Pacaran Sama Kakak Kelas: Berawal dari Hukuman, Berakhir Jadi Manis!

Posted on

Siapa sangka, gara-gara tumpahan teh manis di kantin, Mika malah kena hukuman yang aneh banget—belajar bareng kakak kelas paling disiplin di sekolah, Ares! Dari yang awalnya cuma tutor galak, lama-lama Ares malah makin perhatian.

Eh, tapi ini beneran study date atau cuma perasaan aja yang mulai baper? Kalau penasaran, yuk baca kisah Mika yang nggak cuma belajar rumus matematika, tapi juga belajar… cinta?

 

Pacaran Sama Kakak Kelas

Insiden Teh Manis dan Hukuman Tak Terduga

Siang itu, kantin sekolah dipenuhi suara tawa dan obrolan para siswa yang tengah menikmati jam istirahat. Mika duduk bersama teman-temannya, sibuk membahas drama terbaru yang sedang viral. Tangan kanannya memegang segelas teh manis dingin yang baru saja ia beli, sementara tangan kirinya ikut bergerak saat ia berbicara dengan penuh semangat.

“Pokoknya, karakter utamanya tuh bukan cuma keren, tapi juga pinter banget! Udah gitu, tatapan matanya tuh tajem—”

BRAK!

Tiba-tiba, tubuh Mika membentur seseorang. Tangannya terlepas dari gelas yang dipegang, dan dalam sekejap, teh manis di tangannya tumpah ke dada orang tersebut.

“Astaga!” Mika membeku.

Tatapan tajam yang baru saja ia bicarakan ternyata benar-benar ada di depannya sekarang. Ares—sang kakak kelas terkenal dari kelas dua belas, yang selalu tampil rapi dan disiplin—memandangnya dengan ekspresi datar. Matanya turun ke kemeja putihnya yang sekarang berubah warna menjadi kecokelatan karena teh yang tumpah.

Mika bisa merasakan seluruh kantin membisu. Beberapa siswa yang mengenali Ares menelan ludah, seolah tahu bahwa ini bukanlah situasi yang menyenangkan.

Ares mendesah pelan, menatap noda yang mengotori seragamnya. “Aku nggak bisa datang telat ke kelas Matematika karena baju basah gara-gara kamu.”

Mika langsung panik. “A-aku nggak sengaja! Maaf! Aku bisa gantiin bajunya kalau Kakak mau ke UKS dulu?”

Ares mengangkat sebelah alisnya. “Gantiin gimana? Kamu mau beliin aku seragam baru sekarang juga?”

Mika terdiam. Jelas, ia tidak punya uang untuk membeli seragam baru saat itu juga.

Melihat ekspresi paniknya, Ares kembali mendesah. “Lebih baik kamu gantiin nilai ujianku.”

Mata Mika melebar. “Hah?!”

“Aku nggak bisa kehilangan satu poin pun dalam ulangan ini.”

Mika semakin bingung. “Tapi… Kakak kan selalu dapet nilai sempurna?”

“Justru karena itu. Kalau aku tiba-tiba turun nilainya gara-gara nggak fokus, aku bakal kesel banget,” ujar Ares santai. “Jadi, supaya adil, kamu harus belajar lebih giat. Aku bakal ngajarin kamu, tapi ada syaratnya: kamu harus serius.”

Mika menatapnya dengan tatapan ragu. Sejak kapan sebuah kecelakaan teh manis bisa berubah menjadi kontrak belajar?

“Tunggu, Kak. Kenapa malah aku yang harus belajar lebih giat?”

“Karena kalau kamu nggak ceroboh, aku nggak akan kena teh ini,” jawab Ares enteng. “Jadi ini bagian dari tanggung jawab kamu.”

Mika membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ia tidak bisa membantah logika aneh itu, meski tetap merasa situasi ini agak tidak masuk akal.

Di sekeliling mereka, teman-teman Mika menatapnya dengan tatapan penuh rasa iba. Salah satu temannya, Rena, bahkan berbisik, “Mika, kamu apes banget…”

Tapi mau bagaimana lagi? Menolak bukanlah pilihan. Dengan pasrah, Mika mengangguk. “Baiklah… Tapi Kakak jangan galak, ya.”

Ares hanya menatapnya tanpa ekspresi sebelum akhirnya berkata, “Jangan ngeluh kalau nanti aku lebih disiplin dari guru-guru kamu.”

Mika baru saja menyadari bahwa ia mungkin baru saja masuk ke dalam masalah yang lebih besar dari sekadar menumpahkan teh.

 

Study Date dan Kakak Kelas yang Galak

Hari pertama “hukuman belajar” Mika dimulai dua hari setelah insiden di kantin. Ia duduk di salah satu meja di perpustakaan sekolah, gelisah, menatap buku matematika yang terbuka di hadapannya.

“Kamu mau fokus sekarang atau nunggu aku marah dulu?”

Suara Ares terdengar dingin di seberangnya. Mika mendongak dan mendapati kakak kelas itu sudah duduk dengan tenang, membuka buku catatannya. Seragam putihnya hari ini bersih tanpa noda teh, tapi tetap dengan ekspresi datar khasnya yang entah kenapa terlihat sedikit menekan.

Mika menghela napas. “Aku nggak tahu kenapa aku harus ngalamin ini…”

“Karena kamu ceroboh,” potong Ares tanpa basa-basi. “Oke, mulai dari sini. Kamu udah ngerti tentang aturan sinus dan cosinus?”

Mika melirik buku catatannya yang penuh coretan, lalu kembali menatap Ares dengan wajah kosong.

“Aku nggak ngerti sama sekali.”

Ares mengerang pelan, lalu mengetuk buku dengan pulpennya. “Baik, kita ulang dari awal. Simak baik-baik.”

Mika mencoba mendengarkan, tapi entah kenapa, suara Ares yang tegas dan teratur justru membuat pikirannya melayang. Kakak kelas ini benar-benar punya cara bicara yang membuat orang tidak bisa mengabaikannya.

Namun, setelah hampir sepuluh menit menjelaskan, Mika malah menatap halaman buku dengan mata sayu. “Kak, aku pusing…”

Ares menghela napas panjang. “Pusing karena kamu nggak ngerti, atau karena kamu nggak dengerin?”

Mika meringis. “Mungkin dua-duanya?”

Ares menutup bukunya sebentar dan menatapnya. “Oke. Kalau gitu, aku kasih waktu tiga menit buat kamu istirahat. Setelah itu, kita lanjut.”

Mika langsung bersandar di kursi dengan wajah penuh kemenangan. “Asik, istirahat!”

Namun, belum sampai satu menit, Ares sudah menyodorkan sesuatu ke depannya. Sebungkus roti.

Mika menatapnya bingung. “Ini apa?”

“Kamu lapar, kan?” jawab Ares santai. “Makan dulu, biar fokus. Aku nggak mau ngajarin orang yang udah kehabisan energi duluan.”

Mika memandangi roti itu dengan tak percaya. “Kak, ini… buat aku?”

“Kalau bukan buat kamu, masa aku kasih ke pustakawan?” Ares mengangkat alis.

Tanpa ragu, Mika langsung membuka bungkusnya dan mulai makan. Jujur, perutnya memang sudah keroncongan sejak tadi, tapi ia terlalu sibuk mengeluh untuk menyadarinya.

Saat Mika menikmati makanannya, Ares kembali menulis sesuatu di bukunya. Ada sesuatu yang aneh dari cara kakak kelas itu bersikap. Walaupun terkenal sebagai senior yang disiplin dan galak, Ares juga tahu kapan harus memberi jeda.

Mika menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Kak, sebenernya aku ini murid atau…”

Ares menoleh. “Atau apa?”

Mika mengunyah rotinya perlahan, ragu. “Atau… pacar?”

Seketika, Ares terdiam. Tatapan matanya sedikit berubah, seolah sedang menimbang sesuatu. Tapi alih-alih menjawab, ia malah mengetuk buku di depan Mika dengan pulpennya lagi.

“Jawab soal nomor tujuh.”

Mika mendengus. “Jawaban yang sangat profesional, ya…”

Di sisi lain, Ares tersenyum kecil—hampir tidak terlihat—sebelum kembali fokus ke bukunya.

Entah kenapa, belajar dengan kakak kelas ini terasa lebih menyenangkan dari yang ia bayangkan.

 

Pacar atau Murid?

Sudah hampir dua minggu sejak Mika resmi menjadi “murid” Ares, dan rasanya semakin hari, hubungan mereka makin aneh.

Awalnya, Mika mengira Ares hanya akan bertindak sebagai tutor biasa. Tapi lama-kelamaan, ada hal-hal kecil yang bikin semuanya terasa… beda. Mulai dari cara Ares selalu memastikan Mika nggak kelaparan saat belajar, bagaimana dia tanpa sadar menyesuaikan jadwal belajarnya dengan jadwal Mika, hingga kebiasaannya mengacak rambut Mika kalau cewek itu mulai ngeluh.

Dan yang paling parah—atau paling aneh—Ares nggak pernah melakukan hal ini ke orang lain.

Siang itu, mereka kembali belajar di taman sekolah. Angin sepoi-sepoi berhembus, membuat Mika makin mengantuk.

“Kak, bisa nggak sih kita belajar sambil tiduran di rumput?” Mika menguap, menutup bukunya.

Ares, yang sedang mengoreksi jawaban Mika, mendongak dengan tatapan datar. “Kalau mau tidur, pulang aja.”

Mika memanyunkan bibir. “Tapi kalau pulang, Kakak nggak bakal ngajarin aku lagi…”

Ares mengetuk buku dengan pulpennya. “Itu artinya kita nggak belajar. Dan kalau kita nggak belajar, nilai kamu bakal turun. Terus, kamu bakal kesulitan pas ujian. Dan kalau kamu kesulitan, kamu bakal nyalahin aku karena nggak ngajarin kamu dengan baik. Lalu aku bakal kesel. Dan kalau aku kesel—”

“Oke, oke! Aku ngerti!” Mika buru-buru membuka bukunya lagi, takut mendengar ‘hukuman’ yang mungkin Ares pikirkan.

Ares menyeringai tipis. “Bagus.”

Namun, beberapa menit kemudian, Mika kembali menutup bukunya. Bukan karena bosan, tapi ada sesuatu yang sudah lama ingin ia tanyakan.

“Kak, boleh tanya sesuatu?”

Ares tetap fokus menulis, tanpa mengangkat kepalanya. “Boleh.”

Mika menatapnya ragu-ragu. “Sebenernya… kenapa sih Kakak repot-repot ngajarin aku?”

Ares berhenti menulis. Ia menghela napas pelan, lalu akhirnya menatap Mika. “Aku udah bilang, ini hukuman buat kamu.”

“Tapi kalau hukuman, harusnya Kakak udah bosen, kan? Aku ini murid yang nggak berbakat. Kakak bisa aja berhenti kapan pun.”

Ares terdiam beberapa detik. Lalu, dengan nada santai, ia berkata, “Mungkin aku menikmati ini.”

Mika berkedip beberapa kali. “Menikmati… ngajarin aku?”

Ares mengangguk. “Iya.”

Jantung Mika berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi entah kenapa, tatapan Ares yang terlalu tenang membuatnya gugup.

Mika akhirnya memilih membuang muka, berusaha kembali fokus ke bukunya. Tapi saat ia membaca soal, pikirannya malah melayang ke satu hal lain.

Sebenarnya, dia ini murid atau pacar sih?

 

Tutor, Pacar, dan Jeda yang Manis

Mika mengira semuanya akan tetap berjalan seperti biasa—Ares sebagai tutor galak, dirinya sebagai murid yang selalu kena omel. Tapi setelah pertanyaan kemarin, semuanya terasa… berbeda.

Setiap kali mereka belajar bersama, Mika jadi lebih sadar dengan hal-hal kecil yang dilakukan Ares. Cara cowok itu tanpa sadar menarik kursinya lebih dekat saat menjelaskan sesuatu. Cara dia menggulirkan pulpennya ke Mika saat cewek itu bingung mengerjakan soal. Atau cara dia diam-diam tersenyum kecil setiap kali Mika berhasil menyelesaikan satu soal sulit.

Dan yang paling aneh, Mika juga sadar satu hal: dia mulai menunggu momen-momen itu.

Hari ini, mereka kembali duduk di perpustakaan. Mika baru saja menyelesaikan setengah halaman latihan soal ketika ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari Rena.

Jadi kapan lo mau ngaku kalo lo naksir Kak Ares?

Mata Mika melebar, refleks menoleh ke arah Ares yang sedang serius membaca buku.

Astaga. Dia beneran naksir, ya?

Mika menatap layar ponselnya lama, lalu mengetik balasan cepat.

Mana ada!

Tapi tepat saat ia hendak mengirimnya, ponselnya diraih dengan cepat.

“Apa yang mana ada?”

Mata Mika hampir meloncat keluar. “KA-KAK?! BALIKIN!”

Ares mengangkat ponsel itu lebih tinggi, membaca pesan di layar dengan ekspresi datar. Setelah beberapa detik, ia menatap Mika dengan alis terangkat.

“Mau ngaku sekarang atau nanti?”

Muka Mika langsung memanas. “Ngaku apaan?!”

Ares menutup bukunya, bersandar santai di kursi. “Kalau kamu mau jujur, aku kasih kamu jeda lima menit sebelum kita lanjutin belajar.”

Mika mendelik. “Jeda?!”

Ares mengangguk. “Iya. Aku tahu kamu butuh waktu buat mikir, kan?”

Mika diam. Lalu, tanpa sadar, bibirnya membentuk senyum kecil.

Cowok ini benar-benar selalu tahu cara bikin dia nggak bisa menang.

Dengan mendengus kecil, Mika bersedekap dan akhirnya berkata, “Oke. Aku suka Kakak.”

Ares tidak terlihat kaget. Sebaliknya, sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas, seperti sudah menunggu jawaban itu sejak lama.

“Bagus,” katanya santai. “Sekarang kita lanjut belajar.”

Mika mengerang frustasi. “Kakak ini beneran nggak romantis sama sekali!”

Ares menyeringai. “Aku tutor belajar dulu, pacar nanti. Setelah ulangan kita lihat lagi, ya?”

Mika menghela napas, menatap soal yang terbuka di hadapannya.

Sial. Sejak kapan belajar jadi semanis ini?

 

Awalnya Mika kira, Ares itu cuma kakak kelas yang galak dan disiplin. Tapi makin lama, dia sadar kalau cowok itu punya cara unik buat bikin seseorang merasa diperhatikan. Dari study date yang penuh protes, sampai akhirnya ada jeda manis di antara mereka.

Jadi, ini masih hukuman belajar atau udah jadi hukuman jatuh cinta, ya? Kalau suka cerita ini, jangan lupa bagikan ke teman-temanmu yang juga pernah (atau lagi) naksir kakak kelas! Siapa tahu relate~

Leave a Reply