Para Pengejar Bayang-Bayang: Rahasia Kelam yang Tak Bisa Lari dari Masa Lalu

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa ada sesuatu yang ngikutin kamu, tapi tiap kali noleh… nggak ada siapa-siapa? Atau mungkin, pernah ngalamin kejadian yang bikin bulu kuduk berdiri, tapi kamu pura-pura lupa biar nggak makin kepikiran?

Sayangnya, ada hal-hal yang nggak bisa kamu tinggalkan begitu aja. Seperti cerita ini—tentang mereka yang dikejar oleh sesuatu yang nggak kasat mata. Atau lebih tepatnya… sesuatu yang mereka coba lupakan.

 

Para Pengejar Bayang-Bayang

Bayangan yang Tak Pernah Pergi

Hujan baru saja reda. Udara di sekitar reruntuhan bangunan tua masih berbau tanah basah dan debu yang tersapu air. Di atas langit, awan pekat menggantung rendah, menutup bulan hingga kegelapan terasa lebih pekat dari biasanya.

Vhiran berdiri di depan pintu besi berkarat, tangannya mengepal. Ia bisa merasakan sesuatu di dalam sana—entah itu sekadar perasaannya atau memang ada sesuatu yang tengah mengintai.

“Kamu yakin ini tempatnya?” tanya Orev dengan suara setengah berbisik. Ia berdiri di sebelah Vhiran, jaketnya sedikit robek akibat tersangkut kawat di pagar tadi.

“Velka yang bilang,” jawab Vhiran singkat. Pandangannya tetap terpaku pada celah pintu yang sedikit terbuka.

“Kamu percaya omongannya begitu aja?” Orev mendecak, matanya melirik ke arah Velka yang berdiri beberapa langkah di belakang mereka, menyandarkan punggungnya ke dinding bata yang sudah retak.

Velka hanya tertawa kecil. “Kalian ini gampang cemas.”

“Kita udah di sini selama hampir satu bulan,” kata Vhiran akhirnya. “Selalu ada yang mengawasi kita, Orev. Kamu juga merasakannya, kan?”

Orev diam. Wajahnya mengeras, seperti enggan mengakui sesuatu yang sebetulnya sudah ia sadari. Sejak malam itu—malam di mana semuanya berubah—tak ada lagi ketenangan dalam hidup mereka.

Mereka selalu merasa diikuti. Setiap langkah yang mereka ambil, ada bayangan yang terasa bergerak di belakang mereka, tetapi saat menoleh, yang mereka lihat hanyalah kehampaan. Tidak ada orang. Tidak ada apa-apa.

Hanya perasaan bahwa sesuatu di luar jangkauan mata terus mengawasi.

“Kalau memang ada sesuatu di sini,” kata Velka, melangkah ke depan, “maka kita harus cari tahu.”

Tanpa menunggu jawaban, ia mendorong pintu besi itu hingga terbuka. Engselnya berderit pelan, seperti jeritan tertahan yang menggema di ruangan kosong.

Bangunan itu dulunya mungkin gudang, atau sebuah pabrik kecil. Kini, hanya tersisa dinding penuh lumut, lantai retak, dan langit-langit yang bolong di sana-sini. Angin dingin bertiup melalui celah-celahnya, membawa bau kayu lapuk dan besi berkarat.

Orev menggerutu. “Aku benci tempat kayak gini.”

Vhiran melangkah masuk, diikuti yang lain. Sepatu mereka berdecit saat menginjak lantai basah. Cahaya senter yang mereka bawa bergetar di dinding, menciptakan bayangan panjang yang bergerak seiring langkah mereka.

“Lihat itu,” bisik Velka, menunjuk sesuatu di sudut ruangan.

Mereka semua menoleh. Ada sesuatu yang tergeletak di lantai—sebuah kain hitam panjang, lembab, dan kusut, seolah baru saja jatuh dari langit-langit.

Bukan kain biasa.

Vhiran menelan ludah, merasakan dadanya mulai sesak. Itu bukan pertama kalinya mereka menemukan sesuatu seperti ini. Kain yang sama selalu muncul di tempat-tempat mereka datangi, seolah menjadi jejak dari sesuatu yang mengikuti mereka.

Orev mengambil senter dan menyinari kain itu dari berbagai sudut. “Bisa aja ini cuma kain biasa,” gumamnya, meski suaranya tidak terdengar yakin.

“Kalau itu cuma kain biasa,” kata Velka, “kenapa bisa selalu muncul di setiap tempat kita datangi?”

Tak ada yang menjawab.

Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar dari belakang mereka.

Seketika mereka membeku.

Orev menoleh lebih dulu, matanya membelalak. “Tadi… ada yang jalan di belakang kita.”

Vhiran menggerakkan senter, menyorot ke belakang. Hanya dinding kosong dan bayangan mereka sendiri yang tampak bergerak di lantai basah.

Velka menggeram pelan. “Aku yakin aku denger suara.”

Seketika, senter Vhiran berkedip. Nyala cahayanya melemah, berkedip sekali, dua kali, sebelum akhirnya mati total.

“Kamu bercanda?” Orev terdengar panik.

Vhiran menekan tombolnya beberapa kali, tetapi tidak ada yang terjadi. Cahaya dari senter Velka dan Orev menjadi satu-satunya penerangan mereka di dalam gelap.

Lalu terdengar suara lain.

Sebuah tarikan napas.

Bukan dari mereka.

Jantung Vhiran berdebar keras. Ia bisa merasakannya sekarang—sesuatu di dalam ruangan ini bersama mereka. Sesuatu yang telah mengikuti mereka selama ini, akhirnya muncul dari tempatnya bersembunyi.

Velka merapat ke arah Vhiran, sementara Orev mencengkeram pisau kecil yang selalu ia bawa.

Hening.

Lalu suara langkah terdengar, perlahan, mendekat dari kegelapan.

Velka berbisik nyaris tanpa suara, “Jangan bergerak.”

Tapi terlambat.

Dari sudut mata, Vhiran melihat bayangan panjang merayap di lantai, lebih besar dari seharusnya, lebih pekat dari kegelapan itu sendiri. Bayangan itu tidak berasal dari mereka.

Lalu semuanya menjadi gelap.

 

Jejak di Kegelapan

Gelap.

Bukan sekadar kegelapan biasa, melainkan sesuatu yang lebih dalam, lebih pekat—seperti ruang tanpa akhir yang menelan cahaya begitu saja.

Vhiran mencoba mengatur napas, tapi dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menekan paru-parunya. Di sekelilingnya, keheningan terasa terlalu dingin, terlalu asing, seperti bukan lagi dunia yang ia kenal.

Lalu, cahaya senter menyala kembali.

Velka menyalakan lampunya lebih dulu, disusul Orev. Mereka berdiri kaku, wajah mereka sama pucatnya dengan perasaan yang mencekik dada mereka.

Namun, ada yang aneh.

“Ada yang salah…” suara Velka terdengar kaku.

Mereka masih berada di dalam gedung tua itu, tapi sesuatu terasa berbeda. Ruangannya… berubah. Tidak ada lagi kain hitam di lantai. Dinding yang tadi penuh lumut kini bersih, seolah tak tersentuh waktu.

Dan yang paling mengerikan—pintu yang tadi mereka masuki sudah tak ada.

“Aku nggak suka ini,” gumam Orev, jemarinya mencengkeram pisau kecilnya lebih erat.

“Kita harus tetap tenang,” kata Vhiran, meski suaranya sendiri sedikit bergetar. Ia melangkah perlahan, menyorotkan senter ke sekeliling. Tidak ada jalan keluar yang terlihat. Hanya lorong panjang yang sebelumnya tidak ada, membentang ke depan mereka seperti mengundang untuk ditelusuri.

Tak ada pilihan lain.

Mereka melangkah maju.

Setiap langkah terasa berat, seolah lantai di bawah mereka tidak sepenuhnya nyata. Hawa dingin merayap di kulit, dan di kejauhan, terdengar suara samar—seperti bisikan yang tak bisa mereka pahami.

Velka menggigit bibirnya. “Aku nggak suka tempat ini…”

“Kita nggak boleh berhenti,” kata Vhiran. Ia mencoba menjaga pikirannya tetap jernih, tapi perasaan itu kembali muncul. Perasaan bahwa mereka tidak sendirian.

Dan benar saja.

Di ujung lorong, sesuatu bergerak.

Orev menyorotkan senter lebih terang. “Apa itu?”

Di bawah cahaya redup, terlihat siluet seseorang—atau sesuatu—berdiri membelakangi mereka.

Sosok itu tinggi, dengan tubuh yang tampak kurus tak wajar, bahunya sedikit membungkuk. Rambutnya panjang, jatuh menutupi wajahnya yang tak terlihat. Pakaian yang dikenakan robek-robek, seperti kain yang sudah terlalu lama ditinggalkan.

Vhiran menelan ludah. “Siapa… itu?”

Tak ada jawaban. Sosok itu tetap diam, tidak bergerak, seolah tidak menyadari keberadaan mereka.

Velka menarik napas panjang. “Aku nggak akan diem aja.”

Sebelum Vhiran sempat mencegahnya, Velka melangkah maju, suara sepatunya menggema di lorong kosong.

“Sial,” desis Orev.

Saat Velka sudah cukup dekat, ia mengangkat senter dan bertanya, “Hei, kamu siapa?”

Hening.

Sosok itu tetap tak bergerak.

Sampai akhirnya—ia mengangkat kepalanya sedikit.

Cukup untuk menampakkan wajah yang tidak seharusnya dilihat.

Kulitnya terlalu pucat, matanya kosong, hanya lubang hitam yang dalam tanpa kehidupan. Mulutnya seperti sobek, merentang lebih lebar dari yang seharusnya.

Dan saat ia mulai bergerak, langkahnya tidak terdengar.

Vhiran merasa tenggorokannya mengering. Ia mundur selangkah, tapi tubuhnya terasa berat, seperti ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat.

“Velka,” bisik Orev.

Velka tetap diam, tubuhnya membeku.

Lalu, sosok itu berbicara.

Namun, bukan dengan suara manusia.

Itu adalah suara banyak orang—berlapis-lapis, terdengar jauh dan dekat dalam waktu yang bersamaan. Kata-kata yang mereka ucapkan tidak bisa dimengerti, seperti bahasa yang telah lama mati dan seharusnya tidak pernah diucapkan lagi.

Orev kehilangan kesabarannya. “Lari!”

Tapi saat mereka berbalik, lorong itu sudah berubah lagi.

Tak ada jalan kembali. Hanya kegelapan.

Dan sesuatu di dalamnya… menunggu mereka.

 

Rahasia yang Terkubur

Mereka berlari.

Orev di depan, menarik Velka yang masih terpaku dalam keterkejutan. Vhiran mengikuti di belakang, jantungnya berdebar begitu keras hingga ia nyaris tak bisa mendengar suara langkah mereka sendiri.

Lorong di depan mereka terus memanjang, seolah tidak pernah berakhir. Nafas mereka tersengal, kaki terasa semakin berat, seakan ada sesuatu yang menarik mereka kembali ke dalam kegelapan.

“Sial! Kita nggak bisa terus kayak gini!” teriak Orev, suaranya menggema di sepanjang lorong sempit.

Tapi tak ada pilihan lain. Mereka tidak bisa berhenti.

Di belakang mereka, suara langkah tanpa suara itu masih terdengar.

Vhiran tak berani menoleh.

Sampai akhirnya, sesuatu berubah.

Lorong itu—yang awalnya hanya satu jalur lurus—tiba-tiba bercabang.

Tiga jalan di depan mereka.

Tanpa pikir panjang, Velka berbelok ke kiri, menarik Vhiran bersamanya. Orev mengikuti tanpa protes, meskipun ekspresinya penuh ketegangan.

Mereka berlari melewati pintu kayu tua yang terbuka sedikit, lalu segera menutupnya rapat-rapat setelah masuk. Orev menekan tubuhnya ke daun pintu, sementara Vhiran dan Velka berdiri dengan tubuh gemetar di tengah ruangan.

Hening.

Tak ada suara langkah.

Tak ada bisikan.

Hanya suara napas mereka sendiri yang memenuhi ruangan.

“Kita… berhasil?” bisik Velka, nyaris tidak percaya.

Orev menggeleng, masih menempelkan telinganya ke pintu. “Nggak tahu.”

Vhiran menyorotkan senter ke sekeliling ruangan. Itu bukan ruangan biasa. Tidak seperti bagian lain dari gedung ini yang tampak terbengkalai, ruangan ini bersih—seperti baru saja ditinggali.

Di tengahnya, ada meja kayu tua dengan kursi yang tertata rapi. Rak buku berdebu memenuhi dinding, sementara di sudut ruangan, ada papan tulis besar dengan coretan hitam yang hampir tak bisa terbaca.

Velka melangkah mendekat, matanya menyipit. “Ini…”

Orev mengernyit, mengikuti arah pandangan Velka. “Tulisan apa ini?”

Di papan tulis itu, ada satu kalimat yang masih bisa terbaca dengan jelas di antara goresan-goresan lain yang sudah pudar.

“Bayangan bukan sekadar mengejar. Mereka menunggu saat yang tepat untuk mengambil kembali apa yang telah hilang.”

Vhiran merasa tubuhnya menegang.

“Apa maksudnya?” gumam Orev.

Velka masih menatap tulisan itu dengan ekspresi kosong. Lalu, tanpa peringatan, ia berbalik dan menatap Vhiran.

“Kamu inget malam itu?” suaranya nyaris tak terdengar.

Vhiran mengerjap. “Malam apa?”

Velka menghela napas. “Jangan pura-pura nggak inget.”

Vhiran tidak langsung menjawab. Ia tahu persis malam yang Velka maksud, tapi selama ini, mereka bertiga selalu menghindari membicarakannya.

Malam itu.

Malam ketika semuanya berubah.

Malam ketika mereka pertama kali melihat sesuatu yang tidak seharusnya mereka lihat.

Orev merosot ke lantai, tangannya mencengkeram rambutnya sendiri. “Sial… aku tahu ini ada hubungannya.”

Tak ada yang berbicara selama beberapa saat.

Hingga akhirnya, Velka mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah foto tua yang sudah usang, ujungnya sedikit robek. Ia meletakkannya di atas meja, lalu menyorotnya dengan senter.

Vhiran menegang.

Foto itu memperlihatkan lima orang remaja—mereka bertiga, dan dua orang lain yang sudah lama mereka coba lupakan.

“Kita bukan satu-satunya yang ada di sana malam itu,” bisik Velka.

Orev menatap foto itu dengan rahang mengeras. “Jadi mereka juga—”

Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara di balik pintu terdengar lagi.

Seseorang—atau sesuatu—berdiri di luar sana.

Menunggu.

 

Kegelapan yang Menunggu

Suara di balik pintu semakin jelas.

Ketukan.

Pelan, berirama.

Seperti seseorang yang tidak terburu-buru. Seperti sesuatu yang tahu mereka tidak akan ke mana-mana.

Orev langsung berdiri, mencabut pisaunya, tapi tangannya sedikit gemetar. Vhiran merasakan darahnya berdesir cepat di bawah kulit, napasnya memburu. Velka hanya berdiri mematung, matanya tidak bergerak dari foto yang baru saja ia keluarkan.

Ketukan itu berhenti.

Lalu, suara itu datang.

Samar. Terdengar jauh dan dekat di saat yang bersamaan.

“Buka pintunya.”

Itu bukan suara asing.

Itu suara teman mereka.

Yang seharusnya sudah tidak ada.

Velka terisak. “Ini salah. Ini semua salah…”

“Kita nggak boleh buka,” bisik Orev.

Tapi sebelum mereka bisa bertindak, pintu itu terbuka sendiri.

Tanpa suara.

Di baliknya, lorong kosong membentang. Gelap, tak berujung, seperti mulut yang siap menelan mereka.

Dan di dalam kegelapan itu, mereka melihatnya.

Sosok itu bukan lagi bayangan.

Itu mereka.

Dirinya sendiri—tapi tidak.

Mereka melihat sosok yang menyerupai mereka sendiri berdiri di lorong. Wajahnya kosong, matanya gelap tak berujung, tubuhnya sedikit membungkuk seperti dimakan oleh sesuatu yang tak terlihat.

Bayangan mereka sendiri menatap mereka.

Vhiran melangkah mundur, otaknya menolak memahami apa yang terjadi. Orev mencengkeram pisaunya lebih erat, tapi tidak ada gunanya. Velka hanya berdiri di sana, mulutnya sedikit terbuka, matanya kosong.

Lalu, sosok itu berbicara.

Bukan dengan suara mereka.

Tapi dengan suara teman mereka yang hilang malam itu.

“Kalian mengambil sesuatu yang bukan milik kalian.”

Vhiran menelan ludah. “Kita nggak mengambil apa pun.”

Bayangan itu tersenyum. Tapi bukan senyum manusia.

“Kalian mengambil kehidupan.”

Seperti kilatan petir, ingatan itu menghantam mereka.

Malam itu.

Mereka berlima.

Tertawa, menantang ketakutan, bermain dengan sesuatu yang tidak seharusnya disentuh.

Sampai akhirnya, salah satu dari mereka terjatuh ke dalam kegelapan.

Dan tidak pernah kembali.

Mereka tidak pernah membicarakannya lagi. Tidak pernah mengakui apa yang terjadi. Tidak pernah mengakui bahwa mereka lari dan meninggalkan seseorang di sana.

Dan sekarang…

Bayangan itu kembali untuk menjemput mereka.

Tiba-tiba, rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh Vhiran. Ia tidak bisa bergerak. Orev mencoba melawan, tapi tubuhnya membeku. Velka berteriak, tapi suaranya tersedot ke dalam kegelapan.

Bayangan mereka tersenyum semakin lebar.

“Sekarang, gilirannya kalian.”

Lalu, segalanya menghilang.

Tak ada suara.

Tak ada cahaya.

Hanya kegelapan.

Dan jejak mereka yang perlahan-lahan lenyap, seperti mereka tidak pernah ada.

 

Ada yang bilang, masa lalu itu kayak bayangan—nggak peduli seberapa cepat kamu lari, dia bakal tetep ngikutin. Masalahnya, gimana kalau yang ngikutin bukan cuma bayangan biasa? Gimana kalau yang ngejar itu sesuatu yang… pengen balas dendam? Pada akhirnya, mereka yang berusaha lari cuma punya satu pilihan: menghadapi atau menghilang selamanya.

Leave a Reply