Pacaran Sama Ketua OSIS: Jauh di Sekolah, Dekat di Hati

Posted on

Pacaran sama Ketua OSIS? Kedengerannya keren, kan? Tapi gimana kalau pacaran sama Ketua OSIS itu justru kayak ngejalanin hubungan jarak jauh… di sekolah yang sama? Jarang ketemu, cuma bisa lihat dari kejauhan, tapi sekalinya bareng, rasanya kayak dunia cuma milik berdua.

Ini bukan cerita cinta yang penuh genggaman tangan di lorong sekolah atau makan bareng di kantin tiap hari. Ini cerita tentang dua orang yang mencintai dalam diam, saling menunggu dalam kesibukan, dan mencuri waktu di sela-sela rutinitas.

 

Pacaran Sama Ketua OSIS

Nama yang Terasa Jauh

Di sekolah, nama Aldebaran Syahputra terdengar di mana-mana. Entah dari pengumuman OSIS, para guru yang mencari keberadaannya, atau bisikan-bisikan kagum dari para siswa yang melihatnya lewat dengan jas almamater kebanggaan.

Namun, bagi seseorang yang menyandang status sebagai pacarnya, nama itu terasa begitu jauh.

“Ketua OSIS yang super sibuk pacaran, tapi jarang kelihatan sama pacarnya sendiri? Serius, sih?”

Kalimat itu bukan cuma sekali dua kali terdengar. Sering kali teman-teman menggodanya, mempertanyakan hubungan yang terasa lebih mirip rumor dibanding kenyataan.

Tapi memang begitu kenyataannya.

Aldebaran dan pacarnya—sebut saja gadis itu—jarang terlihat bersama. Bukan karena mereka merahasiakan hubungan, tapi karena waktu tidak pernah berpihak pada mereka.

Di sekolah, Aldebaran adalah milik semua orang. Dari pagi sampai sore, selalu ada yang membutuhkan dirinya. Jika bukan guru, pasti junior yang minta arahan, atau teman OSIS yang datang dengan segudang pertanyaan.

Saat jam istirahat, tidak ada momen makan siang bersama. Kadang dia terlihat di kantin, tapi duduk dengan beberapa guru dan senior membahas acara sekolah. Atau, jika tidak, dia sibuk membalas chat di ponselnya sementara tubuhnya tetap berjalan menuju ruang rapat.

Sekalinya bertemu, biasanya hanya sesaat.

Seperti pagi itu, ketika gadis itu sedang berjalan di lorong menuju kelasnya, Aldebaran melintas dari arah berlawanan. Pandangan mereka bertemu, tapi bukannya berhenti untuk menyapa, cowok itu hanya memberi anggukan kecil sebelum buru-buru menoleh ke arah lain.

Beberapa detik setelahnya, layar ponselnya menyala dengan pesan singkat.

“Maaf, rapat. Nanti aku hubungi.”

Bukan pertama kali. Bukan hal baru.

Bukan sesuatu yang bisa dikeluhkan lagi.

Di kantin, saat teman-temannya sibuk mengobrol, dia hanya memainkan sendok di atas nasi goreng yang bahkan belum disentuh. Sesekali matanya melirik ke arah pojok kantin, tempat di mana Aldebaran duduk di meja panjang bersama anggota OSIS lainnya.

Cowok itu sedang berbicara serius, raut wajahnya fokus, tangan memegang pulpen dan mencoret sesuatu di kertas agenda. Sekali waktu, dia mengangguk, lalu berbicara lagi. Tidak sekalipun menoleh ke arah lain, apalagi menyadari keberadaan seseorang yang sejak tadi memperhatikannya dari jauh.

“Kamu yakin pacaran sama Ketua OSIS?” goda salah satu temannya, membuatnya tersentak.

“Kenapa?”

“Nggak kelihatan, sih. Lebih mirip pengagum rahasia daripada pacar,” celetuk yang lain sambil terkikik.

Dia tidak menjawab, hanya tersenyum kecil lalu akhirnya menyendok makanannya.

Tidak ada yang tahu betapa sulitnya menjaga hubungan seperti ini.

Suatu sore, saat sekolah sudah mulai sepi, dia berjalan sendirian melewati lorong menuju gerbang. Sepatunya berdecit pelan di lantai ubin, sementara udara sore yang lembap membuat rambutnya sedikit lepek.

Saat melewati ruang OSIS, langkahnya refleks melambat. Dari balik kaca jendela yang terbuka sedikit, terdengar suara Aldebaran yang sedang berbicara.

“Sama aku, nggak apa-apa. Kalau ada yang protes, suruh langsung ke aku.”

Suara itu terdengar tegas, seperti biasa.

Dari celah pintu yang terbuka, terlihat Aldebaran sedang berdiri dengan lengan terlipat di depan dada, berhadapan dengan dua juniornya. Wajahnya terlihat sedikit lelah, tapi tetap penuh wibawa seperti biasa.

Seakan merasakan tatapan, cowok itu tiba-tiba menoleh.

Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap dalam diam. Tidak ada sapaan, tidak ada senyuman. Hanya keheningan canggung yang terasa aneh.

Gadis itu mengalihkan pandangan lebih dulu, buru-buru melanjutkan langkah menuju gerbang sekolah.

Beberapa detik setelahnya, ponselnya kembali menyala.

“Maaf, aku liat kamu tadi. Pulang sendiri?”

Jari-jarinya mengetik balasan.

“Iya. Kamu sibuk?”

Hanya satu centang. Belum terkirim.

Sudah biasa. Sudah terlalu sering.

Dan entah kenapa, hari itu terasa lebih sepi dari biasanya.

Hubungan mereka memang aneh. Pacaran, tapi tidak terasa seperti pacaran.

Aldebaran ada di mana-mana, tapi rasanya tidak pernah benar-benar ada untuknya.

Dan semakin hari, nama itu terasa semakin jauh.

 

Kita yang Selalu Berpapasan

Hari-hari berlalu dengan pola yang sama.

Dia berjalan di lorong, Aldebaran juga berjalan di lorong yang sama—tapi ke arah yang berlawanan. Mereka bertatapan sekilas, tapi tidak berhenti. Tidak ada sapaan, tidak ada genggaman tangan, hanya sebuah tatapan singkat sebelum akhirnya melewati satu sama lain seperti dua orang asing.

Kadang-kadang, dia berpikir, apakah mereka benar-benar pacaran atau hanya sepasang orang yang saling tahu bahwa mereka punya hubungan tanpa benar-benar menjalani hubungan itu sendiri?

Seperti siang itu, ketika bel istirahat berbunyi dan siswa lain berhamburan keluar kelas, dia melihat Aldebaran berdiri di depan ruang guru.

Tentu saja bukan sendirian.

Ada beberapa guru yang sedang berbicara dengannya, mungkin membahas acara sekolah. Aldebaran mengangguk beberapa kali, mencatat sesuatu di buku catatannya, lalu tertawa kecil saat salah satu guru melontarkan candaan.

Dia hanya diam di tempat, memperhatikan dari jauh.

Rasanya ingin mendekat, sekadar menyapa, sekadar memastikan bahwa mereka masih… ya, masih bersama.

Tapi sebelum sempat melangkah, seorang junior OSIS datang menghampiri Aldebaran, menyerahkan beberapa dokumen, dan kemudian mereka menghilang ke dalam ruang rapat.

Sama seperti sebelumnya.

Sama seperti kemarin.

Sama seperti besok dan besoknya lagi.

Ada momen-momen kecil yang terjadi di antara mereka.

Seperti saat dia sedang mengambil buku di loker, tiba-tiba ada yang berdiri di sebelahnya.

Aldebaran.

“Hei,” sapanya pelan.

Dia menoleh, sedikit terkejut. “Hei…”

“Tadi pagi kamu lewat depan ruang OSIS, kan?”

Dia mengerutkan kening. “Iya, terus?”

Aldebaran menatapnya sesaat, lalu tersenyum tipis. “Nggak, cuma nanya.”

Dia menatap cowok itu lama, seolah mencari jawaban di balik kalimatnya yang terdengar biasa saja.

“Kamu mau ngomong sesuatu?” tanyanya akhirnya.

Aldebaran menghela napas pelan, lalu mengacak rambutnya sendiri. “Nggak bisa lama-lama, aku ditunggu anak-anak OSIS. Tapi…”

Dia menunggu.

“Aku lihat kamu.”

Dia mengerutkan dahi. “Apa?”

“Aku selalu lihat kamu,” ulang Aldebaran, kali ini suaranya lebih pelan, tapi nadanya lebih dalam.

Kemudian, sebelum dia bisa bereaksi, cowok itu sudah berbalik dan pergi.

Meninggalkan dia dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Mereka selalu berpapasan.

Di lorong sekolah. Di kantin. Di lapangan saat upacara.

Selalu melihat, tapi tidak pernah benar-benar bertemu.

Dia tahu Aldebaran menyadarinya. Dia tahu cowok itu sebenarnya ingin mendekat. Tapi, di dunia yang terus menyeretnya ke segala arah, Aldebaran hanya bisa melihatnya dari kejauhan, seperti seseorang yang tahu apa yang dia inginkan, tapi tidak bisa menggapainya.

Namun, di antara pertemuan-pertemuan singkat yang seolah tidak berarti, ada sesuatu yang tetap membuatnya bertahan.

Ada sesuatu dalam tatapan Aldebaran setiap kali mereka bertemu.

Sebuah janji yang tidak diucapkan.

Sebuah kepastian tanpa kata-kata.

Dan dia hanya bisa berharap, bahwa suatu hari nanti, mereka tidak akan lagi hanya sekadar berpapasan.

 

Malam yang Kita Curi

Malam itu, langit gelap pekat tanpa bintang. Lampu jalan temaram, udara dingin menusuk, dan suara jangkrik terdengar samar di kejauhan.

Di antara semuanya, ada suara motor yang berhenti di depan rumahnya.

Ponselnya bergetar di atas meja.

“Keluar sebentar.”

Tanpa banyak berpikir, dia meraih hoodie di gantungan, menyelinap keluar rumah, dan mendapati Aldebaran bersandar di motornya.

Jas almamaternya sudah tidak ada, diganti dengan hoodie abu-abu yang kebesaran. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya terlihat lelah, tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat gadis itu mendekat tanpa ragu.

“Kamu nggak sibuk?” tanyanya, sedikit heran.

Aldebaran tersenyum kecil. “Selalu sibuk. Tapi hari ini aku kabur.”

Dia mengernyit. “Kabur?”

Cowok itu mengangkat bahu santai. “Udah malam, nggak ada yang bakal nyari aku.”

Sebelum dia sempat membalas, Aldebaran sudah menyodorkan helm ke arahnya.

“Mau ikut, nggak?”

Dia tidak bertanya akan dibawa ke mana. Tidak ada pertimbangan. Tidak ada alasan untuk menolak.

Jadi, dia mengambil helm itu, memasangnya, dan naik ke motor tanpa banyak kata.

Tujuan mereka ternyata sebuah taman kecil di pinggiran kota.

Sepi. Hanya ada satu-dua lampu jalan yang menyala, dan bangku kayu yang tampak sedikit usang.

Mereka duduk bersebelahan, tanpa suara untuk beberapa saat.

“Kenapa tiba-tiba ngajak aku ke sini?” tanyanya akhirnya.

Aldebaran menyandarkan punggungnya ke bangku, menatap langit yang gelap. “Karena aku nggak mau kita cuma berpapasan terus.”

Dia menoleh, menatap cowok itu yang sekarang menatap lurus ke depan.

“Kadang aku ngerasa kita kayak dua orang yang saling kenal tapi nggak benar-benar ada di dunia yang sama,” lanjut Aldebaran. “Aku ada di sekolah, kamu juga ada di sekolah. Tapi kita kayak terjebak di dimensi yang beda.”

Diam.

Dia tidak tahu harus menjawab apa.

Karena itu benar. Karena dia juga merasakan hal yang sama.

Tapi, sebelum dia bisa merespons, Aldebaran tiba-tiba menoleh dan menggenggam tangannya.

Hangat.

Selalu seperti ini.

Setelah berhari-hari merasa jauh, setelah hanya bisa saling melihat tanpa benar-benar bertemu, Aldebaran selalu punya cara untuk menariknya kembali.

“Aku tahu aku nggak selalu ada,” gumam Aldebaran, suaranya lebih pelan dari sebelumnya. “Tapi aku mau kamu tahu kalau aku selalu lihat kamu. Selalu cari kamu, meskipun cuma lewat mata.”

Dia menggigit bibir. Ada sesuatu di dadanya yang terasa penuh.

“Kamu tahu nggak…” lanjut Aldebaran, “Setiap kali kita ketemu di lorong, aku selalu pengen berhenti. Selalu pengen ngobrol sama kamu, tanya kamu lagi ngapain, lagi mikirin apa.”

Dia menunduk, menatap jari-jari Aldebaran yang masih menggenggam tangannya erat.

“Tapi aku tahu kalau aku berhenti, pasti ada yang bakal manggil aku lagi.”

Keduanya terdiam, hanya suara angin yang terdengar di sela-sela keheningan mereka.

“Aku ngerti,” akhirnya dia berkata.

Aldebaran tersenyum kecil. “Iya?”

Dia mengangguk. “Iya.”

Lalu mereka kembali diam, tapi kali ini bukan keheningan yang canggung.

Ini adalah keheningan yang nyaman. Yang dipenuhi pemahaman.

Yang membuatnya sadar bahwa meskipun di sekolah mereka terasa seperti orang asing, meskipun mereka jarang bertemu atau berbicara, momen-momen seperti ini tetap ada.

Malam yang mereka curi.

Momen yang membuat semua jarak itu terasa lebih ringan.

Momen yang membuatnya tetap bertahan.

 

Meski Jarang Bertemu, Aku Tetap Milikmu

Hari itu hujan turun deras. Langit gelap meski masih siang, dan halaman sekolah sudah mulai digenangi air. Suasana mendung membuat kantin terasa lebih sesak dari biasanya—semua orang berlindung di sana, menghindari hujan yang tidak kunjung reda.

Dia duduk di sudut kantin, sendiri. Teman-temannya sudah lebih dulu pulang, sementara dia masih harus menunggu jemputan.

Sambil menyeruput teh hangat, matanya tanpa sadar mencari satu sosok yang selama ini selalu ia tunggu.

Aldebaran.

Sudah seminggu sejak malam itu. Sejak mereka duduk di taman, berbicara lebih lama dari yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Sejak Aldebaran menggenggam tangannya erat, seakan tidak ingin membiarkannya pergi.

Tapi sejak malam itu juga, Aldebaran kembali tenggelam dalam kesibukannya.

Tidak ada pesan singkat yang datang siang hari, tidak ada tatapan penuh arti ketika mereka berpapasan. Hanya ada rutinitas yang berulang, seakan malam itu hanyalah mimpi.

Dia menghela napas pelan.

Lalu ponselnya bergetar.

“Lihat ke kiri.”

Dia menoleh.

Di luar kantin, berdiri di tengah hujan dengan hoodie basah kuyup, Aldebaran berdiri di sana.

Napasnya tertahan.

Cowok itu tidak membawa payung, tidak berusaha berteduh, hanya berdiri di sana sambil menatapnya.

Dada gadis itu terasa sesak saat melihat wajah Aldebaran yang penuh arti—seakan dia sudah mencari sejak lama.

Tanpa pikir panjang, dia berlari keluar, tanpa mempedulikan hujan yang langsung membasahi seragamnya.

“Kamu kenapa?” suaranya hampir tak terdengar di antara suara hujan.

Aldebaran tersenyum kecil. “Aku nggak mau cuma berpapasan lagi sama kamu.”

Dia terdiam.

“Aku udah cukup lama nyari alasan buat berhenti tiap kali kita ketemu di lorong.” Aldebaran menarik napas dalam. “Tapi ternyata aku nggak butuh alasan buat ketemu kamu. Aku cuma perlu ke sini.”

Air hujan mengalir di wajah mereka, tapi tidak ada yang peduli.

Aldebaran meraih tangannya.

Hangat.

Seperti malam itu. Seperti setiap momen yang mereka curi dari waktu.

“Aku tahu aku nggak bisa janji buat selalu ada,” lanjut Aldebaran, suaranya lebih lembut dari rintik hujan. “Tapi aku bisa janji satu hal.”

Dia menatap cowok itu, menunggu.

“Aku nggak akan pernah pergi. Sejauh apa pun aku dari kamu, aku tetap milik kamu.”

Dadanya terasa penuh. Matanya panas, entah karena hujan atau sesuatu yang lebih dalam dari itu.

Dia tidak menjawab. Tidak perlu menjawab.

Dia hanya menggenggam tangan Aldebaran lebih erat.

Dan di tengah hujan yang membasahi mereka, tanpa kata-kata lebih lanjut, dia tahu—meski mereka jarang bertemu, meski mereka seperti orang asing di siang hari dan kekasih di malam hari—mereka tetap saling memiliki.

Dan itu lebih dari cukup.

 

Kadang cinta bukan soal selalu ada di sisi satu sama lain setiap saat, tapi tentang yakin kalau dia tetap ada, meskipun dunia terus menariknya ke arah lain.

Pacaran sama Ketua OSIS itu bukan tentang selalu bersama, tapi tentang percaya kalau sejauh apa pun dia pergi, hatinya tetap ada di tempat yang sama—di sisimu. Karena sesibuk apa pun dia, sesibuk apa pun dunia, ada satu hal yang nggak pernah berubah: dia tetap milikmu.

Leave a Reply