Pelita di Balik Bayang Kelam: Kisah Ibu

Posted on

Apakah Anda pernah merasakan kekuatan cinta seorang ibu yang tak pernah pudar, bahkan di tengah badai kehidupan? Pelita di Balik Bayang Kelam adalah cerpen menyentuh yang menggambarkan perjuangan Siti, seorang ibu yang dengan penuh kasih menanti kepulangan anaknya, Rian, meski diterpa luka dan kepedihan. Cerita ini bukan hanya tentang pengorbanan, tetapi juga tentang harapan yang tetap menyala di balik kegelapan. Dalam artikel ini, kami akan mengajak Anda menyelami emosi mendalam cerpen ini, mengungkap makna di balik setiap bab, dan mengapa kisah ini begitu relevan bagi siapa saja yang menghargai ikatan keluarga. Siapkah Anda terhanyut dalam perjalanan emosional yang tak terlupakan?

Pelita di Balik Bayang Kelam

Jejak di Pagi Kelabu

Langit pagi itu kelabu, seolah menahan tangis yang tak kunjung tumpah. Di sebuah rumah sederhana bercat kusam di pinggir kota, aroma kopi hitam menyeruak dari dapur kecil. Siti, seorang ibu berusia 45 tahun, berdiri di depan kompor tua, mengaduk bubur nasi dengan gerakan pelan, hampir mekanis. Wajahnya yang dulu cerah kini dipenuhi garis-garis lelah, namun matanya, oh matanya, masih menyimpan kilau harapan yang rapuh.

Di sudut ruangan, sebuah radio transistor tua memainkan lagu keroncong yang sayup-sayup mengalun, mengisi keheningan yang terasa berat. Siti melirik ke arah meja makan, tempat dua piring seng sudah disiapkan. Satu untuknya, satu lagi untuk Rian, anak semata wayangnya yang kini berusia 17 tahun. Namun, piring Rian selalu kosong akhir-akhir ini. Sudah tiga bulan sejak Rian memilih pergi, meninggalkan rumah dengan kata-kata pedas yang masih bergema di telinga Siti: “Aku muak hidup begini, Bu! Miskin, terkurung, nggak punya masa depan!”

Siti menghela napas panjang, uap dari bubur nasi membasahi wajahnya, bercampur dengan air mata yang diam-diam luruh. Ia tak pernah menyal STYLEakan Rian. Bagaimana bisa? Anak itu adalah dunianya, cahaya yang ia peluk erat sejak suaminya, Hasan, pergi untuk selamanya sepuluh tahun lalu. Kecelakaan di proyek bangunan telah merenggut Hasan, meninggalkan Siti dengan tumpukan utang dan Rian yang masih kecil. Sejak itu, Siti bekerja sebagai penjual sayur keliling, bangun sebelum fajar, berjalan kilometer demi kilometer dengan keranjang bambu di pundaknya. Semua demi Rian, demi mimpi-mimpi yang ia tahu anaknya simpan di hati.

Pagi ini, seperti biasa, Siti membungkus bubur nasi dalam daun pisang, berharap Rian akan pulang. Ia masih menyisihkan sebagian untuk anaknya, meski tahu kemungkinan besar bubur itu akan dingin dan tak tersentuh. Di sudut dapur, sebuah kotak kayu kecil tergeletak di atas rak. Kotak itu berisi surat-surat yang Siti tulis untuk Rian setiap malam sejak ia pergi. Surat-surat yang tak pernah dikirim, hanya ditulis untuk menumpahkan rindu dan doa. “Rian, Ibu cuma ingin kamu tahu, Ibu selalu menunggu. Pulanglah, Nak. Ibu nggak pernah marah.”

Siti berjalan ke beranda rumah, membawa keranjang sayurnya. Udara pagi terasa dingin, menusuk tulang. Ia memandang jalan setapak di depan rumah, berharap melihat sosok Rian muncul dari kejauhan. Namun, hanya keheningan yang menyapa. Di kejauhan, ia mendengar suara motor pedagang roti keliling, tapi itu bukan suara yang ia nantikan. Dengan langkah berat, ia mulai berjalan, keranjang di pundak terasa lebih berat dari biasanya, bukan karena sayuran, tapi karena beban di hatinya.

Di pasar, Siti tersenyum pada setiap pelanggan, meski senyumnya tak pernah sampai ke mata. “Kolplay segar, Bu, murah saja!” katanya dengan suara yang dipaksakan ceria. Tapi di sela-sela teriakan itu, pikirannya melayang. Ia teringat masa kecil Rian, saat anak itu berlari ke arahnya sepulang dari pasar, memeluk kakinya dengan tawa renyah. “Ibu pulang! Ibu bawa apa?” tanya Rian kecil sambil mengintip keranjang. Kini, kenangan itu terasa seperti pisau yang perlahan mengiris hatinya.

Hari itu, saat matahari mulai naik, Siti mendengar kabar dari seorang tetangga di pasar. “Siti, kamu tahu nggak? Katanya Rian terlihat di kota, kerja di bengkel motor. Tapi… katanya dia nggak mau pulang, malu katanya.” Siti tersenyum tipis, mengangguk, tapi dadanya terasa sesak. Malu? Pada siapa? Pada ibunya yang miskin? Pada rumah reyot mereka? Atau pada dirinya sendiri? Siti tak tahu. Yang ia tahu, ia akan terus menunggu, seperti pelita yang tetap menyala meski diterpa angin.

Saat kembali ke rumah sore itu, Siti mendapati sesuatu di beranda. Sebuah plastik kecil berisi dua mangga matang, diletakkan begitu saja di depan pintu. Tak ada catatan, tak ada nama. Tapi Siti tahu, itu dari Rian. Hatinya hangat sekaligus perih. Ia memeluk plastik itu erat-erat, seolah memeluk anaknya yang tak hadir. Air matanya jatuh lagi, kali ini bercampur dengan senyum kecil. “Kamu masih ingat Ibu suka mangga, Nak,” gumamnya pelan.

Malam itu, Siti menulis surat lagi di kotak kayunya. “Rian, terima kasih untuk mangganya. Ibu tahu kamu di luar sana, berjuang dengan caramu. Tapi ingat, rumah ini selalu terbuka untukmu. Ibu cuma punya cinta, Nak, dan itu nggak akan pernah habis.” Ia menutup kotak, menatap langit malam yang kini dipenuhi bintang. Di hatinya, ia berdoa, agar suatu hari Rian akan kembali, bukan hanya dengan mangga, tapi dengan pelukan yang telah lama ia rindukan.

Bayang di Ujung Jalan

Hari-hari berlalu seperti air yang mengalir pelan di sungai, tak terasa namun terus bergerak. Siti tetap menjalani rutinitasnya: bangun sebelum matahari terbit, menyiapkan keranjang sayur, dan berjalan ke pasar dengan langkah yang kini terasa semakin berat. Plastik berisi dua mangga yang ditinggalkan Rian di beranda beberapa hari lalu masih tersimpan di sudut dapur, diletakkan di atas meja kecil beralas kain usang. Siti tak tega memakannya. Baginya, mangga itu bukan sekadar buah, melainkan tanda bahwa Rian, di mana pun dia berada, masih memikirkan ibunya.

Pagi itu, hujan gerimis membasahi jalan setapak menuju pasar. Siti mengenakan mantel plastik tua yang sudah robek di beberapa bagian, menutupi keranjangnya dengan sehelai kain agar sayuran tetap kering. Di pasar, suasana lebih sepi dari biasanya. Para pedagang berdesakan di bawah tenda-tenda darurat, berbagi cerita dan keluh kesah. Siti duduk di sudut, menata kolplay dan bayam dengan tangan yang cekatan, namun pikirannya melayang jauh. Ia teringat malam-malam saat Rian masih kecil, saat mereka duduk bersama di beranda, menghitung bintang sambil Siti bercerita tentang mimpi-mimpi besar untuk anaknya. “Kamu bakal jadi orang hebat, Rian. Ibu yakin,” katanya dulu, sambil mengelus rambut anaknya yang ikal. Kini, kenangan itu terasa seperti lukisan yang pudar, warnanya memudar di bawah terik waktu.

Di tengah kesibukan pasar, seorang wanita paruh baya bernama Mak Sari mendekati Siti. Mak Sari adalah tetangga lama yang dikenal suka mengobrol, kadang membawa kabar yang tak selalu Siti ingin dengar. “Siti, kamu dengar kabar Rian belum?” tanya Mak Sari dengan nada hati-hati, matanya menyelidik. Siti menegang, tangannya yang sedang menata daun kolplay terhenti. Ia mengangguk pelan, berharap kabar itu tak akan menyakitinya lebih dalam.

“Katanya dia sekarang tinggal di kos-kosan di pinggir kota, kerja di bengkel motor milik Pak Haji Burhan. Tapi, Siti… orang bilang dia bergaul sama anak-anak yang nggak bener. Main judi, minum-minum. Aku cuma dengar, lho, nggak tahu bener apa nggak,” lanjut Mak Sari, suaranya penuh simpati tapi juga ada nada penasaran. Siti hanya tersenyum tipis, matanya menunduk. “Terima kasih, Mak. Doain aja Rian baik-baik saja,” jawabnya lembut, meski dadanya terasa seperti ditindih batu besar. Ia tak ingin Mak Sari melihat air matanya, jadi ia buru-buru membalikkan badan, pura-pura sibuk mengatur dagangannya.

Sepanjang hari, kata-kata Mak Sari bergema di kepala Siti. Rian, anak yang dulu tak pernah lepas dari pelukannya, kini terjebak di dunia yang Siti tak pahami. Ia teringat saat Rian remaja, saat ia mulai berubah. Dulu, Rian sering pulang malam, wajahnya murung, dan jika Siti bertanya, ia hanya menjawab ketus, “Ibu nggak akan ngerti.” Siti tak pernah memaksa, berpikir itu hanya fase remaja yang akan berlalu. Tapi kini, ia menyesal. Mungkin ia terlalu sibuk mencari nafkah, terlalu lelah untuk benar-benar mendengar apa yang ada di hati anaknya.

Sore itu, setelah pasar sepi, Siti memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia akan mencari Rian. Dengan sisa uang dari hasil jualan hari itu, ia naik angkot menuju pinggir kota, tempat bengkel Pak Haji Burhan berada. Jantungnya berdegup kencang sepanjang perjalanan. Ia tak tahu apa yang akan ia katakan jika bertemu Rian, tapi ia harus melihatnya, harus tahu bahwa anaknya baik-baik saja.

Bengkel itu terletak di ujung jalan berdebu, dikelilingi deretan warung kecil dan kos-kosan yang tampak kumuh. Siti turun dari angkot, mantel plastiknya masih basah oleh gerimis. Ia melangkah pelan menuju bengkel, mencium aroma oli dan mendengar dentang logam. Di dalam, beberapa pemuda sedang bekerja, tangan mereka hitam oleh minyak mesin. Siti mencari-cari wajah Rian di antara mereka, tapi tak ada tanda-tanda anaknya. Ia mendekati seorang pria tua yang duduk di kursi kayu, yang ia duga adalah Pak Haji Burhan.

“Permen, Pak. Saya Siti, ibunya Rian. Apa Bapak tahu Rian di mana?” tanya Siti dengan suara gemetar, tangannya mencengkeram tali keranjang yang masih ia bawa. Pak Haji menatapnya dengan mata penuh pengertian. “Oh, Ibu Rian. Rian memang kerja di sini, tapi dia nggak datang sejak kemarin. Katanya dia lagi susah, Bu. Banyak utang sama temen-temennya. Saya juga nggak tahu dia di mana sekarang,” jawab Pak Haji, nadanya penuh iba.

Siti merasa dunianya berputar. Utang? Rian? Anak yang dulu tak pernah meminta apa pun selain buku tulis bekas kini terlilit utang? Ia mengangguk lemas, mengucap terima kasih, lalu berjalan keluar dari bengkel. Di pinggir jalan, ia duduk di trotoar, tak peduli bajunya kotor oleh debu. Hujan mulai reda, tapi air mata Siti tak berhenti. Ia memandang langit yang kini berwarna jingga, berdoa dalam hati agar Rian selamat, agar ia menemukan jalan pulang.

Malam itu, kembali ke rumah, Siti tak bisa tidur. Ia membuka kotak kayu di dapur, mengeluarkan selembar kertas, dan menulis lagi untuk Rian. “Nak, Ibu tahu hidup nggak mudah buat kamu. Tapi apa pun yang terjadi, Ibu di sini. Pulang, Rian. Kita hadapi semua bersama.” Ia menutup kotak, memeluknya erat, seolah itu satu-satunya cara ia bisa memeluk anaknya. Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa suara daun-daun yang bergoyang, seolah berbisik tentang harapan yang masih Siti pegang erat.

Bara di Bawah Abu

Pagi kembali datang dengan aroma tanah basah setelah hujan semalaman. Siti terbangun di kursi kayu tua di ruang tamu, kotak suratnya masih tergeletak di pangkuannya. Semalam, ia tak bisa memejamkan mata, pikirannya dipenuhi bayang-bayang Rian—anaknya yang kini tersesat di dunia yang terasa begitu asing baginya. Kata-kata Pak Haji Burhan tentang utang dan ketidakhadiran Rian di bengkel terus menghantuinya, seperti bara yang membakar pelan di bawah tumpukan abu. Siti bangkit perlahan, tulang-tulangnya terasa kaku, namun tekadnya tak pernah goyah. Ia harus menemukan Rian, tak peduli seberapa jauh ia harus melangkah.

Di dapur, Siti menyiapkan bubur nasi seperti biasa, meski hatinya tahu piring Rian mungkin akan kosong lagi. Ia melirik dua mangga yang masih utuh di atas meja, buah yang kini menjadi pengingat rapuh bahwa Rian masih peduli, meski hanya lewat cara kecil yang tak ia ucapkan. Sebelum berangkat ke pasar, Siti mengambil keputusan besar. Ia akan kembali ke pinggir kota, mencari kos-kosan tempat Rian tinggal, meski ia tak tahu alamat pastinya. “Tuhan pasti kasih jalan,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri sambil mengikat kain penutup keranjang sayurnya.

Perjalanan ke pinggir kota kali ini terasa lebih panjang. Angkot yang ia tumpangi berderit di setiap tikungan, dan jalanan berlubang membuat tubuhnya terguncang. Siti memegang erat tali keranjangnya, matanya menatap keluar jendela, mencari-cari bayangan Rian di setiap sudut jalan. Sesampainya di daerah dekat bengkel Pak Haji Burhan, Siti mulai bertanya kepada orang-orang yang ia temui. Ia mendekati seorang penjual bakso keliling, seorang pria tua dengan topi caping yang tengah mengipasi bara di gerobaknya. “Permen, Pak. Saya cari anak saya, Rian. Katanya tinggal di kos-kosan sekitar sini. Bapak tahu?” tanya Siti, suaranya penuh harap.

Pria itu mengangguk pelan, menunjuk ke arah gang sempit di seberang jalan. “Coba ke gang Mawar, Bu. Banyak kos-kosan anak muda di situ. Tapi hati-hati, tempatnya agak ramai,” katanya dengan nada hati-hati. Siti mengucap terima kasih, lalu melangkah menuju gang yang dimaksud. Gang Mawar ternyata jauh dari nama indahnya. Jalanan berlumpur, dinding-dinding kos-kosan penuh coretan, dan suara musik keras terdengar dari salah satu rumah. Siti merasa jantungannya berdegup kencang, tapi ia terus melangkah, mengetuk pintu demi pintu, bertanya tentang Rian.

Setelah hampir satu jam mencari, seorang pemuda kurus dengan kaus lusuh membuka pintu salah satu kos. “Rian? Oh, dia tinggal di kamar belakang, tapi kayaknya nggak ada sekarang. Coba tanya ke warung Bu Minah di ujung gang, dia suka nongkrong di sana,” katanya sambil menguap. Siti mengangguk, rasa lega dan cemas bercampur di dadanya. Ia bergegas menuju warung Bu Minah, sebuah warung kecil dengan meja-meja plastik yang sudah pudar warnanya. Di sana, ia melihat sekelompok pemuda duduk di sudut, tertawa keras sambil memainkan kartu. Jantung Siti hampir berhenti ketika ia melihat sosok yang begitu dikenalnya—Rian, duduk di antara mereka, wajahnya pucat, matanya merah, dan sebatang rokok tergenggam di tangannya.

“Rian…” panggil Siti pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara tawa di sekitarnya. Rian menoleh, dan seketika wajahnya berubah. Ada kilat rasa malu, marah, dan sesuatu yang tak bisa Siti baca di matanya. Ia bangkit, melempar kartu di tangannya ke meja, lalu berjalan mendekati Siti dengan langkah cepat. “Bu, ngapain Ibu ke sini?” tanyanya ketus, suaranya rendah tapi penuh tekanan. Siti menatap anaknya, melihat wajah yang dulu begitu polos kini dipenuhi bayang-bayang lelah. “Ibu cuma mau lihat kamu, Nak. Ibu khawatir,” jawab Siti, tangannya gemetar ingin meraih Rian, tapi ia menahan diri.

“Khawatir? Ibu nggak perlu khawatir. Aku baik-baik aja. Pulang aja, Bu. Jangan bikin malu,” kata Rian, nadanya semakin tajam. Kata-kata itu seperti pisau, mengiris hati Siti hingga ia nyaris tak bisa bernapas. Tapi ia tak menyerah. “Rian, Ibu tahu kamu lagi susah. Pak Haji bilang kamu punya utang. Pulang sama Ibu, Nak. Kita selesaikan bersama,” pinta Siti, air matanya mulai menggenang. Rian tertawa kecil, tapi tawanya penuh kepahitan. “Selesaikan? Dengan apa, Bu? Jual sayur? Ibu nggak ngerti, dunia ini nggak sesederhana itu!” bentaknya, lalu berbalik, meninggalkan Siti di depan warung.

Siti berdiri membeku, air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia ingin mengejar Rian, ingin memeluknya seperti dulu, tapi kakinya terasa lelet. Orang-orang di warung mulai melirik, beberapa berbisik, tapi Siti tak peduli. Ia hanya bisa memandang punggung Rian yang menghilang di ujung gang, membawa serta sepotong hatinya. Dengan langkah gontai, ia kembali ke angkot, keranjang sayurnya kini terasa seperti beban dunia. Di perjalanan pulang, ia menatap langit yang mulai gelap, berdoa dalam hati agar Rian menemukan jalan kembali, meski bara harapannya kini terasa redup.

Malam itu, di rumah, Siti duduk di beranda, memandang jalan setapak yang masih kosong. Ia mengeluarkan kotak kayu, menulis surat baru dengan tangan yang gemetar. “Rian, Ibu nggak akan berhenti menunggu. Ibu tahu kamu marah, mungkin sama Ibu, mungkin sama hidup. Tapi Nak, Ibu cuma punya kamu. Pulang, meski cuma sebentar. Ibu rindu suara kamu.” Ia menutup kotak, memeluknya erat, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia membiarkan dirinya menangis tersedu-sedu. Di luar, bulan purnama bersinar lembut, seolah berjanji bahwa esok masih ada harapan, meski kecil, di bawah tumpukan abu.

Pelita yang Tak Pernah Padam

Hujan kembali turun malam itu, deras, seolah langit ikut menangis bersama Siti. Di beranda rumah kecilnya, Siti duduk memeluk kotak kayu tua, tempat ia menyimpan surat-surat untuk Rian. Air hujan sesekali menerpa wajahnya, bercampur dengan air mata yang tak lagi ia coba sembunyikan. Pertemuan singkat dengan Rian di warung Bu Minah kemarin meninggalkan luka baru di hatinya. Kata-kata pedas anaknya, “Jangan bikin malu,” masih bergema, tapi di balik rasa sakit itu, Siti melihat sesuatu di mata Rian—kerapuhan, penyesalan yang tersembunyi di balik kemarahannya. Itu cukup untuk membuatnya bertahan, untuk tetap memegang bara harapan yang kini nyaris padam.

Pagi berikutnya, Siti bangun dengan tubuh yang terasa berat. Matanya sembab, namun ia tetap menyeret dirinya ke dapur, menyiapkan bubur nasi seperti ritual yang tak pernah ia tinggalkan. Dua piring seng diletakkan di meja, satu untuknya, satu untuk Rian, meski ia tahu piring itu mungkin akan kosong lagi. Dua mangga yang ditinggalkan Rian masih ada di sudut meja, kini mulai lunak, tapi Siti tak tega menyentuhnya. Ia memandangnya lama, lalu mengambil salah satunya, mengupasnya perlahan dengan pisau tua, dan memotongnya kecil-kecil. “Kalau kamu pulang hari ini, Nak, Ibu buatin rujak mangga kesukaanmu,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada udara.

Hari itu, Siti memutuskan untuk tidak pergi ke pasar. Ia merasa tubuhnya tak sanggup, dan, dan ia ingin berada di rumah, menunggu, seperti pelita yang tetap menyala di tengah badai. Ia membersihkan rumah, menyapu lantai tanah yang sudah retak-retak, mencuci pakaian dengan tangan, dan merapikan sudut-sudut yang jarang ia sentuh. Setiap gerakan adalah caranya bertahan, caranya menolak menyerah. Di sudut ruang tamu, ia menemukan sebuah buku tua milik Rian, buku pelajaran matematika dari sekolah menengah, penuh coretan dan catatan kecil di pinggir halaman. Siti memeluk buku itu, membayangkan Rian kecil yang dulu begitu rajin belajar, bermimpi menjadi insinyur. Air matanya jatuh ke halaman buku, tapi ia tersenyum kecil, mengingat tawa Rian saat ia berhasil mengerjakan soal sulit. “Ibu bangga sama kamu, Nak,” katanya pelan, meski hanya dinding-dinding reyot yang mendengar.

Sore menjelang, langit mulai cerah, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah jendela yang retak. Siti duduk di beranda, menatap jalan setapak yang kini basah oleh sisa hujan. Ia memegang kotak kayu, mengeluarkan semua surat yang telah ia tulis untuk Rian—puluhan lembar kertas, penuh coretan rindu dan doa. Ia membaca satu per satu, tersenyum dan menangis bergantian, sampai tiba-tiba ia mendengar suara langkah di kejauhan. Jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh, dan di ujung jalan, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, berjalan pelan, ragu-ragu. Rian. Pakaiannya lusuh, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya penuh luka kecil, tapi itu Rian, anaknya, dunianya.

Siti bangkit, kotak kayu jatuh dari pangkuannya, surat-surat berhamburan di tanah. “Rian!” panggilnya, suaranya pecah oleh tangis. Rian berhenti, matanya memandang Siti, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Siti melihat air mata di wajah anaknya. “Bu…” gumam Rian, suaranya serak, lalu ia berlari, menutup jarak antara mereka. Siti memeluknya erat, tak peduli bajannya kotor, tak peduli apa yang telah terjadi. Rian menangis di pelukannya, tubuhnya gemetar, seperti anak kecil yang dulu selalu mencari perlindungan di pelukan ibunya. “Maaf, Bu. Aku salah. Aku nggak tahu harus ke mana lagi,” isak Rian, kata-katanya terputus oleh tangis.

Siti mengelus rambut anaknya, air matanya bercampur dengan tawa kecil. “Kamu pulang, Nak. Itu cukup. Ibu nggak minta apa-apa lagi,” bisiknya, suaranya penuh kehangatan. Mereka duduk di beranda, masih berpelukan, sementara surat-surat di tanah diterbangkan angin, seolah membawa rindu yang selama ini terpendam. Siti mendengar cerita Rian—tentang utang yang membelitnya, tentang teman-teman yang menyeretnya ke jalan kelam, tentang rasa malu yang membuatnya menjauh. Tapi Siti hanya mendengar, tak menghakimi, hanya memegang tangan anaknya erat, seperti dulu saat Rian masih kecil.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dua piring seng di meja makan terisi. Siti membuat rujak mangga, seperti yang ia janjikan, dan mereka makan bersama, tertawa di sela-sela cerita kecil. Rian berjanji untuk memperbaiki hidupnya, untuk kembali ke bengkel dan melunasi utangnya perlahan, tapi kali ini dengan Siti di sisinya. “Ibu nggak akan ninggalin aku lagi, kan?” tanya Rian, matanya penuh harap. Siti tersenyum, menggenggam tangannya. “Ibu pelita kamu, Nak. Selama Ibu hidup, Ibu nggak akan pernah padam.”

Di luar, bintang-bintang bersinar terang, menyaksikan sebuah rumah kecil yang kini dipenuhi cahaya. Siti tahu perjalanan mereka masih panjang, tapi untuk malam ini, ia punya Rian kembali, dan itu lebih dari cukup. Kotak kayu di sudut ruangan kini tak lagi penuh surat, karena Rian sudah di sini, di sampingnya, dan pelita di hati Siti akan terus menyala, tak pernah padam, untuk anaknya, untuk cinta yang tak pernah pudar.

Pelita di Balik Bayang Kelam mengingatkan kita bahwa cinta seorang ibu adalah pelita yang tak pernah padam, mampu menerangi jalan pulang meski di tengah kegelapan. Cerpen ini bukan hanya sekadar cerita, tetapi cerminan kekuatan keluarga, pengampunan, dan harapan yang selalu ada, tak peduli seberapa berat cobaan yang dihadapi. Dengan alur yang penuh emosi dan karakter yang begitu manusiawi, kisah ini layak menjadi bacaan wajib bagi Anda yang ingin merasakan kehangatan cinta sejati. Jangan lewatkan untuk membaca cerpen ini secara utuh dan temukan sendiri bagaimana Siti dan Rian mengajarkan kita arti dari ketabahan dan kasih sayang.

Leave a Reply