Pangeran Negeri Awan: Petualangan Aetherion di Dunia Bawah yang Menegangkan

Posted on

Pernah nggak sih kamu kepikiran ada dunia lain yang jauh lebih gelap dan penuh misteri di bawah kaki kita? Nah, kalau kamu suka cerita petualangan yang penuh kejutan, kekuatan tersembunyi, dan tentu saja seorang pangeran yang nggak terduga, cerpen ini pas banget buat kamu!

Siapa sangka, seorang pangeran yang terlahir di Negeri Awan bakal terjebak di dunia yang jauh lebih keras dari yang dia kenal. Yuk, simak perjalanan Aetherion yang nggak hanya sekedar jadi pangeran, tapi juga penjaga dunia yang penuh dengan bahaya dan kekuatan misterius.

 

Pangeran Negeri Awan

Aetherion, Pangeran Langit yang Dimanja

Di negeri yang mengambang di antara awan-awan perak, berdiri sebuah istana megah yang seakan menjadi pusat dari segala keindahan langit. Tiang-tiangnya menjulang bagai kilatan petir yang membeku, lantainya terbuat dari kristal berkilauan yang memantulkan sinar matahari dengan sempurna. Di dalamnya, hidup seorang pangeran yang begitu dicintai, meski sikapnya kerap membuat darah orang-orang di sekitarnya mendidih.

Pangeran Aetherion.

Putra satu-satunya Raja Cumulus. Anak terakhir yang sejak lahir tidak pernah mengenal arti kata “tidak”. Wajahnya seperti pahatan sempurna dewa langit, dengan mata keemasan yang seolah bisa menembus siapa pun yang menatapnya. Rambut peraknya berkilau seperti embun pagi, dan setiap langkahnya terasa ringan, seolah angin membelai di bawah kakinya.

Namun, di balik pesona yang tak terbantahkan, Aetherion punya satu kelemahan besar—mulutnya.

“Kenapa makananku masih belum datang?” Suaranya menggema di aula besar istana.

Seorang pelayan membungkuk dalam-dalam di hadapannya. “Mohon bersabar, Pangeran. Para juru masak sedang menyiapkan hidangan terbaik untukmu.”

Aetherion mendengus, menyandarkan diri di singgasananya yang terbuat dari awan seputih susu. “Lama sekali. Apa mereka memasaknya dengan tangan kosong? Aku lapar!”

Seorang pria bertubuh kekar dengan jubah biru tua berjalan mendekat. Dia adalah Jenderal Stratos, tangan kanan Raja sekaligus orang yang paling sering terkena dampak sifat menjengkelkan Aetherion.

“Kamu tahu, Pangeran, di luar sana rakyat sedang bekerja keras. Tidak ada yang bisa makan seenak kamu setiap hari.”

Aetherion meliriknya dengan ekspresi malas. “Lalu? Apa aku harus ikut bekerja juga? Apa kamu ingin aku turun ke bawah sana dan mencuci pakaian mereka satu per satu?”

Stratos menghela napas panjang. “Bukan itu maksudku. Aku hanya bilang kalau kamu bisa bersabar sedikit.”

“Tapi aku lapar,” sahut Aetherion tanpa sedikit pun rasa bersalah. “Dan kalau aku lapar, aku tidak bisa berpikir dengan baik. Lagipula, kenapa kalian semua suka menyuruhku bersabar? Aku pangeran, bukan biarawan.”

Jenderal Stratos memijit pelipisnya. “Seandainya saja kau tidak sesayang ini pada rakyat, aku mungkin sudah melemparmu ke badai petir.”

Aetherion menyeringai. Dia tahu Stratos tidak benar-benar bermaksud begitu. Semua orang di istana, meski sering dibuat kesal oleh sikapnya, tetap menyayanginya. Bagaimana mungkin mereka tidak? Dia memang tengil, sombong, dan suka membuat orang naik darah, tapi dia tidak pernah jahat. Jika ada yang terluka, dia yang pertama kali turun tangan. Jika ada yang kesusahan, dia tidak ragu mengulurkan bantuan—tentu saja, setelah cukup banyak mengeluh terlebih dahulu.

Tiba-tiba, dentuman keras terdengar dari luar istana. Aetherion mengangkat alisnya.

“Apa itu?”

Seorang pengawal berlari masuk, napasnya tersengal. “Pangeran! Raja memerintahkanmu untuk segera datang ke balairung!”

Aetherion mengerutkan kening. Dia memang sering dipanggil ayahnya, tapi nadanya kali ini berbeda.

Dengan malas, ia bangkit dari singgasananya. “Baiklah, baiklah. Jangan panik. Aku tidak akan lari ke tempat lain,” ujarnya sebelum melangkah menuju balairung istana.

Ketika pintu besar terbuka, ia menemukan Raja Cumulus duduk di atas singgasananya yang lebih megah dari miliknya. Di sampingnya berdiri beberapa penasihat kerajaan dengan wajah serius.

“Aetherion,” suara Raja menggema, membuat suasana ruangan terasa semakin berat. “Aku memanggilmu karena kita menghadapi krisis besar.”

Aetherion mengangkat sebelah alis. “Krisis? Seperti apa? Jangan bilang awan-awan ini bosan mengambang dan ingin jatuh ke tanah.”

Para penasihat saling bertukar pandang. Raja Cumulus menatap putranya dengan penuh kewibawaan. “Itu tidak sepenuhnya salah. Awan yang menopang kerajaan mulai melemah. Jika kita tidak bertindak, Negeri Awan akan runtuh.”

Aetherion mengedipkan matanya. “Tunggu. Serius?”

“Sangat serius,” kata salah satu penasihat. “Satu-satunya cara untuk mengembalikan kekuatan awan adalah dengan mendapatkan Cahaya Langit dari kuil di dunia bawah.”

Mata Aetherion sedikit membesar, lalu ia tertawa kecil. “Oh, bagus. Kirim saja beberapa pasukan terbaik kita dan—”

“Kamu yang akan pergi.”

Aetherion langsung berhenti tertawa. Ia menatap ayahnya seakan baru saja mendengar sesuatu yang absurd. “Aku? Ayah bercanda, kan?”

“Aku tidak sedang bercanda,” kata Raja Cumulus dengan tegas. “Ini takdirmu sebagai pewaris negeri ini.”

Aetherion terdiam sejenak sebelum mengangkat kedua tangannya. “Tunggu. Biarkan aku mencerna ini sebentar. Aku, pangeran yang lahir dan besar di atas awan, yang bahkan belum pernah menyentuh tanah seumur hidupku, harus turun ke dunia bawah?”

“Itu benar.”

“Dan aku harus berjalan di atas tanah? Yang katanya keras dan kotor itu?”

“Benar lagi.”

Aetherion memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam. “Oke. Aku hanya ingin memastikan aku tidak salah dengar.”

Jenderal Stratos menepuk pundaknya dengan cukup kuat. “Selamat, Pangeran. Ini pertama kalinya kau akan melihat dunia yang lebih luas daripada langit kita.”

Aetherion menatap Stratos dengan kesal. “Aku tidak butuh selamat darimu. Aku butuh seseorang yang bisa menggantikan posisiku dalam misi ini!”

“Aetherion,” suara Raja Cumulus kembali terdengar, kali ini lebih lembut. “Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi ini adalah perjalanan yang harus kau lalui. Bukan hanya demi negeri ini, tapi juga demi dirimu sendiri.”

Aetherion terdiam. Di satu sisi, ia ingin membantah. Ingin berdebat dan mencari alasan untuk menghindari ini. Tapi di sisi lain, ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa mungkin… hanya mungkin… ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan.

Setelah beberapa saat, ia mendesah panjang. “Baiklah, baiklah. Aku akan pergi.”

Para penasihat dan Jenderal Stratos tampak terkejut. Mereka mengira pangeran akan mengeluh lebih lama.

Aetherion menatap mereka tajam. “Tapi aku tidak akan berjalan di tanah dengan kaki telanjang. Aku mau sepatu terbaik di kerajaan ini. Kalau aku akan turun ke dunia bawah, aku harus tetap terlihat seperti pangeran, bukan pengelana kumuh.”

Stratos menahan tawa. Raja Cumulus hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil.

Begitulah Aetherion. Sombong, tengil, dan selalu ingin tampil sempurna. Tapi di balik sikapnya itu, ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang mungkin hanya bisa ia temukan dalam perjalanan ke dunia bawah.

 

Turun ke Dunia yang Tidak Dikenalnya

Pagi di Negeri Awan seharusnya selalu damai. Angin bertiup lembut, langit terbentang luas tanpa batas, dan cahaya matahari menyelimuti semuanya dengan kehangatan. Tapi pagi ini, suasana istana lebih sibuk dari biasanya.

Pelayan-pelayan istana mondar-mandir, menyiapkan segala perlengkapan untuk perjalanan Pangeran Aetherion. Jubah khusus dari benang langit, sepatu yang dibuat dari serpihan awan terkuat, dan belati kecil berlapis cahaya bintang yang, sejujurnya, lebih terlihat seperti aksesori daripada senjata sungguhan.

Aetherion berdiri di depan cermin besar, memandangi dirinya sendiri dengan penuh perhatian. “Aku tampan seperti biasa,” gumamnya puas, merapikan rambut peraknya. “Tapi entah kenapa, aku merasa seperti hendak dibuang ke dunia lain.”

Jenderal Stratos, yang berdiri di dekat pintu, melipat tangan di dadanya. “Bukan dunia lain, hanya dunia bawah. Dan jangan berlebihan. Kau tidak dibuang, kau diutus.”

Aetherion berbalik dan menatapnya malas. “Sama saja.”

Dengan langkah anggun tapi berat hati, ia berjalan ke pelataran istana, di mana Raja Cumulus dan beberapa penasihat sudah menunggu. Di tengah-tengah pelataran, sebuah portal berbentuk lingkaran berkilauan—gerbang yang akan membawanya langsung ke dunia bawah.

Sang Raja menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meski ada sedikit kekhawatiran dalam sorot matanya. “Aetherion, ingatlah satu hal. Dunia bawah tidak seperti Negeri Awan. Di sana, kau harus belajar berdiri di atas kakimu sendiri.”

Aetherion mendengus. “Aku tidak akan berjalan. Aku akan memastikan ada sesuatu yang bisa kutumpangi.”

Para penasihat menggelengkan kepala, tapi tidak ada yang terkejut. Itu sangat Aetherion.

Tanpa menunggu lebih lama, ia melangkah menuju portal. Begitu kakinya menyentuh lingkaran cahaya itu, angin berputar kencang di sekelilingnya, menarik tubuhnya ke dalam pusaran yang terasa seperti perjalanan melalui petir yang tak berujung.

Lalu, tiba-tiba semuanya berhenti.

Ia jatuh.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan sensasi tubuhnya bertumbukan dengan tanah. Tidak ada awan lembut yang menyangga tubuhnya. Tidak ada angin yang membantunya melayang.

Hanya tanah keras dan debu.

Aetherion mengerang, merasakan sesuatu yang baru—rasa sakit. Ia terduduk, mengusap lengannya dengan ekspresi tidak percaya. “Astaga… ini menjijikkan.”

Ia memandangi sekeliling. Tidak ada bangunan kristal yang megah. Tidak ada langit berkilauan dengan semburat keemasan. Yang ada hanyalah pepohonan tinggi, jalanan berbatu, dan udara yang terasa lebih… berat.

“Ini dunia bawah?” gumamnya. “Terlihat jauh lebih… kumuh dari yang kubayangkan.”

Baru saja ia akan bangkit, suara tawa terdengar dari belakangnya. Aetherion menoleh dan melihat seorang gadis berdiri tidak jauh darinya, bersedekap dengan ekspresi geli.

“Kau jatuh seperti anak burung yang baru belajar terbang,” kata gadis itu.

Aetherion menyipitkan mata. “Siapa kamu?”

Gadis itu berjalan mendekat. Rambutnya hitam kecokelatan, matanya tajam seperti mata harimau. Pakaiannya sederhana, jauh dari kemewahan yang biasa Aetherion lihat di istana.

“Aku Liora,” katanya santai. “Dan siapa kau, pria berpakaian aneh?”

Aetherion menegakkan punggungnya dengan angkuh. “Aku Pangeran Aetherion dari Negeri Awan.”

Liora menaikkan alis. “Pangeran dari Negeri Awan?” Ia tertawa kecil. “Lucu. Aku tidak pernah bertemu pangeran yang mendarat seperti karung gandum jatuh dari langit.”

Aetherion mendengus. “Aku tidak jatuh. Aku hanya… sedikit kehilangan keseimbangan.”

Liora menatapnya dengan penuh penilaian, lalu menggeleng pelan. “Jadi, apa yang dilakukan seorang pangeran langit di dunia bawah? Tersesat?”

Aetherion menghela napas panjang. Ia malas menjelaskan, tapi ia juga tahu kalau ia butuh bantuan. Tidak mungkin ia bisa menyelesaikan misinya sendirian di tempat yang bahkan tidak bisa ia pahami.

“Aku mencari Cahaya Langit,” jawabnya akhirnya. “Aku harus menemukannya di sebuah kuil tersembunyi di pegunungan.”

Liora terdiam sejenak sebelum menatapnya penuh perhatian. “Kau serius?”

“Apa aku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?” Aetherion melipat tangan di dada.

Liora mengangkat bahu. “Sebenarnya, iya. Kau lebih terlihat seperti seseorang yang tersesat di pesta kostum.”

Aetherion memutar mata. “Dengar, aku tidak punya waktu untuk ini. Aku harus segera sampai ke kuil itu sebelum Negeri Awan—”

Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, perutnya berbunyi keras.

Liora menatapnya dengan ekspresi menahan tawa. “Apa kau baru pertama kali lapar?”

Aetherion membuang muka. “Aku hanya belum makan pagi. Itu wajar.”

Liora terkikik. “Baiklah, Pangeran Langit. Sebelum kau pergi ke kuil, kau butuh makanan dan tempat untuk beristirahat sebentar.”

Aetherion menatapnya ragu. “Aku tidak yakin ingin makan sesuatu dari dunia bawah.”

Liora menghela napas panjang. “Kalau begitu, kau bisa tetap di sini dan kelaparan. Aku tidak memaksamu.”

Aetherion mengerang pelan. Perutnya masih berbunyi, dan ia benci mengakuinya, tapi ia memang tidak bisa melakukan perjalanan dalam keadaan seperti ini.

“Dengar,” kata Liora, “aku bisa membantumu menemukan jalan ke kuil itu. Tapi aku tidak akan menuntunmu jika kau terus bersikap seperti pangeran manja.”

Aetherion menatapnya tajam. “Aku tidak manja.”

Liora hanya tersenyum penuh arti. “Tentu saja. Ayo ikut aku, Pangeran. Kau akan butuh lebih dari sekadar kesombongan untuk bertahan di dunia bawah.”

Dengan enggan, Aetherion mengikuti langkah gadis itu. Ia tidak tahu apakah mempercayainya adalah keputusan yang benar, tapi satu hal yang pasti—perjalanannya baru saja dimulai.

 

Pelajaran Pertama di Dunia Bawah

Aetherion berjalan mengikuti Liora menyusuri jalan setapak yang berliku. Hutan yang mereka lalui terasa begitu asing baginya—pepohonan menjulang tinggi, tanah berbatu yang kasar di bawah kakinya, dan suara-suara aneh dari makhluk yang entah bersembunyi di mana. Di Negeri Awan, semuanya terasa ringan dan lembut. Tapi di sini, setiap langkah terasa berat, seakan dunia bawah ini menolaknya.

Liora berjalan dengan santai, seolah medan seperti ini bukan masalah baginya. Sesekali, ia menoleh ke belakang untuk memastikan Aetherion tidak tertinggal.

“Jadi,” kata Liora, memecah keheningan. “Pangeran Langit tidak terbiasa berjalan jauh, ya?”

Aetherion mendengus. “Aku lebih terbiasa melayang di atas awan daripada menginjak tanah kotor seperti ini.”

Liora terkikik. “Kau benar-benar anak manja.”

Aetherion menyipitkan mata, tapi memilih tidak menanggapi. Ia sudah lelah berdebat dengan gadis ini.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah desa kecil yang tersembunyi di antara pepohonan. Rumah-rumah kayu berjajar rapi, dan di tengah desa, ada sebuah sumur tua yang dikelilingi anak-anak kecil yang tertawa riang. Aroma makanan yang sedang dimasak menyeruak ke udara, membuat perut Aetherion kembali berbunyi.

Liora menoleh dengan seringai jahil. “Kau masih ingin menolak makanan dari dunia bawah?”

Aetherion menegakkan punggungnya dengan angkuh. “Aku hanya ingin memastikan tidak ada sesuatu yang aneh di dalamnya.”

Liora tertawa dan menariknya menuju sebuah warung kecil di pinggir jalan. Seorang wanita paruh baya yang sedang mengaduk panci besar tersenyum saat melihat Liora.

“Liora! Lama tak melihatmu, Nak. Siapa temanmu ini?”

Liora menoleh pada Aetherion dengan ekspresi menahan tawa. “Dia? Dia seorang pangeran dari Negeri Awan.”

Wanita itu menaikkan alis. “Oh? Seorang pangeran? Jarang-jarang ada bangsawan yang mau datang ke desa kecil seperti ini.”

Aetherion menghela napas. “Percayalah, aku juga tidak mengira akan ada di sini.”

Wanita itu terkekeh dan menyendokkan semangkuk sup ke dalam mangkuk kayu. “Kalau begitu, makanlah. Kau terlihat kelelahan.”

Aetherion memandangi mangkuk di hadapannya dengan sedikit ragu. Cairan berwarna cokelat tua dengan beberapa potongan daging dan sayuran mengapung di dalamnya. Itu jelas bukan makanan yang biasa ia makan di istana.

Liora memperhatikannya dengan senyum mengejek. “Kau takut?”

Aetherion mendengus dan mengambil sendok. “Aku tidak takut. Aku hanya…” Ia berhenti, tidak tahu bagaimana menyelesaikan kalimatnya tanpa terdengar lemah.

Akhirnya, ia menyerah dan memasukkan sesendok sup ke dalam mulutnya. Ia terkejut. Rasanya… enak.

Liora tertawa kecil melihat ekspresinya. “Lihat? Tidak semua yang ada di dunia bawah itu buruk.”

Aetherion tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan makan, meskipun gengsinya terluka.

Saat ia hampir menghabiskan makanannya, suara teriakan tiba-tiba terdengar dari luar warung.

“Liora! Kau di sini?!”

Seorang pemuda berambut hitam panjang berlari ke arah mereka, napasnya terengah-engah. Wajahnya penuh keringat, dan ekspresinya terlihat cemas.

Liora segera berdiri. “Kenapa, Rohen?”

“Ada masalah di gerbang timur! Para Pemburu Bayangan datang lagi!”

Liora langsung berubah serius. “Sial… Seberapa banyak?”

“Setidaknya enam orang. Mereka mencari sesuatu—atau seseorang.”

Aetherion mengerutkan kening. “Pemburu Bayangan?”

Liora menoleh padanya dengan ekspresi tegang. “Orang-orang yang bekerja untuk kekuatan gelap di dunia bawah. Mereka memburu makhluk yang memiliki kekuatan khusus… atau yang berasal dari tempat lain.”

Aetherion langsung mengerti. “Mereka mencariku.”

Liora menggertakkan giginya. “Kemungkinan besar.”

Rohen menatap Aetherion penuh curiga. “Siapa dia?”

“Penjelasannya panjang,” kata Liora cepat. “Yang jelas, kita harus pergi sekarang!”

Tanpa membuang waktu, mereka bertiga berlari ke arah hutan. Aetherion belum sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi, tapi satu hal yang ia tahu—ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya ia merasa benar-benar dalam bahaya.

 

Pencarian Cahaya Langit

Langit di atas dunia bawah tidak pernah terlihat seperti langit di Negeri Awan. Di sini, awan tampak kelabu dan langit tidak memberi rasa ketenangan. Sesekali, kilatan petir menyambar tanpa peringatan, menyelimuti hutan dalam kegelapan.

Aetherion berlari mengikuti Liora dan Rohen, melintasi jalan setapak yang semakin sempit, berusaha untuk tidak terjatuh di atas batuan tajam dan akar pohon yang menjulur. Di kejauhan, terdengar suara langkah kaki yang berat, lebih cepat dari langkah mereka. Pemburu Bayangan sudah mendekat.

“Ke mana kita pergi?” Aetherion bertanya sambil berusaha tidak terengah-engah. Meski dia bukan tipe orang yang cepat lelah, kali ini perjalanannya terasa lebih berat. Tanah ini menantang dan udara di sini begitu padat.

“Ke kuil. Itu satu-satunya tempat yang mereka tak tahu.” Liora menjawab tanpa menoleh. “Tapi kita harus cepat.”

Rohen melirik ke belakang, matanya tetap waspada. “Mereka semakin dekat.”

Aetherion merasakan ketegangan yang menembus setiap pori tubuhnya. Tidak hanya fisik, tapi juga kekuatan aneh yang tiba-tiba ia rasakan. Cahaya Langit, yang sebelumnya ia kira hanya sebuah cerita, kini terasa lebih nyata. Ada sesuatu yang terhubung dengan dirinya, sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya.

“Kenapa mereka mengejarku?” Aetherion bertanya dengan suara penuh ketegangan.

Liora menatapnya sejenak. “Karena mereka tahu siapa kau.”

“Apa maksudmu?”

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan,” jawab Liora tegas. “Kau harus menuju kuil. Cahaya Langit akan membantumu mengatasi mereka.”

Aetherion ingin bertanya lebih banyak, tapi suara langkah kaki yang semakin dekat membuatnya terdiam. Pemburu Bayangan itu hampir sampai. Ia merasakan ada energi gelap yang menyelimuti udara. Ada ketakutan yang menggantung, tapi sekaligus ada rasa penasaran yang kuat.

Tiba-tiba, hutan di depan mereka terbuka, memperlihatkan sebuah kuil yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun. Kuil itu tampak tua, penuh dengan ukiran-ukiran aneh dan batu-batu berlumut, tapi di dalamnya ada kilauan cahaya yang berbeda—seperti sebuah janji.

“Masuk!” Liora mengarahkan mereka ke dalam kuil, segera menutup pintu batu di belakang mereka.

Di dalam kuil, suasana terasa lebih tenang, meski udara tetap berat. Sebuah altar besar berdiri di tengah, dihiasi dengan simbol-simbol yang Aetherion tak mengerti. Namun, yang lebih menarik perhatiannya adalah sebuah bola cahaya yang terapung di atas altar. Cahaya itu memancar dengan lembut, tapi Aetherion merasa ada kekuatan yang sangat besar terkandung di dalamnya.

“Di situlah Cahaya Langit berada,” kata Liora sambil menatap bola cahaya itu. “Itu satu-satunya cara untuk mengalahkan mereka.”

Aetherion mendekat dengan hati berdebar. “Apa yang harus aku lakukan?”

“Sentuh bola cahaya itu,” jawab Liora dengan serius. “Biarkan dirimu terhubung dengan kekuatan itu.”

Aetherion mengulurkan tangannya, merasa sebuah tarikan kuat dari dalam bola cahaya itu. Ketika jarinya menyentuh permukaan bola, dunia di sekitarnya seakan berputar. Cahaya itu memancar lebih terang, dan Aetherion merasakan dirinya terhisap ke dalamnya.

Segalanya menjadi gelap, dan ia merasa seperti terjatuh ke dalam jurang tak berujung. Tubuhnya terhuyung, diselimuti rasa bingung dan cemas, tapi kemudian suara lembut terdengar di dalam pikirannya.

“Aetherion…”

Suara itu begitu familiar, meski Aetherion tak bisa mengingat siapa yang mengucapkannya. “Kami telah menunggumu. Cahaya ini adalah bagian dari dirimu. Kau bukan hanya pangeran. Kau adalah penjaga dunia bawah.”

Tiba-tiba, bayangan-bayangan gelap muncul di hadapannya. Pemburu Bayangan. Mereka datang lebih cepat dari yang ia kira, dengan mata merah menyala yang penuh kebencian. Tapi Aetherion tidak merasa takut. Cahaya dalam dirinya menyala, dan seberkas sinar yang kuat melesat keluar dari tubuhnya, menghancurkan bayangan-bayangan itu satu per satu.

Pemburu Bayangan terhuyung mundur, tidak bisa menghadapi kekuatan yang tiba-tiba muncul dari Aetherion. Dengan satu sentuhan, Aetherion mengirimkan energi cahaya itu kepada mereka, mengalahkan mereka dalam sekejap.

Namun, bukan hanya mereka yang terpengaruh. Seluruh kuil bergetar hebat, seolah dunia di sekitarnya mulai runtuh. Cahaya Langit itu bukan hanya memberikan kekuatan, tapi juga mengungkapkan sebuah kebenaran—bahwa Aetherion memiliki takdir yang lebih besar daripada yang ia kira.

Aetherion terjatuh ke lututnya, kelelahan, tapi dalam dirinya ada sebuah kedamaian yang baru. Dunia bawah ini mungkin tidak pernah akan menjadi rumahnya, tapi kini ia tahu apa yang harus dilakukan.

Liora datang menghampirinya, membantunya bangkit. “Kau melakukannya,” katanya dengan senyum bangga. “Kau tidak hanya Pangeran Langit, Aetherion. Kau adalah penjaga yang ditunggu dunia ini.”

Aetherion menatap bola cahaya itu, sekarang redup namun penuh makna. “Aku… penjaga dunia bawah?”

Liora mengangguk. “Ya. Takdirmu baru saja dimulai.”

Aetherion menarik napas dalam-dalam, merasakan kekuatan dalam dirinya yang baru terbangun. Dunia bawah ini adalah tantangan pertama, dan ia tahu, lebih banyak yang akan datang. Tapi sekarang, ia siap untuk itu.

Dan dengan itu, perjalanan Aetherion sebagai penjaga dunia bawah dimulai, lebih kuat dari sebelumnya, dan tak lagi hanya seorang pangeran yang terbuang.

 

Gimana, seru kan perjalanan Aetherion? Siapa sangka, seorang pangeran yang terlahir di atas awan, malah harus menghadapi tantangan yang jauh lebih berat di dunia bawah. Tapi itulah serunya cerita ini—penuh dengan kejutan dan twist yang nggak bisa ditebak.

Kalau kamu suka cerita yang penuh misteri, kekuatan tak terduga, dan tentu saja pangeran dengan perjalanan yang nggak biasa, pastikan untuk terus mengikuti cerpen ini. Siapa tahu, kisah selanjutnya bakal lebih seru lagi!

Leave a Reply