Pelajaran Hidup Dari Desa: Menemukan Kebahagiaan Sejati yang Sederhana

Posted on

Jadi, pernah nggak sih kamu merasa bahwa kebahagiaan itu kadang terasa jauh banget? Kayak, meskipun hidup udah serba ada, selalu ada yang kurang. Nah, cerpen ini bakal ngajarin kamu kalau kebahagiaan sebenarnya bukan soal punya apa, tapi bagaimana kita melihat hidup dan mensyukurinya.

Ini tentang Zafriel, yang tinggal di desa selama dua minggu dan ngeliat dunia dengan cara yang baru. Ada banyak pelajaran, pengalaman, dan, pastinya, kebahagiaan yang ditemukan dari hal-hal yang nggak pernah dia bayangin sebelumnya.

 

Pelajaran Hidup Dari Desa

Langkah Pertama di Tanah Asing

Langit senja mulai memudar ketika mobil bak terbuka itu akhirnya berhenti di tanah berbatu. Udara di desa ini terasa lebih segar dibandingkan kota, meskipun debu-debu jalanan masih beterbangan setiap kali angin berhembus. Di depan, beberapa rumah panggung berdiri dengan sederhana, berjajar di sepanjang jalan tanah yang belum tersentuh aspal.

Zafriel turun dengan langkah ragu. Bersama lima temannya, ia menatap sekeliling, mencoba mencerna kenyataan bahwa tempat inilah yang akan mereka tinggali selama dua minggu ke depan.

“Kita beneran tinggal di sini?” tanya Dio, salah satu temannya, sambil mendesah. “Gue kira bakal ada penginapan atau semacamnya.”

Seorang pria tua dengan rambut hampir seluruhnya memutih menghampiri mereka. Senyumnya hangat, seakan menyambut tamu yang sudah lama dinantikan.

“Selamat datang di desa kami,” katanya ramah. “Aku Gandewa, kepala desa di sini. Kalian pasti capek setelah perjalanan jauh.”

Zafriel membalas senyum Pak Gandewa, meskipun dalam hatinya masih ada perasaan canggung.

“Kalian akan tinggal di rumah-rumah warga,” lanjut Pak Gandewa. “Kami sudah menyiapkan tempatnya. Jangan khawatir, kami akan memperlakukan kalian seperti keluarga.”

Seorang wanita paruh baya kemudian menghampiri mereka, membawa nampan dengan beberapa gelas berisi air. “Minum dulu, Nak. Pasti haus, kan?”

Zafriel mengambil satu gelas dan meneguknya. Air itu terasa lebih segar dibandingkan air minum kemasan di kota. Dinginnya menyusup ke tenggorokan, menghilangkan rasa gerah setelah menempuh perjalanan panjang.

Beberapa warga mulai berdatangan, menatap mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Anak-anak kecil berlarian di sekitar, tertawa riang tanpa ragu untuk mendekati para pendatang baru ini.

“Namamu siapa, Kak?” tanya seorang anak laki-laki dengan mata bulat penuh rasa penasaran.

“Zafriel,” jawabnya sambil tersenyum kecil.

“Nama yang keren!” seru anak itu sambil tertawa sebelum berlari kembali ke teman-temannya.

Tak lama, mereka semua dibagi ke rumah warga. Zafriel ditempatkan di rumah seorang bapak bernama Pak Adim, seorang petani yang tinggal bersama istrinya, Bu Sari, dan anak laki-laki mereka yang berusia delapan tahun, Randa.

Malam itu, Zafriel duduk di beranda bersama keluarga barunya. Lampu minyak menerangi meja kayu tempat mereka makan. Aroma masakan khas desa menyeruak ke udara, mengingatkannya pada rumah neneknya di kampung.

“Kamu pasti belum terbiasa di sini,” kata Pak Adim sambil menyendokkan nasi ke piringnya. “Di kota, semuanya lebih mudah, ya?”

Zafriel mengangguk pelan. “Iya… beda banget sama di sini.”

Bu Sari tersenyum. “Tapi kalau sudah terbiasa, kamu bakal suka. Di sini, semuanya serba sederhana, tapi kami selalu bersyukur.”

Zafriel hanya membisu, memikirkan kata-kata itu. Selama ini, ia terbiasa dengan segala kemudahan. Air tinggal putar keran, makanan tinggal pesan, sinyal internet selalu ada. Tapi di sini? Sepertinya semuanya membutuhkan usaha lebih.

“Besok kamu ikut aku ke ladang, ya?” kata Pak Adim.

Zafriel nyaris tersedak. “Ke ladang? Aku bisa bantu apa?”

Pak Adim tertawa kecil. “Tenang saja. Aku nggak akan menyuruhmu mencangkul kalau kamu belum bisa. Cukup ikut dulu, lihat, dan pelajari.”

Meskipun merasa ragu, Zafriel mengangguk.

Malam itu, sebelum tidur, ia menatap langit dari jendela kayu di kamar kecilnya. Tidak ada suara kendaraan, tidak ada lampu kota yang menyilaukan. Hanya bintang-bintang yang bertaburan dengan indah di langit gelap.

Ia menarik napas dalam-dalam. Ini baru awal dari perjalanan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

 

Sungai, Peluh, dan Sebuah Kesadaran

Pagi itu, udara dingin masih menyelimuti desa saat Zafriel terbangun dari tidurnya. Suara ayam berkokok terdengar dari kejauhan, bersahutan dengan suara langkah-langkah kaki di luar rumah. Masih setengah sadar, ia meraih ponselnya—hanya untuk mendapati layar kosong tanpa sinyal. Ia mendesah pelan, lalu bangkit dan berjalan keluar.

Di dapur, Bu Sari sedang menyiapkan sarapan, sementara Pak Adim duduk di bangku kayu kecil, menajamkan bilah cangkulnya dengan gerakan terlatih.

“Kamu sudah bangun?” tanya Pak Adim tanpa menoleh.

Zafriel mengangguk sambil menguap kecil. “Iya… jadi kita langsung ke ladang?”

Pak Adim tertawa. “Belum, Nak. Kita sarapan dulu. Percuma ke ladang kalau perut kosong.”

Tak lama, Bu Sari menyajikan nasi dengan lauk sederhana: ikan asin, tahu goreng, dan sambal. Zafriel tidak terbiasa makan berat sepagi ini, tapi ia mencoba menyesuaikan diri. Saat suapan pertama masuk ke mulutnya, ia terkejut. Sederhana, tapi rasanya jauh lebih enak dari yang ia kira.

Setelah sarapan, mereka berangkat ke ladang. Jalan setapak yang mereka lalui berbatu dan menanjak, membuat Zafriel harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir. Ia beberapa kali mengelap keringat yang mulai mengalir di pelipisnya, sementara Pak Adim berjalan santai seolah sudah hafal setiap lekuk tanah di bawahnya.

“Capek, ya?” tanya Pak Adim sambil meliriknya.

Zafriel menghela napas. “Lumayan… belum biasa jalan jauh gini.”

Pak Adim hanya tersenyum kecil. “Kalau sudah terbiasa, kamu nggak akan kerasa lagi.”

Sesampainya di ladang, Zafriel melihat petak-petak sawah yang membentang luas. Beberapa petani lain sudah bekerja, sebagian mencangkul tanah, sebagian lagi memanen hasil. Ia melihat seorang pria sebaya ayahnya berdiri di tengah sawah, bercanda dengan rekan-rekannya meski tangan mereka tetap sibuk bekerja.

Pak Adim menepuk pundaknya. “Lihat itu. Meski kerja keras, mereka tetap bisa menikmati hidup.”

Zafriel mengangguk, mulai memahami maksudnya.

Siang menjelang, dan tubuhnya sudah terasa pegal setelah mencoba membantu. Ia mencoba mencabut rumput liar, menimba air dari sumur, bahkan sekadar mengangkat karung beras kecil pun membuatnya tersengal. Ia menyadari bahwa tubuhnya, yang selama ini lebih banyak duduk di depan layar laptop, benar-benar belum terbiasa dengan kerja fisik seperti ini.

Setelah pekerjaan selesai, mereka kembali ke rumah. Zafriel langsung menjatuhkan tubuhnya ke lantai kayu, mengatur napas yang tersengal.

Baru saja ia ingin tidur siang, seorang anak kecil muncul di pintu. Randa, anak Pak Adim, menatapnya dengan senyum malu-malu.

“Kak, besok bisa bantu aku bawa air dari sungai?”

Zafriel membuka matanya perlahan. “Air dari sungai? Kenapa nggak dari sumur aja?”

“Kalau kemarau, sumur di sini mulai kering. Jadi, aku harus ambil air lebih jauh,” jawab Randa pelan.

Zafriel terdiam sejenak. Ia memikirkan betapa mudahnya ia mendapat air di kota—cukup memutar keran, air sudah mengalir deras. Sementara di sini, seorang anak kecil harus berjalan jauh hanya untuk mendapat air bersih.

Melihat tatapan ragu Zafriel, Randa buru-buru berkata, “Kalau nggak bisa juga nggak apa-apa…”

Zafriel menggeleng. “Enggak, aku bakal bantu.”

Randa tersenyum lebar. “Beneran? Janji?”

“Janji,” jawab Zafriel, meski dalam hati ia bertanya-tanya seberapa jauh sungai yang dimaksud Randa.

Ia tidak tahu bahwa perjalanan esok hari akan menjadi pengalaman yang lebih melelahkan—dan lebih membuka matanya—daripada yang ia kira.

 

Arti Kebahagiaan yang Sederhana

Pagi baru saja menyingsing ketika Zafriel berdiri di depan rumah, menunggu Randa dengan ember di tangan. Angin sejuk bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang masih menyimpan sisa embun malam.

Tak lama, Randa muncul dengan langkah kecilnya, membawa ember plastik yang sudah terlihat usang. “Kita jalan sekarang?” tanyanya dengan senyum polos.

Zafriel mengangguk, meski dalam hati masih bertanya-tanya seberapa jauh sungai yang akan mereka tuju.

Mereka mulai berjalan melewati jalan setapak berbatu. Sesekali, Randa melompat-lompat ringan di depannya, sementara Zafriel harus lebih hati-hati agar tidak terpeleset. Setelah berjalan cukup jauh, mereka melewati area perbukitan kecil dan hamparan ladang kering yang ditinggalkan sementara karena musim kemarau.

“Sering ke sini sendirian?” tanya Zafriel setelah cukup lama berjalan dalam diam.

“Iya,” jawab Randa. “Kadang aku sama teman-teman, tapi kalau mereka nggak bisa, aku sendiri.”

Zafriel menatap bocah itu. Ia masih kecil, tapi tanggung jawabnya sudah sebesar ini.

Setelah hampir tiga puluh menit berjalan, akhirnya mereka tiba di sungai. Airnya tidak begitu deras, tetapi masih cukup jernih. Beberapa anak kecil sudah lebih dulu bermain di tepian, tertawa-tawa sambil memercikkan air ke satu sama lain.

Randa langsung menurunkan embernya dan mulai menimba air dengan cekatan. Zafriel mengikutinya, tetapi baru separuh ember terisi, tangannya sudah terasa pegal.

“Kamu kuat juga ya,” gumamnya sambil mengusap peluh di dahi.

Randa tertawa kecil. “Udah biasa. Kakak juga nanti bakal terbiasa.”

Zafriel hanya tersenyum tipis. Ia kemudian memperhatikan anak-anak lain yang asyik bermain air, meskipun mereka tahu betapa berharganya air itu untuk kehidupan mereka. Mereka tetap tertawa, tetap menikmati kebersamaan, tanpa mengeluh.

Sesuatu di dalam dirinya mulai berubah.

Saat mereka berjalan pulang, Zafriel merasa langkahnya lebih ringan. Kali ini, bukan hanya karena ia mulai terbiasa dengan jalanan berbatu, tapi juga karena pikirannya lebih jernih.

Sesampainya di rumah, Bu Sari langsung menyambut mereka. “Terima kasih sudah bantu Randa, Nak,” katanya dengan tulus.

Zafriel hanya mengangguk. Entah kenapa, rasa lelahnya terasa berbeda dari biasanya. Kali ini, bukan kelelahan yang membuatnya ingin menyerah, melainkan kelelahan yang terasa… berharga.

Hari-hari berikutnya, Zafriel mulai lebih banyak berinteraksi dengan warga desa. Ia belajar cara menanak nasi di tungku kayu, membantu anak-anak kecil menulis huruf dengan ranting di tanah, dan sesekali ikut bermain bola di lapangan kecil yang berdebu.

Ia mulai menikmati hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ia pikirkan sebagai sesuatu yang berarti.

Suatu malam, saat duduk di beranda bersama Pak Adim, ia berkata, “Aku nggak pernah nyangka kalau kebahagiaan itu ternyata sesederhana ini.”

Pak Adim menatapnya dengan senyum bijak. “Kebahagiaan itu nggak pernah rumit, Nak. Yang bikin rumit itu kita sendiri.”

Zafriel termenung. Ia mengingat kehidupannya di kota—yang serba ada, serba cepat, tapi terasa kosong. Di sini, tanpa teknologi canggih, tanpa kemewahan, ia justru merasa lebih hidup.

Malam itu, sebelum tidur, ia menatap langit berbintang sekali lagi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar mengerti apa itu kebahagiaan yang sebenarnya.

 

Jejak yang Tak Akan Hilang

Malam terakhir di desa itu tiba dengan cepat. Zafriel duduk di beranda rumah Pak Adim, memandangi bintang-bintang yang berkelip di langit. Angin malam terasa lebih sejuk, membawa aroma tanah basah dan daun-daun kering yang berguguran di sekitar. Hening, hanya terdengar suara alam yang akrab di telinganya.

Kehidupan yang dijalaninya selama dua minggu terakhir begitu berbeda dari rutinitas di kota. Pekerjaan fisik, interaksi tanpa gangguan ponsel atau layar, dan kedekatan dengan orang-orang yang tidak mengukur kebahagiaan dengan apa yang mereka miliki. Semua itu mengajarkan Zafriel lebih banyak daripada yang ia bayangkan sebelumnya.

Sambil memikirkan hal itu, Pak Adim duduk di sampingnya, tampak tenang dengan tatapan yang menyiratkan banyak hal. “Kamu akan kembali ke kota besok, Nak?” tanya Pak Adim pelan.

Zafriel mengangguk, tetapi ada rasa berat di dadanya. “Iya, besok kami pulang.”

Pak Adim menghela napas dan tersenyum kecil. “Kota itu tempat yang berbeda, memang. Tapi ingat, kebahagiaan itu bukan soal tempat, bukan soal apa yang ada di sekitarmu. Kebahagiaan datang dari bagaimana kamu melihat dunia, bagaimana kamu mensyukuri apa yang ada.”

Zafriel menatap Pak Adim, merasa kata-kata itu masuk jauh ke dalam hatinya. Di kota, ia selalu mengejar kebahagiaan dengan cara yang salah—dengan materi, status, atau kemewahan yang tak pernah memuaskan. Di sini, ia belajar bahwa kebahagiaan tidak perlu dicari, karena sudah ada di dalam dirinya, di dalam setiap momen sederhana, dalam setiap tawa dan kerja keras.

Randa muncul di pintu dengan ember di tangannya, menghadap ke Zafriel dengan senyum lebar. “Kak, aku janji kalau pulang nanti, aku bakal ngajarin teman-teman main bola kayak kamu.”

Zafriel tersenyum, sedikit terharu. “Terima kasih, Randa. Tapi, aku yang harus belajar dari kamu.”

Randa tertawa, menepuk-nepuk pundaknya dengan tangan kecilnya. “Nggak apa-apa, Kak. Kalau kamu ke sini lagi, aku ajarin lebih banyak.”

Zafriel tersenyum lebih lebar, kemudian mengangguk. “Aku janji, Randa. Suatu saat aku akan kembali.”

Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama, duduk di beranda sambil bercanda, berbagi cerita tentang kehidupan mereka yang sangat berbeda namun saling melengkapi. Zafriel tahu, ia tidak akan bisa mengulang waktu yang ia habiskan di desa ini. Tapi, ia juga tahu bahwa desa ini telah meninggalkan jejak yang dalam di hidupnya.

Pagi harinya, saat mobil bak terbuka itu melaju meninggalkan desa, Zafriel menatap ke belakang untuk terakhir kalinya. Desa yang sederhana, dengan warga yang tulus dan kehidupan yang penuh makna, akan selalu ada di hatinya.

Ia tidak tahu apakah suatu saat nanti ia akan kembali, tetapi ia tahu satu hal pasti—desa ini telah mengajarkan sesuatu yang tak ternilai harganya. Sesuatu yang tak akan bisa ia temui di kota, di dunia yang sibuk dan penuh dengan pengejaran akan hal-hal yang sementara.

Di desa itu, Zafriel menemukan kebahagiaan yang sejati. Dan meskipun ia harus meninggalkannya, jejak langkahnya di tanah itu akan selalu ada dalam dirinya, mengingatkan bahwa kebahagiaan tak pernah jauh, hanya perlu ditemukan dengan cara yang benar.

 

Jadi, kalau kamu lagi ngerasa kebahagiaan itu susah dicari, coba deh luangkan waktu buat nyari di tempat yang sederhana. Kadang, jawabannya ada di hal-hal kecil yang kita anggap remeh.

Sama seperti Zafriel yang nemuin kebahagiaannya di desa, siapa tahu kita juga bisa nemuin kebahagiaan di kehidupan sehari-hari yang sering kita lupakan. Semoga cerpen ini bisa jadi pengingat buat kita semua, bahwa kebahagiaan itu selalu lebih dekat dari yang kita kira!

Leave a Reply