Negara Kaya, Rakyat Melarat: Revolusi di Kota Emas

Posted on

Oke, bayangin ini: ada sebuah negara super kaya, emasnya berlimpah, teknologinya gila-gilaan, tapi rakyatnya? Kelaparan, hidup di bawah tanah, cuma bisa ngelihat kemewahan dari jauh. Kesenjangan kelas? Parah banget.

Tapi ya, semua kesabaran ada batasnya. Dan malam ini, kota emas itu bakal berguncang. Pemberontakan udah dimulai. Gak ada jalan mundur. Mereka bakal kasih tahu dunia siapa yang sebenarnya berhak atas negeri ini!

 

Revolusi di Kota Emas

Kota Emas, Perut yang Kosong

Langit Auroria berpendar keemasan saat senja jatuh perlahan. Jalanan utama bersih tanpa noda, ubinnya berkilauan seperti permata. Di sepanjang boulevard, kendaraan melayang dengan tenang, melintasi pusat perbelanjaan mewah dengan etalase penuh perhiasan dan pakaian yang harganya setara dengan rumah di distrik miskin. Di sisi lain kota, Distrik Terbawah seperti dunia yang berbeda—gelap, pengap, dan berbau sampah yang membusuk.

Di lorong sempit yang dipenuhi anak-anak bertelanjang kaki, dua pria duduk di depan warung tua yang hampir roboh. Mereka adalah Harvin dan Odo, dua buruh pabrik yang telah bekerja lebih dari separuh hidupnya, tapi tetap tidur di lantai tanah dengan atap bocor. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, perut mereka hanya diisi dengan roti keras yang sudah berjamur di sudut meja.

“Aku bosan makan ini terus,” gerutu Odo, melemparkan sepotong roti ke lantai. “Sementara itu, di pusat kota, mereka makan daging yang bahkan anjing pun nggak bisa bayangin rasanya.”

Harvin menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke dinding bata yang catnya sudah mengelupas. “Kamu kira aku nggak bosan? Tapi kalau bukan ini, kita makan apa?”

Dari kejauhan, suara langkah kaki terdengar. Seorang gadis kecil, tubuhnya kurus seperti ranting, berlari sambil membawa sekarung roti basi yang diambilnya dari belakang restoran milik kaum elit. Wajahnya penuh debu, tapi matanya bersinar penuh kemenangan.

“Aku dapet banyak hari ini!” serunya, meletakkan karungnya di hadapan Harvin dan Odo.

Harvin tersenyum miris. “Bagus, Kiara. Setidaknya kita bisa makan sedikit lebih enak malam ini.”

Tapi sebelum mereka bisa menyentuh roti-rotinya, suara keras membelah udara.

Seorang pria ambruk ke tanah di ujung jalan, darah mengalir dari kepalanya. Dari balik bayangan, pasukan keamanan Auroria muncul dengan senapan di tangan, wajah mereka tanpa ekspresi, seolah baru saja menembak seekor tikus, bukan manusia.

“Sampah seperti kalian seharusnya nggak ada di sini,” ujar salah satu prajurit dengan suara dingin.

Kiara menahan napas. Harvin segera menariknya ke belakang, sementara Odo mengepalkan tangan, wajahnya merah padam.

“Berapa banyak lagi yang mau kalian bunuh?” desis Odo.

Salah satu prajurit menoleh dengan santai, seolah mereka hanya berbicara dengan bayangan. “Kami hanya menjalankan tugas. Distrik Terbawah semakin kotor karena kalian terus berkembang biak tanpa bisa ngasih makan diri sendiri.”

Harvin menahan Odo sebelum dia melompat menerjang prajurit itu. “Jangan cari mati,” bisiknya pelan.

Para prajurit tertawa, lalu melangkah pergi seolah tak ada yang terjadi. Mayat di ujung jalan dibiarkan begitu saja. Kiara memejamkan mata, menahan isak tangisnya.

Di atap salah satu bangunan reyot, seorang pria berdiri diam, menyaksikan semuanya dalam bayangan. Topeng hitam dengan simbol rantai yang terputus menutupi wajahnya. Malam ini, dia hanya mengamati. Tapi waktu akan tiba saat dia turun dari tempatnya, dan Auroria akan tahu bahwa mereka telah membangunkan badai.

Malam semakin pekat, tapi di Distrik Terbawah, kemarahan baru saja menyala.

 

Suara dari Lorong Gelap

Di tengah malam yang pekat, Distrik Terbawah masih terjaga. Orang-orang berkumpul dalam diam di gang-gang sempit, membicarakan kejadian tadi. Mayat yang ditinggalkan begitu saja di jalanan telah dibawa pergi oleh keluarga yang menangisi kepergiannya, tapi bekas darahnya masih ada di sana—seperti pengingat kejam bahwa nyawa mereka tidak lebih berharga dari debu di sepatu para penguasa.

Di salah satu sudut lorong yang nyaris tak tersentuh cahaya lampu jalan, sekelompok orang duduk mengitari meja kayu yang penuh coretan peta dan kertas-kertas tua. Wajah-wajah mereka penuh luka, beberapa dengan bekas cambuk di punggung, beberapa lainnya kehilangan jari atau tangan karena hukuman kerja paksa. Di tengah mereka, seorang pria bertopeng berdiri, kedua tangannya bersedekap di dada.

“Kita nggak bisa terus begini,” suara kasar Odo memecah kesunyian. “Mereka bunuh kita kayak kita ini bukan manusia. Kita harus balas!”

“Dan kita bakal balas,” suara pria bertopeng itu akhirnya terdengar, tenang tapi mengandung sesuatu yang lebih tajam dari pisau. “Tapi bukan dengan cara bodoh.”

Harvin yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Jadi, apa rencana kita?”

Pria bertopeng melangkah maju, tangannya menyentuh peta yang tergelar di meja. Jari telunjuknya menekan bagian yang menunjukkan pusat kota Auroria, tepat di tempat berdirinya Menara Keadilan—ironis, karena menara itu bukan simbol keadilan bagi mereka yang ada di sini.

“Kita kasih mereka peringatan.”

Kiara, yang duduk di sudut ruangan, menatap pria itu dengan mata penuh tanya. “Maksud kamu… ledakan?”

Senyum samar terlihat di balik topeng. “Bukan sekadar ledakan. Kita bakal buat mereka ketakutan.”

Mereka semua terdiam, mencerna kata-kata itu. Lalu Odo tertawa kecil, suaranya serak dan lelah. “Aku suka rencana ini.”

Malam itu, tangan-tangan yang selama ini hanya digunakan untuk bekerja tanpa bayaran mulai merakit sesuatu yang lain—sesuatu yang bisa membuat para penguasa yang selama ini tidur nyenyak akhirnya terbangun dalam ketakutan.

Sementara itu, di pusat kota Auroria, para petinggi negara duduk di dalam ruangan besar yang dikelilingi kaca-kaca tebal berlapis emas. Di tengah ruangan, seorang pria dengan jas mahal mengetuk meja panjang dengan jarinya, wajahnya dipenuhi ketidaksabaran.

“Rakyat Distrik Terbawah mulai bergerak,” kata salah satu menteri dengan nada khawatir. “Kita harus melakukan sesuatu sebelum keadaan makin kacau.”

Pria berjubah ungu yang duduk di ujung meja, yang tak lain adalah Chancellor Eldric, penguasa tertinggi Auroria, hanya tersenyum kecil. “Kacau?” gumamnya sambil melirik keluar jendela. “Mereka hanya anjing liar yang menggonggong. Begitu kita turunkan lebih banyak pasukan, mereka akan diam.”

“Tapi…” Menteri itu menelan ludah, melihat ke arah seorang pria berjas hitam di sudut ruangan—Komandan Renard, kepala pasukan khusus Auroria yang terkenal kejam. “Ada seseorang di antara mereka. Seseorang yang mereka panggil… ‘Orang Bertopeng’.”

Eldric berhenti mengetuk meja. Senyumnya lenyap.

Renard melipat tangannya, ekspresinya tidak berubah. “Orang Bertopeng hanyalah mitos. Jika dia benar-benar ada, dia akan mati seperti yang lainnya.”

Eldric menghela napas, lalu bangkit dari kursinya. “Kirim lebih banyak prajurit ke Distrik Terbawah. Jika mereka menolak tunduk, buat mereka tunduk.”

Para menteri mengangguk, beberapa di antaranya masih terlihat ragu. Tapi mereka tidak berani membantah keputusan sang Chancellor.

Di luar jendela, Auroria masih bersinar megah. Tapi di sudut kota yang gelap, api pemberontakan sudah mulai menyala. Dan kali ini, mereka tidak akan mundur.

 

Rantai yang Terputus

Dini hari, saat langit masih kelam dan udara dipenuhi aroma besi, lima bayangan bergerak diam-diam di lorong-lorong sempit Distrik Terbawah. Harvin berjalan paling depan, tangannya menggenggam tas kulit yang penuh dengan alat-alat rakitan. Di belakangnya, Odo membawa sebuah tabung kecil berisi cairan yang dapat meledak dalam hitungan detik jika terkena tekanan tertentu. Kiara berjalan di tengah, tubuh mungilnya terselubung mantel lusuh, matanya terus awas memperhatikan sekitar.

Di antara mereka, sosok Orang Bertopeng berjalan dengan tenang, langkahnya seperti tak menyentuh tanah. Mereka menuju pusat kota, bukan untuk mengemis makanan seperti biasanya, tapi untuk sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang akan mengirim pesan ke seluruh negeri bahwa Auroria bukan hanya milik para penguasa.

Ketika mereka mencapai batas antara Distrik Terbawah dan pusat kota, Odo berhenti sejenak, menatap pagar tinggi yang memisahkan dua dunia ini. Besi-besi tebalnya mengilap di bawah lampu-lampu jalanan yang mewah.

“Berapa kali kita cuma bisa berdiri di sini sambil ngebayangin gimana rasanya hidup di dalam sana?” gumamnya.

“Setelah malam ini, mereka yang ada di dalam sana yang bakal ngebayangin gimana rasanya hidup di tempat kita,” jawab Harvin, matanya penuh amarah yang dingin.

Orang Bertopeng mengangkat tangannya, memberi isyarat. Saat itu juga, Kiara melangkah maju. Dari balik mantel lusuhnya, ia mengeluarkan sebuah perangkat kecil berbentuk seperti cakram. Dengan tangan cekatan, ia menempelkannya ke bagian pagar yang paling lemah, lalu mundur beberapa langkah.

“Siap?” tanya Kiara dengan suara setengah berbisik.

Orang Bertopeng mengangguk. “Lakukan.”

Dengan satu sentuhan tombol, perangkat itu bergetar sebentar sebelum—

BOOM!

Pagar besi itu runtuh dalam sekejap, meninggalkan celah cukup besar untuk mereka semua menyelinap masuk. Asap berbaur dengan udara, sementara alarm mulai meraung dari menara pengawas.

“Cepat! Kita nggak punya banyak waktu!” seru Odo.

Mereka berlari menembus pusat kota yang masih tertidur, bayang-bayang mereka berkelebat di antara gang-gang dan gedung-gedung tinggi. Target mereka hanya satu: Menara Keadilan.

Sementara itu, di dalam Menara Keadilan, Chancellor Eldric menatap monitor di depannya dengan ekspresi dingin. Suara alarm dari penjaga terdengar di seluruh ruangan, tapi dia tetap tenang, jemarinya mengetuk meja panjang di depannya.

Di sisi lain ruangan, Komandan Renard berdiri dengan tangan terlipat, matanya memeriksa peta holografik yang menampilkan titik-titik pergerakan di sekitar kota.

“Mereka cukup berani,” gumam Eldric akhirnya.

Renard mendengus. “Atau cukup bodoh.”

Eldric menatapnya sekilas. “Jangan remehkan mereka.”

Renard menoleh, sedikit terkejut. “Mereka cuma sekelompok buruh dan gelandangan.”

Eldric menyeringai kecil. “Dan kita pernah mengira hal yang sama tentang pemberontakan sebelumnya. Sampai akhirnya mereka menggulingkan kekaisaran.”

Renard terdiam. Matanya kembali menelusuri peta.

Eldric berdiri, merapikan jubah ungunya. “Siapkan pasukan. Aku ingin mereka dihabisi sebelum fajar.”

Di atap sebuah gedung yang berhadapan langsung dengan Menara Keadilan, kelompok kecil pemberontak itu berhenti. Dari sini, mereka bisa melihat seluruh pusat kota Auroria dengan jelas. Jalanan masih sepi, tapi suara sirene mulai berdengung, tanda bahwa para penguasa mulai menyadari kehadiran mereka.

“Berapa banyak waktu yang kita punya?” tanya Harvin.

Kiara melirik jam kecil di pergelangan tangannya. “Sepuluh menit sebelum pasukan mereka tiba.”

Orang Bertopeng melangkah ke tepi atap, menatap ke bawah dengan tenang. “Itu lebih dari cukup.”

Ia mengangkat tangannya, memberi isyarat. Dalam sekejap, dari beberapa titik berbeda di pusat kota, bayangan-bayangan lain mulai bergerak. Mereka bukan satu-satunya yang ada di sini malam ini.

Revolusi telah dimulai.

 

Api di Kota Emas

Udara malam yang semula dingin kini beraroma mesiu. Kota yang selama ini berdiri megah di atas penderitaan rakyatnya mulai bergetar di bawah serangan yang tak pernah mereka duga. Api menjilat beberapa bagian pusat kota, kepulan asap hitam menutupi cahaya bulan, dan teriakan kepanikan menggema di sepanjang jalan-jalan marmer yang biasanya hanya dilalui oleh kaum elite.

Di atas gedung tinggi yang menghadap langsung ke Menara Keadilan, Orang Bertopeng berdiri dengan tenang, matanya mengawasi kekacauan yang mereka ciptakan. Di bawah sana, pasukan keamanan berusaha mengendalikan situasi, tetapi mereka terlalu lambat. Malam ini bukan hanya tentang perlawanan kecil. Ini adalah deklarasi perang.

Harvin mengangkat alat komunikasi di tangannya. “Sisi barat sudah berhasil dikuasai. Kiara, kamu siap?”

Dari seberang, suara Kiara terdengar. “Siap. Aku tinggal nunggu sinyal dari kamu.”

Orang Bertopeng menoleh pada Odo yang bersiap dengan detonator di tangannya. “Sekarang.”

Tanpa ragu, Odo menekan tombol merah.

BOOM!

Bagian bawah Menara Keadilan terguncang hebat. Ledakan itu bukan untuk menghancurkan menara sepenuhnya, tetapi cukup untuk membuat semua orang di dalamnya menyadari satu hal—mereka tidak lagi aman.

Di dalam menara, Chancellor Eldric terhuyung saat lantai berguncang. Peringatan darurat berbunyi di seluruh ruangan, dan para penjaga berlarian dengan panik. Komandan Renard menghunus pedangnya, matanya tajam menatap layar monitor yang menunjukkan kehancuran di luar.

“Lapor!” bentaknya.

Salah satu petugas keamanan berlari masuk. “Pemberontak sudah mencapai lantai bawah, Tuan! Mereka bergerak ke pusat kontrol!”

Eldric mengepalkan tangannya. “Brengsek. Mereka lebih pintar dari yang kita kira.”

Renard menyarungkan pedangnya kembali dan menatap Eldric dengan dingin. “Kita harus pergi.”

Eldric menatapnya tajam. “Aku tidak akan lari dari segerombolan sampah jalanan.”

Renard mendekat, suaranya rendah dan tajam. “Kalau kita mati di sini, siapa yang akan mempertahankan sistem ini?”

Eldric terdiam. Ia tahu Renard benar. Dengan enggan, ia mengangguk.

“Tutup akses ke pusat kota. Pastikan tidak ada yang bisa masuk atau keluar,” perintahnya.

Tetapi sebelum mereka bisa bergerak, layar monitor mereka berubah. Gambar dari kamera pengawas tiba-tiba mati, berganti dengan satu wajah—Orang Bertopeng.

Suara yang dingin dan tajam terdengar di seluruh menara.

“Chancellor Eldric, Komandan Renard. Kalian sudah terlalu lama duduk di singgasana emas kalian, sementara di bawah, kami tenggelam dalam kegelapan.”

Eldric mendengus. “Sombong sekali. Mereka pikir mereka bisa menang?”

Orang Bertopeng melanjutkan. “Malam ini bukan akhir, tetapi awal. Kalian bisa mencoba kabur, tapi kalian akan selalu diburu. Rakyat yang telah kalian injak selama ini sudah bangkit. Dan kami tidak akan berhenti.”

Layar kembali gelap.

Renard mendecakkan lidahnya. “Dia menikmati ini.”

Eldric meraih tongkatnya dan berjalan cepat ke arah pintu. “Panggil penjaga elit. Kita harus pergi sebelum—”

BRAK!

Pintu ruang kontrol meledak terbuka. Asap dan pecahan kayu beterbangan ke segala arah. Dari balik asap, Harvin, Kiara, dan beberapa pemberontak lainnya muncul dengan senjata di tangan.

Renard langsung mencabut pedangnya, tetapi sebelum bisa menyerang, sebuah peluru melesat cepat, menghantam tembok hanya beberapa sentimeter dari kepalanya.

Orang Bertopeng melangkah masuk.

Eldric menyipitkan mata. “Jadi ini pemimpin kalian?”

Orang Bertopeng tidak menjawab. Dia hanya melangkah lebih dekat, perlahan melepaskan topengnya.

Semua orang terdiam. Bahkan Renard yang biasanya tak tergoyahkan tampak terkejut.

Eldric mendengus pelan. “Kau… aku seharusnya tahu.”

Orang Bertopeng menatapnya dengan dingin. “Terlambat.”

Dalam sekejap, revolusi mencapai puncaknya.

Di luar, rakyat Distrik Terbawah mulai merangsek masuk ke pusat kota. Lampu-lampu megah yang selama ini menyilaukan berubah menjadi saksi kejatuhan para penguasa.

Langit mulai terang.

Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, kota emas Auroria bukan lagi milik mereka yang berkuasa.

Tapi milik semua orang.

 

Dan begitulah, kota yang dulu berdiri sombong di atas punggung rakyat akhirnya jatuh. Para penguasa yang biasa duduk nyaman di tahta emas mereka, kini harus lari menyelamatkan diri. Tapi ini bukan akhir cerita, ini baru awal dari dunia yang baru.

Apakah rakyat bakal beneran bebas? Atau sejarah bakal ngulang lagi dengan wajah-wajah baru di singgasana? Well, cuma waktu yang bisa jawab. Tapi satu hal pasti—Auroria gak akan pernah sama lagi.

Leave a Reply