Daftar Isi [hide]
Pelita dalam Senja
Jejak Kaki di Tanah Harapan
Matahari baru saja naik, menyinari atap-atap rumah di Desa Karangjati. Angin pagi membawa aroma tanah yang masih basah oleh embun. Di teras rumah kecil berdinding kayu, seorang wanita paruh baya duduk di bangku reyot, jari-jarinya lincah menenun sehelai kain. Sulastri, begitu orang-orang memanggilnya.
Tak jauh darinya, seorang anak lelaki duduk di atas tikar, matanya berbinar menatap ibunya. Jagat masih kecil waktu itu, sekitar delapan tahun, dengan rambut hitam legam yang sedikit berantakan. Ia menggambar sesuatu di tanah dengan sebatang ranting.
“Jagat,” panggil Sulastri tanpa mengalihkan pandangannya dari benang-benang yang tengah ia susun.
“Iya, Bu?”
“Kamu nanti mau jadi apa kalau sudah besar?” tanyanya, suaranya lembut, tapi ada harapan di baliknya.
Jagat mengerutkan kening, meletakkan rantingnya, lalu menatap ibunya. “Aku mau jadi orang kaya, biar ibu nggak usah kerja lagi!”
Sulastri tersenyum, tapi ada kesedihan di balik senyum itu. Tangannya tetap bergerak, menganyam kain yang nantinya akan ia jual ke pasar. “Orang kaya belum tentu bahagia, Nak. Tapi kalau kamu jadi orang baik, hidupmu pasti akan berkah.”
Jagat mengangguk kecil. Ia mungkin belum sepenuhnya mengerti, tapi ia tahu ibunya ingin yang terbaik untuknya.
Sejak pagi buta, Sulastri sudah bekerja. Menenun, memasak, mengurus rumah, lalu pergi ke pasar menjual hasil tenunannya. Jagat, meski masih kecil, selalu berusaha membantu. Terkadang ia ikut ke pasar, menawarkan kain-kain ibunya pada pembeli dengan suara polosnya yang menggemaskan.
“Ibu! Lihat!” seru Jagat suatu sore, sambil berlari masuk ke rumah dengan nafas tersengal.
“Ada apa?” tanya Sulastri, meletakkan kainnya.
Jagat mengulurkan selembar kertas yang sudah agak lecek. “Nilai matematikaku seratus! Aku yang paling tinggi di kelas!”
Sulastri mengambil kertas itu, matanya berkaca-kaca. “Jagat… ibu bangga sama kamu!” Ia menarik Jagat ke dalam pelukan, mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang.
“Aku nanti mau sekolah tinggi, Bu. Biar bisa kerja yang bagus dan beliin ibu rumah yang lebih besar!”
Sulastri terdiam. Hatinya menghangat, tapi juga berat. Ia tahu, mimpi-mimpi besar selalu menuntut pengorbanan.
Malam itu, mereka duduk di beranda, menikmati bulan yang menggantung di langit. Sulastri menyisir rambut Jagat dengan jemarinya yang kasar karena bekerja.
“Kamu harus selalu ingat satu hal, Nak,” ucapnya lembut.
“Apa, Bu?”
“Jangan pernah lupakan tempat di mana kamu berasal. Kamu boleh pergi jauh, tapi hati kamu harus selalu pulang.”
Jagat menatap ibunya dengan mata jernih. Ia belum sepenuhnya memahami, tapi kata-kata itu tertanam di hatinya, menunggu waktu untuk tumbuh dan bermakna.
Langkah ke Dunia Baru
Langit Desa Karangjati masih sama—biru luas dengan gumpalan awan yang bergerak pelan. Namun, suasana di rumah kecil itu berbeda. Hari ini, Jagat akan pergi ke kota untuk melanjutkan kuliah.
Sulastri duduk di tepi dipannya, menatap koper kecil di sudut kamar. Tangan tuanya sibuk melipatkan baju-baju sederhana milik putranya. Sesekali ia menghela napas, menahan sesuatu yang terasa menyesakkan di dada.
Sementara itu, di luar, Jagat berdiri menatap halaman rumah. Pohon mangga di sudut pekarangan yang dulu sering ia panjat, sumur tua tempat ibunya menimba air, serta tikar anyaman tempat mereka biasa duduk sore-sore. Semua terasa begitu berharga kini.
“Ibu, aku janji nggak bakal lama-lama di kota,” ucapnya, mencoba menenangkan hati ibunya—juga hatinya sendiri.
Sulastri tersenyum, meski matanya tampak sendu. “Kamu nggak usah mikirin ibu. Yang penting kamu belajar yang benar, jangan sampai sia-siakan kesempatan.”
Jagat mengangguk. Ia tahu, ini bukan sekadar kepergian. Ini adalah perjalanan menuju sesuatu yang lebih besar, seperti yang selalu ia impikan.
Kota itu bising, penuh dengan suara klakson dan hiruk-pikuk manusia yang berjalan tergesa. Gedung-gedung tinggi menjulang, begitu berbeda dengan desa tempat Jagat tumbuh. Ia merasa kecil di tengah segala kemegahan ini.
Hari pertama kuliah, Jagat duduk di bangku paling depan. Ia tak ingin mengecewakan ibunya. Namun, kenyataan tidak semudah yang dibayangkan. Biaya hidup di kota jauh lebih tinggi dari perkiraannya. Uang beasiswa hanya cukup untuk membayar kuliah dan sedikit makan sehari-hari.
Suatu malam, ia menelpon ibunya.
“Ibu, aku butuh uang untuk beli buku…”
Hening di seberang sana.
“Nanti ibu coba carikan, ya, Nak.”
Jagat terdiam. Ia tahu, “coba carikan” artinya ibunya akan bekerja lebih keras lagi, mungkin menenun sampai larut malam atau menjual barang-barang yang masih bisa diuangkan. Dadanya terasa sesak.
Sejak malam itu, ia memutuskan untuk bekerja sambilan. Pagi kuliah, sore mengajar les privat, dan malam mengantar pesanan di warung makan. Lelah? Tentu. Tapi ia tak mau ibunya mengorbankan lebih banyak lagi.
Hampir setiap malam, ia tertidur di meja belajar dengan buku yang masih terbuka. Setiap pagi, ia bangun dengan tubuh yang semakin kurus dan mata yang semakin lelah. Namun, di dalam hatinya, ada satu hal yang selalu ia genggam erat: janji untuk membahagiakan ibunya.
Waktu berjalan, dan meski sesekali ia ingin menyerah, bayangan ibunya yang duduk menenun di rumah kecil mereka selalu menjadi pengingat. Ini bukan sekadar tentang dirinya—ini tentang pengorbanan yang harus ia bayar dengan kesuksesan.
Ia harus terus melangkah. Tak peduli seberapa beratnya.
Pulang dalam Duka
Malam itu hujan turun deras. Jagat baru saja menyelesaikan pekerjaannya mengantar pesanan di warung makan. Dengan tubuh lelah dan pakaian yang sedikit basah, ia berjalan pulang ke kamar kosnya. Saat membuka ponselnya, sebuah pesan dari tetangga ibunya membuat dadanya mencelos.
“Jagat, ibumu sakit. Sudah beberapa hari ini beliau nggak bisa bangun. Lebih baik kamu pulang.”
Jagat tak berpikir dua kali. Ia langsung mencari tiket perjalanan paling awal ke desa.
Perjalanan pulang terasa begitu panjang. Setiap guncangan di dalam bus seakan mengaduk perasaannya. Bagaimana jika ia terlambat? Bagaimana jika ibunya…
Tidak! Ia menepis segala pikiran buruk.
Begitu sampai di desa, Jagat berlari menuju rumah kecil mereka. Hatinya seakan berhenti saat melihat ibunya terbaring di dipan, tubuhnya jauh lebih kurus, wajahnya pucat, dan nafasnya tersengal.
“Ibu… Aku pulang,” suaranya bergetar.
Sulastri membuka matanya perlahan. Senyum tipis terukir di bibirnya yang kering. “Jagat… Kamu beneran pulang.”
Jagat menggenggam tangan ibunya, merasakan betapa dinginnya kulit wanita yang telah berjuang untuknya itu. “Kenapa nggak bilang kalau sakit? Kenapa harus nunggu aku dikabarin orang lain?”
Sulastri tertawa kecil, tapi suaranya lemah. “Ibu nggak mau kamu kepikiran… Kamu kan sibuk di kota.”
Jagat menunduk, rasa bersalah menyesak di dadanya. Selama ini ia bekerja keras agar ibunya bisa hidup lebih baik, tapi justru ibunya sakit saat ia sedang mengejar impian.
Mulai hari itu, Jagat memutuskan untuk tinggal sementara di desa, merawat ibunya. Ia memasak untuknya, menyuapinya perlahan, dan memijat kakinya setiap malam.
Suatu sore, saat mereka duduk di beranda, ibunya memegang tangan Jagat dengan erat. “Kamu ingat, Nak, waktu kecil kamu bilang mau beliin ibu rumah besar?”
Jagat mengangguk, matanya berkaca-kaca.
Sulastri tersenyum. “Tapi buat ibu, rumah yang paling besar adalah hati anaknya. Dan ibu tahu… kamu punya hati yang luas dan baik.”
Jagat tak bisa menahan air matanya. Ia memeluk ibunya erat, berharap waktu bisa berhenti di saat itu saja.
Namun, ia tahu, ada hal-hal yang tak bisa dilawan manusia. Dan senja semakin mendekat.
Pelita dalam Senja
Langit sore itu berwarna jingga kemerahan. Angin bertiup pelan, menggoyangkan dedaunan di halaman rumah kecil itu. Di dalam kamar, Sulastri terbaring dengan napas yang semakin lemah. Jagat duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin melepaskan.
“Ibu, aku masih di sini. Aku nggak ke mana-mana,” bisiknya dengan suara bergetar.
Sulastri membuka matanya perlahan, tersenyum kecil. “Jagat… ibu bangga sama kamu.”
Air mata menggenang di sudut mata Jagat. “Jangan ngomong gitu, Bu. Ibu pasti sembuh. Aku bakal rawat ibu, biar ibu bisa lihat aku sukses nanti.”
Sulastri menggeleng lemah. “Nak… sukses itu bukan soal gelar, bukan soal uang. Tapi soal bagaimana kamu bisa berguna buat orang lain… Dan ibu tahu, kamu sudah melakukannya.”
Jagat menunduk, bahunya bergetar. “Aku belum sempat balas semua kebaikan ibu…”
Sulastri tersenyum, menatapnya dengan penuh kasih sayang. “Kamu sudah, Nak. Dari dulu… sejak pertama kamu bilang mau bikin ibu bahagia, sejak kamu pulang tanpa diminta…” Ia terdiam sesaat, menarik napas dalam dengan susah payah. “Kamu adalah kebanggaan ibu.”
Saat itu, genggaman tangan Sulastri melemah. Senyum di bibirnya tetap ada, tapi matanya perlahan terpejam.
Jagat merasakan dadanya sesak. “Ibu…?”
Hening.
Jagat mengguncang tubuh ibunya perlahan. “Ibu, bangun… Aku masih butuh ibu…”
Tapi Sulastri tak lagi menjawab.
Tangis Jagat pecah. Ia memeluk tubuh ibunya erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa terbendung. Senja di luar semakin memerah, seakan turut mengantarkan kepergian seorang ibu yang telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk putranya.
Hari-hari setelah kepergian ibunya terasa sunyi. Rumah kecil itu tak lagi memiliki suara seorang wanita yang duduk menenun di pagi hari, atau yang menyisir rambutnya di beranda saat malam datang.
Namun, Jagat tahu, ibunya tak benar-benar pergi.
Ia memutuskan untuk tetap tinggal di desa. Ia membuka usaha kecil dari kerajinan tenun peninggalan ibunya, mengajarkan perempuan-perempuan desa agar bisa mandiri. Sekolah tempat ia pernah belajar memintanya menjadi guru tetap, dan ia menerimanya dengan bangga.
Bukan kehidupan yang mewah, bukan mimpi besar yang dulu ia bayangkan. Tapi ini lebih dari cukup.
Di setiap helai kain yang ditenunnya, di setiap anak yang diajarnya, di setiap sore saat ia menatap langit senja, Jagat tahu—ibunya selalu ada.
Dan ia akan terus menjadi pelita, seperti ibunya dulu.