Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu merasa kalau belajar itu cuma soal duduk diam, baca buku, terus dipaksa ngapalin rumus dan tanggal sejarah yang rasanya nggak ada gunanya di dunia nyata? Kalau iya, kamu nggak sendirian! Tapi, gimana kalau ada cara belajar yang seru, bikin penasaran, dan beneran bikin kita paham tanpa harus stres?
Di cerpen “Pembelajaran yang Kuinginkan,” kita diajak buat ngerasain gimana sekolah bisa jadi tempat yang menyenangkan, penuh eksplorasi, dan jauh dari kata membosankan. Dari belajar matematika di kebun apel sampai memahami sejarah langsung dari alam, cerpen ini ngajak kita buat mikir—sekolah seharusnya kayak gini! Yuk, simak kisah inspiratifnya yang bisa bikin kamu ngeliat dunia pendidikan dari sudut pandang yang berbeda!
Pembelajaran yang Kuinginkan
Sekolah yang Hidup, Bukan Sekadar Gedung
Sekolah Lentera Bangsa bukan sekolah biasa. Bangunannya sederhana, berdinding kayu dengan atap yang masih memakai anyaman rumbia di beberapa bagian. Namun, tidak ada yang peduli pada tampilan luarnya, karena semua yang ada di dalamnya jauh lebih bernilai. Anak-anak datang bukan dengan wajah muram atau terbebani, melainkan dengan mata berbinar penuh antusias.
Di halaman sekolah, suara tawa dan canda terdengar riuh. Murid-murid bermain sebelum bel masuk berbunyi, beberapa sibuk memanjat pohon jambu di sudut halaman, sementara yang lain berlarian ke sana kemari. Tidak ada yang takut terlambat masuk kelas, karena di sini, belajar bukan tentang jam pelajaran yang kaku, melainkan tentang semangat mencari tahu.
Pak Ramanda, guru yang paling dihormati di sekolah itu, berjalan melintasi halaman dengan tangan di belakang punggung. Ia memperhatikan murid-muridnya dengan senyum kecil. Sosoknya tidak terlalu tua, tapi rambutnya sudah dihiasi beberapa helai uban. Meski begitu, matanya tetap tajam, penuh dengan rasa ingin berbagi ilmu.
Di antara riuhnya suasana, seorang anak perempuan duduk sendirian di bawah pohon beringin tua. Ia tidak ikut bermain seperti yang lain. Nayindra, begitu namanya, tengah mengamati sesuatu di tanah sambil mencoret-coret buku catatannya. Pak Ramanda menghampirinya dan jongkok di sampingnya.
“Kamu nggak ikut main?” tanyanya dengan nada lembut.
Nayindra mengangkat bahu tanpa menoleh. “Aku lagi lihat semut-semut ini, Pak. Mereka kerja sama buat bawa sepotong daun. Kecil banget, tapi kuat.”
Pak Ramanda tersenyum. “Tahu nggak? Ada pelajaran yang bisa kamu ambil dari semut-semut itu.”
“Apa?” Akhirnya Nayindra menatap gurunya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Mereka kerja keras tanpa ada yang menyuruh. Mereka saling bantu supaya bisa sampai ke tujuan. Sama kayak kita. Kalau belajar dengan hati dan saling dukung, kita pasti bisa lebih kuat.”
Nayindra terdiam, tapi matanya berbinar pelan.
Sementara itu, bel kayu sekolah dipukul tiga kali, tanda kelas akan segera dimulai. Anak-anak berlarian ke kelas dengan penuh semangat. Tidak ada yang menggerutu atau malas-malasan. Setiap hari di sekolah ini selalu menjadi petualangan baru bagi mereka.
Di dalam kelas, bangku-bangku kayu tersusun rapi. Tidak ada papan tulis elektronik atau proyektor. Hanya ada papan hitam besar di depan ruangan dengan kapur warna-warni yang selalu digunakan Pak Ramanda untuk menjelaskan sesuatu dengan gambar-gambar kreatifnya.
Saat semua murid telah duduk, Pak Ramanda berdiri di depan kelas dengan tangan bersedekap.
“Ada yang tahu kita belajar apa hari ini?” tanyanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
Elvano, anak laki-laki berambut ikal yang duduk di bangku depan, langsung mengangkat tangan. “Matematika, kan, Pak? Kemarin kan kita baru belajar perkalian!”
Pak Ramanda tersenyum penuh arti. “Benar, kita akan belajar matematika. Tapi bukan di kelas.”
Semua murid langsung heboh. Belajar di luar kelas adalah hal yang paling mereka tunggu-tunggu.
“Kita ke mana, Pak?” tanya seorang anak dengan penuh semangat.
Pak Ramanda tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke pintu kelas, kemudian menoleh sambil tersenyum. “Ayo ikut aku. Hari ini kita belajar dari alam.”
Tanpa pikir panjang, anak-anak langsung berdiri dan berlarian mengikuti guru mereka. Beberapa bahkan menahan diri untuk tidak berteriak kegirangan. Tidak ada yang membawa buku atau pensil, hanya membawa rasa penasaran yang besar.
Sementara mereka berjalan menuju kebun di belakang sekolah, Nayindra tetap berjalan di barisan paling belakang. Ia menatap punggung teman-temannya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya: bagaimana jika suatu hari sekolah ini berubah seperti sekolah-sekolah lain? Yang hanya duduk diam di kelas, menghafal tanpa memahami, dan berlomba-lomba mendapatkan angka terbaik?
Pikiran itu terus mengganggunya, tapi untuk saat ini, ia mengikuti langkah teman-temannya. Setidaknya, hari ini mereka masih bisa belajar dengan cara yang mereka inginkan.
Matematika di Kebun Apel
Anak-anak tiba di kebun di belakang sekolah dengan napas sedikit terengah karena berlari. Pohon-pohon apel yang rindang berdiri kokoh, rantingnya dipenuhi buah merah yang ranum. Aroma segar menyeruak di udara, bercampur dengan suara burung-burung yang bertengger di dahan.
Pak Ramanda berdiri di tengah kebun, menunggu semua murid berkumpul. Setelah mereka tenang, ia tersenyum dan melipat kedua tangannya di depan dada.
“Kita mulai dari satu pertanyaan,” katanya sambil menunjuk salah satu pohon apel yang paling besar. “Menurut kalian, ada berapa apel di pohon itu?”
Elvano langsung berdiri tegak. “Aku bisa hitung, Pak!”
Anak-anak lain ikut bersemangat. Beberapa mendongak ke atas, mencoba menghitung jumlah apel di antara dedaunan. Yang lain malah berbisik-bisik, menebak jumlahnya tanpa benar-benar melihat.
“Kalau aku bilang ada tiga puluh, bener nggak?” tanya seorang anak perempuan bernama Renata.
Pak Ramanda menggeleng. “Coba pastikan sendiri. Kalian boleh naik ke pohon kalau mau.”
Mata anak-anak langsung berbinar. Dua orang anak yang paling lincah, Elvano dan Arga, tanpa pikir panjang mulai memanjat. Dengan cekatan, mereka bergelantungan di dahan, menghitung apel satu per satu.
“Sini, aku hitung dari sisi sini!” seru Elvano.
“Jangan hitung dobel, ya!” timpal Arga sambil menunjuk satu per satu apel yang menggantung.
Dari bawah, Nayindra memperhatikan dengan tangan terlipat di dada. Ia tidak ikut berkerumun atau memanjat. Baginya, hitung-hitungan seperti ini tidak sulit. Tapi ada hal lain yang lebih menarik baginya—mengapa Pak Ramanda mengajarkan matematika dengan cara seperti ini?
Setelah beberapa menit, Elvano dan Arga turun dengan wajah puas. “Ada empat puluh dua apel, Pak!” seru mereka hampir bersamaan.
Pak Ramanda mengangguk puas. “Bagus. Sekarang, coba kita buat pertanyaan lain.” Ia mengeluarkan sebuah keranjang rotan dan meletakkannya di tanah. “Kalau kalian masing-masing boleh mengambil tiga apel, dan jumlah kalian ada lima belas orang, berapa apel yang tersisa di pohon?”
Beberapa anak langsung mulai menghitung dengan jari. Yang lain menggumamkan angka-angka dalam hati. Tapi ada juga yang tampak bingung.
“Kalau ada empat puluh dua apel, terus diambil tiga apel sama lima belas anak…” gumam seorang anak bernama Damar. “Berarti kita harus kaliin dulu, kan?”
“Benar!” sahut Pak Ramanda. “Coba hitung dulu hasilnya.”
“Umm…” Damar mengerutkan dahi. “Lima belas kali tiga… empat puluh lima?”
“Lebih banyak dari apel yang ada!” seru Renata.
Pak Ramanda tertawa kecil. “Itu artinya apa?”
“Artinya…” Nayindra akhirnya buka suara. “Nggak cukup buat semua orang kalau masing-masing ngambil tiga.”
Pak Ramanda mengangguk bangga. “Benar sekali! Matematika bukan cuma angka di papan tulis, tapi juga logika dalam kehidupan sehari-hari. Kalian tadi nggak cuma menghitung, tapi juga berpikir bagaimana membagi sesuatu dengan adil.”
Anak-anak saling berpandangan, sebagian dari mereka baru menyadari hal itu.
Pak Ramanda kemudian membagi apel dengan aturan baru—setiap anak hanya boleh mengambil dua. Mereka pun berbaris, mengambil apel satu per satu, dan mengunyahnya dengan penuh kepuasan.
Saat anak-anak menikmati apel mereka, Nayindra duduk di bawah pohon, menggigit apelnya pelan. Pikirannya masih bergelayut tentang pelajaran tadi.
Jika semua sekolah mengajar seperti ini, mungkin tidak akan ada anak yang takut pada pelajaran. Tidak ada anak yang stres karena angka-angka di rapor. Semuanya akan menikmati belajar seperti ini—ringan, tapi penuh makna.
Tapi apakah mungkin? Apakah di luar sana, sekolah-sekolah lain bisa berubah seperti ini?
Ia tidak tahu jawabannya. Tapi untuk saat ini, ia menikmati momen di bawah pohon apel, bersama teman-temannya yang tertawa riang.
Belajar dari Alam dan Sejarah
Setelah selesai makan apel, anak-anak masih duduk di bawah pohon dengan perut kenyang dan wajah puas. Beberapa dari mereka bersenda gurau, sementara yang lain mengamati serangga yang merayap di tanah.
Pak Ramanda menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berkata, “Kita sudah belajar matematika dengan cara yang berbeda. Sekarang, kita lanjut ke pelajaran berikutnya.”
“Pelajaran apa, Pak?” tanya Elvano dengan mata berbinar.
“Sejarah,” jawab Pak Ramanda sambil tersenyum.
Keluhan kecil terdengar di antara anak-anak. Sejarah bukan pelajaran yang mereka anggap menarik. Biasanya, sejarah hanya diisi dengan hafalan nama tokoh dan tanggal kejadian yang sulit diingat.
Nayindra, yang sejak tadi lebih banyak diam, hanya menghela napas pelan. Ia suka sejarah, tapi cara sejarah diajarkan sering kali terasa membosankan.
Namun, Pak Ramanda sudah punya rencana lain.
“Kalian lihat sungai kecil di sana?” tanyanya sambil menunjuk ke arah aliran air jernih yang mengalir di balik kebun apel.
Anak-anak menoleh. Sungai itu bukan sesuatu yang baru bagi mereka, tapi mereka tidak mengerti apa hubungannya dengan sejarah.
“Kita ke sana, yuk!” ajak Pak Ramanda sambil melangkah lebih dulu.
Tanpa banyak protes, anak-anak mengikuti. Mereka berjalan di atas rerumputan, melompati beberapa batu, hingga akhirnya tiba di tepi sungai. Airnya jernih, memantulkan sinar matahari yang hangat.
Pak Ramanda duduk di atas batu besar di pinggir sungai. Ia mengambil segenggam pasir basah dan membiarkannya mengalir di sela-sela jarinya.
“Kalian tahu nggak, sungai ini sudah ada sejak sebelum kita lahir,” katanya perlahan. “Bahkan sebelum sekolah kita berdiri.”
Anak-anak mengangguk. Tentu saja mereka tahu itu.
“Tapi, tahukah kalian kalau sungai ini menyimpan banyak cerita?” lanjutnya. “Dulu, sebelum ada jalanan beraspal, sungai ini adalah jalur utama buat para pedagang di desa kita. Mereka mengangkut hasil panen dengan rakit, mengalirkan dagangan sampai ke desa-desa lain.”
Mata Nayindra mulai berbinar. Ini pertama kalinya ia mendengar cerita itu.
“Dulu, di sekitar sini juga ada benteng kecil yang dibuat warga untuk berjaga dari serangan perompak sungai,” lanjut Pak Ramanda. “Nenek moyang kita tidak hanya bertani, mereka juga pejuang. Mereka melindungi desa ini dengan keberanian, dan itu bagian dari sejarah kita yang nggak boleh dilupakan.”
Anak-anak mulai membayangkan kehidupan masa lalu di desa mereka. Bagaimana rakit-rakit kayu meluncur di atas sungai, bagaimana para petani berdagang, dan bagaimana pejuang desa menjaga tanah mereka.
“Sejarah itu bukan cuma hafalan,” kata Pak Ramanda. “Sejarah adalah cerita yang harus kita ingat dan pelajari supaya kita tahu siapa diri kita.”
Nayindra menatap air sungai yang mengalir pelan. Dalam benaknya, ia bisa membayangkan bagaimana sungai ini menyaksikan perjalanan panjang desa mereka. Ia merasa sejarah lebih hidup dibandingkan yang selama ini ia bayangkan di dalam buku pelajaran.
Mungkin inilah cara belajar yang sebenarnya—bukan sekadar menghafal fakta, tapi memahami kisah di baliknya.
Sementara itu, angin sepoi-sepoi berhembus lembut, membawa serta suara gemericik air dan bisikan cerita masa lalu yang masih terus hidup dalam aliran sungai.
Menjaga Api Pembelajaran
Matahari mulai condong ke barat, menyelimuti kebun dan sungai dengan cahaya keemasan. Anak-anak masih duduk di tepi sungai, larut dalam pikiran mereka masing-masing setelah mendengar cerita Pak Ramanda. Beberapa dari mereka membayangkan diri mereka sebagai pedagang yang berlayar dengan rakit, sementara yang lain membayangkan menjadi pejuang yang menjaga desa.
Namun, di antara mereka, hanya Nayindra yang masih tenggelam dalam pemikirannya yang lebih dalam.
Ia menatap permukaan sungai yang berkilauan. Di benaknya, ia kembali mengingat semua pelajaran yang mereka dapatkan hari ini—menghitung apel di pohon, belajar keadilan dalam berbagi, lalu memahami sejarah dari tempat yang nyata. Semuanya terasa lebih hidup dibandingkan sekadar membaca buku dan mencatat di kelas.
Tapi, apakah semua anak di luar sana bisa merasakan pembelajaran seperti ini?
Pak Ramanda bangkit dari duduknya dan menepuk tangannya sekali, menarik perhatian murid-muridnya. “Baik, kita kembali ke sekolah. Kita akan tutup hari ini dengan satu diskusi kecil.”
Perjalanan pulang ke sekolah lebih tenang dari sebelumnya. Mungkin karena anak-anak masih mencerna semua yang mereka alami hari ini. Sesampainya di halaman sekolah, mereka duduk melingkar di bawah pohon beringin besar—tempat favorit mereka untuk berdiskusi.
Pak Ramanda menyandarkan punggungnya pada batang pohon dan melipat tangannya. “Sekarang, aku mau tanya sesuatu.”
Anak-anak menatapnya penuh antusias.
“Apa yang kalian rasakan hari ini?” tanyanya.
Elvano langsung mengangkat tangan. “Seru, Pak! Aku baru tahu kalau matematika bisa dipakai buat hal-hal nyata.”
“Aku suka sejarahnya, Pak,” sahut Renata. “Kayaknya lebih gampang diingat kalau diceritain kayak tadi.”
Anak-anak lain juga ikut berbicara, masing-masing menyampaikan kesan mereka. Hanya Nayindra yang masih diam.
Pak Ramanda melirik ke arahnya. “Nayindra, gimana dengan kamu?”
Gadis itu menatap gurunya sejenak, lalu menarik napas dalam. “Pak,” katanya akhirnya, “kenapa sekolah kita bisa kayak gini, tapi sekolah lain nggak?”
Semua anak langsung terdiam.
Pak Ramanda tersenyum kecil, seolah sudah menebak pertanyaan itu akan keluar. Ia menatap wajah murid-muridnya satu per satu sebelum menjawab.
“Karena kebanyakan orang sudah lupa apa tujuan dari belajar yang sebenarnya,” katanya pelan. “Mereka lebih fokus mengejar nilai, bukan ilmu. Lebih peduli pada hasil, bukan proses.”
Anak-anak terdiam, mencerna kata-kata itu.
“Tapi, kita bisa mengubahnya,” lanjut Pak Ramanda. “Selama masih ada orang-orang yang peduli dengan pembelajaran yang benar, cara belajar yang menyenangkan ini nggak akan hilang. Kalian bisa jadi generasi yang menjaga api pembelajaran tetap menyala.”
Nayindra merasakan sesuatu menghangat di dadanya. Kata-kata itu seperti memberikan harapan baru. Mungkin benar, mereka tidak bisa langsung mengubah semua sekolah di luar sana. Tapi mereka bisa menjaga cara belajar ini tetap hidup—dan suatu hari nanti, mungkin, lebih banyak orang yang menyadari bahwa belajar harusnya menyenangkan.
Senja mulai menyelimuti sekolah kecil itu. Anak-anak satu per satu berpamitan pulang, meninggalkan halaman sekolah dengan senyum di wajah mereka.
Sementara yang lain berjalan menjauh, Nayindra masih berdiri di depan sekolah, menatap langit jingga dengan tekad baru di hatinya.
Ia berjanji pada dirinya sendiri—ia akan selalu belajar dengan cara yang benar. Dan jika suatu hari ada yang mencoba mengubahnya, ia akan menjadi salah satu orang yang menjaga nyala api itu tetap hidup.
Belajar seharusnya nggak cuma soal nilai dan hafalan, tapi tentang gimana kita memahami dunia dengan cara yang lebih seru dan bermakna. Cerpen “Pembelajaran yang Kuinginkan” ngasih gambaran kalau sekolah bisa jadi tempat yang asyik, penuh petualangan, dan bikin kita benar-benar menikmati proses belajar.
Jadi, udah saatnya kita bertanya—apakah sistem pendidikan yang kita jalani sekarang sudah seperti ini? Kalau belum, mungkin kita yang harus mulai perubahan itu. Karena ilmu bukan cuma soal angka di rapor, tapi tentang bagaimana kita menggunakannya untuk masa depan.