Nasi Sudah Jadi Bubur: Penyesalan yang Datang Terlambat

Posted on

Kadang, kita baru sadar udah bikin kesalahan besar pas semuanya udah hancur. Mau balik ke masa lalu? Gak bisa. Mau perbaiki semuanya? Bisa, tapi gak bakal sama lagi.

Ini cerita tentang seseorang yang baru ngerti arti kehilangan setelah semuanya terlambat. Penyesalan? Jelas. Bisa dimaafkan? Belum tentu. Tapi hidup gak selalu ngasih kesempatan kedua, kan?

 

Nasi Sudah Jadi Bubur

Pintu yang Tak Lagi Sama

Hujan turun deras malam itu. Jalanan basah, genangan air membentuk cermin yang memantulkan cahaya lampu jalanan yang temaram. Udara dingin menusuk tulang, bercampur bau tanah yang khas setelah hujan. Suara gemuruh petir sesekali menggelegar, menyusul kilatan cahaya yang membelah langit.

Di ujung jalan sempit itu, seorang pria berdiri kaku di depan sebuah rumah tua yang catnya mulai pudar. Jemarinya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang lebih dalam—rasa ragu yang sejak tadi menggerogoti pikirannya.

Rumah itu masih sama, tapi terasa asing. Jendela kayu yang dulu selalu terbuka kini tertutup rapat. Lampu teras menyala redup, nyaris padam. Aroma kayu basah tercium dari pagar yang lapuk dimakan usia. Pria itu, Aksa, menelan ludah, berusaha meredam sesuatu yang mengganjal di dadanya.

Tiga ketukan mendarat di pintu. Hening.

Ia menunggu, menekan napasnya, merasakan ketegangan menyelinap ke dalam tulang-tulangnya. Lalu, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, suara langkah terdengar dari dalam.

Pintu berderit terbuka, dan di sana, berdiri seorang wanita tua. Wajahnya dipenuhi garis-garis usia yang lebih dalam dari yang Aksa ingat. Rambutnya yang dulu hitam legam kini penuh uban. Tapi yang paling membuat dada Aksa mencelos adalah matanya—mata yang tidak lagi memancarkan kehangatan seperti dulu.

“Aksa?” suara itu serak, hampir seperti bisikan.

Aksa membuka mulut, tapi suara tertahan di tenggorokan. Seluruh keberanian yang tadi dikumpulkannya seakan menguap begitu saja.

“Ibu…” akhirnya, hanya satu kata itu yang berhasil keluar.

Wanita tua itu masih diam, matanya menatap Aksa lama, seolah memastikan bahwa yang berdiri di depannya benar-benar anaknya yang telah lama menghilang. Napasnya berat, seperti ada sesuatu yang tertahan di dadanya.

Lalu, perlahan, ia melangkah mundur, membiarkan pintu terbuka lebih lebar.

Aksa melangkah masuk, dan rumah itu menyambutnya dengan keheningan yang menusuk. Aroma kayu tua, suara rembesan air dari atap bocor, dan dinginnya lantai yang tidak lagi terasa hangat seperti dulu.

“Kenapa kamu pulang?” suara ibunya akhirnya terdengar, pelan, tapi tajam.

Aksa menelan ludah. “Aku… aku kangen, Bu.”

Sebuah tawa kecil lolos dari bibir wanita itu, tapi bukan tawa bahagia. Lebih mirip dengan tawa getir, penuh kepahitan yang sulit dijelaskan.

“Kangen?” ibunya berjalan pelan ke arah meja kayu di ruang tamu. Jemarinya menyentuh permukaannya yang mulai berdebu. “Setelah bertahun-tahun kamu hilang, tiba-tiba kamu pulang dan bilang kangen?”

Aksa terdiam. Ia tahu ibunya marah. Ia tahu kata-katanya terdengar bodoh. Tapi ia benar-benar tidak tahu harus berkata apa.

“Aku…” suaranya nyaris bergetar. “Aku mau pulang, Bu.”

Ibunya menoleh, menatapnya dengan mata yang dingin. “Rumah ini gak pernah berubah, Aksa. Yang berubah itu kamu.”

Hening kembali mengisi ruangan. Suara hujan di luar terdengar semakin deras, seakan ikut menekan atmosfer yang sudah berat sejak awal.

“Ayah mana?” Aksa akhirnya memberanikan diri bertanya.

Ibunya terdiam sejenak. Tangan kurusnya mengusap meja kayu itu perlahan, seperti sedang mencari sesuatu yang tidak ada.

“Ayahmu udah lama gak di sini,” jawabnya tanpa menoleh.

Dada Aksa berdenyut. Sesuatu terasa mencengkeram tenggorokannya.

“Maksud Ibu…?”

Wanita itu menghela napas panjang. “Aks, kamu pergi begitu aja. Kamu gak ada waktu buat keluarga ini. Sekarang kamu pulang dan tanya soal ayah?” suaranya melemah di akhir kalimat.

Aksa merasa perutnya seperti dipukul. Ia tidak bisa membalas. Ia tahu ibunya benar.

Beberapa detik berlalu dalam diam sebelum ibunya akhirnya berbalik, berjalan pelan menuju dapur. Aksa mengikutinya, langkahnya berat. Ia memperhatikan punggung ibunya yang terlihat lebih ringkih dari yang ia ingat.

Di dapur, ibunya membuka tutup panci kecil di atas kompor. Aroma hangat langsung menyebar ke seluruh ruangan. Bubur.

“Masih suka makan bubur?” ibunya bertanya tanpa menoleh.

Aksa mengangguk, meskipun ia tahu ibunya tidak bisa melihatnya.

Wanita itu menuangkan bubur ke dalam mangkuk, lalu duduk di kursi kayu yang sudah tua. Tangannya mengaduk-aduk bubur itu pelan.

“Kamu tahu, Aksa?” suara ibunya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Dulu, ayahmu selalu bilang… hidup ini kayak nasi yang udah jadi bubur.”

Aksa menatapnya, hatinya mencelos mendengar nama ayahnya disebut.

“Kalau nasi udah jadi bubur, kita bisa tambah kecap, bisa tambah ayam, biar lebih enak,” ibunya melanjutkan. “Tapi tetap aja, itu gak akan pernah jadi nasi lagi.”

Hening.

Aksa menunduk. Ia tahu persis apa maksud ibunya.

Waktu tidak bisa diputar kembali. Kesalahan tidak bisa dihapus begitu saja. Penyesalan? Bisa, tapi tidak akan mengubah apa pun.

Di luar, hujan masih turun. Dingin merambat masuk ke setiap sudut rumah. Dan di dalam ruangan kecil itu, seorang pria hanya bisa duduk dalam diam, menatap bubur di atas meja—dan menyadari bahwa semuanya sudah terlambat.

 

Langkah yang Terlambat

Bubur di atas meja mendingin, uapnya perlahan menghilang. Aksa masih menatap mangkuk itu, tapi pikirannya melayang jauh. Rumah ini, aroma kayu lapuknya, suara detak jam tua di dinding—semua terasa seperti tempat yang pernah ia kenal, tapi tidak lagi menyambutnya.

Ibunya duduk di seberang meja, sendok di tangannya hanya berputar-putar di dalam bubur tanpa benar-benar mengambilnya. Tidak ada yang berbicara, hanya suara hujan yang masih deras di luar.

Aksa akhirnya menghela napas, memberanikan diri bertanya, “Ayah… ke mana?”

Ibunya menghentikan gerakan tangannya. Ada jeda beberapa detik sebelum ia akhirnya menjawab, “Dia pergi.”

Aksa menelan ludah. “Maksud Ibu?”

Wanita tua itu menegakkan punggungnya, seolah ingin terlihat lebih kuat dari yang sebenarnya. “Setelah kamu pergi, ayahmu sakit. Makin lama makin parah. Dia sering duduk di teras, nunggu kamu pulang, Aksa.”

Dada Aksa mencengkeram perasaan bersalah yang berat.

“Awalnya, dia masih kuat. Masih bisa ketawa, masih bisa cerita ini itu. Tapi makin lama, dia jadi pendiam. Hari-harinya cuma duduk diam, tatapannya kosong. Aku tanya, dia cuma geleng-geleng kepala.”

Ibunya berhenti sejenak, menarik napas panjang. “Sampai suatu hari, dia bilang… dia capek.”

Hujan makin deras. Aksa mengepalkan tangannya di atas meja.

“Ibu…” suaranya lirih.

“Dia pergi, Aksa.” Suara ibunya bergetar. “Bulan lalu. Satu bulan sebelum kamu memutuskan buat pulang.”

Seolah ada sesuatu yang menghantam dada Aksa. Nafasnya tertahan.

Satu bulan.

Andai ia pulang lebih cepat…

Andai ia tidak terlalu lama membiarkan egonya menguasai…

Tapi andai hanya akan tetap menjadi andai.

Aksa menunduk dalam. Matanya terasa panas, tapi tidak ada air mata yang jatuh. Semua emosi di dadanya bergejolak, tapi ia tidak tahu harus melampiaskannya bagaimana.

“Kenapa kamu baru pulang sekarang?” suara ibunya memecah keheningan.

Aksa tidak bisa langsung menjawab. Ia tahu ia punya banyak alasan. Pekerjaan, kesibukan, kehidupan yang ia bangun sendiri di luar sana. Tapi semua alasan itu tidak ada artinya sekarang.

“Aku bodoh, Bu,” suaranya serak.

Ibunya tertawa kecil, getir. “Iya. Kamu bodoh.”

Aksa mendongak, menatap ibunya yang masih sibuk mengaduk-aduk bubur yang sudah dingin. Matanya menerawang jauh, seolah berbicara dengan seseorang yang tidak lagi ada.

“Kamu tahu,” lanjutnya. “Ayahmu selalu bilang kalau anaknya pasti bakal pulang. Dia percaya sama kamu.”

Aksa menggigit bibirnya. “Aku pulang, Bu.”

“Terlambat.”

Jawaban itu menusuk lebih dalam dari yang ia duga.

Ibunya akhirnya menaruh sendok, mengangkat wajah dan menatapnya langsung. Mata itu tidak sekosong tadi, tapi juga tidak sehangat yang ia harapkan.

“Kamu ingat dulu, tiap pagi ayahmu selalu ngaduk bubur biar gak menggumpal?” tanyanya tiba-tiba.

Aksa mengangguk pelan.

“Dia selalu bilang, bubur yang enak itu butuh kesabaran. Harus diaduk pelan, dijaga apinya, baru bisa jadi bubur yang lembut. Tapi kalau api terlalu besar, kalau kita tinggal sebentar aja, hasilnya bisa rusak.”

Hening.

“Kayak hidup kita, Aksa. Ada hal-hal yang gak bisa kita tinggalin terlalu lama.”

Aksa meremas celananya di bawah meja. Ia mengerti maksud ibunya. Sangat mengerti.

“Ibu benci aku?” tanyanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

Wanita tua itu menatapnya lama. Lalu, dengan nada yang lebih pelan, ia menjawab, “Aku gak pernah benci anakku sendiri. Aku cuma… kecewa.”

Dada Aksa semakin sesak. Kecewa. Kata itu terasa lebih menyakitkan daripada kebencian.

Hujan mulai mereda di luar. Aksa menunduk, menatap bubur yang sudah tidak beruap lagi. Seperti dirinya—datang terlambat, ketika semuanya sudah kehilangan kehangatannya.

Ibunya berdiri, meraih mangkuknya dan berjalan ke wastafel. Tanpa suara, ia membuang bubur yang sudah dingin ke dalam tempat sampah.

Aksa tidak bisa mengucapkan apa-apa. Ia hanya bisa duduk di sana, menyaksikan semuanya.

Menyesali semuanya.

 

Bubur di Atas Meja

Aksa tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana, menatap meja yang kini kosong. Ibunya sudah masuk ke dalam kamar, meninggalkannya sendirian dengan pikirannya yang semakin kacau.

Hujan di luar sudah reda, hanya menyisakan titik-titik air yang mengalir di kaca jendela. Udara masih dingin, dan rumah ini… terasa lebih sunyi dari yang ia ingat.

Matanya terpaku pada tempat di mana mangkuk bubur tadi berada. Kosong. Sama seperti hatinya.

Aksa menekan wajahnya ke kedua telapak tangan. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Pulang. Ia pikir itu jawaban dari segalanya. Ia pikir, kalau ia datang dan meminta maaf, segalanya akan membaik. Tapi nyatanya, tidak sesederhana itu. Kenyataan sudah berubah. Tidak ada yang bisa ia perbaiki.

Pintu kamar ibunya masih tertutup rapat. Aksa ingin mengetuknya, ingin berbicara lebih banyak, ingin bertanya apa ia masih bisa menjadi bagian dari rumah ini?

Tapi ia tidak berani.

Ia bangkit dari kursi, berjalan ke dapur. Pikirannya melayang ke masa lalu. Ia ingat saat kecil dulu, ketika ayahnya selalu menemaninya makan bubur setiap pagi. “Kalau keburu lapar, makan aja meski masih panas,” kata ayahnya waktu itu. “Kalau kelamaan, buburnya jadi dingin dan gak enak.”

Sama seperti sekarang.

Tangannya refleks meraih panci di atas kompor. Ada sedikit bubur yang tersisa di dalamnya. Masih ada jejak putih yang mengering di pinggiran panci, tapi isinya sudah dingin dan menggumpal.

Aksa mengambil sendok, mencoba mengaduknya. Apakah bisa dipanaskan lagi? Apakah semuanya bisa diperbaiki?

Tidak.

Ia tahu jawabannya.

Bubur yang sudah jadi, tidak bisa kembali menjadi nasi. Seperti dirinya, yang tidak bisa mengubah waktu, tidak bisa menarik kembali keputusannya yang dulu.

Aksa menatap bubur itu lama, sebelum akhirnya ia membuangnya ke tempat sampah. Sama seperti ibunya tadi.

Saat ia membalikkan badan, ibunya sudah berdiri di ambang pintu dapur.

“Kamu gak tidur?” tanya ibunya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.

Aksa menggeleng. “Aku gak bisa.”

Mereka saling menatap dalam diam.

Aksa ingin bicara, ingin mengatakan sesuatu yang bisa membuat semuanya lebih baik. Tapi lidahnya kelu.

Ibunya akhirnya berjalan mendekat, tangannya terangkat untuk merapikan kerah baju Aksa—gerakan refleks seorang ibu yang bahkan setelah bertahun-tahun masih teringat.

“Kamu mau tetap tinggal di sini?” tanya ibunya pelan.

Pertanyaan itu membuat napas Aksa tertahan sejenak. Ia tidak menyangka akan ditanya seperti itu.

“Aku…” Aksa menggantungkan jawabannya.

Ia ingin tinggal. Tapi apakah ia pantas?

Ibunya menarik napas panjang. “Rumah ini masih rumahmu, Aksa.”

Aksa merasakan sesuatu menghangat di dadanya. Ia tidak tahu apakah itu kelegaan, atau justru rasa bersalah yang semakin menghantamnya.

“Tapi Ibu gak bisa janji apa-apa.” Ibunya melanjutkan, suaranya masih datar. “Aku gak bisa pura-pura seolah gak ada yang terjadi.”

Aksa mengangguk. Itu sudah lebih dari cukup.

Setidaknya, ia belum sepenuhnya kehilangan tempat ini.

Malam itu, Aksa tidur di kamar lamanya. Kamar yang terasa asing sekaligus familiar. Di sana, tidak ada satu pun yang berubah sejak ia pergi. Rak buku yang sama. Meja kayu yang sama. Bahkan selimut biru tua yang dulu ia tinggalkan masih tersampir di kasur.

Ia berbaring menatap langit-langit, pikirannya tidak berhenti berputar.

Pulang tidak membuat segalanya membaik. Tapi setidaknya, ia punya kesempatan untuk memperbaiki yang masih tersisa.

Di luar jendela, langit sudah mulai cerah.

 

Nasi Sudah Menjadi Bubur

Pagi datang dengan cahaya matahari yang merayap masuk melalui celah tirai. Aksa membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa berat. Bukan karena kurang tidur, tapi karena beban di dadanya masih ada—tidak berkurang sedikit pun.

Ia duduk di tepi ranjang, menatap kamar yang dulu ia tinggalkan. Semua masih sama, tapi terasa begitu berbeda. Dulu, tempat ini adalah ruang kecil yang selalu membuatnya nyaman. Sekarang? Ia merasa seperti tamu di rumah sendiri.

Dari luar, terdengar suara ibunya di dapur. Suara yang dulu akrab, sekarang terasa jauh.

Aksa menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah keluar kamar.

Di meja makan, ada dua mangkuk bubur. Ibunya duduk di sana, menyendokkan bubur ke mulutnya dengan gerakan pelan.

Aksa berdiri di ambang pintu, menatap pemandangan itu. Ada kehangatan yang samar, tapi juga kesunyian yang tidak bisa dihindari.

“Duduk,” kata ibunya tanpa menoleh.

Aksa menuruti. Ia menarik kursi dan duduk di seberang ibunya. Tangannya terangkat, meraih sendok, lalu mengambil satu suap bubur.

Panas.

Ia terdiam sejenak, membiarkan rasa itu menyebar di lidahnya. Rasa yang dulu ia kenal. Rasa yang membuatnya teringat banyak hal—tentang pagi-pagi bersama ibunya, tentang ayahnya yang dulu selalu duduk di kursi ini, tentang rumah ini yang dulu terasa begitu hidup.

Tapi sekarang, hanya ada mereka berdua.

“Aku gak tahu harus gimana,” kata Aksa akhirnya, suaranya serak.

Ibunya tidak langsung menjawab. Ia hanya meletakkan sendoknya dengan tenang, menatap Aksa dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kamu pikir, kalau kamu datang, semuanya bakal kembali seperti dulu?” tanya ibunya.

Aksa menunduk. “Aku gak tahu…”

Ibunya menghela napas. “Aksa, nasi udah jadi bubur. Yang lalu gak bisa diulang.”

Aksa mengepalkan tangannya di atas meja. “Aku tahu. Tapi…”

“Tapi kamu berharap aku melupakan semuanya?” potong ibunya.

Tidak ada amarah dalam suaranya, hanya kelelahan yang begitu kentara.

Aksa tidak bisa menjawab. Karena sejujurnya, mungkin, iya. Ia berharap ibunya bisa menghapus luka itu begitu saja. Ia berharap ibunya bisa menerimanya kembali tanpa perlu mengungkit masa lalu. Tapi itu tidak mungkin.

“Aku gak minta Ibu melupakan,” kata Aksa akhirnya. “Aku cuma… pengen mulai lagi.”

Ibunya menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Bubur tetap bubur, Aksa. Tapi kalau kita mau, kita bisa menambahkan sesuatu supaya rasanya lebih baik.”

Aksa menatap ibunya, mencoba memahami maksud dari kata-kata itu.

“Kamu gak bisa mengubah yang sudah terjadi. Tapi kalau kamu benar-benar ingin memperbaiki sesuatu, buktikan. Jangan cuma datang, makan bubur ini, lalu pergi lagi.”

Kata-kata ibunya menusuk dalam.

Aksa tidak bisa berjanji apa pun. Ia tahu, kata-kata tidak ada artinya lagi sekarang. Ia sudah terlalu banyak membuat kesalahan, terlalu banyak kehilangan waktu. Tapi… jika masih ada yang bisa ia lakukan, ia ingin mencobanya.

Ia mengambil sendok lagi, menyendokkan bubur ke mulutnya. Kali ini, buburnya sudah lebih dingin. Tapi rasanya lebih baik dari yang ia kira.

Mungkin, seperti kata ibunya, bubur bisa jadi lebih enak jika ia mau menambahkan sesuatu.

Dan mungkin, meskipun nasi sudah menjadi bubur, hidupnya masih bisa diperbaiki—sedikit demi sedikit.

 

Gak ada tombol rewind buat hidup. Kalau udah terlambat, ya udah. Nasi yang udah jadi bubur gak bakal balik jadi nasi lagi. Tapi kalau bubur itu dikasih topping, bisa jadi sesuatu yang lebih baik. Pertanyaannya, kamu bakal nyoba memperbaiki atau cuma nyesel doang tanpa ngelakuin apa-apa?

Leave a Reply