Daftar Isi
Di sekolah, orang pintar selalu dipuja, orang bodoh sering diremehkan. Tapi… gimana kalau yang bodoh ini ternyata punya sesuatu yang bahkan si jenius pun gak punya?
Inilah kisah Razka dan Ezra—dua kutub yang berlawanan, terjebak dalam persaingan yang ternyata lebih dari sekadar angka dan nilai ujian. Siapa yang bakal menang? Atau… ada hal lain yang lebih penting dari sekadar menang?
Orang Bodoh vs Orang Pintar
Langit dan Bumi di Zenith High
Di Zenith High, sekolah yang terkenal dengan murid-muridnya yang luar biasa, ada dua nama yang selalu jadi bahan omongan: Razka dan Ezra.
Razka, si penghibur kelas, terkenal dengan nilai akademik yang lebih cocok buat ditulis di papan peringatan daripada rapor. Sementara Ezra, si jenius, adalah simbol kesempurnaan akademik. Semua nilai nyaris sempurna, catatan rapi, dan punya prinsip hidup yang ketat: logika di atas segalanya.
Buat kebanyakan orang, keduanya adalah dua sisi koin yang gak bakal pernah ketemu.
Dan entah kenapa, mereka berdua selalu ribut.
“Razka, bisa diem gak sih?” Ezra menatapnya tajam dari balik bukunya yang setebal batu bata.
Razka yang lagi duduk santai di meja belakang malah nyengir. “Kenapa? Gue ganggu kamu, Ez?”
“Kamu gak ganggu aku. Kamu ganggu logika aku.”
Razka ngakak. “Wah, logika juga bisa keganggu ya? Kasihan amat, Ez. Ntar aku beliin minyak angin, kali aja bisa sembuh.”
Sementara itu, siswa lain cuma bisa geleng-geleng. Mereka udah biasa lihat Razka dan Ezra cekcok. Gak pernah ada hari damai antara dua orang ini.
“Coba deh sekali-kali serius belajar,” Ezra menutup bukunya dengan suara ‘thud’ pelan. “Aku gak ngerti kenapa kamu bisa bertahan di sekolah ini.”
Razka mengangkat bahu santai. “Karena sekolah ini gak cuma milik orang pintar. Ada aku di sini buat menyeimbangkan ekosistem.”
Ezra menghela napas panjang. “Kamu gak punya ambisi ya?”
“Punya dong.” Razka tiba-tiba duduk tegak. “Ambisi aku tuh sederhana: hidup santai, gak stres, dan punya banyak teman. Gak kayak kamu, Ez. Pikirannya cuma tentang angka, angka, dan angka. Kamu gak bosan?”
“Gak,” jawab Ezra cepat. “Karena dunia ini berjalan berdasarkan angka.”
“Yaelah, Ez. Kamu hidup di dunia nyata, bukan di kalkulator.”
Ezra mengernyit. Dia gak paham kenapa Razka bisa sebodoh ini tapi tetap bertahan. Tapi di saat yang sama, dia juga bingung kenapa Razka bisa punya banyak teman, gampang diterima di mana-mana, dan selalu tahu cara menghadapi orang.
Mereka benar-benar langit dan bumi.
Suatu siang di kantin, Razka duduk santai dengan teman-temannya, ngobrol sambil ketawa-ketiwi. Sementara di meja lain, Ezra makan sendirian, sibuk mencatat sesuatu di tablet.
Razka melirik ke arahnya. “Tuh anak gak punya kehidupan sosial banget, ya?”
Dion, sahabat Razka, ikut melirik. “Emang. Tapi ya gitu, dia pinter. Semua orang segan sama dia.”
“Ya pinter doang kalau gak ada yang mau temenan buat apa?” Razka nyengir.
Dion tertawa. “Kamu iri ya?”
“Iri? Enggak lah. Aku cuma heran gimana dia bisa bertahan tanpa ngobrol sama orang lain selain buat bahas pelajaran.”
Di sisi lain kantin, Ezra juga sebenarnya mendengar suara mereka. Tapi dia pura-pura gak peduli.
Dalam hati, dia sering bertanya-tanya juga: kenapa Razka yang bodoh ini justru terlihat lebih bahagia? Kenapa dia yang pintar malah merasa lebih terasing?
Dan yang lebih bikin dia kesal, kenapa Razka selalu bisa menang dalam hal sosial?
Tapi buat Ezra, itu gak penting. Hidup bukan tentang siapa yang paling banyak teman, tapi siapa yang paling unggul dalam akademik.
Dia yakin, dalam hal itu, Razka gak akan pernah bisa mengalahkannya.
Persaingan mereka mungkin belum dimulai secara resmi, tapi dari cara mereka berinteraksi, semua orang tahu bahwa cepat atau lambat, akan ada momen di mana Razka dan Ezra benar-benar bertarung.
Mereka cuma belum sadar kalau waktunya semakin dekat.
Tantangan Tak Terduga
Hari itu, suasana aula utama Zenith High lebih ramai dari biasanya. Kepala sekolah baru saja mengumumkan bahwa “The Ultimate Student Challenge” akan kembali digelar.
Ini bukan kompetisi biasa. Setiap tahunnya, sekolah mengadakan ajang ini untuk mencari siswa terbaik yang gak cuma unggul dalam akademik, tapi juga punya keterampilan berpikir kritis, sosial, dan kreativitas.
Dan semua orang tahu, Ezra pasti bakal ikut.
“Ez pasti menang lagi,” bisik seorang siswa di sudut aula.
“Gak ada lawan buat dia, bro. Gimana pun juga, otaknya tuh bukan buat main-main,” timpal yang lain.
Ezra sendiri gak tertarik dengan omongan orang. Dia hanya menatap layar pendaftar di depan aula, lalu tanpa ragu, menuliskan namanya.
Sementara itu, di sudut lain, Razka sedang menikmati roti sambil mendengarkan pengumuman. Dia gak ambil pusing sampai akhirnya sebuah ide gila muncul di kepalanya.
Dia menoleh ke Dion. “Eh, kalau aku daftar, gimana menurut kamu?”
Dion yang lagi minum hampir keselek. “Ha? Kamu? Ikut lomba itu?”
“Iya.”
“Kamu sadar gak sih kalau lomba itu isinya orang-orang kayak Ezra?”
Razka tertawa santai. “Justru itu. Aku mau tahu, emang bener hidup ini cuma bisa dimenangkan sama orang pinter kayak dia?”
Dion mengusap wajahnya, pasrah. “Kamu serius?”
Razka mengangkat alis. “Serius lah.”
Tanpa banyak pikir, dia berjalan ke meja pendaftaran dan menuliskan namanya.
Beberapa detik kemudian, aula yang tadinya penuh bisikan langsung berubah jadi riuh.
“Gila, Razka daftar?!”
“Dia bercanda, kan?”
“Ini bakal jadi sejarah, bro. Orang paling santai di sekolah lawan orang paling jenius.”
Sementara Ezra yang masih berdiri di dekat meja pendaftaran hanya melirik sebentar.
“Kamu ikut?” suaranya datar, nyaris gak ada emosi.
Razka menyeringai. “Iyalah. Kenapa? Takut aku ngalahin kamu?”
Ezra mendengus. “Bukan takut. Aku cuma gak lihat alasan logis kenapa kamu daftar.”
Razka mengangkat bahu. “Kamu kan suka logika. Nah, coba pikirin deh, kali aja ada logika yang bisa jelasin kenapa aku ikut.”
Ezra diam sebentar. Lalu, tanpa menanggapi lebih jauh, dia berbalik pergi.
Tapi dalam hati, dia mulai bertanya-tanya…
Apa yang sebenarnya dipikirkan Razka?
Beberapa hari kemudian, kompetisi resmi dimulai.
Babak pertama: Tes Pengetahuan Umum.
Setiap peserta duduk di meja masing-masing dengan lembar soal di depan mereka. Ezra dengan cepat mengisi jawabannya dengan kecepatan yang hampir menyeramkan. Setiap pertanyaan tampak seperti sekadar latihan kecil baginya.
Sementara itu, di sudut lain…
Razka menatap soal dengan ekspresi horor.
“Ini apaan sih…” dia berbisik sambil menggaruk kepala.
Dion, yang duduk di kursi penonton, cuma bisa menutup muka dengan kedua tangan. “Udah kuduga.”
Beberapa menit berlalu, Ezra sudah menyelesaikan lebih dari separuh soal. Razka? Baru berhasil menjawab dua.
Saat bel berbunyi tanda waktu habis, Ezra menyandarkan punggungnya dengan ekspresi puas. Sementara Razka menatap kertasnya yang hampir kosong dan hanya bisa menghela napas.
Ketika hasil diumumkan, Ezra mendapat skor hampir sempurna. Sementara Razka… lebih baik gak disebutkan.
“Gak nyangka ya, aku kalah,” kata Razka saat mereka keluar dari aula.
Ezra meliriknya dengan ekspresi setengah bingung. “Kamu sendiri yang bilang mau ikut. Sekarang kamu menyesal?”
Razka mengangkat bahu. “Enggak sih. Ini baru pemanasan, bro. Babak berikutnya masih panjang.”
Ezra hanya menghela napas. Buatnya, kompetisi ini sudah selesai. Tidak ada cara bagi Razka untuk menang.
Tapi yang Ezra gak sadari, babak berikutnya bukan cuma soal akademik.
Dan itulah tempat di mana Razka mulai menunjukkan keunggulannya.
Pertarungan di Meja dan Lapangan
Setelah babak pertama yang bisa dibilang… tragis buat Razka, suasana kompetisi mulai berubah. Semua orang mengira ini bakal jadi kemenangan gampang buat Ezra, tapi kompetisi ini bukan cuma soal nilai akademik.
Babak kedua: Debat Terbuka.
Peserta dibagi menjadi dua kelompok dan diminta beradu argumen tentang topik yang dipilih secara acak. Ezra mendapat giliran pertama.
Dengan nada tenang dan penuh keyakinan, dia menyampaikan argumen yang dipenuhi data statistik, teori, dan fakta ilmiah yang sulit dibantah. Lawannya bahkan sampai terdiam, sibuk mencari cara buat membalas.
Penonton berbisik-bisik.
“Udah jelas sih, Ezra menang.”
“Tunggu, Razka belum maju.”
Dan benar saja. Begitu nama Razka dipanggil, suasana langsung berubah.
Alih-alih langsung bicara serius, dia melangkah santai ke podium, tersenyum lebar, lalu menyandarkan satu tangan di podium seolah lagi ngobrol biasa.
“Aku ngerti, Ezra tadi ngomong panjang lebar pakai data, angka, dan segala macam istilah akademik yang mungkin gak semua dari kita paham. Jadi sekarang aku bakal jelasin dengan cara yang lebih sederhana.”
Orang-orang mulai tertarik.
“Pernah gak sih kalian denger orang yang ngomong terlalu rumit sampai akhirnya kita malah pusing sendiri?” Razka menoleh ke audiens. Beberapa siswa mengangguk. “Nah, menurut aku, komunikasi itu bukan soal siapa yang punya data paling banyak. Tapi soal siapa yang bisa bikin orang lain ngerti.”
Beberapa juri saling pandang. Ezra yang duduk di kursinya menatap Razka tanpa ekspresi.
“Jadi,” lanjut Razka, “aku setuju sama beberapa poin yang Ezra sampaikan. Tapi masalahnya, kalau kita terlalu fokus pada angka dan lupa sama cara menyampaikan, kita gak bakal bisa bikin perubahan yang nyata.”
Dan begitulah, Razka mengubah atmosfer debat dari ajang pamer intelektual jadi sesuatu yang lebih ringan, lebih bisa dicerna semua orang.
Ketika hasil diumumkan, juri memutuskan… seri.
Ezra masih unggul dalam ketajaman analisisnya, tapi Razka menang dalam penyampaian dan dampak emosional.
Dan untuk pertama kalinya, Ezra merasa ada sesuatu yang sedikit mengganggunya.
Babak ketiga: Proyek Sosial.
Setiap peserta diberi waktu satu minggu buat merancang dan menjalankan proyek yang bisa membawa dampak nyata bagi lingkungan sekitar.
Ezra, seperti biasa, memilih pendekatan akademik. Dia mengembangkan sistem perpustakaan digital yang bisa diakses semua murid dengan algoritma pencarian canggih. Proyeknya luar biasa dari segi inovasi, tapi… hampir gak ada siswa yang benar-benar antusias membantunya.
Sementara itu, Razka?
Dia melakukan sesuatu yang jauh lebih sederhana: membantu para pedagang kecil di sekitar sekolah dengan strategi promosi yang kreatif.
Dia gak kerja sendirian. Dengan kemampuan sosialnya, dia berhasil ngajak puluhan siswa buat terlibat. Ada yang bikin poster, ada yang bantu bikin video promosi, ada yang sekadar datang buat belanja. Dalam seminggu, warung-warung kecil di sekitar sekolah jadi lebih ramai.
Dan yang mengejutkan, proyek Razka mendapat perhatian dari media lokal.
Ketika presentasi proyek tiba, Ezra menjelaskan sistemnya dengan gamblang. Presentasinya sempurna, logis, dan inovatif.
Tapi pas giliran Razka maju, dia melakukan sesuatu yang gak disangka-sangka.
Alih-alih menampilkan slide atau grafik, dia langsung membawa dua pedagang kecil ke panggung.
“Ini Pak Udin dan Bu Sri,” kata Razka sambil menepuk bahu keduanya. “Dulu, dagangan mereka sepi. Sekarang, dengan sedikit kreativitas dan dukungan dari teman-teman, pelanggan mereka naik hampir dua kali lipat.”
Suasana aula berubah. Presentasi Razka terasa lebih hidup.
Dan ketika juri mengumumkan hasilnya…
Razka menang di babak ini.
Ezra tetap terlihat tenang, tapi dalam hati dia mulai mempertanyakan sesuatu.
Sejak kapan kompetisi ini jadi lebih dari sekadar angka dan teori? Sejak kapan seseorang seperti Razka bisa membuatnya merasa… tertinggal?
Kompetisi ini masih belum berakhir, tapi satu hal mulai jelas:
Razka bukan sekadar lawan yang bisa diremehkan.
Kemenangan yang Berbeda
Kompetisi mencapai babak terakhir. Semua orang menunggu dengan tegang, terutama setelah kejutan yang Razka ciptakan di babak sebelumnya.
Babak keempat: Tantangan Kolaborasi.
Ini bukan lagi soal siapa yang paling pintar atau paling kreatif. Tantangan kali ini mengharuskan peserta bekerja sama dengan rivalnya untuk menyelesaikan satu tugas besar: merancang solusi nyata bagi sekolah yang bisa diterapkan dalam waktu singkat.
Dan, seperti yang sudah diduga… Ezra dipasangkan dengan Razka.
Di ruang kerja yang disediakan panitia, Ezra duduk dengan laptopnya, mengetik sesuatu dengan kecepatan tinggi. Di seberangnya, Razka malah sibuk memutar-mutar bolpennya sambil menatap Ezra dengan ekspresi bosan.
“Aku serius, kita gak bisa terus kayak gini,” kata Razka akhirnya.
Ezra gak mengangkat kepala. “Maksud kamu?”
“Maksud aku,” Razka bersandar di kursi, “kamu kerja sendiri, aku diem aja. Itu bukan kolaborasi.”
Ezra berhenti mengetik. “Kalau kamu gak bisa kasih ide yang masuk akal, lebih baik jangan ikut campur.”
Razka mencibir. “Tuh kan, selalu gitu. Kamu mikir semuanya harus masuk akal. Hidup gak selalu soal logika, Ez.”
Ezra menghela napas, jelas gak tertarik buat berdebat. Tapi Razka belum selesai.
“Kita punya waktu terbatas. Kamu mau bikin proyek apa kali ini? Aplikasi baru? Sistem pembelajaran berbasis AI?”
Ezra meliriknya sekilas. “Rencana awal, aku mau bikin sistem manajemen sampah digital yang bisa dipakai di lingkungan sekolah.”
Razka terdiam sebentar, lalu mengangguk. “Bagus. Tapi ribet.”
Ezra mengernyit. “Ribet?”
“Iya. Gak semua orang ngerti cara pakai sistem digital kayak gitu. Kenapa gak kita bikin sesuatu yang lebih simpel?”
Ezra menatap Razka lama, lalu akhirnya bertanya, “Kayak apa?”
Razka tersenyum lebar. “Dengerin baik-baik, jenius.”
Hari pengumuman tiba.
Setelah diskusi panjang yang lebih banyak diwarnai perdebatan, Ezra dan Razka akhirnya berhasil menyusun proyek yang… anehnya, menggabungkan kelebihan mereka berdua.
Sistem Ezra tetap dipakai, tapi dengan tambahan ide dari Razka—melibatkan para siswa dengan sistem ‘game’ sederhana, di mana setiap sampah yang mereka buang dengan benar akan mendapat poin yang bisa ditukar dengan diskon di kantin atau toko buku sekolah.
“Jadi,” Razka menjelaskan di panggung, “bukan cuma soal digitalisasi, tapi juga soal motivasi. Kita gak bisa berharap semua orang peduli dengan sistem canggih kalau mereka gak punya alasan buat pakai itu. Nah, di sini, kita kasih insentif. Orang-orang lebih semangat kalau ada sesuatu yang bisa mereka dapatkan.”
Ide mereka mendapat sambutan luar biasa.
Dan akhirnya, setelah semua nilai dikalkulasi…
Ezra resmi menjadi pemenang utama The Ultimate Student Challenge.
Sementara Razka… tetap kalah dalam hitungan angka.
Tapi anehnya, kali ini dia gak peduli.
Saat semua orang mulai bubar setelah upacara penghargaan, Ezra menghampiri Razka yang lagi duduk santai di halaman sekolah, menikmati angin sore.
“Kamu gak kecewa?” tanya Ezra, duduk di sebelahnya.
Razka tertawa kecil. “Ez, dari awal aku gak ikut buat menang.”
Ezra diam sebentar sebelum bertanya, “Lalu buat apa?”
Razka menatapnya sebentar, lalu mengedikkan bahu. “Buat buktiin kalau hidup itu bukan cuma soal akademik. Kamu jenius, tapi kamu juga lihat sendiri kan, gak semua masalah bisa diselesaikan pakai angka?”
Ezra terdiam. Dia gak bisa membantah itu.
“Dan lihat sekarang,” lanjut Razka, menoleh ke Ezra dengan senyum jahil, “aku mungkin gak menang di atas kertas, tapi aku berhasil bikin kamu kerja sama sama aku. Itu udah cukup buat aku.”
Ezra menatap Razka lama, lalu akhirnya menghela napas pelan. “Kamu menyebalkan.”
Razka tertawa. “Dan kamu terlalu serius.”
Mereka berdua sama-sama tahu bahwa mereka tetaplah langit dan bumi.
Tapi untuk pertama kalinya… mereka merasa bisa berdiri di tempat yang sama.
Menjadi pintar bukan cuma soal akademik, dan menjadi bodoh bukan berarti gak punya keunggulan. Ezra punya otak, Razka punya cara. Dua-duanya unik, dua-duanya hebat. Jadi, di dunia yang penuh persaingan ini, siapa yang sebenarnya menang? Jawabannya: tergantung dari sudut mana kamu melihatnya.


