Daftar Isi
Siapa sih yang nggak penasaran pacaran sama anak nakal? Banyak yang bilang mereka cuma bikin ribet, tapi nyatanya… hidup bisa jadi lebih berwarna! Cerita ini bakal ngebawa kamu ke kisah Ayara, cewek pintar dan rapi yang tiba-tiba harus berurusan sama Rakha, cowok bengal yang sering bikin masalah.
Awalnya kayak dua dunia yang nggak mungkin nyatu, tapi makin lama… siapa sangka? Dari yang cuma iseng, sampai akhirnya nggak bisa lepas satu sama lain. Bukan sekadar cinta biasa, tapi perjalanan yang penuh warna, luka, dan… langit yang lebih biru?
Pacaran Sama Anak Nakal
Hujan Pertama dan Jaket Kulit
Hujan turun tanpa aba-aba, membasahi jalanan yang sebelumnya hanya dipenuhi debu dan kepulan asap kendaraan. Langit kelabu menggantung rendah, seakan menekan kota yang sudah sesak dengan hiruk-pikuk manusia. Di halte kecil dekat sekolah, Ayara berdiri memeluk tasnya, menggigit bibir saat air hujan mulai mengenai sepatunya. Bus yang ditunggu-tunggu belum juga datang, dan ia tidak membawa payung.
Sial.
Hanya ada satu orang lain di sana—seorang pemuda yang duduk santai di atas motornya, mengunyah permen karet dengan wajah tanpa ekspresi. Jaket kulit lusuh menempel di tubuhnya, dengan helm full-face berwarna hitam dibiarkan menggantung di setang motor.
Rakha.
Ayara mengenalnya, tentu saja. Siapa yang tidak mengenal Rakha? Anak yang selalu berada di ambang batas dikeluarkan dari sekolah. Pemilik catatan pelanggaran yang lebih panjang dari daftar prestasi akademik Ayara. Sosok yang selalu muncul dengan berbagai luka di wajahnya, entah karena perkelahian atau kenakalan yang lain.
Tapi di balik itu, Rakha punya daya tariknya sendiri. Bukannya tampang anak nakal dengan mata tajamnya itu menarik perhatian, tapi lebih karena auranya yang seolah tidak peduli pada dunia. Seakan hidup ini bukan sesuatu yang perlu dipusingkan.
Saat matanya menangkap Ayara yang masih berdiri canggung di tepi halte, Rakha menghela napas sebelum menyodorkan helmnya ke arah gadis itu.
“Mau pulang bareng?” tanyanya santai.
Ayara mengerjap. “Apa?”
“Bus gak bakal dateng cepat kalau hujan begini,” lanjutnya. “Lagipula, kasihan sepatumu. Basah, kan?”
Ayara menunduk, melihat sepatunya yang memang sudah mulai basah terkena cipratan air hujan. Ia menggigit bibirnya. Logikanya menolak tawaran itu mentah-mentah. Naik motor bersama Rakha? Itu hampir seperti menandatangani kontrak untuk dijauhi guru dan teman-temannya seumur hidup.
Tapi bagian lain dari dirinya ragu. Ini bukan pertama kalinya ia merasa hidupnya terlalu monoton. Jadwalnya terlalu rapi. Dan sekarang, di hadapannya, ada pilihan yang jelas-jelas di luar jalur.
Rakha mengayunkan helmnya, mendesak. “Udah, pakai aja. Kamu gak bakal gue jual kok, tenang aja.”
Ayara mendengus. “Memangnya aku kelihatan kek takut dijual?”
“Muka kamu kelihatan takut sama banyak hal,” balas Rakha dengan senyum setengah malas.
Ayara mendengus lagi, tapi akhirnya meraih helm itu dan memakainya. Tangannya sedikit gemetar saat naik ke motor Rakha. Ini pertama kalinya ia naik motor, apalagi dengan seseorang seperti Rakha.
“Pegangan,” ucap Rakha sambil menyalakan mesin motornya.
“Aku bisa sendiri,” balas Ayara cepat.
Rakha hanya mengedikkan bahu. “Terserah, asal kamu gak jatuh.”
Dalam hitungan detik, motor melaju menerobos hujan. Ayara sempat tersentak, refleks memegang ujung jaket Rakha, tapi lelaki itu tidak berkata apa-apa. Hanya fokus menembus jalanan yang basah.
Awalnya, Ayara terlalu sibuk memastikan dirinya tidak terjatuh. Namun perlahan, ia mulai menikmati sensasinya. Udara dingin, aroma hujan, suara gemuruh mesin yang bercampur dengan deru hujan.
Ada sesuatu yang aneh di sini.
Hidupnya yang biasanya terlalu teratur tiba-tiba terasa bebas. Tidak ada guru, tidak ada aturan, tidak ada ekspektasi yang membebani. Hanya dia, Rakha, dan jalanan yang basah.
Setelah beberapa menit, motor berhenti di depan rumah Ayara. Gadis itu turun, masih sedikit gemetar. Rakha tidak langsung pergi, hanya duduk di atas motornya dengan tatapan malasnya yang khas.
“Tuh kan, gak mati juga kamu naik motor sama gue.”
Ayara melepas helm dan menatapnya tajam. “Kenapa kamu tiba-tiba nawarin tumpangan?”
Rakha mengangkat bahu. “Gak tahu. Iseng aja. Kamu kelihatan kayak anak hilang tadi.”
Ayara mendengus. “Aku gak butuh dikasihani.”
“Siapa bilang gue kasihan?” Rakha menyeringai. “Gue cuma pikir, kamu butuh ngerasain sesuatu yang beda. Dan ternyata benar, kan?”
Ayara terdiam. Rakha seakan bisa membaca pikirannya, dan itu membuatnya tidak nyaman.
“Udah ah, gue cabut,” Rakha menyalakan motornya lagi, lalu menatap Ayara sekali lagi sebelum pergi. “Lain kali, kalau mau kabur sebentar dari hidup rapi kamu, tinggal bilang aja.”
Dan dengan itu, ia melaju pergi.
Ayara berdiri di depan rumahnya, masih memegang helm yang tadi ia kenakan. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil.
Ia tahu ini bukan pertama dan terakhir kalinya ia naik motor bersama Rakha.
Warna-warni di Balik Dinding
Hari-hari setelah tumpangan pertama itu, Ayara pikir semuanya akan kembali seperti biasa. Tapi ternyata tidak.
Sejak malam itu, seakan ada sesuatu yang berubah. Bukan sesuatu yang besar—lebih seperti benih kecil yang tumbuh diam-diam di dalam dirinya. Rakha bukan tipe orang yang tiba-tiba muncul di sekolah dan menyapa seperti teman lama. Dia tetap Rakha yang sama. Tetap malas-malasan di bangku belakang kelas kalau kebetulan dia hadir, tetap keluar saat jam pelajaran kalau sudah bosan, tetap menjadi topik bisik-bisik para guru dan murid lainnya.
Yang berbeda adalah Ayara.
Sekarang, tiap kali matanya menangkap sosok Rakha di sudut manapun, ada dorongan aneh dalam dirinya. Rasa penasaran yang sebelumnya tidak ada.
Dan dorongan itu semakin menjadi saat Rakha tiba-tiba menyapanya untuk kedua kalinya—tanpa aba-aba, tanpa alasan yang jelas.
“Lagi sibuk?”
Ayara yang sedang menata kertas-kertas OSIS hampir menjatuhkan semua dokumennya. Ia menoleh, menemukan Rakha bersandar di ambang pintu ruang OSIS dengan tangan di saku jaketnya.
“Kamu ngapain di sini?” tanyanya dengan alis terangkat.
“Nyari tempat ngadem,” Rakha menjawab santai. “Di luar panas banget.”
Ayara mendecak. “Bilang aja kamu kabur dari kelas.”
Rakha hanya mengangkat bahu, tidak berusaha menyangkal. “Kelas membosankan.”
“Terus aku harus peduli?”
Rakha menyeringai. “Enggak, sih. Tapi daripada sibuk sama kertas-kertas gak jelas itu, mau ikut gue jalan-jalan?”
Ayara menatapnya curiga. “Jalan-jalan ke mana?”
Rakha tidak menjawab, hanya mengangkat satu alisnya dengan ekspresi ‘ikut aja atau enggak?’
Ayara menghela napas. Ini gila. Ini jelas ide yang buruk. Tapi, entah kenapa, sebelum otaknya bisa mengajukan protes lebih jauh, kakinya sudah bergerak.
Sore itu, Rakha membawanya ke sebuah tempat yang bahkan tidak pernah Ayara bayangkan ada di kota ini.
Sebuah dinding besar yang penuh dengan grafiti warna-warni. Bukan coretan iseng yang biasa ia lihat di tembok-tembok kumuh, tapi lukisan yang benar-benar hidup. Gambaran abstrak bercampur dengan karakter-karakter berani, seakan dinding itu menyimpan cerita yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
“Ini…” Ayara kehilangan kata-kata.
Rakha memasukkan tangan ke saku jaketnya. “Bagus, kan?”
Ayara masih tidak percaya. “Siapa yang buat semua ini?”
Rakha mengangkat bahunya santai. “Macam-macam. Anak-anak yang gak punya tempat buat ngeluarin isi kepala mereka.”
Ayara meliriknya. “Termasuk kamu?”
Rakha hanya menyeringai.
Ayara mengedarkan pandangan lagi, memperhatikan setiap detail yang ada di dinding. Matahari sore menerpa permukaannya, membuat warna-warna itu semakin menyala.
Ia tidak menyangka ada tempat seperti ini. Tempat di mana kekacauan dan keindahan bertemu dalam satu ruang.
“Kamu bawa aku ke sini buat apa?” tanyanya akhirnya.
Rakha bersandar di dinding, menyelipkan sebatang permen karet ke dalam mulutnya sebelum menjawab, “Kamu tipe orang yang hidupnya terlalu lurus. Gue cuma pengen nunjukin kalau dunia gak selalu harus serapi itu.”
Ayara terdiam.
“Dunia gak selalu harus serapi itu.”
Ucapan Rakha menggantung di kepalanya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ayara merasa dunianya mulai bergeser sedikit demi sedikit.
Luka yang Tak Terlihat
Hujan turun lagi malam itu, tapi kali ini bukan di halte atau di perjalanan pulang. Kali ini, hujan menemani langkah Ayara yang dengan ragu memasuki sebuah gang sempit di sudut kota.
Dia tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Ini jelas ide yang buruk. Lebih buruk dari sekadar menerima tumpangan dari Rakha atau kabur dari ruang OSIS untuk melihat grafiti tersembunyi. Ini bukan bagian dari dunianya, bukan tempat yang seharusnya ia datangi.
Tapi pesan singkat yang ia terima beberapa menit lalu tidak memberinya pilihan lain.
“Kalau gak takut, datang ke sini. Sendirian.”
Ayara menggigit bibir, suara langkahnya terdengar jelas di jalanan yang basah. Sudut gang ini lebih suram dari yang ia bayangkan. Gelap, lembab, dengan suara samar dari kejauhan yang entah berasal dari orang mabuk atau mesin kendaraan yang meraung.
Dan di sanalah Rakha.
Bersandar di tembok dengan tangan berlumuran darah.
Ayara tertegun. “Rakha…?”
Rakha mendongak pelan. Tatapan matanya sedikit buram, dan Ayara bisa melihat luka di sudut bibirnya, juga bekas darah yang mulai mengering di pelipisnya. Jaket kulit yang biasa ia pakai kini robek di beberapa bagian.
Tapi yang paling membuat Ayara membeku adalah tangan Rakha yang memegang sebuah besi panjang, dengan noda merah yang masih menetes di ujungnya.
“Apa yang…” Ayara mencoba bertanya, tapi suaranya menghilang begitu saja.
Rakha menghela napas, lalu dengan malas melempar besi itu ke tanah. Bunyi dentangannya menggema di gang yang sepi.
“Gak ada yang seru buat ditonton,” ucapnya, terdengar lelah. “Udah selesai.”
Ayara menelan ludah. “Apa ini…? Kamu berantem lagi?”
Rakha menyeringai kecil, seakan itu hal paling biasa di dunia. “Hmm. Kayaknya gitu.”
Ayara menggeleng, menatapnya dengan campuran emosi yang tak bisa ia jelaskan. “Kenapa kamu selalu kayak gini?”
Rakha tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Ayara dengan mata yang lebih gelap dari biasanya. Mata yang menyimpan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada sekadar kenakalan.
Lalu, ia tertawa kecil. Bukan tawa penuh kemenangan seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan perkelahian, tapi tawa yang terasa… kosong.
“Gue gak tau,” katanya akhirnya. “Mungkin karena gue gak punya hal lain buat dilakuin.”
Ayara mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Rakha menghela napas, lalu menatap langit yang masih meneteskan hujan. “Gue cuma anak yang gak punya tempat di mana-mana, Ra. Lo tau gak rasanya?”
Ayara terdiam.
“Di sekolah, gue cuma pengacau,” lanjut Rakha. “Di rumah, gue gak lebih dari anak yang gak diinginkan. Di luar? Gue harus jadi yang paling kuat, atau gue bakal diinjak.”
Kata-katanya membekas di kepala Ayara.
Rakha, anak yang selalu terlihat santai, yang selalu bersikap seolah dunia tidak bisa menyakitinya—sekarang berdiri di hadapannya dengan luka yang lebih dalam dari sekadar bekas darah di tangannya.
Hujan terus turun, membasahi mereka berdua. Ayara tidak tahu harus berkata apa. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak ingin melihat Rakha seperti ini.
“Ayo pulang,” ucapnya akhirnya.
Rakha meliriknya. “Gue gak butuh kasihan lo, Ra.”
“Aku gak kasihan.” Ayara menatapnya dalam. “Aku cuma gak mau kamu sendirian.”
Rakha terdiam. Untuk sesaat, mata mereka bertemu. Dan untuk pertama kalinya, tidak ada senyum licik, tidak ada lelucon sarkastik dari Rakha.
Hanya keheningan.
Lalu, perlahan, Rakha mengangguk.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ayara meraih tangannya—tangan yang penuh luka—dan menggenggamnya erat, seolah ingin memberi tahu bahwa ia ada di sana. Bahwa Rakha bukan sekadar bayangan yang bisa diabaikan dunia.
Mereka berjalan pergi bersama, meninggalkan gang suram itu di belakang.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Rakha tidak merasa sendirian.
Langit yang Lebih Biru
Sudah seminggu sejak malam itu, sejak Ayara melihat sisi Rakha yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Luka di wajahnya mulai memudar, tapi tidak dengan apa yang ada di dalam dirinya.
Ayara bisa merasakannya—Rakha berubah.
Bukan perubahan yang besar atau dramatis. Dia masih Rakha yang sama, masih sering membolos, masih duduk di bangku paling belakang dengan tangan di saku jaket kulitnya. Tapi ada sesuatu di matanya yang berbeda setiap kali ia menatap Ayara.
Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebiasaan iseng mengajaknya kabur dari kelas.
Dan Ayara juga berubah.
Dulu, dia takut dicap buruk jika terlalu dekat dengan Rakha. Takut reputasinya di sekolah rusak, takut guru-guru mulai meliriknya aneh, takut kehilangan teman-temannya yang selalu mengingatkan bahwa Rakha bukan tipe orang yang harus didekati.
Tapi sekarang, dia tidak peduli.
Saat istirahat, Rakha duduk di bawah pohon besar di belakang sekolah, mengunyah permen karet seperti biasa. Beberapa meter darinya, Ayara berdiri, ragu-ragu sebelum akhirnya melangkah mendekat.
Rakha meliriknya, lalu menyeringai kecil. “Tumben nyari gue duluan.”
Ayara duduk di sebelahnya, menyandarkan punggungnya ke batang pohon. “Kenapa? Gak boleh?”
Rakha terkekeh. “Boleh. Gue malah nungguin kapan lo bakal nyamperin tanpa gue ajak duluan.”
Ayara menoleh, mengangkat satu alisnya. “Kamu nungguin?”
Rakha mengedikkan bahu, tapi tidak membalas. Sebaliknya, dia menatap langit yang cerah di atas mereka. “Langit hari ini biru banget, ya?”
Ayara ikut melihat ke atas. “Iya.”
Sejenak, mereka hanya duduk dalam keheningan.
Lalu Rakha berbicara lagi, suaranya lebih pelan kali ini. “Dulu, gue gak pernah peduli langit warnanya kayak gimana.”
Ayara menoleh. “Kenapa?”
Rakha menghela napas, lalu tersenyum tipis. Tapi senyum itu berbeda dari biasanya—lebih tulus, lebih jujur. “Mungkin karena selama ini kepala gue selalu nunduk. Selalu sibuk mikirin hidup gue yang berantakan.”
Ayara menatapnya lama, lalu dengan suara lembut berkata, “Tapi sekarang, kamu lihat ke atas.”
Rakha tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk pelan.
Dan Ayara tersenyum.
Tidak ada janji-janji muluk di antara mereka. Tidak ada kalimat seperti “Aku akan mengubahmu” atau “Aku akan selalu di sini”. Tidak ada harapan besar tentang masa depan atau kata-kata yang berlebihan.
Hanya Rakha, Ayara, dan langit yang lebih biru dari biasanya.
Dan untuk saat ini, itu sudah lebih dari cukup.
Jadi, gimana rasanya pacaran sama anak nakal? Seru? Ribet? Atau justru bikin nagih? Ayara udah ngalamin semuanya—dari ketakutan, penasaran, sampai akhirnya menemukan sesuatu yang nggak pernah dia duga.
Rakha bukan cuma soal kenakalan, tapi juga tentang seseorang yang nyari tempatnya di dunia. Dan Ayara? Dia belajar bahwa hidup nggak selalu harus lurus dan rapi. Kadang, sedikit kekacauan justru yang bikin segalanya lebih bermakna. Siapa tahu, kamu juga bakal nemuin Rakha dalam hidupmu, kan?


