Pacaran Sama Anak Judo? Dijamin Aman dari Semua Bahaya!

Posted on

Pernah kebayang nggak sih pacaran sama anak Judo? Kebayang dilindungi setiap saat, diajak makan es krim habis tanding, terus tiba-tiba dia ngomong sesuatu yang bikin jantung lompat ke matras? Nah, cerita ini bakal kasih gambaran gimana rasanya punya pacar yang cool, kalem, tapi bisa bikin hati ambyar cuma dengan satu tatapan. Dijamin gemesin, manis, dan bikin susah move on!

 

Pacaran Sama Anak Judo

Tangkapan Pertama

Hujan rintik-rintik membasahi jalan setapak menuju perpustakaan, membuat aspal terlihat lebih gelap dan mengkilap. Kirana berjalan cepat, sesekali menarik lengan sweaternya agar tidak terlalu panjang menutupi jari. Langit sore mendung, tapi untungnya hujan mulai mereda.

Baru saja ia hendak menaiki tangga, langkahnya terhenti ketika seorang pria berbaju putih dengan sabuk hitam di pinggangnya berjalan keluar dari sebuah bangunan di seberang. Dojo. Tempat latihan Judo.

Sosok pria itu terlihat berbeda dari yang lain—tinggi, tegap, tapi ada ketenangan yang terpancar dari cara ia melangkah. Matanya teduh, rahangnya tegas, dan ada bekas keringat di pelipisnya, menandakan ia baru saja selesai latihan.

Saat itulah kejadian tak terduga terjadi.

Kirana, yang sibuk memperhatikan pria itu, tidak sadar kalau tali tasnya tersangkut di pegangannya sendiri. Dalam hitungan detik, isi tasnya jatuh berhamburan ke lantai. Buku-buku, pulpen, bahkan kotak bekal kecil yang ia bawa ikut terguling ke bawah tangga.

“Astaga…” Kirana buru-buru berjongkok, mencoba mengumpulkan barang-barangnya yang tersebar. Ia bisa merasakan beberapa orang yang lewat melirik ke arahnya, tapi tidak ada yang berhenti membantu.

Hingga suara langkah kaki mendekat.

Tanpa banyak bicara, pria bersabuk hitam tadi ikut berjongkok, mengambil buku catatan Kirana, lalu menaruhnya di tumpukan dengan rapi.

Kirana mendongak, dan sejenak ia membeku.

Pria itu tidak berkata apa-apa, hanya mengulurkan sebuah pulpen yang terjatuh di dekat sepatunya. Matanya masih tetap tenang, tapi ada sedikit kebingungan di dalamnya—seolah ia tidak mengerti kenapa seseorang bisa menjatuhkan begitu banyak barang dalam satu waktu.

“…Makasih,” gumam Kirana, menerima pulpen itu.

“Hmm,” pria itu hanya bergumam kecil. Lalu, setelah memastikan tidak ada barang lain yang tercecer, ia berdiri dan memasukkan tangannya ke dalam saku celana.

Kirana ikut berdiri, masih merasa sedikit canggung. “Eh… kamu dari dojo itu?” tanyanya spontan, menunjuk ke arah bangunan tempat pria itu keluar tadi.

“Iya.” Jawabannya singkat.

“Ohh.” Kirana mengangguk-angguk. Ia merasa aneh karena harus memulai percakapan dengan seseorang yang bahkan belum ia kenal namanya.

Mungkin pria itu juga merasa begitu, karena ia hanya menatap Kirana beberapa detik sebelum akhirnya membuka mulut lagi.

“Hati-hati,” katanya. “Jangan sampai jatuh lagi.”

Lalu, tanpa menunggu respon, ia berjalan pergi.

Kirana hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh. Hanya dalam beberapa menit, seseorang yang tidak ia kenal telah membantunya, lalu pergi begitu saja seperti angin yang berhembus.

Namun, entah kenapa, ada sesuatu yang tertinggal dalam pikirannya.

Dan sejak hari itu, Kirana jadi sering tanpa sadar melirik ke arah dojo itu saat melewati jalan yang sama.

 

BJaket Hangat di Sore Hari

Sore itu, angin berhembus lebih dingin dari biasanya. Langit mulai menggelap meski matahari belum benar-benar tenggelam. Kirana berdiri di depan dojo Judo “Seiryuu”, menempelkan kedua telapak tangannya ke lengan sweater oversized yang ia pakai. Udara dingin menusuk lebih cepat dari dugaannya.

Dari luar, ia bisa mendengar suara hentakan kaki dan benturan tubuh di atas matras. Sekilas, ia melihat bayangan seseorang yang sedang berlatih lewat celah pintu kayu yang sedikit terbuka. Matanya langsung mengenali sosok itu—pria yang dulu membantunya mengumpulkan barang-barang yang berjatuhan.

Hiro.

Nama itu baru ia ketahui setelah beberapa minggu diam-diam memperhatikan. Mahasiswa teknik yang juga atlet Judo kampus, terkenal karena teknik bertarungnya yang selalu rapi dan efisien. Tapi, meskipun punya reputasi yang cukup mencolok, orang-orang bilang dia jarang bicara dan tidak tertarik pada hal lain selain Judo.

Kirana menggigit bibirnya, merasa sedikit ragu. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa sore ini berdiri di sini, menunggu seseorang yang bahkan tidak terlalu akrab dengannya.

Saat pintu dojo kembali terbuka, Kirana buru-buru menegakkan tubuh.

Hiro keluar dengan pakaian latihan yang masih melekat di tubuhnya, hanya ditutupi jaket hitam polos yang tidak dikancingkan. Rambutnya sedikit basah, entah karena keringat atau habis mandi. Saat ia melihat Kirana berdiri di depan pintu, alisnya sedikit naik.

“Kamu nunggu lama?” suaranya selalu tenang, sedikit dalam, tapi tidak pernah terdengar tajam.

Kirana menggeleng. “Nggak juga. Aku cuma pengen lihat dojo kamu.”

Hiro mengamati Kirana beberapa detik sebelum menarik resleting jaketnya ke bawah dan melepasnya tanpa banyak bicara. Tanpa peringatan, ia menyampirkan jaket itu ke bahu Kirana.

“Dingin,” katanya singkat.

Kirana menunduk, memegang jaket yang kini melingkupinya. Hangat. Aroma samar sabun dan keringat bercampur di sana, membuatnya sedikit salah tingkah.

“Kamu mau pulang?” Hiro bertanya lagi.

“Eh, iya, sebentar lagi,” jawab Kirana agak gugup. “Aku cuma penasaran aja sama dojo ini. Latihannya selalu sekeras itu, ya?”

Hiro memasukkan tangannya ke saku celana. “Nggak selalu. Tergantung besok ada pertandingan atau nggak.”

Kirana membulatkan mata. “Jadi, kamu ada pertandingan?”

“Besok,” Hiro menjawab tanpa basa-basi.

“Kenapa nggak pernah cerita?”

Hiro hanya mengangkat bahu ringan. “Nggak penting buat diceritain.”

Kirana melipat tangan di dada, pura-pura kesal. “Kalau aku tahu lebih cepat, aku pasti nyiapin sesuatu buat penyemangat.”

Hiro menatapnya lebih lama kali ini. “Seperti apa?”

Kirana berpikir sejenak, lalu tersenyum kecil. “Mungkin bekal nasi kepal atau surat kecil kayak di drama-drama?”

Sejenak, Hiro tidak memberikan reaksi apa pun. Tapi tak lama, sudut bibirnya sedikit terangkat—bukan senyuman lebar, hanya ekspresi tipis yang jarang muncul.

“Kalau gitu, aku jadi pengen menang,” gumamnya pelan.

Kirana tertawa kecil. “Memangnya biasanya nggak mau menang?”

Hiro tidak menjawab, hanya menepuk kepala Kirana pelan, lalu melangkah lebih dulu ke jalan setapak.

“Besok datang, ya,” katanya sebelum berjalan pergi.

Kirana masih berdiri di tempatnya, menatap punggung Hiro yang semakin menjauh. Tanpa sadar, tangannya meremas jaket yang masih menyelimuti tubuhnya.

Dan entah kenapa, sore itu terasa lebih hangat daripada sebelumnya.

 

Ippon untuk Hati

Sorakan menggema di dalam gelanggang olahraga kota. Kursi-kursi tribun dipenuhi penonton yang bersemangat, beberapa membawa spanduk kecil untuk mendukung peserta favorit mereka. Kirana duduk di antara kerumunan, tangannya mencengkeram tali tas di pangkuannya. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali merasa sepanik ini.

Sejak pertandingan dimulai, matanya terus mengikuti sosok Hiro di atas matras. Ia mengenakan seragam Judo putih, sabuk hitam melingkar di pinggangnya, tubuhnya berdiri tegap dengan ekspresi yang sama seperti biasanya—tenang dan nyaris tanpa emosi.

Namun, saat lawannya mulai bergerak, Hiro berubah.

Gerakannya tegas, setiap langkah penuh perhitungan. Ia seperti air yang mengalir, membaca setiap gerakan lawan tanpa terlihat tergesa-gesa. Beberapa kali lawannya mencoba menyerang lebih dulu, tapi Hiro selalu berhasil menghindar dengan gesit, menunggu momen yang tepat.

Kirana menahan napas.

Lalu tiba-tiba—

Brak!

Dalam satu gerakan cepat, Hiro menangkap lawannya, memutar tubuhnya dengan teknik sempurna, dan menjatuhkannya ke matras dalam sekali hentakan.

Sorakan pecah.

“Ippon!” suara wasit menggema, menandakan kemenangan mutlak Hiro.

Kirana yang sedari tadi tegang akhirnya mengembuskan napas lega. Jantungnya masih berdetak kencang, tapi kali ini bukan karena gugup—melainkan karena rasa takjub yang sulit dijelaskan.

Di atas matras, Hiro berdiri kembali, membungkuk sopan ke arah lawannya sebelum berjalan ke pinggir arena. Ekspresinya masih sama, seolah kemenangan barusan bukanlah hal yang luar biasa.

Namun, saat matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Kirana di tribun, sesuatu dalam dirinya berubah.

Sesaat, hanya sesaat, ada senyuman kecil di sudut bibirnya.

Kirana buru-buru turun dari tribun setelah pertandingan selesai, mencari-cari Hiro di antara kerumunan. Hatinya masih terasa penuh oleh sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan—entah rasa bangga, kagum, atau sesuatu yang lebih dari itu.

Akhirnya, ia menemukannya di dekat lorong pemain, sedang menggulung perban di tangannya. Meski terlihat baik-baik saja, Kirana tahu betul bahwa pertandingan tadi bukan tanpa usaha.

Dengan langkah cepat, ia mendekat.

“Nasi kepal buat pemenang,” ucapnya, menyodorkan sebuah kotak bekal kecil yang sejak tadi ia simpan di dalam tas.

Hiro menoleh dan menatapnya dalam diam. Ia tidak langsung mengambil kotaknya, hanya menatap Kirana dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Aku janji nyiapin sesuatu buat penyemangat, kan?” lanjut Kirana dengan senyum kecil.

Kali ini, Hiro mengambil bekal itu, matanya masih menatap Kirana tanpa berkedip.

“Aku menang,” katanya pelan.

Kirana mengangguk. “Iya, aku lihat.”

“Karena kamu datang.”

Deg.

Hiro mengucapkannya begitu saja, tanpa ekspresi berlebihan, tanpa nada bercanda.

Kirana tidak tahu harus merespons bagaimana. Wajahnya terasa mulai panas, padahal ruangan ini cukup dingin.

Saat ia masih sibuk mengatur detak jantungnya, Hiro mengangkat tangannya, lalu dengan gerakan ringan yang nyaris sama seperti di atas matras, ia mengusap kepala Kirana dengan lembut.

“Besok aku traktir es krim,” katanya santai. “Mau?”

Kirana masih terdiam, tapi kemudian mengangguk cepat.

Dan untuk pertama kalinya, Hiro tertawa kecil.

Bukan hanya senyum tipis seperti sebelumnya, tapi benar-benar tawa pelan yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua.

Dan di detik itu, Kirana tahu bahwa ada sesuatu yang mulai berubah di antara mereka. Sesuatu yang lebih dari sekadar ippon di atas matras.

 

Es Krim dan Perasaan yang Meleleh

Udara sore di taman kota terasa sejuk, dengan langit yang mulai berwarna jingga. Hiruk-pikuk suara anak-anak bermain dan orang-orang yang berolahraga mengisi suasana, tapi Kirana hanya fokus pada satu hal—pria di sebelahnya yang sedang dengan tenang menikmati es krim vanila.

Hiro duduk di bangku taman dengan satu kaki disilangkan di atas lututnya. Jaket hitam yang kemarin ia pinjamkan pada Kirana kini kembali dipakai olehnya, tetapi entah kenapa, Kirana masih bisa merasakan hangatnya.

“Kamu selalu sependiam ini?” Kirana bertanya, memecah keheningan di antara mereka.

Hiro menoleh sebentar sebelum kembali menatap es krim di tangannya. “Nggak juga. Kalau ada yang perlu diomongin, aku ngomong.”

Kirana mendengus kecil. “Tapi aku harus jadi penerjemah buat semua gerakan kamu.”

Hiro menoleh lagi, kali ini dengan alis sedikit terangkat. “Aku sejelas itu, kok.”

Kirana mendecak, mengayunkan kakinya pelan. Ia memainkan sendok es krimnya sebelum berbicara lagi. “Kayak waktu kamu bilang menang karena aku datang. Itu maksudnya apa?”

Seketika, Hiro berhenti menggerakkan tangannya. Ia menatap Kirana lebih lama dari biasanya, membuat gadis itu menegang tanpa alasan.

“Aku nggak suka kalah,” Hiro akhirnya menjawab, suaranya tetap tenang. “Tapi kemarin, aku lebih pengen menang karena ada kamu.”

Kirana meremas cup es krimnya tanpa sadar. Kata-kata Hiro selalu sederhana, tanpa tambahan embel-embel dramatis seperti di film romantis, tapi justru itulah yang membuatnya lebih nyata.

“…Kenapa aku?” Kirana memberanikan diri bertanya.

Hiro menatapnya seolah jawaban itu sudah jelas sejak awal. “Karena kamu beda.”

Kirana tertawa kecil, mencoba menyembunyikan debaran di dadanya. “Itu alasan yang nggak jelas banget.”

Hiro hanya tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. “Aku tahu kalau kamu suka perhatiin aku di depan dojo.”

Jantung Kirana nyaris berhenti. Ia buru-buru menoleh ke arah lain. “Aku nggak gitu, kok!”

“Hmm.” Hiro mengunyah es krimnya pelan, seperti tidak terganggu sama sekali. “Makanya aku penasaran. Kirana yang aku tahu suka banyak ngomong, tapi kalau di depan dojo, diem-diem aja. Lucu.”

Kirana mendengus, merasa pipinya mulai panas. “Kamu ini… harusnya nggak boleh seobservatif itu.”

Hiro mengangkat bahu ringan. “Atlet Judo harus terbiasa membaca gerakan lawan.”

“Lawan, ya?” Kirana mendelik.

Hiro tertawa kecil, lalu tanpa peringatan, mengulurkan tangannya dan menepuk kepala Kirana sekali lagi, seperti kebiasaannya.

“Tapi kamu bukan lawan,” katanya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.

Kirana berhenti mengunyah es krimnya. Ia tidak tahu harus bilang apa, apalagi saat Hiro menarik tangannya kembali dan melanjutkan makannya seperti tidak terjadi apa-apa.

Angin sore berhembus pelan, membawa aroma es krim dan dedaunan basah.

Dan di detik itu, Kirana sadar—hatinya sudah jatuh.

Bukan dengan hentakan keras seperti teknik Judo di atas matras, tapi dengan cara yang lembut, pelan, dan pasti.

Seperti Hiro. Seperti mereka.

 

Jadi, masih ragu pacaran sama anak Judo? Habis baca ini, dijamin kepikiran terus! Nggak cuma soal dilindungi atau dibikin melting sama ke-cool-an mereka, tapi juga gimana perasaan bisa tumbuh dari hal-hal kecil yang nggak terduga. Kadang, jatuh cinta itu kayak teknik Judo—kalau udah kena ippon, nggak bisa bangun lagi!

Leave a Reply