Nasib Tragis Gadis Malang: Kisah Paling Sedih yang Bikin Hati Hancur

Posted on

Kalau kamu lagi cari cerita yang bisa bikin dada sesak, mata berkaca-kaca, dan hati serasa diremas-remas, ini dia. Kisah Syana bukan cuma sekadar cerita sedih biasa, tapi ini tentang penderitaan yang nggak ada habisnya.

Dari kecil sampai dewasa, hidupnya selalu dipenuhi kesialan, kehilangan, dan pengkhianatan. Nggak ada keajaiban, nggak ada happy ending. Dunia benar-benar nggak pernah berpihak padanya. Siap-siap buat ngelus dada, karena ini bukan cerita untuk yang gampang baper!

 

Nasib Tragis Gadis Malang

Kutukan yang Tak Diinginkan

Hujan baru saja reda ketika tangisan bayi memenuhi sebuah rumah kecil di pinggiran desa. Malam itu, langit mendung, seakan meratapi nasib seorang wanita yang terbaring lemah dengan napas terputus-putus. Wajahnya pucat, tangannya gemetar, dan matanya mulai kehilangan cahaya.

Di sisi ranjang, seorang lelaki duduk dengan tubuh kaku. Napasnya memburu, dadanya naik turun tidak teratur. Matanya yang memerah menatap wajah istrinya yang semakin lama semakin pucat. Wanita itu tersenyum lemah, tangannya yang ringkih berusaha menyentuh pipi suaminya.

“Jaga… anak kita…,” suara wanita itu begitu lirih, hampir tak terdengar.

Namun, sebelum lelaki itu sempat menjawab, tangan wanita itu jatuh lemas. Matanya terpejam selamanya.

Hening.

Lelaki itu tidak bergerak. Wajahnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah wanita yang baru saja menghembuskan napas terakhirnya.

Tangisan bayi masih terdengar, nyaring dan tanpa henti.

Lelaki itu mengalihkan pandangan ke sosok kecil yang dibungkus kain lusuh. Bayi perempuan dengan wajah kemerahan itu menangis sejadi-jadinya, seolah tahu bahwa sejak malam itu, hidupnya tidak akan pernah mudah.

Lelaki itu menggertakkan gigi. Matanya menatap bayi itu dengan kebencian yang tidak bisa disembunyikan.

“Kamu yang membunuhnya…” katanya dengan suara gemetar. “Kalau bukan karena kamu, dia masih hidup…”

Malam itu, lahir seorang bayi perempuan yang tidak pernah diinginkan. Namanya Syana.

Sejak kecil, Syana sudah tahu bahwa ia tidak pernah dicintai. Ia tumbuh dalam rumah yang lebih mirip neraka, dengan seorang ayah yang membencinya dan kehidupan yang tidak memberinya sedikit pun kebaikan.

Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Syana kecil berjongkok di sudut dapur, membersihkan beras dengan tangannya yang kecil dan kotor. Tangan mungilnya gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena rasa takut.

Di luar dapur, suara langkah kaki berat mendekat. Syana menelan ludah. Ia tahu siapa yang datang.

Gatra, ayahnya, berdiri di ambang pintu dengan wajah masam. Rambutnya acak-acakan, matanya merah seperti kurang tidur. Lelaki itu mengamati Syana dengan tatapan jijik, seolah gadis kecil itu bukan anaknya, melainkan makhluk yang tidak diinginkan.

“Lama banget! Mau bikin aku kelaparan, hah?!”

Syana buru-buru berdiri dan membawa beras yang sudah dibersihkan ke meja. Namun, karena panik, tangannya gemetar dan butiran beras jatuh berserakan ke lantai.

Jantungnya langsung berdegup kencang.

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi kecilnya. Tubuhnya terhuyung ke belakang, hampir jatuh. Rasa perih menjalar di kulitnya, tapi ia tidak menangis. Ia sudah terlalu sering mengalami ini.

“Dasar anak sial! Kamu memang bawa kutukan buat keluarga ini! Kalau bukan karena kamu, ibumu masih hidup!” Gatra berteriak marah.

Syana hanya bisa menunduk, tangannya menggenggam ujung bajunya yang lusuh.

“Hari ini kamu nggak dapat makan!” Gatra menendang butiran beras yang berserakan di lantai, lalu pergi meninggalkan dapur dengan wajah penuh amarah.

Syana tidak bergerak dari tempatnya. Ia hanya bisa diam, menahan perih di pipi dan perutnya yang kosong. Ia sudah terbiasa kelaparan.

Ketika Syana berusia tujuh tahun, ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita bernama Rukmi. Awalnya, gadis kecil itu berpikir bahwa kehadiran Rukmi akan membawa perubahan baik dalam hidupnya. Namun, ia segera menyadari bahwa ibu tirinya lebih buruk daripada ayahnya.

Rukmi tidak hanya memarahinya, tapi juga memukulnya dengan kayu atau sapu setiap kali ia melakukan kesalahan kecil. Pagi-pagi buta, sebelum ayam berkokok, Syana sudah harus bangun untuk menimba air, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah.

“Kalau aku lihat satu debu aja di meja, kamu tahu akibatnya, kan?” kata Rukmi dengan suara dingin.

Syana mengangguk lemah.

Namun, sekeras apa pun ia bekerja, tetap saja selalu ada alasan untuk menyalahkannya.

Suatu sore, Syana kelelahan dan tanpa sengaja memecahkan piring saat sedang mencuci. Wajahnya langsung memucat. Ia mencoba mengumpulkan pecahan piring itu, tapi jari-jarinya malah terluka.

Rukmi yang baru saja keluar dari kamar langsung melihat kejadian itu. Mata wanita itu menyipit penuh amarah.

“Kamu ini nggak ada gunanya, ya?! Semua kerjaan selalu salah!”

“A-aku nggak sengaja…” suara Syana lirih, tangannya gemetar.

“Dasar anak pembawa sial!”

Rukmi menarik rambut Syana dan menyeretnya ke luar rumah. Dengan kasar, ia mendorong tubuh kecil itu ke tanah yang penuh bebatuan. Syana meringis, lututnya tergores dan berdarah.

“Mulai sekarang, kamu nggak boleh makan di rumah ini! Kamu kerja kayak budak, tapi tetap aja nggak berguna! Dasar anak nggak tahu diri!”

Syana menggigit bibirnya, menahan tangis yang ingin keluar.

Sejak hari itu, ia benar-benar seperti budak di rumahnya sendiri. Ia makan dari sisa-sisa makanan yang dibuang ke tempat sampah, minum dari air hujan, dan tidur di lantai dapur yang dingin.

Tetapi, meskipun tubuhnya semakin kurus dan lemah, ia tidak pernah mengeluh.

Karena ia tahu…

Tidak ada yang akan peduli.

Di sekolah, Syana berharap setidaknya bisa merasa tenang, tetapi kenyataan kembali menamparnya.

Anak-anak lain selalu menertawakannya karena tubuhnya yang kotor dan bajunya yang lusuh. Mereka memanggilnya dengan sebutan “Tikus Got” dan sering kali menarik rambutnya atau menumpahkan air ke mejanya.

Suatu hari, seorang anak laki-laki bernama Raka dengan sengaja menyenggol tubuh Syana saat mereka sedang bermain di halaman sekolah.

BRUK!

Syana jatuh ke tanah, lututnya kembali terluka.

Raka dan teman-temannya hanya tertawa.

“Kamu bau banget, sih! Kenapa nggak sekalian aja tidur di kandang ayam?!”

Anak-anak lain ikut tertawa. Syana menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa semua ini bukan salahnya. Tapi, untuk apa? Tidak akan ada yang mendengarkan.

Ia hanya bisa bangkit, menahan rasa sakit, dan berjalan pergi.

Tak ada rumah yang menunggunya. Tak ada keluarga yang mencintainya.

Ia hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri…

Sampai kapan ia harus hidup seperti ini?

 

Harapan yang Selalu Pupus

Malam di desa itu selalu sunyi, kecuali suara serangga yang bersahut-sahutan di balik semak-semak. Di sebuah rumah reyot di sudut desa, Syana duduk meringkuk di pojokan dapur. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena udara yang menusuk, tetapi juga karena perutnya yang sejak pagi belum terisi makanan.

Hari itu Rukmi memukulnya dengan sapu rotan karena ada noda di lantai yang tidak bisa ia bersihkan. Lengan kecilnya penuh bekas merah, beberapa mulai membiru. Tapi ia tidak menangis. Tidak ada gunanya menangis.

Mata kecilnya menatap ke luar jendela yang berlubang. Jauh di langit gelap, bintang-bintang bersinar redup. Ia ingat pernah mendengar dongeng tentang bintang-bintang yang bisa mengabulkan permintaan.

Malam itu, dengan suara nyaris tak terdengar, ia berbisik, “Tolong bawa aku pergi dari sini…”

Waktu berlalu. Syana tumbuh menjadi gadis kecil yang terbiasa dengan rasa lapar, dingin, dan sakit. Meski tubuhnya lemah dan kurus, ia terus berusaha bertahan.

Suatu hari, di sekolah, seorang guru memperhatikan bahwa Syana selalu tampak lesu. Guru itu—Bu Mirna—mendekati Syana setelah kelas usai.

“Kamu sudah makan, Syana?” tanyanya lembut.

Syana menunduk. Ia tidak ingin menjawab.

Bu Mirna menghela napas, lalu mengeluarkan sepotong roti dari dalam tasnya. “Ambil ini.”

Syana menatap roti itu dengan ragu. Ia takut. Jika seseorang melihatnya membawa makanan, Rukmi pasti akan menuduhnya mencuri.

“Ambil saja, tidak apa-apa,” bujuk Bu Mirna.

Dengan tangan gemetar, Syana menerima roti itu dan mengucapkan terima kasih dengan suara lirih.

Namun, ketika ia pulang, Rukmi langsung mencium bau roti dari tangannya.

“Dari mana kamu dapat ini?!”

“D-dari Bu Mirna…”

Rukmi menyipitkan mata penuh curiga. Lalu, sebelum Syana sempat menjelaskan lebih lanjut, wanita itu merampas roti dari tangannya dan melemparkannya ke lantai.

“Dasar anak pengemis! Malu-maluin! Jangan pernah bawa makanan dari luar lagi!”

Tanpa ampun, Rukmi kembali menghajarnya.

Sejak hari itu, Syana tidak pernah menerima makanan dari siapa pun lagi.

Ketika usianya menginjak dua belas tahun, penderitaannya semakin menjadi-jadi.

Ayahnya, Gatra, jatuh sakit. Tubuhnya yang dulu kekar kini lemah dan ringkih. Rukmi, yang tadinya hanya sibuk menyiksa Syana, kini mengomel setiap hari karena tak ada lagi uang masuk.

Dan saat musim panen gagal total, keadaan menjadi semakin buruk.

Pada suatu malam yang dingin, napas terakhir Gatra menguap di udara. Syana berdiri di sudut ruangan, melihat jasad ayahnya yang terbujur kaku. Tidak ada air mata di wajahnya.

Karena bagi Gatra, ia bukan anak. Ia adalah kutukan.

Namun, kematian Gatra tidak membuat hidupnya lebih baik. Justru sebaliknya.

Sebulan setelah kematian Gatra, Rukmi menghilang. Tanpa meninggalkan pesan, tanpa berpamitan, wanita itu pergi entah ke mana, membawa semua uang dan barang berharga yang tersisa.

Dan Syana ditinggalkan sendirian.

Tidak ada makanan, tidak ada uang, dan tidak ada tempat untuk berlindung. Rumah mereka mulai hancur, atapnya bocor, dindingnya dipenuhi lumut.

Ia bertahan dengan mengambil pekerjaan apa pun yang bisa dilakukan anak kecil—membantu mencuci pakaian tetangga, memungut ranting kayu bakar, atau sekadar mengemis sisa makanan.

Namun, tidak semua orang baik.

Di pasar, seorang pedagang menuduhnya mencuri roti.

Syana membantah, tetapi tak ada yang percaya pada seorang anak kotor dan lusuh sepertinya. Pedagang itu memukulnya di depan banyak orang. Tidak ada yang membela. Tidak ada yang peduli.

Ia pulang dengan tubuh penuh luka dan perut kosong.

Di tengah malam, dengan udara yang semakin dingin, Syana kembali berbisik ke langit.

“Aku cuma mau pergi dari sini… Apa aku minta terlalu banyak?”

Tapi seperti sebelumnya, tak ada jawaban.

Suatu hari, seorang pria datang ke desa. Ia terlihat berbeda—berpakaian bersih, wajahnya bersih, dan matanya tajam.

Pria itu melihat Syana yang sedang mengumpulkan kayu bakar di pinggir jalan.

“Kamu sendirian?” tanyanya.

Syana mengangguk tanpa berkata apa-apa.

Pria itu tersenyum tipis. “Kamu mau ikut aku? Aku bisa membantumu.”

Syana menatapnya penuh harap. Ini adalah pertama kalinya seseorang menawarkan pertolongan.

Tanpa banyak berpikir, ia mengangguk.

Ia tidak tahu bahwa keputusan itu adalah awal dari penderitaan yang lebih besar.

 

Kebahagiaan yang Tak Pernah Lama

Syana duduk di sudut kereta dengan tubuh kaku, memeluk tas kecil berisi satu-satunya pakaian yang ia miliki. Pria yang membawanya, Pak Rahmat, duduk di seberangnya.

“Aku bawa kamu ke rumahku. Nggak mewah, tapi cukup untuk kamu tinggal,” kata pria itu dengan nada santai.

Syana hanya mengangguk pelan. Setelah bertahun-tahun hidup dalam siksaan, akhirnya ada seseorang yang bersedia menolongnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi setidaknya, untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit harapan.

Perjalanan mereka berakhir di sebuah desa lain, jauh dari tempat Syana dibesarkan. Rumah Pak Rahmat ternyata bukan rumah mewah, hanya sebuah rumah sederhana di tepi hutan. Tapi bagi Syana, tempat itu lebih baik daripada rumah lamanya.

Di dalam rumah, seorang wanita tua menyambut mereka.

“Rahmat, siapa ini?” tanya wanita itu dengan suara lembut.

“Namanya Syana, Bu. Aku nemu dia di pasar. Dia nggak punya siapa-siapa,” jawab Rahmat.

Wanita itu—yang kemudian Syana kenal sebagai Nenek Samira—menatapnya dengan mata teduh.

“Anak ini pasti sudah banyak menderita…” gumamnya, lalu menepuk kepala Syana dengan lembut. “Mulai sekarang, kamu bisa tinggal di sini, Nak. Kamu boleh menganggap tempat ini rumahmu.”

Syana menahan napas. Rumah? Apa ia benar-benar boleh memiliki tempat yang disebut rumah?

Saat malam tiba, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Syana tidur di atas kasur yang layak, di bawah selimut hangat. Tidak di lantai dapur yang dingin, tidak dengan perut kosong.

Malam itu, ia menangis diam-diam.

Tapi kali ini, bukan karena kesedihan.

Hari-hari di rumah Nenek Samira terasa seperti mimpi.

Syana diberi makanan setiap hari, tidak perlu mencuri atau mengemis lagi. Ia mulai membantu di rumah, membersihkan halaman, dan sesekali menemani Nenek Samira pergi ke pasar.

“Kalau kamu mau sekolah lagi, aku bisa bicara dengan kepala desa,” kata Nenek Samira suatu hari.

Mata Syana membesar. “Aku boleh sekolah?”

“Kenapa tidak?” Nenek Samira tersenyum.

Dulu, ia hanya bisa bermimpi kembali belajar. Tapi sekarang, pintu itu terbuka lagi.

Bersama Nenek Samira, Syana mulai belajar membaca dan menulis kembali. Ia menghabiskan waktu berjam-jam dengan buku-buku bekas yang diberikan kepala desa. Setiap kata yang ia baca terasa seperti langkah baru menuju kehidupan yang lebih baik.

Untuk pertama kalinya, Syana merasa bahwa mungkin… mungkin saja ia bisa bahagia.

Tapi kebahagiaan itu tidak pernah bertahan lama.

Suatu malam, ketika Syana sedang tidur, ia terbangun karena suara letupan keras dari luar rumah.

BRAKK!

Jantungnya berdebar kencang.

“Nenek…?” panggilnya pelan, tapi tidak ada jawaban.

Udara dipenuhi bau asap yang menyengat.

Ketika ia membuka pintu kamar, matanya melebar ketakutan.

Api.

Ruang tamu sudah dipenuhi kobaran api yang menjilat-jilat dinding kayu. Asap tebal menyumbat napasnya, membuatnya batuk-batuk.

“Nenek!” teriaknya.

Di tengah kepulan asap, ia melihat sosok Nenek Samira tergeletak di lantai, tidak bergerak.

Syana berlari, mencoba menarik tubuh neneknya, tapi wanita tua itu terlalu berat untuknya.

Air matanya mengalir deras. “Bangun, Nek! Bangun!”

Namun, tidak ada jawaban.

Api semakin membesar. Panasnya terasa membakar kulitnya.

Dengan air mata bercucuran, Syana dipaksa membuat keputusan terberat dalam hidupnya—meninggalkan satu-satunya orang yang pernah mencintainya.

Dengan tubuh gemetar, ia berlari ke luar rumah, menembus asap dan kobaran api yang semakin ganas.

Begitu ia keluar, tubuhnya langsung ambruk di tanah.

Di belakangnya, rumah itu runtuh, ditelan api.

Dan bersama rumah itu, hilanglah satu-satunya tempat di dunia yang pernah membuatnya merasa dicintai.

Ketika fajar menyingsing, Syana duduk di tanah dengan selimut menutupi tubuhnya yang kotor dan penuh jelaga.

Penduduk desa mengelilinginya, berbisik-bisik.

“Kasihan sekali anak itu…”

“Dia sebatang kara lagi…”

Tapi tidak ada yang menawarkan bantuan lebih dari sekadar kata-kata simpati.

Syana hanya menatap kosong ke rumah yang sekarang tinggal abu. Hatinya juga terasa seperti abu.

Ia telah kehilangan semuanya. Lagi.

Malam itu, langit kembali dipenuhi bintang.

Dan untuk pertama kalinya, Syana tidak lagi meminta apa pun pada mereka.

Karena kini, ia tahu bahwa bintang-bintang pun tidak akan pernah mendengarnya.

 

Akhir dari Doa yang Tak Pernah Dijawab

Pagi itu, Syana berdiri di depan sisa-sisa rumah yang kini hanya berupa abu dan arang hitam. Bau kayu terbakar masih menyengat di udara. Orang-orang desa sudah kembali ke rumah masing-masing, meninggalkannya sendirian.

Tak ada yang menawarkannya tempat tinggal, tak ada yang mengajaknya pulang.

Syana mengerti.

Ia adalah orang asing di desa ini. Nenek Samira mungkin baik, tapi kasih sayangnya tidak menular pada penduduk desa. Mereka hanya melihatnya sebagai seorang anak yang tidak memiliki siapa-siapa dan bukan tanggung jawab siapa pun.

Lagi-lagi, Syana sendirian.

Siang itu, ia berjalan tanpa tujuan. Perutnya kosong, tubuhnya lelah. Ia tidak tahu ke mana harus pergi.

Ia melangkah keluar desa, menyusuri jalan setapak yang menuju ke arah kota.

Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara roda pedati yang melaju pelan.

Seorang pria tua yang mengendarainya melirik Syana.

“Kemana kamu mau pergi, Nak?” tanyanya.

Syana tidak menjawab. Ia sendiri tidak tahu jawabannya.

Pria itu menghela napas, lalu menepuk sisi pedatinya. “Kalau kamu mau, aku bisa mengantarmu ke kota.”

Syana menatapnya ragu. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan?

Dengan perlahan, ia naik ke atas pedati.

Pedati itu bergerak, meninggalkan desa yang pernah memberinya secercah kebahagiaan—hanya untuk merenggutnya kembali.

Kota ternyata lebih keras daripada yang ia bayangkan.

Tidak ada tempat untuknya di sana.

Ia mencoba mencari pekerjaan, tapi siapa yang mau memperkerjakan anak kumal dan kurus seperti dirinya?

Hari-harinya berlalu di jalanan. Tidur di bawah jembatan, makan dari sisa-sisa orang lain.

Ia mulai terbiasa dengan dinginnya malam, dengan tatapan sinis orang-orang yang menganggapnya sampah.

Terkadang, ia bertanya-tanya, untuk apa aku tetap hidup?

Suatu hari, seorang pria mendekatinya.

“Namamu siapa?” tanyanya.

“Syana,” jawabnya lirih.

Pria itu tersenyum tipis. “Aku bisa memberimu pekerjaan.”

Syana mengangkat kepala, menatap pria itu dengan penuh harap. “Benarkah?”

“Tentu. Tapi kamu harus ikut aku.”

Tanpa pikir panjang, Syana mengangguk.

Pria itu membawanya ke sebuah rumah besar di pinggir kota. Di dalamnya, ada banyak gadis lain, semuanya tampak seumuran dengannya atau lebih tua sedikit.

Awalnya, Syana diberi makanan, pakaian bersih, tempat tidur yang hangat.

Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia merasa aman.

Tapi malam itu, ketika ia melihat seorang gadis menangis dan mencoba melarikan diri sebelum ditarik kembali ke dalam rumah oleh pria-pria bertubuh besar, Syana mulai menyadari sesuatu.

Tempat ini bukan tempat yang aman.

Dan ia telah masuk ke dalam perangkap yang tidak bisa ia hindari.

Hari-hari berikutnya adalah mimpi buruk.

Ia kehilangan kebebasannya.

Ia kehilangan kendali atas tubuhnya.

Ia kehilangan dirinya sendiri.

Bertahun-tahun berlalu. Syana bukan lagi gadis kecil yang naif. Ia telah belajar untuk menahan sakit, untuk membunuh perasaan, untuk menerima kenyataan bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang diciptakan untuknya.

Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, ada bagian kecil dari dirinya yang masih berharap.

Hanya saja, ia tidak tahu apa yang masih ia harapkan.

Suatu malam, ia duduk di jendela kecil kamarnya, menatap langit.

Bintang-bintang masih ada di sana.

Dulu, ia sering meminta sesuatu pada mereka.

Sekarang, ia tahu bahwa bintang-bintang itu hanyalah titik cahaya yang jauh, terlalu jauh untuk peduli pada penderitaan seorang gadis yang bahkan dunia pun sudah melupakannya.

Syana menarik napas panjang.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia berhenti berharap.

Dan ketika harapan itu mati, ia menyadari satu hal.

Ia telah lama mati, hanya saja tubuhnya masih bernapas.

Malam itu, di bawah langit berbintang yang tidak pernah menjawab doanya, Syana tersenyum tipis untuk terakhir kalinya.

Dan keesokan paginya, ketika seseorang menemukan tubuhnya tergantung di balik jendela berjeruji itu, semua orang hanya menghela napas.

Tidak ada yang menangis.

Tidak ada yang peduli.

Karena bagi dunia, Syana hanyalah bagian dari mereka yang tidak pernah benar-benar ada.

 

Hidup nggak selalu adil, dan cerita Syana adalah bukti paling nyatanya. Nggak semua orang ditakdirkan buat bahagia, nggak semua doa bakal dijawab, dan nggak semua luka bisa sembuh.

Syana mungkin cuma karakter dalam cerita, tapi di luar sana, ada banyak Syana di dunia nyata—orang-orang yang berjuang sendirian sampai akhirnya menyerah karena dunia nggak pernah memberi mereka kesempatan kedua. Jadi, setelah baca ini, jangan cuma sedih, tapi sadar… bahwa kadang, sekadar peduli sama seseorang bisa jadi hal paling berarti dalam hidupnya.

Leave a Reply