Papa Marah Karena Aku Nggak Sholat Subuh: Hukuman yang Mengubah Hidupku

Posted on

Bangun pagi itu emang susah, apalagi kalau kasur lagi terasa lebih nyaman dari biasanya. Tapi, apa jadinya kalau gara-gara telat bangun Subuh, tiba-tiba Papa marah besar dan ngasih hukuman yang bikin hidup berubah drastis? Kedengerannya lebay, tapi itulah yang dialami Alzam. Awalnya cuma telat bangun, tapi siapa sangka ada pelajaran besar di baliknya?

 

Hukuman yang Mengubah Hidupku

Pintu yang Terbuka dengan Kemarahan

Azan Subuh menggema di langit yang masih pekat. Suara muadzin melantun merdu, menggema dari menara masjid yang berdiri kokoh di ujung jalan. Angin dini hari menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa hawa dingin yang menusuk kulit.

Di ruang tengah rumah bercat krem itu, Mahendra duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tegang, matanya tajam menatap jam dinding yang terus berdetak tanpa henti. Pukul 04.45. Sudah hampir setengah jam sejak azan berkumandang, tapi tidak ada tanda-tanda putranya, Alzam, bangun untuk sholat.

Wajah Mahendra mengeras. Rahangnya mengatup, matanya menyipit tajam ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Sudah berkali-kali ia membiarkan putranya bangun sendiri, berharap kesadarannya tumbuh. Tapi tidak. Pagi ini batas kesabarannya runtuh.

Tanpa ragu, Mahendra bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar Alzam. Setiap langkahnya terdengar berat, penuh dengan amarah yang ditahan. Ia berdiri tepat di depan pintu, menarik napas panjang, lalu tanpa ragu mengetuknya keras.

Tok! Tok! Tok!

Tidak ada jawaban.

Mahendra mengetuk lebih keras. “Alzam! Bangun! Udah Subuh!”

Hening.

Kening Mahendra berkerut. Ia tahu betul kebiasaan anaknya. Kalau tidak langsung dibangunkan, maka tidak akan bergerak sedikit pun.

Brak!

Tanpa basa-basi, Mahendra membuka pintu dengan sekali hentakan. Lampu kamar yang redup memperlihatkan sosok Alzam yang masih tertidur nyenyak di bawah selimut tebalnya, tubuhnya menggeliat sedikit seakan terganggu, tapi tetap tidak bergerak.

Melihat itu, amarah Mahendra memuncak. Dengan langkah cepat, ia meraih selimut tebal itu dan menariknya dengan kasar.

“Alzam! Bangun sekarang juga!” suaranya menggelegar, memenuhi kamar yang tadinya sunyi.

Alzam menggeliat sebentar, lalu mengerjapkan matanya yang masih berat. “Hah? Apaan sih, Pa?” gumamnya setengah sadar, suaranya serak karena baru bangun.

Tapi Mahendra tidak main-main. Ia mengguncang bahu anaknya cukup keras. “Udah Subuh! Ayo bangun!”

Alzam mengerang pelan, menutup matanya kembali. “Sebentar lagi, lima menit aja…”

Namun, sebelum ia sempat menarik selimutnya kembali, suara Mahendra terdengar lebih tajam. “Lima menit lagi dan kamu tetap nggak akan bangun! Kamu pikir ibadah itu bisa ditunda sesuka hati?”

Alzam membuka matanya dengan enggan, merasa jengkel karena tidurnya diganggu. “Pa, aku capek banget. Semalam belajar sampai larut.”

Mahendra menatap putranya dengan mata dingin. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih bantal di sebelah Alzam dan melemparkannya ke lantai.

“Bangun sekarang. Kalau nggak, Papa nggak segan buat angkat kamu dari kasur ini!”

Alzam menghela napas panjang, akhirnya bangkit perlahan dengan wajah masih mengantuk. Ia mengusap wajahnya dengan malas, mencoba memahami betapa seriusnya Mahendra kali ini.

“Papa kenapa sih? Marah banget cuma gara-gara aku telat sholat?” suaranya terdengar kesal.

Mahendra melangkah mundur, menatap Alzam dengan pandangan yang sulit dibaca—bukan hanya kemarahan, tapi juga kekecewaan.

“Dengar baik-baik, Zam,” ucapnya dengan nada yang lebih dalam, penuh ketegasan. “Kamu bisa aja bangun buat sekolah, buat main, buat urusan lain. Tapi buat Allah? Kamu abaikan.”

Alzam terdiam.

“Papa nggak pernah sekeras ini sama kamu. Tapi kalau soal sholat, Papa nggak akan diam. Ini bukan masalah kecil, ini kewajiban. Kamu pikir, kesuksesan yang kamu kejar bisa datang tanpa ridho Allah?”

Udara dalam kamar terasa lebih berat.

Alzam mengalihkan pandangannya ke lantai, merasa tidak nyaman dengan tatapan ayahnya.

Mahendra menghela napas berat sebelum melanjutkan, “Kalau kamu udah bisa ninggalin satu sholat wajib, nanti bakal gampang buat ninggalin yang lain. Papa nggak mau itu terjadi.”

Tidak ada suara selain deru napas Alzam yang masih mencoba menelan ucapan ayahnya.

Mahendra melirik jam dinding. “Masih ada waktu buat sholat. Sekarang ambil wudhu.”

Alzam tidak berani membantah lagi. Ia tahu, kali ini ayahnya benar-benar tidak bisa ditawar. Dengan langkah berat, ia bangkit dan berjalan ke kamar mandi.

Dari belakang, Mahendra masih berdiri tegak, menatap punggung putranya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

Hari ini bukan hanya tentang sholat yang terlewat. Ini tentang sesuatu yang lebih besar—tentang tanggung jawab, kedisiplinan, dan keteguhan iman. Dan Mahendra tidak akan membiarkan anaknya kehilangan semua itu.

 

Sholat yang Terlupakan, Hukuman yang Datang

Air wudhu yang dingin membasahi wajah Alzam, mengusir kantuk yang masih menempel di kelopak matanya. Ia menarik napas panjang, menatap bayangannya di cermin kamar mandi. Matanya sembab, bukan karena menangis, tapi karena kantuk yang dipaksa enyah oleh ayahnya.

Ketika keluar, Mahendra sudah menunggunya di ruang tengah dengan wajah tegas. Tanpa berkata-kata, ayah dan anak itu berjalan ke musala kecil di rumah mereka. Mahendra berdiri di depan, takbiratul ihram, memulai sholat Subuh berjamaah.

Namun, di tengah-tengah sholat, Alzam merasa pikirannya melayang. Bacaan sholat yang biasanya ia hafal dengan lancar terdengar samar di kepalanya. Bukan karena ia lupa, tapi karena hatinya masih diselimuti rasa kesal.

“Kenapa harus semarah ini?” batinnya.

Setelah salam terakhir, Mahendra menoleh ke putranya. “Berdoalah,” ucapnya singkat.

Alzam mengangkat tangan, melantunkan doa dengan suara lirih. Tapi jauh di dalam hatinya, ia belum benar-benar merasa ikhlas. Ada sesuatu yang mengganjal.

Setelah selesai, Mahendra menatap Alzam lekat-lekat. “Mulai hari ini, kamu nggak akan pegang ponsel dan laptop sampai Papa yakin kamu bisa disiplin.”

Mata Alzam langsung melebar. “Hah?! Pa, serius?!”

Mahendra mengangguk mantap. “Papa nggak main-main, Zam. Kalau buat hal lain kamu bisa disiplin, tapi buat ibadah kamu lalai, berarti ada yang harus dibenahi.”

Alzam menghembuskan napas kasar. “Pa, ini nggak adil. Aku juga belajar sampai larut buat masa depan aku.”

Mahendra menatapnya tajam. “Masa depan kamu di dunia doang? Terus masa depan di akhirat mau kamu apain?”

Alzam terdiam.

Mahendra melipat tangannya di dada, ekspresinya tetap dingin. “Sholat itu perintah langsung dari Allah. Papa nggak akan biarin kamu tumbuh jadi orang yang mengabaikan hal itu.”

Alzam mengusap wajahnya dengan frustasi. “Jadi aku dihukum cuma gara-gara telat bangun Subuh?”

Mahendra mendengus. “Cuma?” Ucapannya pendek tapi sarat makna.

Ia mendekat, menepuk bahu putranya dengan sedikit tekanan. “Dengar, Zam. Kalau hari ini Papa biarin, besok-besok kamu bakal makin enteng ninggalin sholat. Terus lama-lama, kamu bakal lupa sama Allah. Papa nggak mau itu terjadi.”

Alzam ingin membalas, ingin berdebat, tapi ada sesuatu di tatapan ayahnya yang membuatnya menahan diri. Tatapan itu bukan hanya berisi amarah, tapi juga keteguhan, seolah Mahendra benar-benar akan melakukan apa pun demi kebaikannya.

“Udah, nggak ada diskusi. Handphone dan laptop kamu kasih ke Papa sekarang.”

Dengan enggan, Alzam menyeret kakinya ke kamar. Hatinya masih terasa berat, tapi di balik protesnya, ada bagian kecil dalam dirinya yang tahu… ayahnya tidak akan melakukan ini kalau bukan untuk sesuatu yang penting.

Saat ia menyerahkan ponselnya, Mahendra menerimanya tanpa ragu.

“Hukuman ini bukan buat nyusahin kamu, Zam. Tapi buat kamu sadar kalau hubungan sama Allah itu harus lebih diutamakan dari segalanya.”

Alzam hanya menunduk.

Ia belum tahu bahwa hari-hari ke depan tanpa kebebasan digital akan menjadi ujian yang lebih berat daripada yang ia kira.

 

Hari-hari Tanpa Kebebasan

Sudah dua hari sejak hukuman itu dimulai, dan bagi Alzam, rasanya seperti dua minggu.

Tanpa ponsel, tanpa laptop, dunia seolah berjalan lebih lambat. Tidak ada game, tidak ada chat dari teman-temannya, tidak ada scrolling media sosial sebelum tidur. Bahkan tugas-tugas sekolah yang biasanya ia kerjakan dengan bantuan internet kini terasa lebih sulit.

Ia duduk di meja belajar, menatap buku pelajarannya dengan malas. Kepalanya terasa berat, bukan karena sulit memahami materi, tapi karena pikirannya terus dipenuhi dengan rasa kesal.

Di luar kamar, suara Mahendra terdengar sedang berbincang dengan ibunya. Suara itu terdengar tenang, tidak lagi semarah kemarin. Tapi justru itu yang membuat Alzam semakin frustrasi—ayahnya benar-benar tidak goyah sedikit pun.

Menyerah dengan buku pelajarannya, Alzam merebahkan kepalanya ke meja, menghela napas panjang.

Sampai sebuah suara mengetuk lamunannya.

“Udah selesai belajar?”

Alzam menoleh dan melihat Mahendra berdiri di ambang pintu. Ayahnya tidak lagi terlihat segalak kemarin, tapi masih dengan sorot mata yang tajam.

“Belum,” jawab Alzam malas.

Mahendra melangkah masuk dan duduk di tepi ranjang Alzam. “Papa nggak larang kamu belajar. Kalau butuh cari materi tambahan, pakai komputer ruang tengah. Tapi setelah selesai, Papa harus tahu kamu beneran belajar, bukan main-main.”

Alzam diam. Mungkin itu sedikit kelonggaran, tapi tetap saja tidak bisa menggantikan kebebasannya yang hilang.

Mahendra menatapnya dalam. “Gimana rasanya dua hari ini?”

Alzam mengangkat bahu. “Gimana lagi? Bosan, nggak bisa ngapa-ngapain.”

Mahendra mendengus kecil. “Kamu tahu nggak, dulu waktu Papa seumur kamu, internet belum kayak sekarang. Anak-anak masih main di luar, ngobrol sama keluarga, nggak terus-terusan nunduk ke layar.”

Alzam menyandarkan kepalanya ke kursi, menatap langit-langit. “Tapi zaman sekarang beda, Pa.”

Mahendra mengangguk. “Beda, tapi tetap sama soal satu hal—kalau kita terlalu nyaman sama dunia, kita gampang lupa sama kewajiban kita ke Allah.”

Hening.

Mahendra melanjutkan, “Selama ini, kamu sholat cuma karena disuruh, kan? Nggak pernah benar-benar ngerasa itu bagian dari hidup kamu.”

Alzam tidak menjawab.

Mahendra menghela napas. “Sholat itu bukan sekadar ritual, Zam. Itu komunikasi kita sama Allah. Papa marah kemarin bukan karena kamu telat bangun, tapi karena Papa takut kamu jadi orang yang ninggalin sholat dengan enteng.”

Alzam menatap ayahnya sebentar. Di balik ketegasan itu, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketulusan.

Mahendra bangkit berdiri. “Besok Subuh, Papa nggak bakal bangunin kamu lagi. Kalau kamu masih tidur, ya itu pilihan kamu.”

Alzam sontak menoleh. “Serius?”

Mahendra mengangguk. “Papa udah kasih tahu yang terbaik. Sekarang tinggal kamu yang milih sendiri.”

Lalu, tanpa menunggu jawaban, Mahendra keluar dari kamar, meninggalkan Alzam dengan pikirannya sendiri.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ada sesuatu yang mengusik hati Alzam.

Besok pagi, tanpa ada yang membangunkan, apa dia akan tetap memilih untuk tidur?

 

Pilihan di Waktu Subuh

Alarm di ponsel Alzam berbunyi nyaring. Ia membuka matanya perlahan, menoleh ke arah jam dinding. 04.30. Masih setengah jam sebelum iqamah, masih ada waktu untuk tidur sebentar lagi.

Tapi, tidak seperti biasanya, rasa kantuknya tidak sekuat sebelumnya. Ada sesuatu yang terasa berbeda kali ini.

Ia menoleh ke pintu kamarnya. Tidak ada suara langkah kaki Mahendra. Tidak ada ketukan pintu keras. Tidak ada suara ayahnya yang membentaknya untuk bangun.

Hanya keheningan.

Dada Alzam terasa sedikit berat. Semalam, ayahnya bilang tidak akan membangunkannya lagi.

Jadi sekarang semua tergantung aku sendiri?

Ia membalikkan badan, menarik selimutnya lebih rapat. Udara Subuh masih dingin, kasurnya masih terlalu nyaman.

Tapi di kepalanya, kata-kata ayahnya terus terngiang.

“Kalau kamu udah bisa ninggalin satu sholat wajib, nanti bakal gampang buat ninggalin yang lain. Papa nggak mau itu terjadi.”

Alzam memejamkan mata. Sekarang, ia punya pilihan. Tidak ada yang akan memaksa, tidak ada yang akan meneriakinya, tidak ada hukuman yang mengikutinya kalau ia tetap tidur.

Tapi… apakah memang harus selalu ada hukuman supaya dia sholat?

Tangannya bergerak, menyingkirkan selimut. Dengan sedikit ragu, ia duduk di tepi kasur. Udara dingin langsung menyergap kulitnya, tapi ia tidak menarik selimut lagi. Ia menatap jendela kamarnya yang mulai berubah warna, semburat jingga samar di ufuk timur mulai muncul.

Ia menarik napas panjang.

Lalu, tanpa banyak berpikir lagi, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.

Saat ia selesai berwudhu dan keluar, langkah kakinya terasa lebih ringan. Ia berjalan menuju musala kecil di rumahnya.

Di sana, Mahendra sudah duduk di atas sajadahnya, sedang berdzikir. Ia menoleh sedikit ketika melihat Alzam datang, tapi tidak berkata apa-apa.

Alzam menelan ludah. “Pa… sholat bareng?”

Senyum tipis terbit di wajah Mahendra.

Tanpa berkata apa-apa, ia bangkit dan berdiri di depan, mengangkat takbir.

Dan di belakangnya, untuk pertama kalinya tanpa paksaan, Alzam mengikuti.

 

Kadang, sesuatu yang dipaksakan emang nggak enak. Tapi kalau nggak dipaksa, mungkin kita nggak akan pernah sadar betapa pentingnya hal itu. Alzam akhirnya ngerti kalau sholat itu bukan cuma kewajiban, tapi juga cara buat tetap terhubung sama Allah. Dan yang lebih penting, semua itu harus datang dari hati, bukan sekadar takut dihukum. Jadi, masih mau milih tidur atau bangun buat Subuh?

Leave a Reply