Daftar Isi
Giimana rasanya kalau bos yang galak, dingin, dan sok cool tiba-tiba jadi suami? Apalagi pas di kantor, dia tetep jaim, tapi di rumah manjanya keterlaluan!
Satu detik dia galak, detik berikutnya udah merengek minta dipeluk. Nah, cerpen ini bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri sama tingkah suami bos yang kontras banget! Siap-siap baper, ketawa, sekaligus geregetan!
Nikah Sama Bos Cuek
Lamaran Tanpa Romansa
Alesha masih mengingat dengan jelas bagaimana hidupnya berubah dalam satu malam. Seharusnya itu hanya pesta perusahaan biasa—makan malam mewah, pidato membosankan dari atasan, lalu pulang dan melanjutkan kehidupan seperti biasa. Tapi tidak, hidupnya justru jungkir balik setelah kejadian itu.
Semuanya berawal ketika ia berdiri di dekat meja prasmanan, berusaha mengambil dessert favoritnya. Namun, seseorang menabraknya dari samping. Piring di tangannya oleng, dan dalam sekejap, kue cokelat di piring itu meluncur ke udara sebelum akhirnya mendarat mulus di dada seorang pria berjas hitam elegan.
Suasana langsung hening.
Semua orang di ruangan menoleh ke arah pria itu—bos besar mereka, Leonhart Aldebaran.
Orang-orang mungkin mengira dunia akan kiamat lebih dulu sebelum melihat ekspresi syok di wajah bos mereka.
Alesha membeku. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
“B-bapak Leon, saya—”
Leon menatapnya tanpa ekspresi, lalu melirik noda cokelat di jasnya. Mata pria itu kembali naik, menatap Alesha yang terlihat lebih panik daripada seseorang yang baru saja kehilangan pekerjaan.
“Biar aku tebak,” suara Leon terdengar rendah. “Kamu nggak sengaja?”
Alesha mengangguk cepat. “Sumpah demi apa pun! Aku cuma mau ambil dessert, tapi ada yang nyenggol aku!”
Leon mendesah, melepas jasnya, dan menyerahkannya kepada asistennya tanpa berkata apa pun. Lalu, dengan suara santai—terlalu santai untuk situasi ini—dia berkata, “Kamu berutang sesuatu.”
Alesha menelan ludah. “Aku bisa bayar jasnya! Atau, kalau perlu, aku kerja lembur sebulan tanpa gaji?”
Leon diam. Wajahnya masih tanpa ekspresi seperti biasa.
Lalu, dengan nada yang bahkan tidak sedikit pun menunjukkan emosi, ia berkata, “Nikah aja. Biar sekalian.”
Suasana menjadi lebih sunyi dari kuburan.
Beberapa orang yang berdiri cukup dekat sampai terbatuk karena tersedak minuman. Yang lain menatap Leon seolah pria itu baru saja melontarkan lelucon paling kering abad ini.
Tapi Alesha tahu satu hal—bosnya itu tidak pernah bercanda.
Matanya membulat, mulutnya sedikit terbuka, tapi otaknya masih sibuk mencerna apakah ia barusan salah dengar atau tidak.
“Nikah?” ulang Alesha dengan suara yang nyaris tidak keluar.
Leon menatapnya datar. “Iya.”
“Kamu serius?”
“Kamu lihat aku ketawa?”
Tentu saja tidak. Bosnya itu lebih ekspresif saat menatap laporan keuangan daripada saat berbicara dengan manusia.
Alesha mulai tertawa kecil, meski jelas-jelas tidak ada yang lucu. “Oke, oke. Aku ngerti. Ini balas dendam, kan? Kamu mau bikin aku panik biar aku kapok? Oke, aku kapok! Jadi, kalau gitu—”
“Aku serius, Alesha,” potong Leon sebelum Alesha bisa menyelesaikan kalimatnya. “Nikah sama aku.”
Alesha hampir tersedak napasnya sendiri. “Kamu nggak salah ngomong?”
Leon menatapnya dengan sorot mata yang tajam namun tetap tenang. “Aku butuh istri. Kamu butuh cara keluar dari masalah ini tanpa kehilangan pekerjaan. Win-win solution.”
Alesha menatap Leon dengan ekspresi setengah bingung, setengah frustasi. “Kamu ngajak nikah seseorang cuma karena alasan sesederhana itu?”
“Kenapa harus dipersulit?”
Alesha ingin menjitak kepalanya sendiri. Ini bukan sekadar memutuskan mau makan apa untuk makan siang! Ini pernikahan!
“Kamu nggak mau pikir-pikir dulu?” Alesha masih berusaha mencari celah untuk keluar dari situasi gila ini.
“Tidak perlu,” jawab Leon enteng. “Aku sudah pikirkan.”
“Sejak kapan?”
“Sejak kamu numpahin kue cokelat ke jasku.”
“… Serius?”
Leon hanya mengangguk.
Alesha ingin menjerit. Ini sudah di luar nalar. Pernikahan seharusnya melibatkan cinta, romansa, atau setidaknya proses pendekatan dulu. Tapi ini? Ini lebih mirip transaksi bisnis.
Dan anehnya, saat menatap mata Leon, Alesha tahu pria itu tidak sedang main-main.
“Nikah sama aku,” ulang Leon, kali ini suaranya lebih rendah, lebih meyakinkan. “Aku nggak akan buat kamu susah. Kamu tinggal di rumahku, jalani hidupmu seperti biasa, dan aku akan tetap jadi bosmu di kantor. Simple, kan?”
Simple? Dimana letak simplenya?!
Tapi anehnya, semakin ia berusaha mencari alasan untuk menolak, semakin sulit baginya untuk berkata tidak.
Alesha menarik napas panjang, lalu menutup mata sejenak sebelum membukanya lagi.
“Baiklah,” katanya akhirnya, masih dengan sedikit ragu. “Tapi kalau dalam waktu tiga bulan aku nggak betah, aku bisa pergi, kan?”
Leon terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. “Silakan.”
Alesha menghembuskan napas. “Oke. Kalau gitu…”
Ia menatap pria di hadapannya. Pria yang akan menjadi suaminya.
Leonhart Aldebaran.
Bos dingin yang baru saja melamarnya tanpa satu pun kata cinta.
Dan hidup Alesha tidak akan pernah sama lagi.
Suamiku Es Batu
Tiga hari setelah pernikahan mereka, Alesha masih merasa seperti sedang menjalani eksperimen sosial paling aneh yang pernah ada.
Pernikahan itu terjadi dengan cepat, tanpa resepsi megah, tanpa dekorasi berlebihan, bahkan tanpa momen sakral yang bisa ia kenang seumur hidup. Hanya tanda tangan di selembar kertas, beberapa saksi dari pihak keluarga, dan selesai. Sekarang, dia resmi menjadi Nyonya Aldebaran.
Namun, tidak ada yang berubah secara signifikan.
Leon tetap datang ke kantor seperti biasa, tetap dingin, tetap minim bicara, tetap membuat orang-orang di sekelilingnya takut untuk bernapas terlalu keras. Bahkan, sejak mereka menikah, pria itu nyaris tidak berbicara dengannya.
Alesha mulai berpikir, mungkin saja ia hanya berhalusinasi tentang semua ini. Mungkin, ia sebenarnya tidak menikah dan hanya mengalami mimpi aneh yang terlalu realistis.
Tapi setiap kali pulang ke rumah—ke rumah Leon, lebih tepatnya—realita menamparnya keras.
Seperti malam ini, misalnya.
Alesha masuk ke rumah setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Leon, seperti biasa, sudah tiba lebih dulu. Pria itu sedang duduk di sofa, membaca sesuatu di ponselnya. Wajahnya tetap datar, ekspresinya tetap minim, auranya tetap dingin seperti freezer berjalan.
“Eh, kamu udah makan?” tanya Alesha hati-hati, masih canggung karena belum terbiasa berbicara dengannya di luar lingkungan kerja.
Leon hanya mengangkat bahu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
Alesha mendesah. Sudah tiga hari mereka menikah, tapi percakapan mereka masih sekaku ini?
Merasa frustrasi, Alesha berjalan ke dapur, membuka kulkas, dan mulai menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri. Tapi sebelum ia bisa menuang nasi ke piring, suara rendah terdengar dari belakangnya.
“Aku mau juga.”
Alesha hampir menjatuhkan sendok di tangannya. Ia berbalik dan menatap Leon yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya, menatap piring kosong di meja.
“Kamu lapar?” tanyanya agak kaget.
Leon tidak menjawab, hanya menarik kursi dan duduk di meja makan, menatap Alesha dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Alesha menghela napas, lalu mengambil satu piring lagi dan mulai menyiapkan makanan untuknya. Sambil menuang lauk, ia berbicara, “Aku kira kamu tipe yang lebih suka makan sendiri atau pesan makanan mewah.”
Leon mengangkat bahu. “Makanan rumah lebih enak.”
Alesha meliriknya sebentar sebelum kembali fokus ke makanannya. Setidaknya, ini interaksi terpanjang mereka sejak menikah.
Setelah beberapa menit hening, Leon tiba-tiba berkata, “Tinggal di sini nyaman?”
Alesha berhenti sejenak sebelum menjawab, “Ya… cukup.”
“Kalau ada yang kurang, bilang aja.”
Alesha menatapnya curiga. Kenapa mendadak perhatian begini?
Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, Leon sudah selesai makan dan bangkit dari kursinya. Tanpa berkata apa pun, ia berjalan keluar dari dapur dan menuju kamarnya.
Alesha mendesah. Ini benar-benar seperti menikah dengan robot.
Namun, saat malam semakin larut dan Alesha hendak tidur, sesuatu yang aneh terjadi.
Saat ia berjalan melewati kamar Leon, ia mendengar suara… gumaman?
Alesha mengerutkan kening. Penasaran, ia mendekat dan mendengar suara Leon yang terdengar berbeda dari biasanya. Suaranya rendah, lembut, dan… manja?
“Mmhh… kok nggak ada yang narik selimut…”
Alesha membeku. Apa barusan?
Ia menempelkan telinganya ke pintu. Suara Leon kembali terdengar.
“Ugh, dingin… malas bangun…”
Alesha melongo. Ini bosnya? Yang selalu dingin dan ketus di kantor? Yang setiap berbicara seolah sedang menatap manusia sebagai makhluk yang lebih rendah?
Seolah tidak percaya, Alesha mencoba mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka.
Dan di sanalah ia melihatnya.
Leon, yang selalu tampak kuat dan tidak tersentuh di kantor, sekarang sedang menggulung dirinya di dalam selimut, wajahnya mengerut seperti anak kecil yang kedinginan, bibirnya sedikit manyun.
Alesha hampir tersedak udara.
Jadi, ini rahasianya? Bosnya yang super cuek di luar, ternyata manja bukan main kalau sudah di rumah?!
Alesha buru-buru menutup mulutnya untuk menahan tawa. Tiba-tiba, tiga bulan pernikahan percobaan ini tidak terasa terlalu buruk lagi.
Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik, kembali ke kamarnya.
Satu hal yang pasti—hidup bersama Leonhart Aldebaran akan jauh lebih menarik daripada yang ia bayangkan.
Rahasia Leon
Sudah seminggu sejak Alesha menemukan fakta mengejutkan tentang suaminya—si bos dingin yang ternyata manja bukan main kalau di rumah.
Tentu saja, ia tidak berani mengungkapkan temuannya itu secara langsung. Kalau Leon tahu dia melihatnya bergulung seperti ulat kepompong sambil mengeluh dingin, bisa-bisa dia diusir dari rumah ini.
Tapi ada satu hal yang mulai Alesha sadari.
Sejak malam itu, hubungan mereka sedikit… berubah.
Leon masih cuek di kantor. Tidak ada perubahan dalam sikapnya di hadapan karyawan lain. Tetap dingin. Tetap tak banyak bicara. Tetap seperti es batu berjalan yang membuat siapa pun enggan mendekat.
Namun, di rumah?
Alesha mulai melihat retakan dalam topeng esnya.
Contohnya, pagi ini.
Alesha bangun sedikit lebih siang dari biasanya karena tadi malam ia begadang menyelesaikan laporan. Saat keluar dari kamar, ia kaget bukan main melihat Leon duduk di sofa ruang tengah, mengenakan hoodie kebesaran dan celana pendek, dengan wajah ditekuk seperti anak kecil yang baru saja ditinggal ibunya pergi kerja.
“Kenapa mukamu kusut gitu?” tanya Alesha sambil menguap, berjalan menuju dapur untuk membuat kopi.
Leon mendongak sebentar, lalu kembali menatap layar ponselnya.
“Kamu bangun siang,” jawabnya pendek.
Alesha mengerjap. “Terus?”
Leon diam sebentar sebelum bergumam pelan, “Nggak ada yang bikin sarapan.”
Alesha hampir menumpahkan bubuk kopi.
Oke, tunggu dulu. Jadi, ini maksudnya Leon… nungguin dia buat bikin sarapan?
Alesha memiringkan kepalanya, lalu pura-pura sibuk menuang kopi ke cangkir. “Terus kenapa nggak bikin sendiri? Atau tinggal pesan makanan?”
Lagi-lagi, Leon diam. Lalu dengan suara rendah, ia bergumam, “Mau makan yang buatan kamu.”
JEDA.
Alesha menatap Leon dengan ekspresi tak percaya.
Baru seminggu menikah, dan Leon sudah begini? Bos yang selalu dingin dan tak kenal ampun di kantor, sekarang duduk di sofa, merajuk seperti anak kecil hanya karena dia bangun siang?
Gila. Ini harus dicatat dalam sejarah.
Menahan senyum geli, Alesha akhirnya membuatkan sarapan untuk mereka berdua. Ia bisa merasakan tatapan Leon yang terus mengikutinya dari belakang, seolah memastikan dia benar-benar memasak untuknya.
Saat sarapan sudah tersaji di meja, Leon makan dalam diam. Tapi Alesha bisa melihat dengan jelas bahwa pria itu lebih ceria dari biasanya.
Setelah selesai makan, Alesha tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Leon, kenapa kamu bisa sedingin itu di luar, tapi di rumah malah begini?”
Leon meletakkan sendoknya, mengangkat alis. “Begini gimana?”
“Ya, maksudku… di kantor kamu kayak robot. Dingin, nggak peduli, ngomong seperlunya. Tapi di rumah, kamu…” Alesha menunjuk ke arahnya. “Kamu kayak kucing manja yang minta dielus.”
Leon terdiam beberapa detik.
Lalu, dengan ekspresi datar, ia menjawab, “Karena di kantor aku bos. Di rumah aku suami.”
Alesha melongo.
Leon melanjutkan dengan nada santai, “Aku nggak bisa jadi orang yang sama di dua tempat berbeda. Kalau aku manja di kantor, nggak akan ada yang nurut sama aku.”
Alesha memutar bola matanya. “Jadi, di rumah, aku harus nurut sama kamu?”
Leon menatapnya, lalu tiba-tiba mengulurkan tangannya. “Kalau bisa, dielus juga.”
Alesha hampir tersedak air putih. “Hah?!”
Leon menatapnya serius. “Kepalaku. Pusing.”
Alesha ingin melempar sesuatu ke kepalanya.
Namun, melihat ekspresi Leon yang benar-benar santai dan menikmati reaksinya, Alesha akhirnya menghela napas panjang. Ia mengulurkan tangannya dan mengacak rambut Leon, membuat pria itu menyipitkan mata seperti kucing yang baru saja dimanja.
Oke. Ini resmi menjadi pernikahan paling absurd yang pernah ada.
Tapi Alesha juga sadar satu hal.
Hidup bersama Leon mungkin tidak akan membosankan sama sekali.
Jangan Jatuh Cinta
Pernikahan mereka semakin lama semakin absurd.
Sudah tiga minggu sejak mereka menikah, dan Alesha merasa seperti menjalani dua kehidupan yang benar-benar berbeda.
Di kantor, Leon masih seperti biasa—dingin, tegas, dan tak kenal ampun. Setiap kali mereka berinteraksi di tempat kerja, seolah-olah mereka bukan suami istri. Hubungan mereka tetap formal, profesional, dan tidak ada sedikit pun celah bagi siapa pun untuk curiga.
Tapi begitu pulang ke rumah?
Leon berubah total.
Pulang kerja selalu mengeluh capek dan minta dipijitin. Merengek kalau makanannya nggak ada. Pernah sekali, Alesha pulang lebih larut dari biasanya karena harus menyelesaikan laporan. Begitu sampai di rumah, Leon sudah duduk di sofa dengan ekspresi masam, menyandarkan kepala ke bantal sambil melipat tangan di dada.
“Kamu dari mana?” tanyanya datar.
Alesha melepas sepatunya dengan malas. “Dari kantor, lah. Emangnya aku keluyuran?”
Leon mendengus. “Kenapa nggak bilang kalau pulang telat?”
Alesha menoleh, menatapnya aneh. “Aku bukan anak kecil yang harus lapor tiap mau pulang telat.”
Leon mengerutkan kening. “Aku suami kamu.”
Alesha mengangkat alis. “Jadi?”
Leon tidak menjawab. Tapi ekspresi wajahnya jelas-jelas mengatakan kalau dia kesal.
Astaga. Ini beneran bos dingin yang selalu bersikap profesional di kantor? Kenapa sekarang mirip anak anjing yang lagi ngambek?
Alesha menahan tawa. Ia akhirnya berjalan mendekat dan duduk di sebelah Leon. “Kenapa? Kamu kangen?” godanya.
Leon tidak langsung menjawab.
Tapi setelah beberapa detik, ia bergumam pelan, “Iya.”
Alesha terdiam.
Oke. Dia tidak menyangka Leon akan menjawab dengan jujur seperti itu.
Setelahnya, suasana berubah.
Hari demi hari berlalu, dan Alesha mulai menyadari sesuatu yang perlahan mengganggunya.
Ia mulai terbiasa dengan kehadiran Leon.
Bahkan, lebih dari itu.
Ia mulai menyukai kebiasaan-kebiasaan kecil Leon.
Seperti caranya yang selalu duduk di meja makan sambil menunggu sarapan, padahal dia bisa saja membuat sendiri. Atau caranya menarik tangan Alesha diam-diam saat mereka berjalan bersebelahan.
Atau cara Leon selalu memastikan Alesha tidur lebih dulu sebelum dia mematikan lampu kamar.
Perasaan itu terus berkembang tanpa bisa dihentikan.
Sampai suatu malam, saat mereka berdua duduk di balkon setelah makan malam, Alesha akhirnya memberanikan diri bertanya, “Leon, kenapa kamu mau nikah sama aku?”
Leon menatapnya sebentar sebelum kembali menyeruput tehnya.
“Apa kamu mencintaiku?” lanjut Alesha.
Leon tidak langsung menjawab. Matanya menatap langit, lalu kembali ke wajah Alesha.
“Aku tidak percaya cinta,” katanya akhirnya.
Alesha terdiam.
“Aku hanya percaya pada hubungan yang didasarkan pada komitmen dan tanggung jawab,” lanjut Leon. “Aku nggak menikah karena cinta. Aku menikah karena aku butuh seseorang yang bisa jadi istriku.”
Hening.
Alesha merasakan dadanya sesak, tapi ia tidak menunjukkan ekspresinya. Ia hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
Ia harusnya tahu.
Dari awal, ini bukan pernikahan karena cinta.
Tapi kenapa sekarang hatinya sakit?
Malam itu, saat Alesha berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka, ia berjanji pada dirinya sendiri.
Jangan jatuh cinta.
Jangan pernah jatuh cinta pada Leon.
Karena kalau sampai itu terjadi, hanya dia yang akan terluka.
Tapi yang tidak ia sadari adalah—di sisi lain tempat tidur, Leon diam-diam menatapnya dalam kegelapan.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Leon merasa takut.
Takut kalau ia mulai percaya pada sesuatu yang selama ini ia hindari.
Takut kalau ia mulai jatuh cinta.
Jadi, gimana menurut kamu? Bayangin aja, setiap hari harus menghadapi suami yang di kantor kayak es batu, tapi di rumah malah jadi cowok posesif manja yang nggak bisa jauh-jauh. Siapa, nih, yang bakal kuat ngejalanin hubungan absurd kayak gini?
Cerita ini berakhir, tapi sensasi nikah sama bos cuek masih nempel di kepala, kan? Hehehe. Jangan lupa komen, ya, kalau kamu juga pengen punya suami model begini!


