Pembalasan Anak Raja: Dendam yang Membakar Kerajaan

Posted on

Pernah nggak sih kalian ngerasain kayak ada rasa kesal yang nggak bisa ilang? Nah, bayangin aja kalo rasa kesal itu udah dipendam bertahun-tahun, terus akhirnya meledak jadi balas dendam yang mengubah segalanya.

Itulah yang terjadi di cerpen ini, di mana seorang anak yang dibuang oleh raja, nyiapin balas dendam super epik yang nggak cuma bikin kerajaannya hancur, tapi juga mengguncang dunia mereka. Ini bukan sekadar cerita balas dendam biasa, tapi lebih ke perjuangan untuk keadilan, pembalasan, dan pengorbanan yang nggak terbayang.

 

Pembalasan Anak Raja

Anak yang Dibuang, Dendam yang Tumbuh

Langit malam begitu gelap, tanpa satu pun bintang yang tampak. Hanya angin yang berdesir pelan, menyusuri reruntuhan tembok istana Valmeris. Di balik bayang-bayang istana yang megah, Zevior berdiri, memandangi gerbang utama yang terbuka lebar. Ia mengenakan jubah hitam yang menyelimuti tubuhnya, menyembunyikan sosoknya yang tinggi dan tegap. Di belakangnya, pasukan bayangan yang setia menunggu perintah. Semuanya bersiap, menunggu saat yang telah lama ditunggu. Malam ini, tak ada lagi ampun bagi siapa pun di dalam sana.

Zevior memandang ke dalam istana yang penuh dengan kemewahan, tempat yang dulu ia anggap sebagai rumah. Namun, rumah itu bukanlah tempat yang memberinya kenyamanan, bukan tempat yang memberinya kasih sayang. Rumah itu adalah penjara, di mana ia dan ibunya dibuang begitu saja oleh seorang raja yang dulu menganggap mereka bagian dari hidupnya.

“Istana ini… dulu seperti rumahku,” gumamnya pelan. Suara itu hampir tenggelam oleh desiran angin yang membawakan aroma tanah dan debu.

Di sana, di dalam, ayahnya—sang raja—duduk dengan angkuhnya di singgasana, melupakan wajah anak yang dulu pernah ada dalam hidupnya. Tak ada sedikit pun rasa penyesalan di wajahnya. Bahkan setelah semua yang terjadi, raja itu tak pernah sekali pun mencari mereka. Ibunya, Naeva, yang dulu begitu dia cintai, kini hanyalah kenangan samar yang terlupakan. Seperti boneka yang terbuang, seperti benda yang tak berharga.

Namun Zevior tidak bisa lupa. Ia ingat setiap detik penderitaan yang dirasakan ibunya. Ia ingat bagaimana ibunya menggenggam tangannya dengan penuh harapan, meski tubuhnya sudah lemah oleh sakit yang tak pernah disembuhkan. Ibunya, yang pernah dicintai oleh raja, kini mati dalam kesendirian, jauh dari keramaian istana yang megah.

Zevior melangkah maju, melintasi halaman istana dengan tenang, meski hatinya penuh amarah yang siap meledak. Di setiap sudut, pasukannya bergerak cepat, menghabisi para penjaga yang tak menyadari ancaman yang datang. Tak ada yang bisa menghentikan mereka. Keadaan berubah terlalu cepat.

Gerbang utama istana terbuka lebar, dan Zevior berjalan masuk. Seorang penjaga yang sedang berjaga terperanjat melihat kedatangannya, namun tak sempat berteriak. Satu panah dari pasukannya menembus tenggorokannya, membuat penjaga itu terjatuh tanpa suara.

Zevior melanjutkan langkahnya, memasuki aula utama yang mewah. Di dalam sana, dia tahu, raja sedang menunggunya. Raja yang dulu pernah menjadi ayahnya, kini hanyalah seorang penguasa yang lemah dan rapuh. Zevior tahu, tak ada lagi tempat untuk belas kasihan.

Begitu ia masuk ke dalam aula, mata raja yang duduk di singgasana langsung menatapnya dengan tatapan bingung. Raja itu berdiri, seolah berusaha mengingat siapa pemuda di depannya, tapi tak bisa. Wajahnya yang semakin tua dan keriput tampak bingung, seakan melihat hantu dari masa lalu.

“Kamu… siapa kamu?” Raja bertanya dengan suara berat, mencoba menenangkan dirinya.

Zevior tersenyum dingin, langkahnya mantap mendekat. “Siapa aku? Tentu saja aku anakmu, ayah,” jawabnya dengan suara penuh kebencian. “Zevior, anak yang kamu buang begitu saja.”

Raja terperanjat. Mulutnya terbuka, mencoba mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya. “Tidak… itu tidak mungkin…” desisnya.

“Oh, itu mungkin. Ibuku adalah Selir Naeva, ingat? Kamu membuang kami ke tempat yang jauh dan membiarkan ibuku mati dalam kesepian dan penderitaan. Aku tumbuh tanpa kasih sayang dari siapa pun, hanya dengan satu tujuan—membalas dendam padamu.” Zevior berkata dengan suara yang lebih keras, amarahnya meluap.

Raja mundur selangkah, merasa ketakutan. “Tidak… kamu salah… aku tidak membuangmu. Itu keputusan yang harus kuambil…”

“Keputusan?” Zevior tertawa sinis. “Keputusanmu itu yang menghancurkan hidupku dan ibuku. Keputusan yang membuatnya mati tanpa ada yang peduli. Dan sekarang, kamu pikir kamu masih bisa hidup dalam kenyamanan ini?” Dia melangkah maju, mendekatkan wajahnya ke wajah sang raja yang semakin pucat.

Raja mencoba menarik pedangnya, namun tangannya gemetar. “Kamu tidak akan bisa menandingi aku, anak bodoh! Aku adalah raja, penguasa kerajaan ini!”

Zevior mengangkat tangannya, memberi isyarat pada pasukannya. Dalam sekejap, para penjaga istana yang ada di sekitar raja tumbang, satu per satu. Beberapa masih mencoba melawan, namun mereka segera ditaklukkan.

“Kerajaan ini sudah lama runtuh. Tak ada yang bisa lagi menyelamatkanmu, ayah,” kata Zevior dengan tegas. “Dan aku… aku akan membuatmu merasakan apa yang ibuku rasakan selama ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada hidup tanpa penghormatan. Itulah yang akan kamu rasakan.”

Raja tersentak, wajahnya kini dipenuhi dengan ketakutan yang nyata. Ia mundur, matanya melirik ke sekitar, mencari jalan keluar. Namun pasukan Zevior sudah menutup semua pintu.

“Jangan harap bisa melarikan diri, Ayah,” Zevior berkata dengan dingin. “Kini, giliranmu merasakan penderitaan yang kami alami.”

Malam itu, di dalam istana yang megah, sang raja tak lagi duduk dengan angkuh di singgasana. Ia hanya seorang pria tua yang ketakutan, tanpa daya. Dan Zevior, anak yang dibuangnya, berdiri dengan teguh, siap untuk menghancurkan takhta yang telah lama menindasnya.

Namun Zevior belum selesai. Pembalasan ini baru saja dimulai.

 

Kembalinya Bayangan yang Terlupakan

Raja terjatuh ke tanah, tubuhnya gemetar, berusaha bangkit meski tak ada kekuatan yang tersisa. Wajahnya yang semula angkuh kini tampak rapuh, penuh dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Zevior berdiri tegak di depannya, dengan mata yang tajam, hampir seperti predator yang siap menerkam mangsanya. Tak ada ampun di matanya, hanya api balas dendam yang telah membakar dirinya sejak lama.

“Apa yang kamu rasakan sekarang, Ayah?” suara Zevior terdengar dingin, bergetar penuh kebencian. “Kamu ingin hidup nyaman dalam kekuasaan yang kamu ambil dari orang-orang yang lebih lemah darimu. Tapi lihatlah dirimu sekarang… apakah ini yang kau sebut kekuasaan? Begitu rapuh, begitu lemah.”

Raja mencoba berdiri, tetapi tubuhnya tidak mendukung. Dengan gemetar, ia meraih meja di dekat singgasana untuk menyanggah tubuhnya, wajahnya dipenuhi keringat dingin. “Ini… ini tidak adil… kau tidak tahu apa yang telah aku lalui. Aku raja, dan keputusan itu harus kuambil untuk masa depan kerajaan ini!”

Zevior menundukkan kepalanya, matanya menyipit. “Masa depan kerajaan? Apa yang lebih penting, kerajaanmu atau hidup ibuku? Kamu pikir keputusanmu itu benar? Kamu menghancurkan hidup kami, dan sekarang kamu bilang itu demi kerajaan? Jangan bercanda, Ayah. Semua yang kau lakukan hanya untuk menjaga diri sendiri.”

Zevior melangkah lebih dekat, dan suara langkah kakinya bergema di aula yang luas. Tak ada seorang pun yang berani bergerak atau mengucapkan sepatah kata pun. Raja yang pernah dipuja, yang dianggap tak tersentuh, kini tak lebih dari seorang pria yang sudah terpojok.

“Ini bukan tentang kerajaan, bukan tentang tahta. Ini tentang keadilan. Ini tentang apa yang harusnya terjadi pada orang yang menghancurkan hidup orang lain demi kepentingan sendiri,” Zevior berbisik, suaranya mengalir seperti racun yang membakar.

Raja terdiam, wajahnya semakin pucat, tidak tahu lagi harus berkata apa. “Aku… aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Jangan bunuh aku, aku mohon padamu…”

Tapi Zevior tidak menjawab permohonan itu. Ia hanya menatap sang raja dengan tatapan yang seolah menembus jiwa sang penguasa. “Aku tidak akan membunuhmu, Ayah. Itu terlalu mudah. Kematian akan datang dengan sendirinya… tapi aku akan membiarkanmu hidup untuk merasakan apa yang ibuku rasakan.”

Perintahnya datang dengan tegas. Dua orang pengawal yang setia pada Zevior mengangkat tubuh sang raja, dan membawanya keluar dari aula utama. Raja, yang dulu berdiri dengan penuh kebanggaan, kini hanya bisa merintih, tak berdaya. Dia diseret melewati koridor yang sepi, menuju ruang bawah tanah yang dingin dan gelap.

Zevior mengikuti mereka dengan langkah tenang. Setiap ruang yang mereka lewati mengingatkannya akan semua kenangan buruk—kenangan tentang ibunya yang dulu dipenuhi harapan untuk hidup di sisi sang raja, namun akhirnya mati dalam kesendirian. Kenangan tentang rasa lapar, dingin, dan kekejaman yang mereka alami. Semua itu kini kembali menggerogoti dirinya, memberikan kekuatan pada kebenciannya yang semakin membesar.

Di ruang bawah tanah yang suram, sang raja dilemparkan ke lantai dengan kasar. Tangannya terikat erat, tubuhnya terasa berat dan tak bertenaga. Di sana, tak ada yang bisa dilakukannya selain merenungi apa yang telah terjadi. Tidak ada kemewahan, tidak ada pelayan, tidak ada senyuman. Hanya gelap yang menyelimuti, begitu pekat, begitu mencekam.

Zevior berdiri di pintu, menatap raja yang terkulai di lantai. “Di sini kamu akan berada. Sendirian. Tanpa kekuasaan, tanpa penghormatan, tanpa siapa pun yang peduli. Inilah yang ibuku rasakan. Dan ini yang akan kau rasakan sampai akhir hidupmu.”

Raja hanya bisa menunduk, mulutnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar. Ia menyadari, kini ia tidak lagi menjadi penguasa. Ia hanyalah seorang pria yang sudah terjatuh, dan tidak ada lagi yang akan mengangkatnya.

Zevior melangkah mundur, memberi isyarat pada pasukannya untuk meninggalkan ruangan itu. “Biarkan dia merasakan hidup dalam kegelapan ini. Biarkan dia merenung, mengenang semua yang telah dia lakukan. Ini bukan tentang kekuasaan, ini tentang balas dendam yang telah lama ditunggu.”

Mereka semua meninggalkan sang raja di ruang bawah tanah itu, meninggalkannya dalam kehinaan yang tak terbayangkan. Langkah Zevior terasa berat, tapi hatinya lega. Pembalasan yang telah lama ia impikan kini dimulai, dan tidak ada yang bisa menghentikannya. Tidak lagi.

 

Neraka di Dalam Dinding

Malam berjalan lambat di kedalaman istana, keheningan terasa begitu berat, menyelimuti setiap batu, setiap bayangan, seolah-olah bahkan dinding istana bisa merasakan perubahan yang datang. Zevior berdiri di balkon ruang perang yang sudah tua, tatapannya kosong, menyatu dengan kegelapan di luar menara-menara istana. Pikirannya lebih dingin dari angin yang menerpa wajahnya. Ia sudah melakukannya—ia sudah menyerang, namun rasa sakit masa lalu masih menggantung dalam jiwanya, sebuah pengingat bahwa pertempuran ini belum selesai.

Teriakan jauh yang teredam, yang berasal dari mereka yang telah diamankan sebelumnya, bergema dalam pikirannya. Tentara-tentara miliknya telah melakukan tugas mereka—cepat, diam, akurat—tetapi itu belum cukup. Ia harus meruntuhkan kerajaan dari dalam. Ia harus membuat mereka memahami harga dari kesetiaan kepada seorang raja yang telah meninggalkan darah dagingnya sendiri.

Berbalik dari balkon, ekspresi Zevior semakin keras. Runtuhnya sang raja hanya awal dari semua yang harus dia lakukan. Sekarang, ia harus menghancurkan semua yang dibangun oleh keluarga kerajaan. Istana ini adalah benteng dari rahasia, kebohongan, dan pengkhianatan. Masih ada mereka yang setia pada takhta, mereka yang ikut bersalah dalam penderitaan ibunya. Mereka tidak akan lolos begitu saja.

“Apakah dia masih hidup?” tanya Zevior, suaranya hampa, tanpa emosi.

Seorang prajuritnya, mantan ksatria yang kini menjadi pasukan di bawah perintahnya, maju. “Ya, Tuan. Kami telah mengamankannya di ruang bawah tanah. Raja masih bernapas, tapi dia hancur. Kami sudah mengunci ruangnya.”

“Bagus,” jawab Zevior, senyum dinginnya terkulum. “Biarkan dia membusuk. Biarkan dia merasakan apa yang ibuku rasakan.”

Para prajurit mengangguk serempak, tetapi pikiran Zevior sudah melangkah jauh ke tempat lain. Kekalahan fisik sang raja hanyalah awal. Kini, ia harus meruntuhkan segala yang ada dalam istana ini. Mereka semua telah dibangun di atas penderitaan orang-orang, di atas tubuh yang diinjak tanpa ampun. Sekarang, Zevior akan menghancurkannya, bata demi bata.

“Malam ini,” kata Zevior, suaranya tajam, “kita ambil sisa istana ini. Kita bakar habis. Kita ungkapkan semua bangsawan korup dan semua pengkhianat yang masih berpikir mereka bisa berlindung di balik tahta. Kerajaan ini akan mengingat apa yang terjadi ketika memilih kesetiaan tanpa keadilan.”

Salah seorang komandan, seorang wanita dengan tatapan tajam, membuka suara. “Dan rakyat, Tuan? Apa yang akan terjadi pada mereka?”

Zevior terdiam sejenak, pertanyaan itu menggantung di udara. Ia memikirkan warga yang hidup dalam ketakutan, yang tunduk pada raja demi bertahan hidup, bukan karena hormat. “Mereka akan memilih. Sebagian akan mengikuti, sebagian akan melarikan diri. Mereka yang tetap akan bebas dari rantai yang telah menjerat mereka selama ini.”

Para prajurit mengangguk, energi dalam ruangan berubah menjadi tekad. Revolusi ini bukan hanya tentang balas dendam. Ini tentang keadilan—keadilan yang sudah terlalu lama ia tunggu.

Mereka bergerak melewati koridor-koridor gelap, dan istana tampak bergema, seolah istana itu tahu apa yang sedang terjadi. Obor-obor di dinding berkilau, menciptakan bayangan yang menari seperti roh-roh masa lalu. Zevior memimpin pasukannya, langkahnya berat, tapi tekadnya lebih berat lagi. Semakin dalam mereka menyusuri istana, semakin terasa seolah-olah dinding-dinding itu mendekat, menyelubungi dirinya dengan kenangan akan apa yang dulu ada. Namun, itulah tujuannya.

Raja membangun tempat ini dengan penderitaan orang lain, dengan punggung mereka yang tak berdaya. Sekarang, Zevior akan meruntuhkannya, tanpa ampun.

Mereka sampai di ruang kamar kerajaan, pusat kekuasaan kerajaan, tempat para penjaga setia sang raja berkumpul. Namun kini, para penjaga itu hanyalah bayangan diri mereka yang dulu, dipatahkan oleh kekuatan tekad Zevior. Para prajurit bergerak cepat, menumpas segala perlawanan, meruntuhkan sisa-sisa kerajaan yang dulu megah.

Zevior berdiri di ambang pintu ruang takhta, matanya terpaku pada takhta kosong yang dulu menjadi milik ayahnya. Dadanya terasa sesak, namun kali ini bukan karena kesedihan. Melainkan, karena kepuasan mengetahui bahwa permainan telah berubah. Ia telah merebut kembali apa yang selalu menjadi miliknya—kerajaan, kekuasaan, kendali. Tapi masih ada satu hal yang harus dilakukan.

“Bawa dia ke sini,” perintah Zevior.

Raja, kini seorang lelaki yang hancur, dibawa masuk ke ruang takhta, tangan terikat, tubuh lebam dan memar. Dia bukan lagi penguasa yang dulu sombong, hanya sebuah bayangan dari dirinya yang dulu, kalah dan terhina.

Zevior mendekatinya, berdiri menjulang di atas sang raja, yang kini gemetar di kakinya. “Apa yang kau rasakan sekarang, Ayah?” suara Zevior terdengar rendah, penuh bahaya. “Apa yang kau rasakan saat tahu takhta yang kau banggakan itu tak berarti lagi?”

Raja mencoba mengangkat wajahnya, suaranya serak dan penuh ketakutan. “Tolong… aku mohon padamu… aku hanya mencoba melindungi kerajaan ini…”

Tangan Zevior meluncur cepat, meraih kerah baju sang raja dan mengangkatnya, memaksanya untuk melihat ke dalam mata anaknya. “Kau hanya berusaha melindungi dirimu sendiri, pengecut. Kerajaan ini—istana ini—dibangun di atas tubuh yang hancur, atas orang-orang yang tidak punya suara, yang hanya bisa menderita. Ibuku, para wanita, anak-anak… dan sekarang, kau akan membayar untuk itu.”

Mata raja terbuka lebar, ketakutan yang nyata. Namun sudah terlambat. Kerajaan yang dulu ia pimpin kini sedang runtuh, dan Zevior adalah orang yang mengatur setiap serpihan runtuhannya. “Aku akan pastikan namamu terlupakan. Tidak ada yang akan mengingatmu, Ayah. Sekarang, kau bukan siapa-siapa.”

Dengan itu, Zevior melemparkan sang raja kembali ke lantai, suara tubuhnya yang jatuh membentur lantai yang dingin menggema di seluruh ruang takhta yang kosong. Zevior berpaling, memberi isyarat pada para komandan untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai.

Di luar, badai mulai menggulung, seolah-olah langit pun merespon kejatuhan kerajaan. Dan di jantung istana, Zevior berdiri, akhirnya bebas. Masa lalu telah dikubur, masa depan dibentuk kembali, dan kini, tidak ada yang tersisa selain menyaksikan abu-abu itu jatuh.

 

Abu yang Tersisa

Istana yang megah, yang dulunya menjadi lambang kekuasaan dan kehormatan, kini hancur lebur dalam kesunyian. Angin malam yang membawa hujan deras menyapu sisa-sisa pertempuran, membawa bau darah yang telah mengering di batu-batu istana. Api yang masih menyala dari beberapa bagian istana mengirimkan cahaya merah yang menerangi wajah Zevior yang tampak teguh, namun kosong.

Dia berdiri di tengah reruntuhan, tatapannya jauh, menembus batas-batas istana yang sudah hampir musnah. Tidak ada lagi takhta yang mengesankan, tidak ada lagi dinding yang menjulang tinggi, tidak ada lagi pemandangan indah yang dulu ia pandang dengan kebanggaan. Semuanya telah diruntuhkan—baik oleh tangannya sendiri, maupun oleh perasaan yang tak bisa ditahan lagi.

Langit di atasnya menggelap, penuh dengan awan gelap yang menandakan badai yang tidak hanya merusak fisik istana, tetapi juga hati dan jiwa para penghuni kerajaan ini. Zevior merasakan beban itu, meskipun kemenangan telah diraihnya. Ia sudah merencanakan semuanya dengan sempurna, mengarahkan para prajuritnya untuk menghancurkan benteng terakhir dari keluarganya yang dulu. Namun, ada sebuah rasa hampa yang menggantung di hatinya.

“Jangan lupa, Tuan,” kata suara lembut dari belakangnya. Seorang wanita, komandan yang setia, mendekat dengan langkah ringan. “Kerajaan ini sekarang ada di tanganmu. Semua yang dulu menghalangi, semua yang mengkhianati, telah mati. Rakyat yang tetap memilih untuk tinggal, mereka akan mengikutimu.”

Zevior mengangguk, namun ekspresinya tetap keras. “Aku tidak memerlukan pengikut. Aku hanya memerlukan keadilan.”

Wanita itu menyentuh bahunya dengan lembut. “Keputusanmu adalah keadilan. Itu yang harus kau ingat.”

Namun, di dalam hati Zevior, ada sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan begitu saja—sebuah kekosongan yang tidak bisa diisi dengan kekuasaan atau kemenangan. Dia telah membalas dendam untuk ibunya, untuk segala penderitaannya, tetapi ada satu hal yang tetap tidak bisa dia raih: kedamaian. Keputusan-keputusan yang telah ia ambil tidak akan bisa mengembalikan apa yang telah hilang. Dan di atas segalanya, ada rasa kehilangan yang mendalam terhadap sesuatu yang bahkan tidak bisa ia pahami sepenuhnya.

“Ibuku tidak akan kembali,” gumamnya, suara itu keluar dengan penuh penyesalan. “Kekuasaan ini, takhta ini, semuanya tidak berarti lagi tanpa dia. Aku ingin dia merasakan kemenangan ini, tetapi dia tidak pernah bisa melihatnya. Bahkan sekarang, dia sudah tiada.”

Komandan itu diam, tahu bahwa kata-kata yang tepat tidak akan bisa menghapus rasa sakit yang ia rasakan. Semua ini, semua yang telah dilalui, hanyalah bagian dari sebuah perjalanan yang tiada akhir. Zevior telah merebut kerajaan, namun di dalam hatinya, kerajaan yang sebenarnya—kedamaian, kelegaan, dan kebebasan—masih jauh untuk diraih.

“Aku akan membangun sesuatu yang baru,” kata Zevior, akhirnya menarik napas panjang. “Sesuatu yang lebih adil. Kerajaan ini harus belajar dari kesalahan masa lalu. Aku akan memberikan kesempatan pada rakyat yang tidak berdosa untuk hidup tanpa ketakutan.”

Komandan itu tersenyum tipis, menatap pemimpinnya dengan kebanggaan. “Dan kau akan memastikan bahwa tidak ada lagi yang akan berani menyentuhnya.”

Zevior menatap langit yang mendung, merasakan angin yang berhembus kencang. “Aku akan pastikan semua yang terinjak akan diangkat kembali. Tetapi dengan cara yang benar. Semua pengkhianat telah dibayar. Sekarang, aku akan memastikan rakyat yang tidak bersalah juga mendapat hak mereka.”

Dia melangkah pergi, tidak lagi menoleh ke belakang. Pasukannya bergerak mengikuti, bersiap untuk mengambil alih seluruh kerajaan yang kini berada dalam genggamannya. Sebuah kerajaan yang hancur, namun akan dibangun kembali dengan tangan yang lebih kuat, lebih adil.

Namun, saat ia melangkah, Zevior merasa sebuah angin dingin menyapu wajahnya, membawa aroma tanah dan api yang membakar. Itu bukan hanya angin. Itu adalah roh-roh masa lalu yang tidak bisa dipadamkan begitu saja.

“Keberanian bukan berarti tidak merasa takut,” kata suara lembut itu lagi. “Keberanian adalah saat kau memilih untuk melanjutkan meskipun rasa takut itu ada.”

Zevior tidak tahu siapa yang mengucapkan kata-kata itu, namun dia tahu, itu adalah pesan yang harus dia dengar. Dia harus melanjutkan, bahkan jika kesedihan dan kehilangan tetap menemaninya. Tidak ada jalan kembali, tidak ada cara untuk mengubah apa yang sudah terjadi. Semua yang bisa dia lakukan adalah terus maju, untuk memastikan bahwa ibu dan semua yang telah jatuh, tidak akan pernah terlupakan.

Seiring langkahnya yang semakin jauh, langit gelap mulai menyisakan celah-celah kecil cahaya. Sinar pagi yang samar mulai memancar di antara awan, memberikan secercah harapan di tengah kehancuran. Istana itu, kini hanya tinggal kenangan, begitu pula dengan sejarah yang telah terukir di atasnya.

Zevior akhirnya berhenti di ujung jalan yang menurun, menatap pemandangan yang luas di depannya—sebuah dunia baru yang akan ia bentuk dari abu yang tersisa. Dunia yang lebih baik, lebih adil, meskipun itu akan memakan waktu lama.

Namun, satu hal yang pasti: perjalanan panjang ini baru saja dimulai.

 

Gimana, seru kan ceritanya? Semakin larut, semakin jadi! Siapa sangka, balas dendam bisa jadi jalan menuju perubahan, meskipun penuh rasa sakit.

Yang jelas, cerita ini ngajarin kita kalo kadang untuk ngebangun sesuatu yang baru, kita harus siap berhadapan dengan masa lalu yang gelap. Jangan lupa buat terus baca cerita-cerita seru lainnya, siapa tahu ada yang lebih bikin greget lagi.

Leave a Reply