Pelajaran di Ujung Senja: Perjuangan Hidup dan Semangat Belajar

Posted on

Dalam cerpen Pelajaran di Ujung Senja: Perjuangan Hidup dan Semangat Belajar, kisah Pak Darmin dan Sari menghadirkan perjalanan emosional tentang semangat belajar yang tak pernah padam, meski dihadapkan pada luka masa lalu dan tantangan hidup. Cerita ini bukan hanya tentang matematika di bawah pohon kelapa, tetapi tentang bagaimana belajar sepanjang hayat dapat mengubah hati, menumbuhkan harapan, dan menjaga mimpi tetap hidup. Siap terinspirasi oleh perjuangan mereka?

Pelajaran di Ujung Senja

Bayang-Bayang di Bawah Pohon Kelapa

Di sebuah desa kecil bernama Sukamaju, yang terletak di pinggir laut dengan pasir putih yang berkilau di bawah matahari tropis, hiduplah seorang pria tua bernama Pak Darmin. Usianya sudah menginjak 73 tahun, tetapi matanya masih menyimpan kilau semangat yang tak pernah padam, meski tubuhnya mulai renta dan langkahnya perlahan. Rumahnya, sebuah gubuk sederhana berdinding bambu dan beratap daun kelapa, berdiri di ujung kampung, tepat di samping pohon kelapa tua yang condong ke arah laut. Setiap senja, Pak Darmin duduk di bawah pohon itu, memandang ombak yang berdebur pelan, sambil memegang sebuah buku lusuh yang sampulnya sudah menguning.

Buku itu adalah buku pelajaran matematika kelas 5 SD, peninggalan dari anak satu-satunya, Rudi, yang kini sudah lama pergi meninggalkan desa—dan hidupnya. Dua puluh tahun lalu, Rudi, pemuda cerdas yang selalu jadi kebanggaan Pak Darmin, memutuskan untuk merantau ke kota besar dengan mimpi menjadi insinyur. Namun, kabar terakhir yang sampai ke telinga Pak Darmin adalah bahwa Rudi terjerat masalah, menghilang tanpa jejak, dan meninggalkan ayahnya dalam kesunyian. Buku matematika itu adalah satu-satunya kenangan yang tersisa, selain luka di hati Pak Darmin yang tak pernah sembuh.

Pagi itu, seperti biasa, Pak Darmin bangun sebelum fajar. Ia menyalakan lampu minyak di sudut ruangan kecilnya, mengambil buku matematika itu, dan mulai membaca dengan penuh konsentrasi. Matanya yang sudah rabun harus dibantu dengan kacamata tua yang lensanya penuh goresan. Ia bukan sedang bernostalgia; ia sedang belajar. Setiap hari, selama dua dekade terakhir, Pak Darmin mencoba memahami soal-soal pecahan, perkalian, dan geometri sederhana yang ada di buku itu. Bukan karena ia ingin menjadi pintar di mata orang lain, tetapi karena ia percaya bahwa belajar adalah cara untuk tetap terhubung dengan Rudi, dengan mimpi-mimpi yang pernah mereka bagi bersama.

“Kalau aku bisa paham ini, mungkin aku bisa paham kenapa kau pergi, Nak,” gumamnya pelan, suaranya parau bercampur angin pagi yang dingin. Jari-jarinya yang keriput menelusuri halaman buku, berhenti di sebuah soal tentang luas segitiga. Ia mengambil sebatang arang dan papan kecil yang biasa ia gunakan untuk mencatat, lalu mulai menghitung dengan penuh kesabaran. Angka-angka itu seperti teka-teki kehidupan baginya—rumit, tetapi penuh makna jika ditekuni.

Di desa Sukamaju, Pak Darmin dikenal sebagai orang yang pendiam namun baik hati. Ia dulunya adalah nelayan ulung, tetapi sejak kecelakaan kecil yang membuat kakinya pincang, ia hanya mengandalkan kebun kecil dan bantuan sesekali dari tetangga. Namun, ada satu hal yang membuat warga desa selalu berbisik tentangnya: obsesinya dengan buku tua itu. Anak-anak desa sering melihatnya duduk di bawah pohon kelapa, menggumamkan angka-angka atau menuliskan sesuatu di papan kecilnya. Ada yang menganggapnya aneh, ada pula yang merasa kasihan.

“Pak Darmin itu kok masih belajar matematika? Buat apa, toh dia sudah tua,” kata Budi, anak berusia 12 tahun yang sering lewat di depan gubuk Pak Darmin sepulang sekolah. Teman-temannya tertawa, tapi ada nada penasaran dalam suara mereka. Mereka tidak tahu bahwa bagi Pak Darmin, belajar bukan soal usia, melainkan soal harapan.

Hari itu, saat matahari mulai naik tinggi, seorang gadis kecil bernama Sari mendekati Pak Darmin. Sari adalah cucu dari Bu Marni, tetangga Pak Darmin yang paling dekat. Gadis berusia 10 tahun itu memiliki mata bulat cemerlang dan rambut dikuncir dua. Ia membawa sebuah buku tulis yang sudah agak kusut, penuh coretan pensil. Dengan ragu-ragu, ia berdiri di depan Pak Darmin yang masih asyik dengan bukunya.

“Pak… boleh aku tanya sesuatu?” suara Sari kecil, hampir tenggelam oleh suara angin.

Pak Darmin menoleh, tersenyum lembut. “Tanya apa, Nak? Soal pelajaran?”

Sari mengangguk, lalu membuka buku tulisnya. “Aku nggak ngerti soal ini, Pak. Guru bilang tentang pecahan, tapi aku bingung. Kalau setengah ditambah sepertiga, itu berapa?”

Mata Pak Darmin berbinar. Ini adalah momen yang langka, ketika seseorang di desa ini meminta bantuannya untuk belajar. Ia menggeser posisinya di bangku kayu tua, lalu mengangguk pada Sari untuk duduk di sampingnya. Dengan sabun dan papan kecilnya, ia mulai menjelaskan. Suaranya pelan tetapi penuh semangat, seperti seorang guru yang baru menemukan muridnya.

“Bayangkan sebuah kue, Sari. Kalau kamu potong jadi dua, kamu ambil setengah. Lalu, kalau kue lain dipotong jadi tiga, kamu ambil sepertiga. Nah, sekarang kita mau jumlahkan dua potongan itu. Tapi, kita harus bikin ukurannya sama dulu…”

Sari mendengarkan dengan serius, sesekali mengangguk atau mengerutkan kening. Pak Darmin menjelaskan dengan cara yang sederhana, menggunakan contoh-contoh yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti membagi ikan di pasar atau menghitung kelapa di pohon. Di akhir penjelasan, Sari tersenyum lebar, matanya berbinar.

“Jadi, jawabannya lima per enam, ya, Pak?” tanya Sari, penuh semangat.

“Betul sekali, Nak!” jawab Pak Darmin, hatinya hangat. Untuk sesaat, ia merasa seperti melihat bayang-bayang Rudi di wajah Sari—semangat yang sama, rasa ingin tahu yang sama.

Namun, saat Sari berlari pulang dengan buku tulisnya, senyum Pak Darmin perlahan memudar. Ia memandang buku matematika di tangannya, lalu ke arah laut yang berkilau di kejauhan. Rasa rindu pada Rudi kembali menyergapnya, seperti ombak yang tak pernah berhenti menghantam karang. Ia teringat malam-malam ketika ia dan Rudi duduk bersama di bawah pohon kelapa ini, berbicara tentang mimpi-mimpi besar. Rudi ingin membangun jembatan, katanya, yang menghubungkan desa-desa kecil seperti Sukamaju dengan dunia luar. Tapi mimpi itu kini hanya tinggal kenangan, dan Pak Darmin hanya bisa berpegang pada buku tua ini.

Malam itu, saat bulan purnama menerangi desa, Pak Darmin duduk di depan gubuknya, menyalakan lampu minyak, dan membuka buku matematika itu lagi. Ia tahu, besok pagi Sari mungkin akan kembali dengan pertanyaan baru. Dan ia harus siap. Bagi Pak Darmin, belajar bukan hanya tentang memahami angka, tetapi tentang menjaga api harapan tetap menyala, meski hidup telah berkali-kali mencoba memadamkannya.

Jejak Rindu di Papan Kecil

Hari-hari di desa Sukamaju berjalan dengan ritme yang lambat, seperti ombak yang perlahan menyapa pantai. Namun, sejak kedatangan Sari dengan buku tulisnya yang kusut, kehidupan Pak Darmin mulai dipenuhi warna baru. Setiap sore, setelah pulang dari sekolah, Sari kini rutin mampir ke gubuk Pak Darmin. Ia datang dengan pertanyaan-pertanyaan baru, kadang tentang pecahan, kadang tentang pembagian panjang yang membuatnya pusing. Pak Darmin, dengan kesabaran yang tak pernah pudar, selalu menyambutnya dengan senyum dan papan kecilnya yang penuh coretan arang.

Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah dinding bambu, menerangi wajah Pak Darmin yang sedang menyiapkan sarapan sederhana: sepiring nasi dengan ikan asin dan sambal yang ia buat dari cabai di kebun kecilnya. Di sudut meja kayu yang reyot, buku matematika kelas 5 SD itu terbuka pada halaman tentang persentase. Pak Darmin mengerutkan kening, mencoba memahami soal yang tampak lebih rumit dari biasanya. “Jika sebuah toko memberikan diskon 25% untuk sebuah baju seharga 80.000, berapa harga setelah diskon?” gumamnya, mencoba menghitung dengan jari-jarinya yang gemetar.

Ia teringat Rudi, yang dulu pernah menjelaskan persentase kepadanya saat mereka duduk bersama di bawah pohon kelapa. “Ini gampang, Pak,” kata Rudi waktu itu, matanya berbinar penuh semangat. “Bayangkan Bapak beli ikan di pasar, terus dapat potongan harga. Nah, persentase itu kayak menghitung potongan itu.” Pak Darmin tersenyum kecil mengenang momen itu, tapi senyumnya segera memudar. Rudi sudah tak ada, dan kenangan itu seperti pisau yang menusuk pelan setiap kali ia membuka buku itu.

Tiba-tiba, suara langkah kecil memecah kesunyian. Sari muncul di ambang pintu, membawa buku tulisnya dan sebuah pensil yang ujungnya sudah tumpul. Rambutnya yang dikuncir dua sedikit berantakan, dan wajahnya menunjukkan ekspresi cemas. “Pak, aku boleh masuk? Aku bener-bener nggak ngerti pelajaran hari ini,” katanya, suaranya hampir bergetar.

“Tentu, Nak. Duduk di sini,” jawab Pak Darmin, menunjuk bangku kayu di sampingnya. Ia memperhatikan Sari, yang tampak lebih gelisah dari biasanya. “Ada apa, Sari? Kok mukanya sedih?”

Sari menunduk, jari-jarinya memainkan ujung buku tulisnya. “Guru bilang besok ada ulangan matematika, Pak. Aku takut nggak bisa jawab. Kalau nilaiku jelek lagi, Nenek bakal marah. Katanya, kalau aku nggak pinter, aku nggak akan bisa jadi apa-apa.” Matanya mulai berkaca-kaca, dan suaranya melemah. “Aku nggak mau nenek kecewa, Pak.”

Pak Darmin terdiam. Kata-kata Sari seperti menggali luka lamanya sendiri. Ia teringat Rudi, yang dulu juga pernah merasa tertekan untuk membuktikan dirinya. “Jangan takut, Nak,” katanya lembut, tangannya menepuk pundak Sari. “Belajar itu bukan cuma soal nilai. Belajar itu soal memahami dunia, soal bikin hati kita kuat. Kalau kamu nggak ngerti sekarang, itu cuma artinya kamu belum selesai belajar.”

Sari mengangguk pelan, tapi matanya masih menunduk. Pak Darmin mengambil papan kecilnya dan mulai menjelaskan materi ulangan yang Sari bawa: soal-soal tentang bilangan desimal. Ia menggunakan contoh-contoh sederhana, seperti menghitung berat ikan yang dijual di pasar atau panjang tali yang digunakan untuk menambat perahu. Dengan sabun dan arang, ia menggambar diagram sederhana, menunjukkan bagaimana desimal bekerja. Sari mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mencatat di buku tulisnya dengan pensil tumpul itu.

Saat matahari mulai condong ke barat, Sari akhirnya tersenyum. “Aku ngerti sekarang, Pak! Ternyata desimal itu nggak sesulit yang kukira,” katanya, wajahnya cerah. “Pak Darmin hebat, kayak guru beneran!”

Pak Darmin tertawa kecil, tapi hatinya terasa hangat. “Bukan aku yang hebat, Nak. Kamu yang hebat, mau belajar meskipun takut.” Ia menatap Sari, dan untuk sesaat, ia melihat bayang-bayang Rudi di matanya—semangat yang sama, keberanian yang sama untuk terus mencoba meski dunia terasa berat.

Namun, kehangatan itu tak bertahan lama. Malam itu, saat Pak Darmin duduk di bawah pohon kelapa dengan lampu minyaknya, ia mendengar suara langkah berat mendekat. Itu Bu Marni, nenek Sari, yang datang dengan wajah penuh kekhawatiran. “Darmin, maaf mengganggu malam-malam begini,” katanya, suaranya berat. “Aku dengar Sari sering ke sini belajar sama kamu. Aku cuma mau bilang… jangan terlalu memanjakan dia. Dia harus belajar sendiri, Darmin. Dunia ini keras, dan aku nggak mau dia manja.”

Pak Darmin menatap Bu Marni, mencoba memahami kekhawatiran di balik kata-katanya. “Aku cuma bantu sedikit, Marni. Sari anak pinter, cuma butuh dorongan.”

Bu Marni menghela napas. “Aku tahu kamu baik, Darmin. Tapi… aku takut. Aku takut dia jadi seperti anakmu, Rudi. Pinter, tapi akhirnya pergi dan nggak balik. Aku nggak mau Sari begitu.” Kata-kata itu seperti petir di malam yang sunyi, menghantam hati Pak Darmin tanpa ampun.

Ia tak bisa menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. Bu Marni berbalik pergi, meninggalkan Pak Darmin dengan pikirannya yang kini kacau. Ia memandang buku matematika di tangannya, merasa berat. Apakah ia salah karena membantu Sari? Apakah ia, dengan caranya sendiri, sedang mencoba menggantikan Rudi dengan kehadiran Sari? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, membuat malam terasa lebih dingin dari biasanya.

Keesokan harinya, saat Sari datang lagi dengan buku tulisnya, Pak Darmin ragu-ragu. Ia ingin melindungi semangat belajar Sari, tapi kata-kata Bu Marni masih bergema di telinganya. “Sari,” katanya pelan, “mungkin mulai sekarang kamu coba jawab soal-soal ini sendiri dulu, ya? Kalau bingung, baru tanya aku.”

Sari tampak kecewa, tapi ia mengangguk. “Baik, Pak. Tapi… aku boleh tetap ke sini, kan? Aku suka belajar sama Bapak. Rasanya… kayak punya temen.” Kata-kata itu sederhana, tapi cukup untuk membuat hati Pak Darmin luluh. Ia tersenyum, meski ada rasa sakit yang tersembunyi di dadanya.

Malam itu, setelah Sari pulang, Pak Darmin kembali duduk di bawah pohon kelapa. Ia membuka buku matematika itu, tapi kali ini ia tak membaca soal-soal. Ia hanya menatap halaman kosong di bagian belakang buku, tempat Rudi dulu pernah menuliskan catatan kecil: “Untuk Bapak, yang selalu bilang belajar itu seperti menangkap ikan—harus sabar.” Air mata Pak Darmin jatuh, membasahi halaman itu. Ia merasa, meski Rudi telah pergi, semangat belajar yang dulu mereka bagi bersama kini hidup kembali melalui Sari. Dan ia tahu, ia tak boleh berhenti—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk Sari, dan untuk setiap anak di desa ini yang masih punya mimpi.

Cahaya di Balik Badai

Langit Sukamaju pagi itu diselimuti awan kelabu, seolah mencerminkan beban di hati Pak Darmin. Semalaman, ia tak bisa tidur nyenyak. Kata-kata Bu Marni tentang Rudi dan kekhawatirannya terhadap Sari masih bergema di kepalanya, seperti ombak yang tak henti-hentinya menghantam karang. Ia duduk di beranda gubuknya, memandang pohon kelapa tua yang kini bergoyang pelan diterpa angin. Buku matematika kelas 5 SD tergeletak di sampingnya, terbuka pada halaman yang sama yang ia baca berulang-ulang: soal tentang persentase. Namun, kali ini, pikirannya tak bisa fokus. Ia mempertanyakan dirinya sendiri—apakah kehadirannya dalam kehidupan Sari justru akan membawa lebih banyak luka, seperti yang ia rasakan saat kehilangan Rudi?

Pagi itu, Sari tidak datang seperti biasanya. Pak Darmin menunggu hingga matahari naik tinggi, tetapi gadis kecil berkuncir dua itu tak muncul. Ia mencoba menenangkan diri, berpikir bahwa mungkin Sari sedang sibuk dengan ulangan matematikanya. Namun, hatinya gelisah. Ia teringat ekspresi kecewa Sari kemarin, saat ia memintanya untuk mencoba mengerjakan soal sendiri. “Apakah aku terlalu keras padanya?” gumamnya, jari-jarinya mengelus sampul buku yang sudah lusuh. Ia memutuskan untuk berjalan ke rumah Bu Marni, berharap bisa memastikan bahwa Sari baik-baik saja.

Jalanan desa yang berdebu terasa lebih panjang dari biasanya. Kakinya yang pincang membuat setiap langkah terasa berat, tetapi tekadnya lebih kuat. Saat tiba di rumah Bu Marni, sebuah rumah sederhana dengan halaman kecil penuh tanaman sayur, ia melihat Sari duduk di teras, menunduk dengan buku tulis di pangkuannya. Wajahnya muram, dan di sampingnya, Bu Marni sedang menyapu halaman dengan gerakan yang tampak tegang.

“Selamat pagi, Marni,” sapa Pak Darmin, suaranya lembut tetapi penuh kehati-hatian. “Sari baik-baik saja?”

Bu Marni berhenti menyapu, menatap Pak Darmin dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Dia baru pulang dari ulangan tadi pagi,” katanya singkat. “Katanya sih lumayan, tapi aku nggak tahu. Dia cuma diam sejak tadi.”

Pak Darmin melirik Sari, yang masih menunduk, seolah tak menyadari kehadirannya. Ia mendekat perlahan, duduk di bangku kayu di samping gadis itu. “Sari, ulangannya tadi gimana, Nak?” tanyanya, berusaha membuat suaranya terdengar ceria.

Sari mengangkat wajahnya, matanya merah dan berkaca-kaca. “Aku… aku nggak yakin, Pak,” katanya pelan. “Aku coba jawab semua soal, seperti yang Bapak ajarin. Tapi ada satu soal yang susah banget, tentang desimal dan persentase. Aku takut salah.” Suaranya bergetar, dan tiba-tiba ia menutup wajahnya dengan tangan kecilnya. “Nenek bilang, kalau aku gagal, aku nggak akan bisa jadi dokter seperti yang aku impikan. Aku nggak mau bikin Nenek malu, Pak.”

Hati Pak Darmin terasa seperti diremas. Ia teringat Rudi, yang juga pernah bercerita tentang mimpinya menjadi insinyur, tentang tekanan untuk tidak mengecewakan orang-orang yang ia sayangi. Ia ingin memeluk Sari, tapi ia menahan diri, tahu bahwa Bu Marni sedang memperhatikan dari kejauhan. “Sari,” katanya dengan suara yang mantap, “gagal itu bukan akhir, Nak. Gagal itu cuma tanda bahwa kamu masih belajar. Dokter itu mimpi besar, dan mimpi besar butuh waktu. Yang penting, kamu nggak berhenti mencoba.”

Sari menatapnya, matanya penuh harapan bercampur keraguan. “Tapi, Pak… kalau aku nggak pinter matematika, apa aku masih bisa jadi dokter?”

Pak Darmin tersenyum kecil, meski hatinya terasa berat. “Pinter itu bukan cuma soal matematika, Nak. Pinter itu soal hati yang mau belajar, yang mau bangkit meski jatuh. Bapak dulu cuma nelayan, nggak sekolah tinggi seperti anak-anak sekarang. Tapi Bapak belajar dari laut, dari ombak, dari ikan-ikan yang susah ditangkap. Dan sekarang, Bapak belajar dari buku ini,” katanya, menepuk buku matematika di tangannya. “Kalau Bapak yang sudah tua ini masih bisa belajar, kamu pasti bisa.”

Kata-kata itu sepertinya menyentuh sesuatu di hati Sari. Ia mengangguk pelan, lalu membuka buku tulisnya. “Pak, boleh aku tanya soal yang tadi aku nggak bisa jawab? Aku mau coba lagi, biar besok aku bisa perbaiki kalau salah.”

Pak Darmin mengangguk, hatinya terasa ringan untuk pertama kalinya hari itu. Ia mengambil papan kecilnya dan mulai menjelaskan soal persentase yang membuat Sari bingung. Dengan sabun dan arang, ia menggambar contoh-contoh sederhana: menghitung diskon di pasar, membagi hasil kebun, atau menghitung waktu yang dibutuhkan perahu untuk sampai ke pulau seberang. Sari mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mencatat dengan pensil tumpulnya. Cahaya di matanya perlahan kembali, seperti matahari yang muncul dari balik awan kelabu.

Namun, saat mereka sedang asyik belajar, Bu Marni mendekat dengan langkah tegas. “Sari, masuk! Sudah cukup belajarnya hari ini. Kamu harus bantu Nenek di dapur,” katanya, nadanya keras tapi penuh kekhawatiran. Sari menunduk, lalu berlari masuk ke rumah tanpa berkata apa-apa. Bu Marni menatap Pak Darmin, ekspresinya campur aduk antara rasa bersalah dan ketegasan. “Darmin, aku tahu kamu cuma mau bantu. Tapi aku serius, jangan terlalu dekat sama Sari. Aku nggak mau dia terlalu bergantung. Hidup ini nggak selalu baik seperti yang kamu pikir.”

Pak Darmin ingin membela diri, tapi ia hanya mengangguk. Ia tahu, di balik ketegasan Bu Marni, ada rasa takut yang sama seperti yang ia rasakan setiap hari—takut kehilangan orang yang dicintai. Ia berjalan pulang dengan langkah pelan, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Apakah ia benar-benar membantu Sari, atau justru membebani gadis kecil itu dengan harapan yang terlalu besar? Apakah semangat belajarnya sendiri hanyalah pelarian dari rasa sakit kehilangan Rudi?

Malam itu, badai kecil melanda Sukamaju. Hujan deras mengguyur desa, dan angin kencang membuat pohon kelapa tua di dekat gubuk Pak Darmin bergoyang hebat. Ia duduk di dalam gubuknya, mendengarkan suara hujan yang menghantam atap daun kelapa. Lampu minyak di sampingnya berkedip-kedip, menerangi buku matematika yang terbuka di halaman catatan Rudi. “Belajar itu seperti menangkap ikan—harus sabar,” tulis Rudi di sana, dengan tulisan tangan yang rapi tapi penuh semangat. Pak Darmin mengelus tulisan itu dengan jari-jarinya yang keriput, air matanya jatuh bercampur dengan suara hujan.

Tiba-tiba, ia mendengar ketukan pelan di pintu. Dengan susah payah, ia bangkit dan membuka pintu, hanya untuk menemukan Sari berdiri di sana, basah kuyup oleh hujan. Wajahnya pucat, dan tangannya memegang buku tulis yang sudah lembap. “Pak… aku lari dari rumah,” katanya, suaranya gemetar. “Nenek marah tadi, bilang aku nggak usah sekolah lagi kalau cuma bikin malu. Aku nggak tahu ke mana lagi, Pak. Aku cuma tahu Bapak yang ngerti aku.”

Pak Darmin terpana. Ia buru-buru memasukkan Sari ke dalam gubuknya, mengambil kain lap untuk mengeringkan rambut gadis itu. Hatinya bergejolak—antara rasa ingin melindungi Sari dan rasa takut bahwa ia mungkin akan membuat keadaan lebih buruk. “Sari, kamu nggak boleh lari begini. Nenekmu khawatir,” katanya, meski suaranya penuh kelembutan. “Tapi malam ini, kamu tinggal di sini dulu. Besok kita bicara sama Nenek, ya?”

Sari mengangguk, matanya penuh air mata tapi juga kelegaan. Pak Darmin menyalakan api kecil di tungku untuk menghangatkan ruangan, lalu duduk di samping Sari. Ia membuka buku matematika itu dan berkata, “Kalau kamu masih mau belajar malam ini, kita lanjutkan soal tadi. Tapi kalau capek, kamu istirahat dulu. Belajar itu nggak lari, Nak. Selalu ada besok.”

Sari tersenyum kecil, lalu membuka buku tulisnya yang basah. “Aku mau lanjut, Pak. Aku mau buktikan ke Nenek bahwa aku bisa.” Di bawah cahaya lampu minyak yang redup, di tengah suara hujan yang tak henti, Pak Darmin dan Sari kembali belajar bersama, menghadapi desimal dan persentase, tetapi juga menghadapi badai dalam hati masing-masing. Bagi Pak Darmin, malam itu adalah pengingat bahwa belajar bukan hanya tentang angka, tetapi tentang keberanian untuk terus melangkah, meski badai menghadang.

Pelajaran yang Tak Pernah Usai

Hujan telah reda saat fajar menyingsing di Sukamaju, meninggalkan udara yang segar dan aroma tanah basah yang menyapa hidung. Di dalam gubuk kecil Pak Darmin, lampu minyak masih menyala redup, menerangi wajah Sari yang kini tertidur di atas tikar bambu dengan buku tulis basahnya masih tergenggam erat. Pak Darmin duduk di sampingnya, memandang gadis kecil itu dengan campuran kasih sayang dan kekhawatiran. Malam tadi, di tengah hujan dan badai, Sari telah mencurahkan isi hatinya—ketakutannya akan kegagalan, tekanan dari Bu Marni, dan mimpinya yang sederhana namun besar untuk menjadi dokter. Bagi Pak Darmin, kehadiran Sari malam itu seperti cermin yang memantulkan masa lalunya bersama Rudi, penuh mimpi dan harapan, tetapi juga luka yang tak pernah sembuh.

Ia bangkit pelan, berusaha tidak mengganggu tidur Sari, dan menyalakan tungku kecil untuk memanaskan air. Pikirannya berputar pada apa yang harus ia lakukan pagi ini. Bu Marni pasti sedang panik mencari cucunya, dan Pak Darmin tahu bahwa ia harus membawa Sari pulang, meski itu berarti menghadapi kemarahan tetangganya. Namun, lebih dari itu, ia ingin memastikan bahwa semangat belajar Sari tidak padam, seperti yang pernah terjadi pada Rudi ketika dunia kota besar merenggut mimpinya.

Saat matahari mulai mengintip di cakrawala, Pak Darmin membangunkan Sari dengan lembut. “Nak, bangun. Kita harus ke rumah Nenekmu sekarang,” katanya, suaranya penuh kelembutan. Sari menggosok matanya, masih tampak lelah, tetapi ia mengangguk. Ia memasukkan buku tulisnya ke dalam tas kain kecilnya, lalu mengikuti Pak Darmin keluar dari gubuk. Langit pagi itu cerah, dengan sisa-sisa awan badai yang perlahan menghilang, seolah memberi isyarat bahwa hari ini akan membawa perubahan.

Perjalanan ke rumah Bu Marni terasa singkat, tetapi penuh ketegangan. Ketika mereka tiba, Bu Marni sudah berdiri di halaman, wajahnya penuh amarah bercampur lega saat melihat Sari. “Sari! Kamu ke mana semalaman? Aku pikir kamu hilang!” serunya, suaranya bergetar. Ia melangkah maju, seolah ingin memeluk Sari, tetapi kemudian berhenti dan menatap Pak Darmin dengan pandangan penuh tuduhan. “Darmin, apa ini? Kamu yang bikin dia lari dari rumah?”

Pak Darmin menunduk, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. “Marni, maafkan aku. Sari datang tadi malam dalam hujan, bilang dia takut Nenek marah karena ulangannya. Aku cuma mau lindungi dia, kasih tempat buat tenang. Aku nggak bermaksud apa-apa.”

Bu Marni terdiam, matanya beralih dari Pak Darmin ke Sari, yang kini menunduk dengan air mata menggenang. “Nenek, aku cuma takut bikin malu,” kata Sari pelan. “Aku mau jadi dokter, tapi aku takut nggak bisa. Pak Darmin bantu aku belajar, Nenek. Dia bilang belajar itu nggak cuma buat nilai, tapi buat bikin hati kuat.”

Kata-kata Sari seperti menembus dinding ketegasan Bu Marni. Wanita tua itu menghela napas panjang, lalu duduk di bangku kayu di halaman. “Sari, Nenek cuma mau kamu kuat. Dunia ini keras, Nak. Nenek takut kamu kecewa, seperti…” Ia berhenti, melirik Pak Darmin sekilas. “Seperti banyak orang yang punya mimpi besar, tapi akhirnya patah.”

Pak Darmin merasakan tusukan di hatinya, tahu bahwa Bu Marni sedang merujuk pada Rudi. Namun, kali ini ia tidak diam. “Marni,” katanya dengan suara yang mantap, “aku tahu kamu takut karena apa yang terjadi sama Rudi. Aku juga takut setiap hari, takut kehilangan lagi. Tapi kalau kita larang anak-anak ini belajar, larang mereka bermimpi, kita cuma bikin mereka takut sama dunia. Sari punya mimpi besar, dan dia punya hati yang kuat. Kita harus kasih dia kesempatan, bukan malah memadamkan apinya.”

Bu Marni menatap Pak Darmin, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia melihat bukan hanya tetangga yang pendiam, tetapi seorang ayah yang masih berjuang melawan luka masa lalunya. “Darmin… aku salah,” katanya pelan. “Aku cuma takut kehilangan Sari. Tapi aku lihat sekarang, kamu bukan cuma bantu dia belajar matematika. Kamu bantu dia percaya sama dirinya sendiri.”

Sari, yang selama ini diam, tiba-tiba melangkah maju dan memeluk neneknya. “Nenek, aku janji aku akan belajar keras. Aku nggak mau bikin Nenek malu. Dan Pak Darmin… dia kayak kakek buatku. Dia bikin aku nggak takut lagi sama soal-soal susah.”

Suasana di halaman itu menjadi hening, hanya terdengar suara angin yang membelai daun-daun kelapa di kejauhan. Pak Darmin merasa dadanya menghangat, seolah beban yang selama ini ia pikul sedikit terangkat. Ia tahu, meski luka kehilangan Rudi tak akan pernah benar-benar sembuh, ia telah menemukan makna baru dalam hidupnya melalui Sari—dan melalui pelajaran-pelajaran kecil di bawah pohon kelapa.

Beberapa hari kemudian, hasil ulangan Sari diumumkan. Ia berlari ke gubuk Pak Darmin dengan wajah penuh semangat, memegang selembar kertas dengan angka 85 terpampang di atasnya. “Pak! Aku dapat 85! Bukan yang terbaik di kelas, tapi Guru bilang aku bikin kemajuan besar!” serunya, matanya berbinar seperti bintang di malam yang cerah.

Pak Darmin tersenyum lebar, kerutan di wajahnya seolah memudar sejenak. “Itu hebat, Nak! Tapi ingat, nilai itu cuma angka. Yang penting, kamu belajar sesuatu dari setiap soal, dari setiap kesalahan. Itu yang bikin kamu kuat.”

Sore itu, untuk pertama kalinya, Bu Marni ikut datang ke gubuk Pak Darmin. Ia membawa sekeranjang kelapa muda sebagai tanda terima kasih, wajahnya penuh senyum yang jarang ia tunjukkan. “Darmin, aku nggak tahu caranya ngomong terima kasih yang bener,” katanya. “Tapi aku lihat Sari berubah. Dia nggak cuma belajar matematika, dia belajar percaya sama dirinya. Itu gara-gara kamu.”

Pak Darmin hanya mengangguk, tak tahu harus berkata apa. Ia memandang Sari, yang kini duduk di bawah pohon kelapa tua dengan buku tulisnya, mencoba mengerjakan soal baru yang diberikan gurunya. Di sampingnya, buku matematika kelas 5 SD milik Rudi terbuka, penuh coretan arang dari pelajaran-pelajaran mereka bersama. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Pak Darmin merasa bahwa buku itu bukan hanya kenangan tentang kehilangan, tetapi juga jembatan menuju harapan baru.

Malam itu, saat bulan purnama kembali menerangi Sukamaju, Pak Darmin duduk di bawah pohon kelapa, seperti biasa, dengan lampu minyak di sampingnya. Ia membuka buku matematika itu, tetapi kali ini ia tidak hanya membaca soal-soal. Ia menulis di halaman kosong di bagian belakang, dengan arang yang sama yang ia gunakan untuk mengajar Sari. “Untuk Rudi,” tulisnya, “dan untuk Sari. Belajar itu seperti laut—tak pernah berhenti, tak pernah usai. Terima kasih, Nak, karena mengingatkan Bapak untuk terus melangkah.”

Di kejauhan, ombak berdebur pelan, seperti berbisik tentang pelajaran yang tak pernah usai. Pak Darmin menutup buku itu, menatap laut yang berkilau di bawah sinar bulan, dan tersenyum. Ia tahu, meski usianya telah senja, semangat belajarnya masih muda, dan melalui Sari, ia telah menemukan cara untuk menjaga mimpi Rudi tetap hidup—satu soal, satu pelajaran, satu harapan pada satu waktu.

Cerpen Pelajaran di Ujung Senja mengajarkan kita bahwa belajar bukan hanya tentang angka atau nilai, tetapi tentang keberanian untuk bangkit dari kegagalan, menjaga mimpi tetap hidup, dan menemukan makna dalam setiap langkah kecil. Kisah Pak Darmin dan Sari adalah pengingat kuat bahwa semangat belajar sepanjang hayat dapat menyinari hidup, bahkan di tengah senja yang penuh badai.

Leave a Reply