Daftar Isi
Pelangi Setelah Hujan
Tangisan di Balik Hujan
Hujan turun tanpa henti. Hari demi hari, langit kelabu menggantung rendah di atas desa kecil itu, seolah enggan pergi. Awalnya, para penduduk masih bersabar, menutup tubuh mereka dengan mantel jerami dan melanjutkan kehidupan seperti biasa. Namun, saat hujan semakin deras dan air mulai naik ke dalam rumah-rumah, rasa cemas berubah menjadi ketakutan.
Sungai yang mengalir di tengah desa kini berubah menjadi arus deras yang ganas. Sawah-sawah yang hijau subur telah menjadi danau lumpur yang tak berguna. Anak-anak tak lagi bermain di jalanan, sementara para orang tua hanya bisa menatap langit dengan doa yang menggantung di bibir.
Di tengah kekacauan itu, Renshiro berdiri di depan bengkel kecilnya yang hampir roboh. Ia adalah seorang pembuat payung, dan selama hujan ini, usahanya justru menjadi sia-sia. Tak ada yang peduli dengan payung ketika angin menerbangkan atap dan air masuk tanpa ampun.
Renshiro menghela napas, memandang desa yang mulai tenggelam. “Ini tidak wajar,” gumamnya. “Bahkan badai terburuk pun tidak bertahan selama ini.”
Di sudut jalan, sekelompok penduduk berkumpul di bawah atap kuil tua. Salah satu dari mereka, seorang pria tua bernama Tora, berbicara dengan suara berat. “Ini pasti murka para kami. Mungkin kita telah melakukan sesuatu yang membuat mereka marah.”
“Tidak, ini bukan kemarahan,” sahut seorang wanita paruh baya. “Kalian semua tahu legenda itu, bukan? Tentang dewi hujan yang menangis?”
Renshiro mendengar percakapan itu dan mendekat. “Apa maksudmu?” tanyanya.
Wanita itu menatapnya dengan khawatir. “Ame-no-Hanabi, dewi hujan… Konon jika ia menangis, hujan tak akan berhenti. Airnya bisa menenggelamkan dunia jika kesedihannya terlalu dalam.”
Seorang pemuda menyela, “Tapi itu hanya cerita, kan? Hujan turun karena musim, bukan karena dewa atau dewi.”
Tora menggeleng. “Lalu kenapa hujan ini tak pernah berhenti? Sudah lebih dari sepuluh hari, dan tak ada tanda-tanda akan reda. Jika ini bukan tangisan dewi, lalu apa?”
Hening sejenak. Hanya suara hujan yang terus mengguyur atap dan tanah berlumpur.
Renshiro memandang payung merah tua yang ia pegang. Ia ingat cerita ibunya dulu, tentang bagaimana setiap tetes hujan adalah air mata seorang dewi yang kehilangan cintanya. Jika benar legenda itu nyata… maka hanya ada satu tempat yang bisa menjawab semua pertanyaannya.
Gunung Akaiyama.
“Kalau benar ini tangisan Ame-no-Hanabi,” kata Renshiro, suaranya terdengar tegas, “maka aku akan pergi menemuinya.”
Beberapa orang menoleh dengan terkejut.
“Kamu gila?” seru pemuda tadi. “Gunung Akaiyama bukan tempat untuk manusia biasa! Itu rumah para dewa!”
“Aku tidak punya pilihan,” jawab Renshiro. “Jika aku tidak pergi, desa ini akan tenggelam.”
Wanita paruh baya itu menatapnya dengan prihatin. “Apa kamu yakin, Nak?”
“Aku harus.”
Hening kembali menyelimuti mereka, hanya diiringi suara hujan yang seakan ikut menyetujui keputusan itu. Tanpa banyak bicara lagi, Renshiro membenahi jubahnya, mengikat payung merahnya di punggung, dan mulai melangkah menuju kaki gunung yang tertutup kabut tebal.
Satu-satunya jalan untuk menghentikan hujan ini adalah menemui sang dewi sendiri.
Perjalanan ke Gunung Akaiyama
Renshiro berjalan menembus hujan dengan langkah mantap. Jalan setapak menuju Gunung Akaiyama telah berubah menjadi lumpur licin, membuat setiap pijakannya berisiko tergelincir. Tapi ia tidak mundur. Di punggungnya, payung merah tua terikat erat, bergoyang mengikuti langkahnya.
Semakin jauh ia berjalan, semakin sunyi sekelilingnya. Hutan di kaki gunung terasa seperti dunia lain—tidak ada suara burung, tidak ada hembusan angin, hanya hujan yang terus turun tanpa ampun. Pohon-pohon menjulang tinggi, batangnya basah oleh air hujan, dan akar-akar besar menjulur di tanah, seperti tangan-tangan yang mencoba menahan siapa pun yang berani masuk lebih dalam.
Setelah beberapa jam berjalan, Renshiro berhenti sejenak di bawah sebuah pohon besar untuk mengatur napas. Air hujan menetes dari rambut hitamnya yang basah, sementara pakaiannya sudah melekat di tubuh karena kuyup.
“Tak heran tak ada yang berani ke sini,” gumamnya sambil menghela napas panjang.
Tiba-tiba, di kejauhan, ia melihat sesuatu—sesosok bayangan berdiri di antara pepohonan, samar tertutup kabut. Renshiro menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas.
“Siapa di sana?” serunya, suaranya sedikit bergetar.
Bayangan itu melangkah mendekat. Kini, dalam jarak yang lebih dekat, Renshiro bisa melihat sosoknya lebih jelas—seorang pria tua dengan jubah abu-abu lusuh. Rambutnya panjang, hampir menyentuh pinggang, dan matanya tajam seperti elang.
“Kau manusia bodoh atau hanya nekat?” suara pria tua itu berat dan dingin.
Renshiro menegakkan tubuhnya. “Aku harus menemui Ame-no-Hanabi.”
Pria tua itu tertawa kecil, tapi tawanya tanpa kehangatan. “Dan kau pikir dewi hujan akan menyambutmu dengan tangan terbuka?”
“Aku tidak tahu,” jawab Renshiro jujur. “Tapi kalau hujan ini memang karena tangisannya, aku ingin tahu alasannya.”
Pria tua itu terdiam, menatap Renshiro dengan mata yang seakan menimbang-nimbang. Lalu, tanpa peringatan, ia mengangkat tangannya. Dalam sekejap, angin kencang berhembus, hampir membuat Renshiro kehilangan keseimbangan.
“Kau ingin bertemu dewi hujan?” suara pria itu terdengar seperti bergema di antara pepohonan. “Buktikan bahwa kau layak.”
Mendadak, dari balik kabut, bayangan-bayangan muncul. Mereka bergerak dengan cepat, mengelilingi Renshiro—makhluk-makhluk berwujud seperti manusia tapi dengan tubuh transparan seperti air. Mata mereka kosong, gerakan mereka seperti riak di atas permukaan danau.
Renshiro mundur selangkah, tangannya refleks meraih payung merahnya. “Apa ini?”
“Mereka adalah roh hujan,” kata pria tua itu. “Jika kau bisa melewati mereka, aku akan membiarkanmu melanjutkan perjalanan.”
Roh-roh itu mulai bergerak, mengitari Renshiro dengan gerakan cepat dan tak terduga. Satu di antaranya melesat ke arahnya. Dengan refleks, Renshiro membuka payungnya, menahannya seperti perisai. Begitu roh itu menyentuh permukaan payung, ia menghilang menjadi kabut tipis.
Mata Renshiro melebar. Mereka bisa dihentikan…?
Tanpa membuang waktu, ia mulai bergerak, mengayunkan payungnya ke arah roh-roh yang mendekat. Setiap kali payung merah itu menyentuh mereka, tubuh mereka menguap seperti embun yang terkena cahaya matahari.
Namun semakin banyak yang ia lawan, semakin cepat mereka bergerak. Renshiro mulai kelelahan, napasnya tersengal. Ia menangkis satu serangan, lalu yang lain, tapi kakinya terpeleset lumpur. Tubuhnya hampir jatuh ke tanah, namun di saat terakhir, ia menancapkan payungnya ke tanah dan menahan tubuhnya tetap tegak.
Mata pria tua itu berbinar. “Menarik… Kau tidak hanya mengandalkan kekuatan, tapi juga kecerdikan.”
Roh-roh hujan tiba-tiba berhenti. Dalam sekejap, mereka menghilang bersama kabut yang mulai menipis.
Renshiro masih berdiri dengan napas memburu. Ia menatap pria tua itu dengan waspada.
“Siapa kamu… sebenarnya?” tanyanya.
Pria itu tersenyum tipis. “Hanya penjaga jalan menuju puncak.” Ia lalu mengulurkan tangannya ke arah jalan setapak yang kini terlihat lebih jelas. “Teruslah berjalan. Ame-no-Hanabi sedang menunggumu.”
Renshiro menatap jalan itu, lalu kembali melihat pria tua tersebut. Tapi dalam sekejap, pria itu sudah menghilang, seakan hanya ilusi yang dibawa hujan.
Tanpa berkata lagi, Renshiro melanjutkan perjalanannya, semakin yakin bahwa ia semakin dekat dengan jawaban yang ia cari.
Rahasia Sang Dewi
Renshiro terus mendaki. Semakin tinggi ia naik, semakin pekat kabut yang menyelimuti jalannya. Udara di puncak Gunung Akaiyama jauh lebih dingin dari yang ia duga, membuat setiap hembusan napasnya berubah menjadi uap tipis di udara. Hujan masih turun, tapi kini lebih lembut, seperti bisikan yang menyertai langkah kakinya.
Tak lama, ia tiba di sebuah dataran luas di puncak gunung. Di tengahnya berdiri sebuah paviliun kuno dengan pilar-pilar kayu yang dihiasi ukiran berbentuk pusaran air. Di sekelilingnya, kolam-kolam kecil memantulkan cahaya pucat dari langit mendung. Tempat ini terasa aneh… sunyi, namun penuh dengan kehadiran yang tak terlihat.
Dan di sana, berdiri seorang perempuan dengan kimono biru pucat yang berkilau seperti air hujan. Rambut hitam panjangnya tergerai hingga menyentuh tanah, dan kulitnya seputih bulan yang tersembunyi di balik awan.
Ame-no-Hanabi.
Dewi hujan itu tidak menoleh ketika Renshiro mendekat. Ia berdiri di tepi paviliun, menatap ke arah langit dengan ekspresi yang sulit ditebak. Tetesan hujan yang jatuh di sekelilingnya tampak melayang lebih lama sebelum akhirnya menyentuh tanah, seolah ragu untuk meninggalkan dirinya.
Renshiro menelan ludah, berusaha menenangkan degup jantungnya. Ia berdiri beberapa langkah darinya, lalu berkata, “Aku sudah mendaki jauh untuk menemuimu.”
Ame-no-Hanabi masih diam. Lalu, dengan suara yang terdengar lebih seperti hembusan angin dibanding suara manusia, ia berkata, “Aku tahu.”
Renshiro mengerutkan kening. “Kalau begitu, kamu pasti juga tahu mengapa aku ada di sini.”
Ame-no-Hanabi akhirnya menoleh. Mata birunya yang jernih seperti permukaan danau menatapnya, tetapi di dalamnya ada kesedihan yang begitu dalam.
“Hujan ini mengganggumu, ya?” tanyanya pelan.
“Tidak hanya aku. Desaku hampir tenggelam. Sawah-sawah rusak, rumah-rumah hancur,” jawab Renshiro. “Kamu menangis tanpa henti, dan air matamu telah membawa bencana.”
Dewi hujan menatap ke bawah, seolah merasa bersalah. Namun, bibirnya hanya mengukir senyum tipis yang terasa… kosong.
“Aku tidak bisa menghentikannya,” bisiknya.
Renshiro menatapnya dengan bingung. “Kenapa?”
Ame-no-Hanabi terdiam sesaat sebelum berbalik dan berjalan perlahan menuju salah satu kolam kecil di dekatnya. Ia merentangkan tangannya, membiarkan tetesan hujan jatuh di telapak tangannya yang pucat.
“Kamu tahu tentang legenda dewa matahari, Hikaru-no-Mikage, bukan?” tanyanya.
Renshiro mengangguk. “Ya. Dia yang menerangi langit setiap pagi.”
Ame-no-Hanabi tersenyum pahit. “Dia lebih dari sekadar cahaya pagi bagiku. Dia adalah segalanya.”
Dewi hujan menutup matanya sejenak, seolah membiarkan kenangan lama mengalir dalam dirinya.
“Aku mencintainya.” Suaranya hampir tak terdengar. “Setiap pagi, saat ia naik ke langit, aku selalu menunggunya di sini. Aku tahu aku tidak bisa menyentuhnya, karena aku adalah hujan, dan dia adalah matahari. Jika kami bersama, aku akan menguap, dan dia akan padam. Tapi aku tetap menunggu… menatapnya dari jauh.”
Renshiro menahan napas. Ia bisa merasakan betapa dalam perasaan sang dewi.
“Tapi suatu hari,” lanjut Ame-no-Hanabi, suaranya mulai bergetar, “Hikaru-no-Mikage berhenti muncul. Langit tetap kelabu, matahari tidak lagi bersinar. Aku menunggu… dan menunggu… tetapi ia tidak pernah kembali.”
Dewi hujan menundukkan kepalanya, dan setetes air mata jatuh ke permukaan kolam, menyatu dengan air hujan yang sudah memenuhi tempat itu.
“Aku mencari jawabannya,” bisiknya. “Dan aku menemukan kenyataan yang tidak bisa kuterima. Hikaru-no-Mikage… telah menghilang selamanya.”
Renshiro mengernyit. “Menghilang?”
Ame-no-Hanabi mengangguk. “Ia telah memadamkan cahayanya… untuk selamanya.”
Hati Renshiro terasa berat. Kini ia mengerti. Hujan ini bukan hanya tangisan biasa—ini adalah ratapan seorang dewi yang kehilangan cinta sejatinya.
“Tapi… kalau dia sudah pergi,” kata Renshiro pelan, “apa kamu akan menangis selamanya?”
Ame-no-Hanabi menatapnya dengan tatapan kosong. “Apa lagi yang bisa kulakukan? Aku adalah hujan. Aku hanya bisa menangis.”
Hening menyelimuti mereka. Renshiro menghela napas, lalu menatap payung merah yang ia bawa. Ia menggenggamnya erat, sebelum akhirnya menatap Ame-no-Hanabi dengan penuh tekad.
“Aku tidak percaya itu,” katanya. “Hujan tidak hanya tentang tangisan. Hujan juga tentang kehidupan. Setelah hujan, selalu ada sesuatu yang baru. Aku ingin kamu melihatnya.”
Dewi hujan menatapnya dengan bingung. “Melihat… apa?”
Renshiro tersenyum kecil. “Aku akan menunjukkan kepadamu. Tapi kamu harus percaya padaku.”
Ame-no-Hanabi menatapnya lama, seolah mencoba memahami niatnya. Lalu, perlahan, ia mengangguk.
Dan dengan itu, Renshiro tahu—ia baru saja menyalakan secercah harapan di tengah hujan yang seakan tak berujung.
Pelangi Setelah Hujan
Renshiro berdiri di hadapan Ame-no-Hanabi, merasakan embusan angin dingin yang berbaur dengan hujan tipis di puncak Gunung Akaiyama. Sang dewi menatapnya dengan mata biru yang dipenuhi kesedihan, namun ada sesuatu yang berbeda—sebutir harapan kecil, meski masih samar.
“Apa yang ingin kamu tunjukkan kepadaku?” tanya Ame-no-Hanabi dengan suara lembut, hampir seperti desiran angin.
Renshiro menggenggam payung merahnya erat, lalu membukanya di atas kepalanya. Ia tidak langsung menjawab, melainkan menengadah ke langit mendung yang telah lama tak berubah.
“Aku ingin kamu percaya bahwa hujan bukan hanya tentang kesedihan,” katanya perlahan. “Hujan bisa membawa kehidupan. Bisa membawa awal yang baru.”
Dewi hujan menatapnya, masih ragu. “Tapi bagaimana aku bisa berhenti menangis? Jika aku berhenti, maka aku akan kehilangan satu-satunya cara untuk mengenangnya.”
Renshiro menghela napas. Ia memikirkan cara terbaik untuk menjawabnya, lalu menatap langsung ke mata Ame-no-Hanabi.
“Kamu tidak harus melupakannya,” katanya. “Tapi kamu juga tidak bisa terjebak dalam kesedihan selamanya. Hikaru-no-Mikage sudah pergi, tapi bukan berarti cahayanya menghilang sepenuhnya.”
Ame-no-Hanabi mengernyit, seolah tak memahami maksudnya.
Renshiro menutup payungnya perlahan, membiarkan hujan menyentuh wajahnya. Ia lalu menunjuk ke cakrawala, ke arah desa yang jauh di bawah sana, hampir tertutup kabut.
“Lihat desa itu,” katanya. “Mereka takut. Mereka kehilangan harapan karena hujan ini tak kunjung berhenti. Tapi jika hujan berakhir, mereka bisa membangun kembali. Mereka bisa menemukan cahaya baru. Sama seperti kamu.”
Ame-no-Hanabi menatap ke bawah, ke desa yang hampir tenggelam karena airnya. Matanya berkaca-kaca, bukan lagi karena kesedihan mendalam, melainkan sesuatu yang lain—pemahaman.
Renshiro melangkah mendekatinya. “Dan jika kamu benar-benar mencintai Hikaru-no-Mikage, kamu pasti ingin ia dikenang bukan hanya dalam air mata, tapi juga dalam sesuatu yang indah.”
Sang dewi menatapnya, bibirnya sedikit bergetar. “Sesuatu yang indah…?”
Renshiro tersenyum tipis. “Ya. Sesuatu yang hanya bisa terjadi setelah hujan.”
Ame-no-Hanabi terdiam. Ia menutup matanya, merasakan hujan yang telah ia ciptakan dengan kesedihannya. Jarinya perlahan mengepal, lalu ia menarik napas dalam.
Saat ia membuka matanya lagi, tatapannya telah berubah.
Ia mengangkat tangannya perlahan ke langit, dan seketika itu juga, hujan mulai berhenti. Tetesan yang tadinya turun tanpa henti kini berkurang satu per satu, hingga akhirnya hanya menyisakan embun tipis yang berkilauan di udara.
Awan-awan gelap yang selama ini menggantung di langit mulai menipis, perlahan-lahan membuka celah bagi cahaya matahari yang selama ini tersembunyi. Cahaya keemasan menyelinap di antara awan, menyentuh tanah yang basah dengan kehangatan lembut.
Dan kemudian, muncullah pelangi.
Lengkungannya terbentang megah di cakrawala, berwarna-warni seperti jalinan perasaan yang selama ini Ame-no-Hanabi pendam. Itu adalah sesuatu yang hanya bisa muncul setelah hujan, sesuatu yang membawa harapan setelah kesedihan.
Sang dewi menatap pelangi itu dengan mata yang berkilauan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tersenyum—bukan senyum pahit, bukan senyum kosong, tapi senyum yang tulus.
Renshiro menatapnya, merasa lega. Ia telah berhasil.
“Apa ini…?” bisik Ame-no-Hanabi, masih terpukau oleh keindahan pelangi yang terbentang di atas mereka.
Renshiro menyelipkan payung merahnya di punggung. “Ini adalah caramu mengenangnya, tanpa harus terus menangis. Setiap kali hujan berhenti, pelangi akan muncul. Dan setiap kali itu terjadi, kamu akan mengingatnya… dengan cara yang lebih indah.”
Ame-no-Hanabi menatapnya lama, lalu tanpa diduga, ia melangkah mendekat dan menggenggam tangan Renshiro dengan lembut. Jemarinya dingin seperti embun pagi, namun ada kehangatan yang mengalir dari sentuhannya.
“Terima kasih,” katanya pelan.
Renshiro terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Sama-sama.”
Angin berhembus lembut, membawa harum tanah basah yang tersiram hujan. Desa di bawah sana mulai bangkit kembali, penduduk keluar dari rumah mereka, menatap langit dengan harapan baru.
Di puncak Gunung Akaiyama, seorang manusia dan seorang dewi berdiri berdampingan, menyaksikan pelangi yang menjadi saksi sebuah perasaan yang tak terucapkan—perasaan yang mungkin akan tetap ada, meski hujan telah berhenti.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia kehilangan Hikaru-no-Mikage, Ame-no-Hanabi tidak merasa sendirian.


