. Jeritan, teriakan, napas terengah-engah.
Jati merasa adrenalinnya memuncak. Ini bukan pertarungan geng biasa—ini adalah pertarungan untuk bertahan.
Dan mereka harus menang.
MUSUH YANG SESUNGGUHNYA
Pertarungan pecah seperti api yang menyambar bensin. Di bawah cahaya lampu jalan yang remang, tubuh-tubuh berayun, tinju-tinju menghantam, dan suara besi bertemu daging menggema di udara.
Jati merunduk, menghindari pukulan lawannya, lalu menghantam balik dengan siku ke rahang. Orang itu terhuyung, tapi sebelum bisa jatuh, Jati menarik kerah jaketnya dan melemparkannya ke tanah.
Di sisi lain, Reksa bertarung melawan dua orang sekaligus. Dia menghindari ayunan rantai, lalu melompat ke belakang sambil mengumpat. Sementara itu, Damar menendang satu lawan hingga terjatuh, lalu tanpa ragu, mengayunkan tongkat kayunya ke arah yang lain.
Tapi mereka kalah jumlah.
Petir Selatan datang dengan persiapan. Setiap kali satu dari mereka tumbang, dua lainnya sudah siap menyerang. Jati tahu, mereka harus menemukan celah untuk membalikkan keadaan, dan cepat.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang menghantam punggungnya dari belakang. Jati tersentak, tubuhnya terhempas ke tanah berdebu. Sebuah rantai melilit lengannya, ditarik kuat-kuat hingga dia kesulitan bergerak.
“Dapat kau!” suara tawa kasar terdengar dari atasnya.
Jati mendongak, melihat salah satu anak buah Gilang mencengkeram rantai itu dengan senyum penuh kemenangan. Jati mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman itu terlalu kuat.
Sebelum si penyerang bisa melakukan sesuatu yang lebih buruk, sebuah batu melayang dan menghantam kepalanya. Orang itu tersentak, kehilangan keseimbangan, dan Jati memanfaatkan momen itu untuk menarik rantai dari genggamannya lalu membalas dengan pukulan ke dagunya.
Dia menoleh ke arah datangnya batu itu—ternyata salah satu anak Serigala Timur yang melempar.
Jati tersenyum tipis. Mereka benar-benar sedang bertarung di sisi yang sama.
Di tengah kekacauan, Gilang masih berdiri tegap, mengawasi segalanya. Dia terlihat santai, seolah yakin bahwa ini hanya soal waktu sebelum gengnya menang.
Jati merasakan darahnya mendidih. Dia tak akan membiarkan itu terjadi.
“Reksa! Damar!” teriaknya, memastikan suara mereka terdengar di atas kegaduhan.
Kedua pemimpin geng itu menoleh, wajah mereka penuh keringat dan darah.
“Kita harus tumbangkan Gilang!” seru Jati. “Kalau dia jatuh, mereka goyah!”
Damar menyeringai. “Setuju.”
Reksa meludah ke tanah. “Ayo kita ajarin dia siapa penguasa di sini.”
Tanpa buang waktu, mereka bertiga maju, menerobos kerumunan musuh yang menghalangi jalan mereka. Jati menubruk seseorang, membuatnya terjatuh, sementara Damar dengan cepat menghantam lawan yang mencoba menghalangi jalannya.
Gilang melihat mereka mendekat, dan untuk pertama kalinya, ekspresi santainya memudar.
“Kalian mau coba-coba?” katanya, suara rendahnya penuh tantangan.
Jati tak menjawab. Dia langsung menerjang.
Gilang menghindari pukulan pertama dengan gesit, lalu membalas dengan ayunan keras ke arah Jati. Jati berhasil mengelak, tapi telat setengah detik—siku Gilang menghantam perutnya, membuatnya tersentak ke belakang.
Damar langsung masuk, mencoba menendang kaki Gilang, tapi pemimpin Petir Selatan itu melompat mundur dengan kecepatan yang mengejutkan.
Reksa tak menunggu giliran. Dia melesat ke depan, melayangkan tinju ke wajah Gilang. Kali ini pukulannya masuk telak. Gilang terhuyung ke belakang, wajahnya menyeringai menahan sakit.
Tapi dia bukan orang sembarangan. Dalam satu gerakan cepat, dia merogoh kantong jaketnya dan menarik sesuatu yang berkilat di bawah cahaya.
Sebuah pisau lipat.
Semua orang yang melihatnya langsung membeku.
“Kalian pikir bisa menang?” Gilang mendesis, matanya liar. “Gue nggak main-main.”
Jati merasakan jantungnya berdetak kencang. Ini sudah kelewatan.
Perkelahian geng itu satu hal—mereka saling pukul, saling tendang, tapi mereka punya batas. Pisau? Itu bukan lagi soal harga diri. Itu bisa jadi pembunuhan.
Gilang melangkah maju, pisau di tangannya berkilat. Reksa dan Damar langsung bersiap.
Jati tahu, ini adalah saat yang menentukan.
Jika mereka gagal, malam ini bisa jadi akhir bagi mereka semua.
BARA YANG MEREDA
Mata Gilang berkilat liar di bawah cahaya jalanan. Pisau lipat di tangannya mencerminkan niatnya yang jelas—ini bukan lagi soal perkelahian biasa, ini bisa berakhir dengan nyawa melayang.
Jati, Reksa, dan Damar berdiri tegak, menatapnya tanpa mundur sedikit pun.
“Kalian siap mati?” suara Gilang rendah, tapi tajam.
Jati mengepalkan tangan, tapi sebelum dia bisa melangkah, Damar berbisik, “Kita harus buat dia kehilangan kendali.”
Jati mengerti maksudnya. Jika Gilang bertindak gegabah, mereka bisa memanfaatkan celahnya.
Reksa mengambil langkah pertama. “Pisau? Serius? Lo takut kalah sampai harus bawa senjata?”
Gilang mendengus, tapi ada sedikit ketegangan di matanya. “Ini bukan takut. Ini namanya memastikan.”
Damar menyeringai. “Pastikan apa? Kalau lo nggak cukup jantan buat bertarung pakai tangan kosong?”
Anak buah Gilang mulai saling pandang, beberapa dari mereka ragu. Ini bukan cara mereka biasa menyelesaikan sesuatu.
Jati melihat itu. Ini kesempatannya.
“Kalau lo beneran penguasa jalanan, lo nggak butuh itu,” katanya, suaranya mantap.
Gilang menegang. Beberapa detik dia hanya diam, lalu—dengan gerakan cepat—dia mengayunkan pisaunya ke arah Jati.
Jati mundur tepat waktu, tapi ujung pisau itu masih sempat menggores lengannya. Dia merasakan perih yang tajam, tapi tak berhenti.
Sebelum Gilang bisa menyerang lagi, Reksa dan Damar langsung menerjang.
Damar menangkap pergelangan tangan Gilang yang memegang pisau, menahannya sekuat tenaga. Reksa menghantam perut Gilang dengan pukulan keras, membuatnya tersentak mundur.
Jati tak membuang waktu. Dengan sisa tenaga, dia melayangkan pukulan telak ke rahang Gilang.
Pria itu jatuh ke tanah, pisau terlempar dari tangannya.
Hening.
Semua orang membeku.
Jati, Damar, dan Reksa berdiri tegap, napas mereka memburu. Anak buah Gilang melihat pemimpin mereka yang kini terduduk di tanah, wajahnya penuh kemarahan dan… kekalahan.
Tak ada yang berbicara. Semua hanya menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Gilang menggeram, lalu memukul tanah dengan kepalan tangannya. “Sialan!”
Dia menatap Jati, Damar, dan Reksa dengan mata penuh api, tapi dia tahu dia sudah kalah.
Pelan, dia berdiri, menatap anak buahnya. “Kita pergi.”
Satu per satu, geng Petir Selatan menaiki motor mereka. Gilang naik terakhir, masih menatap tajam ke arah mereka bertiga sebelum akhirnya menyalakan mesin dan pergi bersama anak buahnya.
Begitu suara motor mereka menghilang, ketegangan di udara mulai mereda.
Jati menghela napas panjang. Luka di lengannya masih berdarah, tapi dia tak peduli.
Damar tertawa kecil, meski napasnya masih berat. “Gila. Gue pikir kita bakal mati tadi.”
Reksa menyeringai. “Hampir aja.”
Jati menoleh ke arah anggota Guntur Hitam dan Serigala Timur yang masih berdiri di tempat mereka. Malam ini, mereka bertarung di sisi yang sama.
“Apa ini berarti kita udah nggak musuhan?” tanya salah satu anak Serigala Timur.
Tak ada yang langsung menjawab. Tapi Jati bisa merasakan sesuatu berubah.
Reksa dan Damar bertukar pandang, lalu Damar mengangkat bahu. “Gue nggak tahu, tapi buat pertama kalinya… kita nggak kelihatan kayak orang bodoh.”
Jati tersenyum tipis. “Mungkin kita bisa mulai mikir… ada hal yang lebih penting dari sekadar geng.”
Tak ada jawaban, tapi malam itu, di bawah jembatan layang yang biasanya penuh perkelahian, tak ada yang merasa sebagai musuh lagi.
Dan untuk pertama kalinya, bara yang selalu menyala di jalanan itu mulai mereda.
Itulah kisah “Pemuda Pemberani”, sebuah cerita tentang keberanian, persahabatan, dan pertarungan yang lebih dari sekadar geng jalanan. Di tengah kerasnya dunia mereka, ada pelajaran penting tentang harga diri, batasan, dan arti sebenarnya dari kekuatan.
Pada akhirnya, bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang bisa berdiri tegak tanpa kehilangan jati diri. Jadi, gimana menurut kamu? Seru, tegang, atau malah bikin penasaran? Jangan lupa share pendapatmu, ya! Siapa tahu, ada cerita lain yang juga layak buat dikupas lebih dalam.