Nasib Malang Sang Ayam: Perjuangan Tragis Ragas yang Nyaris Berakhir di Arena

Posted on

Pernah nggak sih kepikiran gimana rasanya jadi ayam? Nggak cuma sekadar makan jagung dan berkokok di pagi hari, tapi beneran ngalamin hidup yang keras—diculik dari rumah, dibuang ke tempat asing, sampai dipaksa bertarung buat hiburan manusia.

Ya, begitulah nasib Ragas, seekor ayam yang tadinya cuma pengen hidup tenang, tapi malah terjebak di dunia yang kejam. Cerita ini nggak cuma sekadar kisah ayam biasa, tapi kisah tentang perjuangan, ketakutan, dan harapan terakhir yang hampir padam. Siap-siap baper, ya!

 

Nasib Malang Sang Ayam

Telur yang Menetas di Dunia Kejam

Di sebuah pekarangan belakang rumah, di antara semak-semak dan tumpukan jerami, seekor induk ayam sedang mengerami telur-telurnya. Matanya tajam, mengawasi sekeliling dengan waspada. Sudah berkali-kali ia kehilangan anak-anaknya. Beberapa direbut oleh manusia, beberapa dimangsa musang di malam hari.

Tapi kali ini, ia berharap berbeda.

Cangkang salah satu telur mulai retak. Awalnya hanya sebuah garis halus, lalu semakin lebar hingga muncul celah kecil. Dari dalam, terdengar suara lemah. Tak lama, muncullah paruh kecil yang berusaha menembus batas dunianya. Retakan semakin besar, dan dengan perjuangan yang tak mudah, seekor anak ayam kecil akhirnya keluar, basah dan menggigil.

Induk ayam segera mendekat, menyingkirkan sisa-sisa cangkang dengan paruhnya, lalu menghangatkan anaknya dengan sayapnya.

“Kamu akhirnya keluar juga,” gumamnya, penuh rasa syukur.

Anak ayam kecil itu, yang kelak akan diberi nama Ragas oleh manusia, bergerak pelan. Kakinya masih lemah, matanya berkedip-kedip menyesuaikan diri dengan cahaya.

Hari demi hari berlalu, Ragas tumbuh lebih besar dan mulai mengenali lingkungan sekitarnya. Ia memiliki beberapa saudara, tapi tak semua selamat. Ada yang menghilang begitu saja, ada yang mati terinjak karena tubuh mereka terlalu kecil dan lemah.

Suatu hari, saat matahari hampir tenggelam, Ragas mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia mengangkat kepalanya dan melihat seorang bocah lelaki berlari ke arah kandang ayam.

“Ibu! Aku mau ayam ini!” teriaknya.

Seorang wanita keluar dari rumah, mengusap tangan di celemeknya. “Jangan sembarangan ambil, nanti ayam induknya marah.”

“Tapi aku mau yang ini. Lihat, bulunya beda dari yang lain!” Bocah itu menunjuk ke arah Ragas, yang memang memiliki bulu lebih hitam dan mengilap dibandingkan saudara-saudaranya.

Induk ayam segera melangkah maju, mengembangkan sayapnya untuk melindungi anak-anaknya.

“Pergi dari sini,” desisnya pelan.

Ragas tidak mengerti apa yang terjadi, tapi hatinya terasa tidak nyaman. Sejak kecil, ia selalu diajarkan bahwa manusia itu berbahaya.

Bocah itu berusaha menangkap Ragas, tapi sebelum tangannya berhasil menyentuhnya, induk ayam mengepakkan sayapnya dengan keras dan mematuk tangan bocah itu.

“Aww!!” Bocah itu terkejut dan mundur beberapa langkah.

Wanita yang berdiri di belakangnya tertawa kecil. “Makanya, dengarkan kata Ibu. Induk ayam itu tidak akan membiarkan anaknya diambil begitu saja.”

Bocah itu mengusap tangannya yang merah karena kena patuk, lalu cemberut. “Tapi aku tetap mau ayam ini kalau dia sudah besar nanti!”

Induk ayam hanya bisa memandang bocah itu dengan tatapan tajam, meski ia tahu manusia tidak akan mengerti maksudnya. Saat bocah itu dan ibunya pergi, ia segera menarik anak-anaknya ke dekatnya.

“Dengar, Ragas. Kamu harus selalu waspada,” katanya pelan. “Jangan pernah terlalu dekat dengan manusia.”

Ragas mengerjap bingung. “Kenapa?”

“Karena mereka tidak benar-benar menyayangi kita,” jawab induknya. “Hari ini mereka bilang kamu lucu, besok kamu bisa saja hilang begitu saja.”

Ragas tidak benar-benar memahami maksud perkataan ibunya, tapi ia mengangguk pelan.

Namun, sekuat apa pun induknya melindungi anak-anaknya, takdir tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Malam itu, terdengar suara gaduh di luar kandang. Seekor musang menyelinap masuk, matanya tajam dan kelaparan. Induk ayam bergegas berdiri, mengembangkan sayapnya lebar-lebar, berusaha menghalangi jalan musang itu.

“Kamu tidak boleh mengambil anak-anakku!” teriaknya.

Musang menyeringai. “Aku lapar. Dan ayam kecil itu terlihat enak.”

Induk ayam langsung menyerang, mencakar dan mematuk sekuat tenaga. Suara gaduh membangunkan pemilik rumah, yang bergegas keluar membawa obor. Musang ketakutan dan berlari pergi, tapi sebelum itu, ia sempat mencengkeram salah satu saudara Ragas dan membawanya kabur ke dalam kegelapan.

Ragas hanya bisa terdiam, matanya membelalak. Itu pertama kalinya ia melihat kematian begitu dekat.

Induknya berdiri diam beberapa saat, napasnya tersengal, sebelum akhirnya menunduk. “Aku sudah bilang, dunia ini kejam, Ragas…” bisiknya.

Sejak malam itu, Ragas mulai menyadari satu hal. Dalam hidupnya, ia hanya punya dua pilihan: menjadi kuat atau menjadi korban.

Dan ia tidak mau menjadi korban.

 

Dijual Tanpa Pilihan

Fajar baru saja menyingsing ketika pintu kandang ayam berderit terbuka. Ragas masih setengah mengantuk, tapi ia segera tersadar saat melihat tangan besar menyambar tubuhnya. Ia menjerit dan mengepakkan sayapnya sekuat tenaga, berusaha melepaskan diri.

“Tolong!!” jeritnya panik, tapi tentu saja, manusia tidak akan mengerti bahasanya.

Induk ayam melompat, menyerang tangan manusia itu dengan paruh dan cakarnya. “Lepaskan anakku!” serunya marah.

Namun, cengkeraman itu terlalu kuat.

“Aduh, ayam satu ini memang galak!” gerutu pria pemilik rumah sambil mengibaskan tangannya, mengusir sang induk.

Induk ayam tetap berusaha bertahan, tapi sebuah tendangan kecil dari pria itu membuatnya terhuyung mundur. Ragas melihatnya jatuh ke tanah, sayapnya terbuka lebar, napasnya tersengal-sengal.

“Ibu!!” Ragas menjerit ketakutan.

Namun, tak ada yang bisa ia lakukan ketika pria itu memasukkannya ke dalam keranjang bambu yang sempit. Ragas mencoba melompat, tapi tutupnya segera ditutup rapat.

Induk ayam berlari ke arah keranjang itu, mematuk-matuk bambunya dengan putus asa. “Jangan bawa anakku! Tolong jangan!”

Namun, manusia tidak mendengar.

Ragas hanya bisa melihat wajah ibunya dari sela-sela anyaman bambu. Mata itu penuh kesedihan dan keputusasaan, sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Lalu, dunia di sekelilingnya mulai bergerak. Ia merasakan tubuhnya terguncang-guncang ketika keranjang itu diangkat, dibawa keluar pekarangan, meninggalkan induknya yang masih berlari mengejar.

Namun sekuat apa pun induknya berusaha, langkah manusia selalu lebih panjang dan lebih cepat.

Perjalanan terasa begitu lama. Ragas hanya bisa mendengar suara-suara asing di sekelilingnya: derap kaki manusia, tawa mereka, suara ayam lain yang juga dikurung di dalam keranjang.

Hingga akhirnya, keranjang itu berhenti berguncang.

Tutupnya dibuka, dan cahaya terang menyilaukan matanya. Ia berkedip beberapa kali, menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.

Ia berada di tempat yang jauh lebih ramai daripada pekarangan rumah. Di sekelilingnya, ada banyak keranjang lain berisi ayam-ayam yang terlihat bingung dan ketakutan. Udara dipenuhi bau yang aneh—perpaduan antara kotoran, tanah, dan sesuatu yang lebih menusuk.

Pasar.

“Ayamnya sehat, bulunya bagus. Mau beli, Pak?” suara pria pemilik rumah terdengar berbicara dengan seseorang.

“Yang itu, berapa?” suara lain bertanya.

Ragas menoleh dan melihat seorang pria tua menatapnya dengan mata menilai.

“Sepuluh ribu saja. Dijamin sehat.”

Pria tua itu menghela napas. “Buat adu, kuat nggak?”

Ragas tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi hatinya tiba-tiba dipenuhi ketakutan.

Pemiliknya tertawa. “Masih kecil, sih. Tapi kalau dirawat baik-baik, bisa jadi petarung tangguh.”

Ragas merasakan tangan kasar meraihnya, mengeluarkannya dari keranjang. Ia kembali mencoba melawan, mengepakkan sayap dan mencakar, tapi cengkeraman itu terlalu kuat.

Pria tua itu memperhatikannya sebentar, lalu mengangguk. “Baiklah, saya beli.”

Tak ada lagi yang bisa dilakukan Ragas ketika tubuhnya dimasukkan ke dalam kantong jaring yang sempit. Ia bisa merasakan napasnya semakin pendek karena ketakutan.

Ia telah dijual.

Dan kini, ia benar-benar sendirian.

 

Pertarungan Tanpa Kemenangan

Dalam perjalanan menuju tempat barunya, tubuh Ragas terguncang dalam kantong jaring yang kasar. Napasnya terasa berat, pikirannya dipenuhi ketakutan. Ia mendengar suara roda gerobak berdecit, suara manusia berbicara, dan sesekali bau menyengat dari pasar masih tercium di sekelilingnya.

Tiba-tiba, kantong jaring itu terbuka, dan Ragas terlempar ke dalam sebuah kandang kayu yang jauh lebih sempit dari tempat tinggalnya dulu. Beberapa ayam lain menatapnya dengan tatapan kosong—mata mereka tampak lelah, seperti sudah kehilangan harapan.

“Heh, anak baru,” suara serak dari seekor ayam jantan besar di sudut kandang membuat Ragas menoleh. Ayam itu memiliki paruh yang sedikit retak dan luka di salah satu sayapnya.

“Kamu siapa?” tanya Ragas dengan suara kecil.

“Aku Sidra. Dulu aku juga seperti kamu—datang ke tempat ini tanpa tahu nasib apa yang menunggu.”

Ragas menelan ludah. “Apa yang akan terjadi padaku?”

Sidra menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Kamu akan bertarung.”

Jantung Ragas mencelos. “Bertarung? Maksudmu—?”

Sidra mengangguk pelan. “Di tempat ini, ayam-ayam seperti kita hanya punya satu pilihan: bertahan atau mati.”

Sebelum Ragas sempat mencerna kata-kata itu, suara langkah kaki manusia mendekat. Seorang pria membuka kandang dan mengulurkan tangannya ke arah Ragas.

“Tidak!” Ragas mengepakkan sayapnya, mencoba mundur, tapi pria itu lebih cepat.

Ia dicengkeram dan dibawa ke sebuah arena kecil berbentuk lingkaran, dikelilingi oleh manusia yang bersorak-sorai. Udara di sana penuh dengan debu dan bau darah. Ragas melihat ayam lain di hadapannya—ayam jantan yang lebih besar, dengan taji tajam di kakinya.

Kerumunan semakin riuh.

“Duel pertama untuk si kecil ini!” teriak seseorang. “Siapa yang berani pasang taruhan?”

Ragas gemetar. Ia tidak ingin bertarung. Ia hanya ingin pulang.

Tapi suara keras menggelegar di telinganya.

“Hajar dia!!”

Seketika, ayam jantan lawannya menyerang. Ragas nyaris tidak punya waktu untuk bereaksi. Taji tajam itu mengenai bahunya, menimbulkan rasa sakit luar biasa.

Ia terjatuh.

Kerumunan bersorak lebih keras.

“Ayo, lawan balik!” suara manusia lain berteriak.

Ragas tahu ia harus bangkit. Tapi tubuhnya lemah, sayapnya gemetar. Ayam lawannya menyerang lagi, mencengkeram tubuhnya dan mematuk kepalanya.

Darah mengalir.

Suara-suara di sekelilingnya semakin menggila.

Di tengah rasa sakit yang menyiksa, Ragas hanya bisa bertanya dalam hatinya—apakah ini akhir hidupnya?

 

Takdir Terakhir Sang Ayam

Tubuh Ragas terbaring lemah di tanah berdebu, napasnya tersengal. Sayapnya tak lagi bisa bergerak, dan darah mengalir dari luka di kepalanya. Sorakan manusia masih menggema di sekelilingnya, tapi suara itu mulai terdengar jauh, seperti datang dari dunia lain.

Lawannya masih berdiri tegak, taji tajamnya berlumuran darah—darah Ragas.

“Sudah cukup! Ayam kecil ini sudah kalah,” seseorang berseru.

Namun, pria pemilik Ragas menggeleng. “Belum. Kalau dia mati, baru selesai.”

Ragas ingin menangis. Ia tidak ingin mati di sini, tidak di tempat asing ini, tidak di depan orang-orang yang hanya melihatnya sebagai alat hiburan. Ia ingin pulang. Ia ingin bertemu ibunya.

Tapi tubuhnya tak bisa bergerak.

Saat ayam lawannya melangkah maju untuk memberi serangan terakhir, suara nyaring tiba-tiba menghentikan semuanya.

“Berhenti!”

Seseorang menerobos kerumunan. Seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun berlari ke arena, napasnya tersengal. Ia menatap Ragas dengan mata yang penuh belas kasihan.

“Ayah, tolong! Jangan bunuh dia!” Anak itu menoleh ke pria pemiliknya. “Aku mau bawa ayam ini pulang!”

Pria itu tampak ragu. “Tapi—”

“Aku pakai uang tabunganku!” Anak itu mengeluarkan beberapa lembar uang lusuh dari sakunya. “Tolong, Ayah.”

Kerumunan mulai berbisik-bisik. Beberapa orang tertawa, beberapa mendesah kecewa.

“Dasar bocah, nggak cocok datang ke arena,” seseorang mencemooh.

Tapi anak itu tidak peduli. Ia menatap ayahnya dengan penuh tekad.

Akhirnya, pria itu menghela napas. “Baiklah. Tapi jangan menyesal kalau dia nggak bertahan lama.”

Tanpa menunggu lebih lama, anak itu mengangkat tubuh Ragas dengan hati-hati dan membawanya pergi dari arena.

Ragas merasa nyaman. Ia tidak lagi mendengar suara bising, tidak mencium bau darah, dan tidak merasakan debu menyumbat napasnya.

Saat matanya terbuka, ia melihat cahaya hangat. Ia berada di tempat yang asing, tapi tidak menakutkan. Di sekelilingnya ada jerami kering yang lembut, wadah air bersih, dan makanan yang cukup.

Lalu, ia melihat anak laki-laki itu tersenyum padanya.

“Kamu aman sekarang,” katanya pelan.

Ragas ingin percaya. Meski tubuhnya masih sakit, ada sesuatu dalam tatapan anak itu yang membuatnya merasa lebih baik.

Mungkin, untuk pertama kalinya sejak ia diambil dari rumahnya, nasibnya tidak lagi malang.

Mungkin, akhirnya ia menemukan tempat yang benar-benar bisa ia sebut rumah.

 

Dan begitulah, dari seekor ayam yang nyaris kehilangan segalanya, Ragas akhirnya nemuin harapan di tempat yang nggak pernah dia sangka. Hidup emang gitu, kadang keras, kadang nyakitin, tapi selalu ada titik terang kalau kita masih bertahan.

Jadi, buat kamu yang lagi ngerasa dunia nggak adil, inget Ragas—dia udah ngalamin yang lebih parah, tapi tetap bisa nemuin tempatnya. Siapa sangka, kan? Dunia emang penuh kejutan!

Leave a Reply