Daftar Isi
Pernah ngerasain serunya study tour bareng temen-temen SMA yang rasanya pengin diulang terus? Atau kangen sama momen-momen nggak terduga, tawa lepas, pantai, dan janji kecil yang cuma kalian yang tahu? Cerpen “Pasir Bali, Janji di Bawah Langit” ini bakal ngebawa kamu balik ke masa-masa itu.
Cerita yang penuh warna, ditulis dengan gaya santai tapi ngena, dijamin bikin kamu senyum-senyum sendiri sekaligus mikir: “Dulu, aku juga punya momen kayak gini.” Cerita ini bukan cuma tentang jalan-jalan ke Bali. Ini tentang persahabatan, tentang kenangan, dan tentang janji yang ditanam diam-diam di pasir, berharap suatu hari nanti bakal ditemukan lagi. Kalau kamu cari bacaan yang ringan, relatable, tapi tetap emosional, kamu nggak boleh skip cerita ini!
Pasir Bali, Janji di Bawah Langit
Kilometer Rindu yang Menuju Pulau Dewata
Bus pariwisata putih dengan strip merah di sampingnya berhenti perlahan di halaman sekolah SMA Nawasena. Angin dini hari masih menggigit, tapi semangat para siswa justru terasa mendidih. Jam di dinding sekolah menunjukkan pukul 03.41 pagi, tapi kantin belakang yang biasa sepi justru penuh dengan suara ransel yang dibuka, bekal yang dibagi, dan teriakan nama-nama yang kadang disusul lemparan bantal leher.
Trip ke Bali ini udah jadi bahan obrolan sejak mereka kelas sepuluh, dan sekarang — dengan seragam batik sekolah yang diganti kaus kelas bertuliskan “Nawasena Farewell Squad” — rasanya kayak mimpi yang akhirnya mewujud.
“Gue kira kamu nggak dateng, Rey,” celetuk Dito sambil menyandarkan koper ungu milik pacarnya ke pojok tangga. “Tadi katanya masih di rumah jam tiga.”
“Aku nyaris ketinggalan, bro. Alarm-nya nggak bunyi. Udah kayak ditarik alam buat nggak ikut,” jawab Reynaldi sambil cengar-cengir, matanya masih sayu, tapi senyumnya nggak pernah gagal nularin energi ke sekitar.
Sementara itu, Bu Laras — wali kelas 12 IPS 2 — berdiri di dekat pintu bus, clipboard di tangan kiri, bolpen warna pink menyelip di telinganya. Wajahnya tegas tapi ramah, kayak biasa.
“Kalau kalian nggak naik bus lima menit lagi, saya tinggal! Serius!” katanya, tapi semua tahu itu ancaman yang setengah bercanda.
Suasana dalam bus berubah jadi pasar malam mini. Reihana sibuk setting kamera mirrorless-nya, Inggit baru sadar dia salah bawa charger, Pandu ngajak taruhan siapa duluan yang mual di jalan, dan Gibran lagi nyari headset yang ternyata diselipin sama Raka ke dalam kotak keripik.
Baru setengah jam jalan, Pandu sudah berdiri di lorong bus, bawa mic kecil yang biasanya cuma dipakai tour guide.
“Oke semua, dengerin ya! Aku bakal jadi MC kalian selama perjalanan ini. Siap-siap ketawa sampe pingsan!”
“Yah, pingsan-nya karena garing sih,” timpal Aulia dari bangku belakang, disusul tawa bareng-bareng.
Perjalanan darat dari Jawa Tengah menuju Bali nggak pendek. Sekitar dua puluh jam lebih sedikit. Tapi mereka berhasil bikin setiap jamnya nggak kerasa. Permainan “truth or dare” dimulai sejak bus melewati perbatasan Jogja. Hukumannya? Nyanyi lagu dangdut sambil joget di lorong bus. Korban pertama: Fakhri. Lagu pilihannya? “Goyang Dumang.”
“Gue bakal nyesel seumur hidup denger suara kamu,” ujar Inggit sambil menutup telinga, tapi wajahnya justru ngakak setengah mati.
Di tengah tawa dan suara klakson dari kendaraan lain, momen-momen kecil jadi berkesan. Ada momen Dita tertidur di pundak Shena, padahal mereka suka berantem soal siapa yang paling jago debat. Ada juga momen saat bus berhenti di rest area, dan Arya kehilangan sandal kirinya — yang kemudian ditemukan terbang terbawa angin ke sawah kecil di pinggir toilet umum.
Tengah malam, bus melewati jalanan sepi di Situbondo. Lampu-lampu kota berganti jadi kelam jalanan aspal yang gelap. Beberapa sudah tertidur, berselimut jaket dan hoodie. Tapi di beberapa kursi, suara pelan obrolan masih terdengar.
“Kamu bakal kangen kita nggak?” tanya Reihana ke Aulia, sambil memainkan zip jaketnya.
“Aku kangen bahkan sebelum kita lulus, Rie. Gila ya, baru kepikiran sekarang.”
“Bali bakal jadi penanda terakhir. Kita harus bikin ini nggak sekadar trip.”
“Aku setuju. Ini kayak… penutup novel yang kita tulis tiga tahun bareng-bareng.”
Obrolan-obrolan kayak gitu cuma bisa muncul ketika lampu bus udah redup, lagu yang diputar pelan, dan semua orang jadi sedikit lebih jujur dari biasanya.
Saat subuh menjelang, bus akhirnya sampai di Pelabuhan Ketapang. Cahaya jingga samar menembus kaca jendela. Beberapa terbangun karena suara kapal ferry yang mengaum dari kejauhan.
Mereka turun dari bus sebentar, angin laut langsung menyambut, membawa aroma asin yang khas. Bagi sebagian besar dari mereka, ini pertama kalinya menyeberang pulau.
“Lautnya keren banget…” ucap Nino pelan, matanya terpaku ke air yang memantulkan warna langit pagi.
“Ya iyalah, ini bukan kolam renang komplek, bro,” celetuk Pandu lagi, nggak pernah absen jadi komentator utama.
Di atas ferry, semua berdiri di dek sambil menikmati pemandangan. Reihana memotret siluet teman-temannya dengan cahaya keemasan dari matahari terbit. Satu jepretan, dua jepretan, lalu senyuman muncul di wajahnya. Bukan karena hasil fotonya bagus, tapi karena tahu — ini bukan momen yang bakal terulang.
Ketika kaki mereka akhirnya menjejak tanah Bali, suasana berubah. Udara lebih hangat, jalanan lebih ramai dengan ukiran khas dan pura di tiap sudut. Seorang pemandu lokal menyambut dengan kalung bunga kamboja dan senyuman lebar.
“Selamat datang di Bali, anak-anak Nawasena!” teriaknya.
Para siswa bersorak. Mereka saling pandang, tertawa, dan menyadari satu hal sederhana: ini baru permulaan.
Dan mereka belum tahu… bahwa Bali akan memberikan lebih dari sekadar kenangan.
Di Balik Lensa Reihana dan Jejak di Garuda
Bali menyambut mereka dengan langit yang jernih dan suhu yang terasa pas di kulit — hangat, tapi tidak menusuk. Begitu keluar dari bus dan menjejakkan kaki di halaman hotel, anak-anak Nawasena langsung berubah jadi rombongan anak kecil yang lepas dari kandang. Ransel dilempar ke kasur, sandal dikepak di ujung pintu, dan suara ketukan kamar antar geng sahabat jadi latar musik pagi itu.
Hotel mereka tidak mewah, tapi cukup nyaman. Kamar dibagi empat orang per ruangan, dan langsung jadi panggung kekacauan kecil. Di kamar 207, Reihana buru-buru membuka koper, ngeluarin tripod mini dan memory card cadangan.
“Aku pengin ke GWK bawa lensa fix. Kamu mau bantu bawain tripod nggak?” tanyanya ke Inggit yang lagi nempelin stiker ke botol minumnya.
“Tripod kamu tuh lebih berat dari masalah hidup aku, Rie. Tapi yaudah, sini deh,” jawab Inggit sambil meraih tas kamera dan nyengir.
Sesuai jadwal, tujuan hari itu adalah Garuda Wisnu Kencana. Patung setinggi langit, katanya. Tapi bagi siswa-siswi yang lebih akrab sama patung pahlawan di taman kota, tempat itu terasa seperti dari dunia lain. Bahkan sebelum masuk, mereka sudah berhenti berkali-kali cuma buat foto-foto di tangga batu.
“Re, kamu motret aku di sini dong. Angle dari bawah gitu. Biar keliatan kayak aku cewek kuat nan megah,” ujar Saras sambil berdiri pas di bawah patung Garuda.
“Kuat sih iya, tapi megah-nya kayaknya kebanyakan micin,” timpal Reynaldi dari belakang.
Sambil menertawakan satu sama lain, mereka naik ke bagian atas, tempat patung Dewa Wisnu berdiri gagah di atas kendaraan Garuda. Udara di sana panas, tapi siapa pun nggak akan peduli. Pemandangannya luar biasa. Dari atas, terlihat hamparan pepohonan dan atap-atap rumah Bali yang tersusun rapi, seperti lukisan dari langit.
Reihana berdiri agak jauh dari rombongan. Dia memotret teman-temannya diam-diam, bukan saat mereka pose, tapi saat mereka tertawa, bercanda, atau sekadar melamun sebentar menatap langit. Ia tahu, momen-momen kayak gini lebih jujur dari apa pun.
“Rie,” panggil Gibran, mendekat dengan dua botol air mineral.
“Thanks,” jawab Reihana, lalu menoleh sedikit. “Kamu tau nggak? Aku lebih suka motret mereka waktu mereka nggak sadar.”
“Kenapa?” tanya Gibran, duduk di batu besar di sampingnya.
“Soalnya… ekspresi mereka nggak dibuat-buat. Kayak, kita ini hidup beneran, bukan cuma buat InstaStory.”
Gibran diam sejenak, lalu meneguk air. “Mungkin itu yang bikin kenangan jadi kenangan. Karena kita nggak nyadar lagi bikin mereka.”
Reihana mengangguk pelan. Kadang, pembicaraan pendek bisa jadi titik paling dalam dalam satu hari yang padat.
Setelah puas berkeliling dan berfoto, rombongan turun dan kembali ke bus. Tapi perjalanan dari GWK ke restoran makan siang justru jadi panggung hiburan tak terduga.
Pandu — yang udah jadi MC resmi bus — kembali ambil mic.
“Oke teman-teman… karena semua udah lapar dan lesu, kita isi waktu dengan tantangan. Siapa bisa nyebutin nama semua guru mata pelajaran kita dari kelas sepuluh sampai sekarang?”
“Ah udahlah, itu lebih susah dari nilai fisika gue,” jawab Raka sambil menyender ke kaca jendela.
“Kalau gitu, ganti! Gimana kalau… nyanyi lagu dangdut, tapi sambil nge-rap!” seru Pandu, matanya berbinar.
Giliran kali ini jatuh ke Aulia. Dia berdiri dengan wajah pasrah, lalu mulai dengan gaya seolah dia rapper profesional.
“Cintaku ditolak, kereta api melaju, eh kamu malah ngajak aku ke… kebun bambu~”
Satu bus langsung meledak ketawa. Bahkan Bu Laras yang biasanya jaim, juga ikut ngakak sambil tepuk tangan.
Suasana makin cair. Perjalanan ke restoran jadi penuh dengan parodi lagu, lelucon receh, dan tawa yang nggak berhenti. Semua lelah dari pagi tiba-tiba larut begitu saja.
Setelah makan siang, mereka lanjut ke pusat oleh-oleh. Tempatnya besar, isinya mulai dari kain bali sampai gantungan kunci berwajah barong. Tapi alih-alih langsung belanja, banyak yang justru sibuk tawar-menawar gaya anak sekolah.
“Mas, ini baju bisa dapet dua nggak kalau aku beli sekarang?” tanya Dita ke penjaga toko.
“Wah, itu udah harga pas, Dek.”
“Kalo aku beli lima, kamu mau traktir aku es kelapa?” timpal Pandu dari belakang, bikin satu rombongan ngakak lagi.
Tapi bukan semua tentang tawa. Ada momen-momen sepi juga. Saat Reynaldi menulis nama “Nawasena 2025” di bagian belakang gantungan kunci kayu, lalu diem sebentar sambil mangut-mangut.
“Aku kayak nggak pengin ini semua selesai,” katanya ke Raka yang berdiri di samping.
“Kita masih punya dua hari lagi. Nikmatin aja selagi bisa,” jawab Raka, tepuk bahunya pelan.
Menjelang sore, langit mulai berubah warna. Mereka kembali ke hotel dengan energi yang mulai berkurang tapi hati yang masih hangat.
Malam itu, sebagian besar menghabiskan waktu di balkon kamar masing-masing. Di kamar 310, Reynaldi dan Raka duduk sambil makan mie cup.
“Lo sadar nggak,” kata Rey, “teman kita semua itu aneh-aneh, tapi tiap orang punya caranya sendiri buat bikin perjalanan ini jadi hidup.”
“Iya,” jawab Raka, “dan kalo bukan bareng mereka, kita mungkin cuma bakal jadi turis biasa yang dateng ke Bali, foto, pulang.”
Sementara di kamar sebelah, Saras dan Aulia lagi ngedit video singkat dari hasil footage seharian.
“Kamu masuk frame ini, Sar,” ujar Aulia sambil nunjuk layar laptop.
“Serius? Aku jelek banget dong,”
“Justru lucu. Natural gitu.”
“Aku simpen ya. Biar nanti kalo kita kangen, tinggal putar ini lagi.”
Di luar hotel, angin Bali berhembus pelan. Jalanan masih hidup, suara kendaraan dan musik dari warung-warung kecil terdengar samar.
Besok, mereka akan ke tempat yang lebih dalam — ke pantai, ke momen yang bakal mengikat mereka lebih erat dari sebelumnya. Tapi malam itu, semua terlelap dengan satu rasa yang sama.
Bali bukan cuma tempat liburan.
Bali adalah lembar kosong, dan hari ini mereka sudah mulai menuliskan ceritanya.
Pasir, Janji, dan Botol Kaca
Langit Bali pagi itu berwarna biru muda, dengan semburat putih awan tipis seperti kuas yang disapukan santai di atas kanvas. Angin laut belum terasa, tapi aroma asin dan hangat dari pantai sudah mulai tercium sejak bus berbelok ke jalan kecil menuju Pantai Pandawa.
Anak-anak Nawasena, masih dengan kaus trip yang mulai memudar warnanya karena keringat dan matahari, turun dari bus satu per satu. Beberapa langsung lepas sandal, membiarkan kaki menyentuh pasir putih yang terasa sejuk. Mata mereka menyipit, bukan karena silau, tapi karena nggak sabar buat masuk ke dunia yang warnanya lebih terang dari kenyataan.
“Gila sih… ini pantai paling bersih yang pernah aku datengin,” ujar Inggit sambil jongkok di pinggir pasir, tangannya membentuk lubang kecil.
“Kamu belum ke laut hati aku,” timpal Pandu dari belakang, lalu langsung dilempari topi sama Aulia.
Suasana pagi itu seperti adegan dari film coming-of-age. Tawa, kamera, debur ombak yang tenang. Ada yang langsung lari ke air, ada yang sibuk bikin formasi foto grup, dan ada yang… duduk diam, memperhatikan semuanya tanpa banyak bicara.
Reihana berdiri dekat karang, kameranya menghadap ke arah teman-temannya yang sedang bermain voli pasir. Matanya bergerak pelan, fokus mencari momen yang paling ‘hidup’. Saat Reynaldi gagal menerima bola dan jatuh terguling sambil teriak “Sakitnya kayak ditinggal pas sayang-sayangnya!”, jepretan pun berbunyi. Cekrek.
Di bawah payung kecil dekat warung kelapa muda, Dito dan Gibran lagi ngobrol serius.
“Kamu sadar nggak,” kata Dito pelan, “habis ini kita bakal balik ke rutinitas… lalu pisah.”
“Makanya, kita tulis sesuatu. Buat dikenang,” jawab Gibran, lalu menunjukkan satu botol kaca bening dari tas kecilnya.
“Apaan tuh?”
“Botol harapan. Kita semua nulis satu janji, satu harapan, terus masukin ke sini. Kita kubur di sini sebelum pulang. Siapa tahu, suatu hari balik lagi, dan lihat isinya bareng.”
Dito mengangguk pelan, lalu berdiri. “Ayo, kasih tahu yang lain.”
Maka, satu demi satu, anak-anak Nawasena dikumpulkan. Di bawah pohon pandan besar, mereka duduk melingkar. Angin sore mulai bertiup, membawa suara pelan ombak seperti bisikan rahasia.
“Aku tahu ini kayak drama,” kata Reihana sambil megang kertas kecil dan pulpen, “tapi kita nggak bakal dapet momen kayak gini lagi. Nulis aja. Terserah mau harapan, curhat, atau janji. Nggak perlu sebut nama.”
Mereka mulai menulis. Ada yang serius, ada yang nyengir sendiri, ada yang kelamaan mikir. Reynaldi bahkan sempat nanya ke Raka, “Kamu nulis pakai rima pantun apa nggak?”
Setelah semua selesai, kertas dilipat kecil-kecil, lalu dimasukkan ke dalam botol. Reihana yang memegangnya, menutup botol dengan gabus, lalu membungkusnya pakai plastik biar nggak cepat rusak.
“Sekarang kita kubur di pasir. Biar jadi jejak kita di Bali,” ujar Gibran sambil mulai menggali lubang kecil, agak jauh dari bibir pantai tapi dekat pohon pandan yang tadi jadi saksi diam mereka.
Botol itu diletakkan perlahan. Mereka menatapnya dalam diam selama beberapa detik, sebelum Reynaldi angkat tangan dan berkata, “Ini serius banget ya. Kayak pemakaman rahasia.”
Semua tertawa, tapi ada perasaan lain yang nggak mereka ucapkan. Semacam haru yang samar, seperti debu pasir yang beterbangan tapi nggak kelihatan di matahari sore.
Setelah dikubur, mereka menandai tempat itu dengan batu kecil dan ranting melintang. “Kalau suatu hari kamu ke sini lagi,” kata Aulia, “dan tempat ini masih ada… mungkin kamu bisa gali dan baca semuanya.”
Sore makin tua. Warna langit berubah jadi jingga tua, pantulan cahayanya menari di permukaan laut. Mereka berjalan pelan kembali ke bus, beberapa masih main air sebentar, yang lain sibuk lihat foto-foto yang tadi diambil.
Di dalam bus, suasana nggak se-riuh kemarin. Banyak yang diam, menatap jendela. Mungkin karena capek, mungkin karena pelan-pelan mulai sadar: setiap langkah di pulau ini membawa mereka ke ujung cerita.
Reihana duduk di kursi baris keempat, menyalakan kamera dan melihat hasil fotonya satu per satu. Jemarinya berhenti saat sampai di satu foto: geng mereka berdiri melingkar, menghadap ke botol yang akan dikubur. Wajah-wajah muda, cerah, dan penuh makna yang belum sempat mereka pahami sekarang.
“Bagus, ya,” gumamnya.
Di bangku sebelah, Inggit menjawab, “Bagus banget. Tapi aku rasa… nanti pas kita lihat foto ini lima tahun lagi, rasanya bakal lebih dalam dari sekarang.”
Bus melaju, meninggalkan Pantai Pandawa, tapi sesuatu dari mereka tetap tinggal di pasirnya. Bukan cuma botol, tapi bagian dari hati dan waktu yang mereka tinggalkan di sana.
Dan mereka belum tahu… bahwa malam terakhir di Bali akan jadi malam yang tidak akan pernah mereka lupakan.
Malam Terakhir, Langit Terakhir
Langit malam di Bali punya cara sendiri untuk memeluk orang-orang yang tak ingin pulang. Di halaman hotel, lampu-lampu kecil digantung acak, menggantung dari satu pohon ke pohon lain, menciptakan suasana seperti karnaval kecil. Tak ada yang nyuruh, tak ada yang memaksa, tapi semua berkumpul di bawah langit malam itu.
Meja panjang diatur di tengah halaman. Di atasnya, ada tumpukan jajanan dari hasil patungan anak-anak. Keripik, minuman soda, roti tawar yang entah siapa yang beli, dan satu toples kecil berisi permen asam. Speaker Bluetooth di pojok memutar lagu-lagu pelan yang biasa mereka dengerin bareng di kelas.
Gibran berdiri di depan, membawa kertas kecil. “Kita udah lewatin tiga hari bareng. Ketawa bareng, jalan bareng, nyasar bareng, dan… mungkin juga diem bareng karena mulai takut hari ini akan selesai. Tapi sebelum itu, ayo habiskan malam ini sebaik mungkin.”
Sorak sorai kecil menyambut. Mereka mulai nyanyi bareng, bukan karena suaranya bagus, tapi karena hatinya udah kelewat penuh buat diem aja. Ada yang joget ala TikTok, ada yang duduk sambil main Uno, ada juga yang cuma menatap langit dan menarik napas panjang, seolah ingin simpan udara Bali di paru-paru selamanya.
Di sudut halaman, Reihana duduk bareng Reynaldi, Inggit, Gibran, dan Saras. Gelas plastik di tangan mereka kosong, tapi percakapan mereka penuh.
“Aku takut kangen,” ujar Saras pelan.
“Kangen tuh nggak perlu ditakutin,” jawab Gibran, “itu tanda kita punya sesuatu yang berharga buat dirindukan.”
“Ciee…” ledek Reynaldi, lalu ketawa pelan. Tapi matanya juga kelihatan redup malam itu.
Reihana membuka dompet kecilnya, lalu mengeluarkan satu foto polaroid. Foto saat mereka berdiri di pantai, melingkari botol harapan. Di belakang foto, dia tulis satu kalimat pendek:
“Kalau nanti kita lupa, semoga ini yang mengingatkan.”
“Kamu bawa printer polaroid ya, Re?” tanya Inggit sambil mengintip.
“Cuma satu lembar. Buat disimpen… barangkali aku terlalu sibuk nanti, sampai lupa rasanya hari ini.”
Malam makin dalam. Bintang-bintang di atas kepala nggak terlalu terang, tapi cukup buat jadi latar semua cerita. Di atas tikar, sebagian udah mulai tertidur, kepalanya nyandar di bahu temannya, tanpa takut leher pegal. Yang lain, masih ngobrol pelan, suara mereka kalah sama desir angin dan lagu-lagu yang mengalun pelan.
Pandu tiba-tiba berdiri, dengan gitar pinjaman di tangannya. Dia mulai petik senar perlahan.
“Lagu terakhir ya,” katanya. “Ini bukan buat gaya-gayaan. Ini buat kita… yang nggak tahu kapan bakal kumpul kayak gini lagi.”
Dan dia pun mulai menyanyi. Suaranya nggak sempurna, tapi nggak ada yang peduli. Karena semua ikut bersenandung dalam hati, atau malah ikut nyanyi dengan suara serak sisa tawa seharian.
“Jangan lupakan cerita kita,
di pasir, di langit, di cahaya senja…
kalau nanti kita pergi,
semoga pulang bawa rindu ini…”
Mata mulai berkaca-kaca. Bahkan Reynaldi yang terkenal badut kelas pun mendadak diam.
Gibran menatap ke atas, lalu berkata pelan, “Langitnya sama… tapi perasaan malam ini cuma kita yang punya.”
Malam terakhir itu, nggak ada pidato, nggak ada acara formal. Hanya pelukan, janji yang tak diucapkan, dan mata yang saling memandang lama — seolah ingin hafalkan wajah satu sama lain sebelum esok pagi datang.
Dan pagi pun akhirnya datang. Matahari Bali mengintip perlahan dari balik gunung, menyorot wajah-wajah lelah tapi bahagia. Suasana hening. Bahkan suara koper yang diseret pun terdengar seperti isyarat perpisahan yang terlalu cepat.
Satu per satu, mereka masuk ke dalam bus. Banyak yang diam, hanya menatap luar jendela, melihat Bali untuk terakhir kalinya dalam momen itu. Beberapa memutar video dari malam sebelumnya, tertawa sambil menahan air mata. Reihana duduk paling belakang, tangannya menggenggam polaroid yang mulai kusam karena terkena embun semalam.
Saat bus mulai bergerak, tak satu pun dari mereka bicara. Tapi semua tahu, cerita ini belum berakhir.
Satu botol harapan masih tertanam di pantai. Dan suatu hari nanti, entah tahun depan, lima tahun lagi, atau saat rambut mulai memutih—mereka akan kembali.
Mereka akan gali botol itu, baca satu per satu tulisan yang ditinggalkan, dan sadar… bahwa masa-masa itu nyata. Bahwa mereka pernah punya Bali. Punya satu sama lain. Punya Nawasena.
Teman selamanya bukan tentang selalu bersama. Tapi tentang pernah ada dalam momen yang tak akan pernah hilang, meski waktu berganti.
Dan saat langit di luar jendela berubah warna, seseorang di dalam bus membuka jendela, membiarkan angin masuk. Membiarkan Bali memberi salam terakhir.
Senyum kecil muncul di wajah Reihana. Lalu ia berbisik pelan, hampir tak terdengar oleh siapa pun.
“Terima kasih, Bali.”
TAMAT.
Jadi, setelah baca cerpen “Pasir Bali, Janji di Bawah Langit”, siapa nih yang langsung kangen masa SMA dan pengin reuni bareng geng lama? Cerita ini mungkin fiksi, tapi rasa yang ditinggalin tuh real banget.
Kadang yang paling kita rindukan bukan tempatnya, tapi orang-orang yang pernah kita temui di sana—dan kenangan kecil yang nggak pernah kita sadari ternyata berharga banget. Kalau kamu punya cerita study tour yang nggak kalah seru, atau pengalaman bareng temen-temen yang nggak bisa dilupain, share di kolom komentar, ya! Siapa tahu… kenangan kamu bisa jadi inspirasi cerita berikutnya