Nazril: Kepedulian Seorang Siswa Gaul dalam Menjaga Lingkungan Sekolah

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Kepedulian terhadap lingkungan sekolah bukan hanya soal kebersihan, tapi juga soal membangun semangat bersama untuk perubahan yang lebih baik. Di cerita ini, kita akan mengikuti perjalanan Nazril, seorang siswa SMA gaul yang dengan semangat tinggi mengajak teman-temannya untuk merawat dan menjaga kebersihan sekolah.

Melalui usaha kerasnya, Nazril berhasil mengubah cara pandang teman-temannya tentang lingkungan. Simak kisahnya yang penuh inspirasi dan perjuangan untuk membuat sekolah menjadi tempat yang lebih nyaman dan peduli terhadap lingkungan!

 

Kepedulian Seorang Siswa Gaul dalam Menjaga Lingkungan Sekolah

Awal Mula Kesadaran Nazril Terhadap Lingkungan

Sekolah adalah tempat yang aku anggap lebih dari sekadar tempat belajar. Di sinilah aku menghabiskan sebagian besar waktuku bersama teman-teman. Aku, Nazril, anak yang dikenal gaul, aktif, dan selalu punya teman di mana-mana. Namun, satu hal yang tidak aku sadari selama ini adalah kenyataan sederhana yang sering kita lupakan: lingkungan sekolah kita sangat membutuhkan perhatian lebih.

Pagi itu, seperti biasa, aku berjalan memasuki gerbang sekolah dengan langkah santai, ditemani suara riuh teman-teman yang sudah berkumpul di depan kelas. Lalu, aku melihat sesuatu yang tak biasa. Ada sampah berserakan di dekat lapangan basket, botol plastik, kertas bekas, bahkan sisa makanan yang dibuang begitu saja. Itu bukan kali pertama aku melihatnya, tetapi entah kenapa pagi itu rasanya ada yang berbeda. Suatu perasaan yang tiba-tiba muncul begitu saja.

Aku ingat betul, saat itu aku berjalan menuju kelas dengan temanku, Dika, yang berbicara tentang pertandingan sepak bola yang baru saja kami mainkan semalam. Namun, ketika kami berdua melewati area itu, aku berhenti sejenak. Dika yang melihat aku berhenti, menatapku heran.

“Nazril, kenapa lo berhenti?” tanya Dika.

Aku cuma melirik ke sampah yang berserakan itu. “Lo nggak ngerasa kasihan sama sekolah kita?” jawabku, tanpa bisa menyembunyikan perasaan sedikit kesal.

Dika mengangkat alis, “Kasihan gimana, bro? Kan ada petugas kebersihan yang kerja buat itu.”

Aku menelan ludah, merasa sedikit kesal dengan jawaban Dika. Aku tahu, dia tidak salah. Mungkin memang ada petugas kebersihan, tapi masalahnya bukan itu. Kami, sebagai siswa, harusnya lebih peduli. Bukankah ini rumah kedua kami? Mengapa harus membiarkan orang lain bekerja keras membersihkan apa yang seharusnya bisa kami jaga?

“Ya, petugas kebersihan itu memang kerja mereka, tapi kita juga punya tanggung jawab, nggak sih?” jawabku, berusaha menjelaskan.

Dika menatapku sejenak, lalu tertawa kecil. “Gue tahu lo anak yang suka ngomong soal ini, tapi ya gimana, udah kebiasaan. Lagian, ini kan cuma sampah kecil. Nggak bakal bikin masalah kan?”

Aku menggelengkan kepala. Entah kenapa, pagi itu aku merasa kalau masalah itu bukan masalah kecil. Itu lebih dari sekadar sampah yang berserakan. Itu tentang bagaimana kami sebagai siswa tidak peduli dengan lingkungan di sekitar kami. Apa jadinya kalau semua orang berpikir seperti Dika? Apa yang akan terjadi dengan sekolah ini?

Matahari mulai naik lebih tinggi, dan aku mulai melangkah menuju kelas. Namun, pikiranku masih terfokus pada sampah itu. Aku tahu, kalau aku tidak melakukan sesuatu, tak ada yang akan berubah. Teman-teman di sekolah ini tidak akan menyadari bahwa kebersihan adalah tanggung jawab bersama, kecuali aku menggerakkan mereka. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi yang pasti, aku ingin ada perubahan.

Itu adalah titik balik bagiku. Aku tahu aku harus mulai berbicara, tidak hanya kepada Dika, tapi juga kepada teman-teman yang lainnya. Semua ini dimulai dari satu tindakan kecil, dan aku yakin, jika aku memulainya, orang lain akan mengikuti.

Siang itu, aku duduk di kantin, memikirkan ide-ide yang bisa aku lakukan. Ada banyak cara untuk mengajak teman-teman peduli dengan kebersihan sekolah, tapi aku tahu semuanya harus dimulai dengan contoh. Aku harus menunjukkan bahwa aku benar-benar peduli, bukan hanya sekadar ngomong.

Tiba-tiba, Ari, teman sekelasku, datang dan duduk di sampingku. Dia adalah teman yang selalu mendukung apa pun yang aku lakukan, dan dia juga anak yang aktif.

“Nazril, lo lagi mikirin apa? Kok serius banget?” tanyanya sambil membuka bungkus makanannya.

Aku menatapnya, kemudian berkata pelan, “Lo pernah nggak sih, mikirin lingkungan sekolah kita? Rasanya semakin hari semakin banyak sampah yang nggak pada tempatnya.”

Ari menatapku dengan mata penuh pertanyaan. “Lo nggak suka ya, liat sampah berserakan?”

Aku mengangguk. “Iya, gue nggak suka. Gue rasa kita harus lakukan sesuatu. Kita bisa bikin kampanye kebersihan atau apalah yang bisa bikin temen-temen di sini sadar.”

Ari terdiam beberapa saat, lalu senyum tipis muncul di wajahnya. “Gue setuju. Kita bisa mulai dengan yang sederhana dulu, ngajak temen-temen buat bawa tempat sampah pribadi atau sesuatu yang gampang.”

Aku tersenyum, merasa ada harapan. Mungkin aku nggak bisa mengubah semuanya dalam semalam, tapi langkah pertama sudah diambil. Kalau pun kami harus mulai dengan langkah kecil, setidaknya itu adalah langkah yang lebih baik daripada diam dan melihat lingkungan sekolah kami semakin kotor.

Hari itu, aku memutuskan untuk memulai gerakan kecil di sekolah. Aku berbicara dengan beberapa teman dekat, mengajak mereka untuk bergabung. Mungkin, hanya sedikit orang yang peduli, tapi aku tahu ini adalah awal dari perubahan besar. Aku, Nazril, anak gaul yang aktif dan punya banyak teman, akan menunjukkan bahwa peduli terhadap lingkungan bukanlah hal yang tabu atau hanya untuk orang tertentu, tapi sesuatu yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Dan aku yakin, dengan langkah kecil ini, kami bisa mulai membuat perubahan.

 

Langkah Kecil, Perubahan Besar

Seminggu setelah percakapan itu dengan Ari, aku mulai merasa bahwa semangatku mulai menular. Tentu saja, tidak semua orang langsung bisa melihat pentingnya perubahan kecil yang kami coba buat. Namun, aku tetap bertekad. Aku dan Ari mulai menyusun rencana kecil untuk mengajak teman-teman lain lebih peduli dengan kebersihan sekolah. Kami tahu kalau itu bukan hal yang mudah, apalagi mengubah kebiasaan yang sudah lama tertanam.

Hari itu, aku berdiri di depan kelas, mempersiapkan diri untuk mengungkapkan ide kepada teman-teman sekelas. Meski banyak yang sudah tahu kalau aku cukup aktif dalam segala hal, bicara soal kebersihan bukanlah hal yang biasanya dibicarakan oleh anak gaul sepertiku. Biasanya, orang akan lebih tertarik soal kegiatan ekstrakurikuler, film terbaru, atau musik yang sedang hits. Tapi ini lebih dari sekadar topik biasa. Ini soal masa depan sekolah kami.

“Ayo, semuanya, dengerin dulu!” Aku memulai dengan suara yang agak keras, meski sedikit canggung.

Suasana kelas yang tadinya riuh tiba-tiba jadi sunyi. Semua mata tertuju padaku, beberapa di antaranya tampak agak heran. Sejujurnya, aku juga sedikit gugup. Aku bukan orang yang sering berbicara tentang topik serius seperti ini, apalagi kalau harus melibatkan banyak orang.

“Jadi gini,” lanjutku, mencoba terlihat santai meskipun hatiku berdebar. “Kita semua tahu, kan, kalau kebersihan itu sangat penting. Tapi… gue rasa kita bisa lebih peduli sama lingkungan sekolah kita. Lo pernah nggak liat sampah berserakan di lapangan atau di sekitar kelas? Itu kan sebenarnya bisa kita hindari.”

Teman-temanku diam sejenak, mungkin mikir, atau mungkin mereka hanya menunggu aku melanjutkan. Aku terus berbicara.

“Kita nggak harus nunggu petugas kebersihan aja yang kerja. Kita juga punya tanggung jawab buat jaga kebersihan bareng-bareng. Apa lagi, kita semua udah dewasa, kan? Kita bisa mulai dengan hal-hal kecil kayak bawa tempat sampah pribadi, atau mulai ngingetin temen-temen yang buang sampah sembarangan.”

Aku bisa melihat beberapa temanku bisa mulai menoleh ke kiri dan kanan. Ada yang tersenyum, ada juga yang sepertinya masih nggak yakin. Ari yang duduk di depan, menatapku dengan penuh dukungan. Dia pun ikut bicara, “Ya, kita bisa bikin ini jadi challenge, guys. Setiap hari, yang bisa buang sampah di tempatnya dapat point, dan yang paling banyak di akhir minggu bisa dapet hadiah kecil.”

Beberapa teman mulai tertarik. “Hadiah kecil? Gimana tuh?” tanya Fadli, teman sekelasku yang biasanya lebih tertarik sama permainan atau hal-hal seru.

“Itu dia! Hadiah bisa kita buat seru. Kayak voucher makan atau tiket bioskop. Nggak harus mahal, yang penting bisa jadi motivasi!” Ari bisa menyahut dengan penuh antusias, dan itu langsung bisa membuat beberapa teman mulai setuju.

Kami mulai merencanakan untuk menyebarkan ide ini ke seluruh sekolah. Kami buat poster-poster sederhana yang mengajak teman-teman untuk lebih peduli pada kebersihan. Kami bikin grup WhatsApp untuk koordinasi. Ari, Fadli, dan aku mulai bergerak lebih aktif, ngajak teman-teman yang lain untuk ikut terlibat. Aku juga mengingatkan mereka lewat status di media sosial. Aku tahu, media sosial bisa jadi tempat yang tepat untuk menyebarkan semangat ini, apalagi aku punya banyak teman yang aktif di sana.

Hari pertama program ini dimulai, aku merasa bangga. Ada banyak teman yang langsung ikut serta dengan antusias. Beberapa teman mulai membawa tempat sampah kecil di tas mereka, ada yang ikut mengingatkan temannya untuk membuang sampah pada tempatnya. Meski belum semuanya ikut serta, aku bisa merasakan perubahan itu. Aku tahu kami nggak bisa langsung mengubah semuanya dalam waktu singkat, tapi langkah pertama sudah terasa.

Aku masih ingat betul saat itu, sekitar dua minggu setelah kami mulai kampanye kebersihan ini, kami mengadakan acara “Clean-Up Day” di sekolah. Kami mengajak semua siswa untuk bersama-sama membersihkan halaman sekolah. Ternyata, banyak banget yang ikut! Tidak hanya anak-anak kelas kami, tapi juga dari kelas lain, dan bahkan guru-guru. Itu adalah hari yang penuh semangat, di mana semua orang bekerja bersama, saling bantu, dan menyadari betapa pentingnya menjaga kebersihan.

Aku, yang dulu cuma dikenal sebagai anak gaul yang aktif di luar kegiatan sekolah, merasa bangga bisa menjadi bagian dari perubahan ini. Aku melihat teman-temanku yang biasanya cuek mulai peduli. Bahkan, beberapa dari mereka yang tadinya nggak terlalu peduli dengan kebersihan, sekarang mulai ingat untuk nggak membuang sampah sembarangan.

Malam itu, setelah acara Clean-Up Day, aku dan Ari duduk di kantin, ngobrol santai sambil menikmati es teh manis yang kami pesan. Ari tersenyum lebar, “Bro, lo liat kan tadi? Semua orang pada serius ngebersihin halaman. Ini jadi kegiatan yang seru, ya?”

Aku tersenyum balik, “Iya, rasanya seneng banget. Semua orang mulai peduli, dan itu bukan cuma gara-gara kita ngomong, tapi mereka sendiri yang merasa terlibat.”

Ari mengangguk, “Ini baru langkah kecil, bro. Tapi gue yakin, kalau kita terus bareng-bareng kayak gini, bisa jadi sesuatu yang besar.”

Aku berpikir, memang benar. Kadang, perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang kita ambil bersama-sama. Mungkin kebersihan sekolah bukan masalah besar yang bisa langsung kami selesaikan dalam sehari, tapi aku yakin, jika kami terus berusaha dan bergerak bersama, kami bisa membuat sekolah ini menjadi tempat yang lebih baik.

Perjuangan kami baru saja dimulai. Tapi aku tahu, ini adalah awal dari perubahan besar. Dan aku, Nazril, anak gaul yang punya banyak teman ini, akan terus berjuang untuk menjaga kebersihan dan mengajak orang-orang di sekitar untuk melakukan hal yang sama. Ini bukan hanya tentang sekolah kami, tapi tentang tanggung jawab kami terhadap tempat yang sudah banyak memberikan kenangan indah.

 

Menciptakan Kebiasaan Baru, Membuat Perubahan

Beberapa minggu setelah acara “Clean-Up Day” itu, sekolah kami mulai terlihat berbeda. Tidak hanya halaman yang lebih bersih, tapi suasananya pun berubah. Dulu, area sekitar kantin selalu dipenuhi sampah bekas makanan, bungkus plastik, atau botol minuman yang dibuang sembarangan. Sekarang, hampir setiap sudut sekolah memiliki tempat sampah. Semua siswa mulai terbiasa membuang sampah pada tempatnya, dan itu semua berkat kebersamaan yang kami bangun sejak awal.

Tapi, meskipun sudah ada perubahan, tetap ada tantangan yang harus kami hadapi. Tidak semua orang mudah berubah, dan tidak semua teman-teman langsung ikut serta dengan semangat yang sama seperti kami. Ada juga yang masih suka membuang sampah sembarangan, atau yang malas untuk ikut terlibat. Aku nggak bisa menghindari kenyataan itu. Namun, ini bukan alasan untuk menyerah. Kami harus tetap maju.

Pada suatu pagi, aku sedang duduk di kantin dengan Ari. Kami baru saja selesai olahraga, dan masih terasa lelah di tubuh, tapi hatiku tetap semangat. Kami duduk berdua, mengobrol santai setelah beberapa minggu penuh perjuangan. Tiba-tiba, salah satu temanku, Dika, datang dan duduk di sampingku. Dia tampak gelisah.

“Naz, gue perlu ngomong,” katanya dengan nada serius.

Aku menatapnya. “Apa, Di? Ada masalah?”

Dika terlihat ragu sejenak. “Gue liat, kok ada yang masih seenaknya buang sampah sembarangan. Padahal, lo udah sering banget ngingetin temen-temen buat peduli. Kenapa masih ada yang nggak ikut berubah?”

Aku tahu apa yang Dika rasakan. Kami semua sudah berusaha, tapi tetap saja ada yang tidak peduli. Di satu sisi, aku merasa kecewa. Namun, aku juga tahu bahwa ini adalah bagian dari perjuangan. Mengubah kebiasaan yang sudah terbentuk bertahun-tahun tidak bisa terjadi dalam semalam.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab, “Iya, Di. Gue juga ngerasa kayak gitu. Tapi gue tahu ini nggak mudah. Bukan cuma soal ngajarin orang buat peduli, tapi soal ngeubah cara pandang mereka juga. Kadang, orang butuh waktu. Gue nggak bakal nyerah, walaupun gue tahu ada yang belum nyambung.”

Ari yang mendengar obrolan kami, ikut memberikan pandangannya. “Kita harus terus ingatin mereka. Gak cukup sekali, dua kali. Ini soal konsistensi. Kalau kita terus ngingetin mereka dengan cara yang positif, lama-lama mereka bakal sadar.”

Aku mengangguk. Ari benar. Kami nggak bisa berhenti begitu saja. Kalau kami mau perubahan ini bertahan, kami harus berjuang lebih keras lagi, dan tidak membiarkan semangat ini luntur.

Hari berikutnya, aku dan Ari kembali turun ke lapangan, melanjutkan kampanye kecil-kecilan kami. Kami mulai lebih aktif lagi mengingatkan teman-teman, bahkan para guru. Kami buat papan pengumuman di dekat pintu gerbang sekolah dengan tulisan yang lebih besar, “Bersihkan Sekolah, Bersihkan Hati!” Kami juga mengadakan “Jumat Bersih”, di mana setiap hari Jumat, semua siswa diajak untuk berpartisipasi dalam menjaga kebersihan lingkungan sekitar.

Aku mulai melihat dampaknya. Meski tidak semua orang langsung mengubah kebiasaannya, semakin banyak teman-teman yang mulai menunjukkan perhatian mereka terhadap kebersihan. Di setiap kelas, teman-teman mulai membawa tas sampah kecil, atau ikut merapikan meja setelah digunakan. Yang lebih membanggakan, beberapa dari mereka malah membuat grup-grup kecil di WhatsApp, mengajak lebih banyak orang untuk ikut serta dalam menjaga kebersihan sekolah.

Tentu saja, masih ada beberapa yang sesekali melanggar. Aku tahu, perjuangan kami belum selesai. Terkadang aku melihat beberapa siswa yang tetap membuang sampah sembarangan, atau yang nggak ikut bergabung dalam kegiatan kebersihan. Itu membuat hatiku sesekali kecewa. Namun, ada juga momen-momen kecil yang membuatku yakin kami di jalur yang benar.

Seperti saat itu, ketika aku sedang berjalan pulang dari sekolah dan melihat seorang adik kelas, si Kevin, dengan tekun memungut sampah di depan kantin. Padahal, saat pertama kali kami mulai kampanye, Kevin sempat terlihat cuek dan nggak terlalu peduli. Aku berhenti sejenak, memperhatikan dia.

“Yo, Kev! Lo lagi ngapain?” Tanyaku sambil tersenyum.

Kevin menoleh, dan wajahnya memerah. “Eh, Kak Nazril! Gue cuma… lagi nyoba buat ikut peduli. Gue lihat beberapa temen udah mulai bawa tas sampah, jadi gue ikut aja deh.”

Aku tersenyum lebar, merasa bangga. “Gue suka semangat lo, Kev! Lo tau kan, langkah kecil kayak gini yang bakal bawa perubahan besar.”

Kevin terlihat tersenyum malu. “Makasih, Kak Naz. Gue baru sadar, kebersihan itu penting. Gue nggak mau jadi orang yang cuma ngeluh, tapi nggak ngelakuin apa-apa.”

Lihatlah, Kevin. Seorang adik kelas yang sebelumnya nggak terlalu peduli, sekarang mulai menyadari arti kebersihan. Itu adalah bukti nyata bahwa kami tidak sia-sia. Meski perjuangan kami belum selesai, perubahan sudah mulai terasa. Kami memang belum bisa merubah semua orang dalam sekejap, tapi dengan setiap langkah kecil yang kami buat, kami tahu itu akan menginspirasi lebih banyak orang untuk ikut peduli.

Keesokan harinya, saat aku memasuki kelas, aku merasa ada yang berbeda. Beberapa teman sekelas mulai membawa tempat sampah kecil mereka sendiri. Ada juga yang mulai membersihkan meja-meja mereka tanpa diminta. Bahkan, beberapa dari mereka yang sebelumnya malas mengingatkan temannya untuk membuang sampah di tempatnya, sekarang mulai berani berbicara.

“Bro, lo nggak bawa tas sampah?” tanya Reza, teman sekelasku, dengan nada serius namun santai.

Aku tertawa kecil, merasa bangga. “Yoi, harus bawa. Jangan biarin sampah berserakan.”

Perubahan kecil ini membuat hatiku terasa lebih ringan. Tidak hanya aku dan Ari, tapi teman-teman mulai merasa ikut bertanggung jawab. Dan itu adalah pencapaian yang luar biasa. Kami masih punya banyak pekerjaan rumah, tapi aku yakin, langkah kecil ini akan membawa perubahan besar suatu saat nanti. Semuanya dimulai dari sebuah niat, dan kami sudah memulainya. Kami akan terus berjuang, dan aku tahu perubahan itu akan datang.

 

Langkah Besar untuk Masa Depan

Seiring berjalannya waktu, perubahan mulai terasa. Semua yang kami perjuangkan dalam beberapa bulan terakhir tidak lagi tampak seperti sekadar proyek kecil yang sesaat, tetapi mulai menjadi bagian dari kebiasaan sekolah. Meski begitu, masih ada tantangan yang harus kami hadapi. Sebagian besar siswa sudah mulai sadar akan pentingnya menjaga kebersihan, namun ada juga yang masih setengah hati. Aku dan Ari masih berusaha meyakinkan mereka bahwa kebersihan bukan sekadar soal sampah, tapi juga soal menghargai lingkungan yang telah menjadi tempat kami bertumbuh.

Di suatu pagi yang cerah, aku melihat Ari sedang berdiri di depan papan pengumuman sekolah, menatap beberapa poster yang kami pasang seminggu lalu. Aku menghampirinya.

“Bro, ada apa? Kok serius banget?” tanyaku sambil menepuk bahunya.

Ari menoleh dan tersenyum. “Lihat nih, poster kita mulai dipenuhi tanda tangan. Gila, banyak banget yang ikut mendukung kampanye kita.”

Aku ikut memeriksa, dan memang benar. Banyak teman-teman yang menuliskan dukungan mereka pada poster tersebut. Itu bukan hanya tanda bahwa mereka setuju dengan apa yang kami lakukan, tapi juga bahwa mereka ingin ikut berkontribusi, meskipun dalam bentuk yang sederhana.

“Ini buktinya, Naz. Semakin banyak yang peduli,” kata Ari. “Tapi, kita nggak boleh berhenti di sini, bro. Masih banyak yang harus kita lakukan.”

Aku mengangguk setuju. Ari benar. Jika kami hanya berhenti pada keberhasilan kecil ini, kami akan kehilangan momentum untuk menggerakkan perubahan yang lebih besar lagi. Kami tidak bisa hanya mengandalkan poster dan pengumuman yang sudah dipasang. Kami harus melibatkan lebih banyak pihak, lebih banyak teman, dan bahkan lebih banyak guru. Kami butuh langkah lebih besar.

Beberapa hari setelahnya, aku mengumpulkan teman-teman sekelas dan beberapa anggota OSIS untuk membahas proyek lanjutan. Kami duduk di ruang kelas yang agak sepi saat istirahat, berkumpul dengan semangat yang sama.

“Jadi gini, guys,” kataku membuka pertemuan. “Kampanye ini udah mulai diterima dengan baik, tapi kita nggak boleh berhenti. Kita harus mulai berpikir lebih besar. Gue pengen banget bikin program yang bener-bener bisa ngubah cara pandang orang tentang kebersihan dan lingkungan.”

Salah satu teman sekelasku, Riki, langsung menyela, “Kayak gimana maksudnya, Naz?”

“Jadi gini,” lanjutku, “kita bisa bikin event yang melibatkan seluruh siswa, bahkan guru. Mungkin kayak lomba kebersihan antar kelas atau kompetisi bikin taman kecil di halaman sekolah. Itu bisa jadi ajang buat nunjukin kalau kebersihan itu bukan cuma soal bersih-bersih, tapi soal kreativitas dan kerja sama.”

Semua orang terdiam sejenak, mencerna idenya. Beberapa dari mereka mulai mengangguk, terlihat mulai tertarik dengan ide tersebut. Ari yang duduk di sebelahku, akhirnya angkat bicara.

“Bagus, Naz. Tapi kita juga harus mulai mikirin cara buat melibatkan orang tua. Kalau orang tua juga ikut mendukung, pasti pengaruhnya lebih gede.”

Aku mengangguk. Ari benar. Jika kami bisa melibatkan orang tua, akan ada pengaruh yang lebih besar dalam membentuk kebiasaan positif di rumah dan sekolah. Itu adalah langkah yang bisa memperluas dampaknya.

Hari-hari berikutnya, kami mulai bekerja keras. Kami menghubungi para guru, membicarakan ide lomba kebersihan dan taman kecil yang akan kami adakan. Kami juga membuat formulir untuk melibatkan orang tua dalam kegiatan ini, meminta mereka untuk memberikan dukungan dan mungkin turut serta dalam acara-acara yang kami selenggarakan. Meskipun cukup menguras tenaga dan waktu, kami merasa semangat yang kami bawa sudah cukup untuk membuat segala sesuatunya berjalan.

Lomba kebersihan kelas pun akhirnya terlaksana. Setiap kelas diwajibkan untuk mempersiapkan ruang kelas mereka sebersih mungkin, dan akan ada penilaian dari para guru serta beberapa siswa yang kami pilih sebagai juri. Selain itu, beberapa kelas juga mulai menanam tanaman di sekitar sekolah, menciptakan taman-taman kecil yang segar. Aku nggak pernah menyangka, banyak teman yang begitu antusias.

Suatu pagi yang cerah, aku melihat beberapa siswa sibuk merapikan halaman sekolah. Ada yang sedang memangkas rumput, ada yang menanam pohon kecil, dan ada juga yang membersihkan area di sekitar taman. Bahkan, beberapa siswa yang sebelumnya cuek, seperti Dika dan Reza, terlihat membantu dengan semangat.

Aku dan Ari berjalan berkeliling, memeriksa beberapa tempat, dan melihat betapa banyaknya perubahan yang terjadi dalam waktu singkat. Kami berdua saling pandang, merasa bangga atas apa yang telah kami capai.

“Gue nggak nyangka, bro. Ini lebih dari yang gue harapkan,” kata Ari dengan senyum lebar di wajahnya.

Aku tersenyum. “Iya, kita semua nggak nyangka. Semua usaha dan kerja keras nggak sia-sia. Semua orang jadi lebih peduli.”

Tiba-tiba, Kevin yang sebelumnya ragu untuk ikut, mendekat dengan membawa beberapa pot tanaman kecil. “Gue tanam ini di depan kelas, ya, Kak Naz?”

“Yoi, Kevin. Itu keren banget!” jawabku.

Kevin terlihat senang karena tanaman kecil yang dia bawa akan menjadi bagian dari taman kecil di depan kelas. Momen itu membuatku merasa benar-benar puas. Lihatlah semua yang sudah berubah. Tidak hanya sekolah yang jadi lebih bersih, tetapi kami juga mulai merasakan betapa berharganya kebersamaan yang kami bangun.

Hari penilaian pun tiba. Semua kelas sudah menyiapkan tempatnya masing-masing. Para guru datang untuk bisa menilai dan bisa memberikan masukan. Aku berdiri di depan, melihat teman-teman sekelas dan para siswa lain yang berpartisipasi dengan penuh semangat. Ada rasa bangga yang menggelora di dalam hatiku. Kami sudah berhasil melewati banyak rintangan untuk sampai ke titik ini. Dan kami tidak akan bisa berhenti di sini.

Saat pengumuman pemenang lomba kebersihan dan taman, aku berdiri dengan Ari di sampingku, menunggu dengan sabar. Ketika akhirnya pengumuman dimulai, suasana terasa penuh antisipasi.

“Kelas 11 IPA 2!” seru guru penilai. “Kalian juara pertama dalam sebuah lomba kebersihan dan taman! Kalian berhasil menunjukkan kerja sama dan kreativitas yang luar biasa!”

Seluruh kelas kami bersorak riuh. Semua teman-teman berlari ke depan, saling berpelukan. Aku dan Ari saling berpandangan, merasa bahagia dan terharu.

“Kita melakukannya, bro,” bisikku pada Ari.

“Yup,” jawabnya dengan senyum lebar. “Dan ini baru awal. Masih banyak yang harus kita capai.”

Malam itu, saat aku pulang ke rumah, aku merasa lebih lega dari sebelumnya. Semua kerja keras dan perjuangan kami mulai menunjukkan hasil. Aku tahu, perjalanan kami tidak akan mudah, tetapi hari ini kami sudah membuktikan satu hal: bersama, kami bisa membuat perubahan. Kami bisa menjadi pahlawan bagi sekolah kami, bahkan untuk lingkungan sekitar. Dan itu adalah kemenangan yang lebih besar dari sekadar lomba kebersihan.

Akhirnya, aku sadar satu hal yang penting: perubahan besar dimulai dari langkah kecil, dan setiap langkah kecil yang kami ambil, akan membuat perbedaan yang tak terhitung. Kami sudah memulainya, dan kami tidak akan berhenti.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Nazril menunjukkan bahwa perubahan besar dapat dimulai dari langkah kecil yang penuh semangat dan kepedulian. Dari tindakan sederhana menjaga kebersihan lingkungan sekolah, Nazril berhasil menginspirasi teman-temannya untuk lebih peduli terhadap kondisi sekitar. Dengan cerita ini, semoga kita semua termotivasi untuk ikut berkontribusi dalam menjaga kebersihan dan menciptakan lingkungan yang lebih sehat. Ingat, perubahan besar dimulai dari kesadaran kecil yang kita lakukan setiap hari. Mari bersama-sama menjaga kebersihan sekolah kita!

Leave a Reply