Nama yang Hilang dari Papan Prestasi: Ketika HP Jadi Dunia, Nilai Jadi Korban

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa dunia nyata jadi makin jauh sejak HP makin nempel di tangan? Cerpen yang satu ini bakal bikin kamu mikir ulang tentang hubungan kamu sama gadget. “Nama yang Hilang dari Papan Prestasi” bukan cuma kisah tentang nilai sekolah yang turun, tapi juga soal kehilangan arah, persahabatan yang renggang, dan perjuangan buat bangkit dari keterpurukan.

Cerita ini relate banget sama kehidupan remaja zaman sekarang, ditulis dengan gaya santai tapi dalem, cocok dibaca siapa aja yang pernah ngerasa ‘terjebak’ di layar. Yuk, kenalan sama Nayara dan lihat gimana ia pelan-pelan cari jalan pulang ke dirinya sendiri.

Nama yang Hilang dari Papan Prestasi

Hadiah yang Mengubah Segalanya

Hari itu, langit Renggalih berwarna biru pucat. Hujan belum turun, tapi awan menggantung seolah menimbang-nimbang. Di dalam rumah bercat krem muda, suara tawa terdengar dari ruang makan. Tiga orang duduk di sana, satu di antaranya adalah Nayara Prabesti.

“Selamat ulang tahun, Nayara,” ucap sang ayah sambil menyodorkan kotak kecil yang dibungkus dengan kertas warna biru metalik dan pita emas di atasnya. Senyumnya merekah seperti selalu, hangat dan penuh harapan.

Nayara langsung tahu isinya. Sudah tiga bulan ia menginginkan satu benda itu, membicarakannya sesekali sambil pura-pura tidak terlalu berharap. Tapi matanya tak bisa bohong. Ia ingin ponsel barunya lebih dari apapun.

“Serius ini buat aku?” tanyanya sambil menahan tawa.

Ibunya mengangguk, “Iya, tapi janji dulu, jangan sampai kebablasan mainnya.”

“Tenang aja, Bu,” balas Nayara sambil tertawa, “aku kan nggak kayak anak-anak lain yang tiap lima menit update story.”

Seketika itu, suasana makan pagi berubah jadi lebih cerah daripada langit luar. Ayahnya mengusap kepala Nayara, lalu mengingatkan bahwa semester depan sudah dekat. Tapi semuanya terdengar ringan, tidak ada tekanan. Yang ada hanya rasa percaya dan bangga.

Malamnya, setelah semua lampu kamar dimatikan, layar pertama kali menyala di tangan Nayara. Cahaya biru dari ponsel baru itu menari-nari di matanya. Ia mengunduh aplikasi belajar dulu, sesuai janjinya. Tapi tak lama kemudian, jempolnya mengarah ke TikTok, lalu Instagram, lalu Spotify.

“Sekalian cari inspirasi,” bisiknya dalam hati, menenangkan nurani yang sempat bergemuruh pelan.

Hari-hari berikutnya berubah dengan cepat. Jadwal bangun pagi yang dulu teratur mulai kacau. Nayara sering terlambat ke sekolah. Kadang sarapan dibawa ke dalam mobil sambil ia tetap menunduk menatap layar. Di kelas, ia masih berusaha mendengarkan guru, tapi pikirannya sering melayang, terutama saat layar ponsel di sakunya bergetar.

Ambar, sahabatnya sejak SMP, sempat mengingatkan.

“Ra, kamu kayaknya makin jarang fokus, deh. Tugas kemarin aja kamu lupa kumpulin,” ucap Ambar saat mereka duduk berdua di kantin sekolah.

“Aku lagi capek aja, Bar. Tugasnya numpuk banget,” elak Nayara tanpa menatap sahabatnya.

“Tapi kamu online terus. Aku lihat kamu aktif terus di Insta,” Ambar melipat tangan di dada.

Nayara mendengus pelan. “Ya ampun, kamu jadi kayak ibuku.”

“Bukan gitu, Ra. Aku cuma takut kamu berubah…”

Kalimat itu menggantung. Nayara tidak menjawab. Ia hanya memutar sedotan plastik di gelas es tehnya dengan gelisah. Dalam hatinya, ada bagian yang ingin mendengar, tapi bagian lainnya merasa disudutkan.

Sepulang sekolah, Nayara tidak langsung mengerjakan PR. Ia membuka ponsel, membuka notifikasi yang menumpuk, dan tanpa sadar, waktu mengalir seperti pasir dalam jam. Matahari sudah tenggelam ketika ia baru sadar bahwa PR Biologi masih kosong.

“Yar, kamu belum makan malam?” tanya sang ibu dari luar kamar.

“Belum, bentar lagi aku keluar,” jawab Nayara cepat, lalu kembali menatap layar.

Di balik pintu, sang ibu menghela napas. Ia merindukan anak gadisnya yang dulu suka membantu memasak dan bercerita tentang pelajaran. Kini, Nayara lebih banyak mengurung diri, dengan senyum yang hanya muncul saat ada notifikasi baru.

Di sekolah, guru-gurunya mulai melihat perubahan. Nayara tidak seaktif dulu. Ia jarang mengangkat tangan, dan tulisannya di buku catatan semakin berantakan. Tapi karena nilai-nilainya masih cukup baik, belum ada yang benar-benar menegur.

Sementara itu, Nayara mulai menghabiskan waktu larut malam dengan menonton video tren terbaru, ikut tantangan online, dan mengedit foto agar tampil sempurna di laman profilnya. Ia mendapatkan banyak ‘like’, banyak komentar, dan pujian dari orang asing yang bahkan tidak ia kenal. Semua itu memberinya rasa puas yang instan, berbeda dengan rasa bangga yang dulu ia dapat dari kerja keras belajar.

“Aku suka banget aesthetic-nya, Nay!” tulis salah satu pengikutnya di Instagram.

“Wah, gaya kamu makin keren,” tulis yang lain.

Nayara tersenyum. Ia merasa seperti sedang tumbuh ke arah yang benar, meski diam-diam mulai menjauh dari semua yang dulu membuatnya istimewa.

Di minggu ketiga, sebuah pertemuan OSIS berlangsung. Nayara yang biasanya hadir pertama, kini datang telat. Kertas di tangannya kosong. Ia lupa menyusun konsep acara yang jadi tugasnya.

“Ra, ini udah kedua kalinya kamu nggak siap,” ucap Raka, ketua OSIS yang dikenal sabar.

“Iya, maaf. Aku lagi banyak urusan,” jawab Nayara sambil memainkan ujung rambutnya.

“Kalau emang sibuk, bilang dari awal. Biar tugasnya dibagi ke yang lain,” Raka mencoba tetap tenang.

Nayara tidak menjawab. Tapi dalam hatinya, ia mulai merasa seperti berada di luar lingkaran, seperti penonton dalam cerita hidupnya sendiri.

Lalu malam pun datang, seperti biasa. Lampu kamar dimatikan. Ponsel menyala. Layar biru kembali menyinari wajah Nayara yang masih muda, tapi kini tampak letih oleh waktu yang hilang tanpa arah.

Dan semua itu baru permulaan.

Dunia di Ujung Jari, Nilai di Ujung Jurang

Matahari awal Februari terasa malas naik. Kabut pagi masih menggantung rendah saat bel sekolah berbunyi, namun ruang kelas XI-B sudah penuh dengan keluhan. Ulangan harian Matematika baru saja selesai, dan ekspresi para siswa tak jauh dari wajah lesu dan punggung yang bersandar lemas.

Nayara duduk di bangkunya, menatap kosong ke arah jendela. Pensilnya belum dimasukkan ke tempatnya, dan kertas jawabannya penuh dengan coretan tak pasti. Ia menunduk, berharap tak ada yang mengajaknya bicara. Tapi suara dari samping langsung menyentak pikirannya.

“Kamu ngerjain nomor tujuh gimana, Ra?” tanya Fadly, teman sebarisnya.

“Ngasal,” jawab Nayara cepat tanpa menoleh.

Fadly mengerutkan dahi. “Serius? Bukannya kamu biasanya paling jago?”

“Udah beda kali, Fad,” ucap Nayara pelan, lalu menunduk lebih dalam, seolah ingin menghilang dari bangku itu.

Satu per satu, nilainya mulai tampak. Pertama, Matematika—dapat 62. Lalu Biologi—cuma 58. Bahasa Indonesia—70, tapi itu pun karena tugas kelompok. Para guru mencatat hasil itu dalam laporan bulanan, dan nama Nayara untuk pertama kalinya tak masuk lima besar di kelas.

Di rumah, ibunya mulai resah.

“Nayara, kamu udah ngerjain tugas Ekonomi belum?” tanya beliau sambil melipat pakaian di sofa ruang tamu.

“Besok, Bu. Santai aja, deadline-nya juga masih panjang,” jawab Nayara dari atas tangga, lalu buru-buru masuk kamar.

Setelah pintu tertutup, suara notifikasi kembali berdentang. Grup obrolan, komentar dari pengikutnya, notifikasi livestream, semua bersaing minta perhatian. Di dunia itu, Nayara adalah versi yang lebih percaya diri. Ia tak perlu nilai bagus atau tepuk tangan guru untuk merasa berarti.

Tapi di dunia nyata, jejaknya mulai pudar.

Ambar dan Khalila, dua sahabatnya sejak lama, mulai bicara berdua tanpa mengundangnya lagi. Mereka masih menyapa, tapi tak lagi menunggu Nayara di kantin. Bahkan saat pemilihan pengurus baru untuk divisi dokumentasi OSIS, Nayara tak diusulkan. Ia tak tahu, atau mungkin memilih untuk tidak tahu.

Salah satu sore, ketika langit mendung menggantung seperti rasa malas yang tak selesai, Nayara terduduk di kursi depan rumah. Tangannya masih memegang ponsel, tapi kali ini matanya menatap lurus ke depan. Sebuah pesan baru masuk—dari wali kelas.

“Nayara, saya ingin bicara tentang performa belajarmu. Bisa datang ke ruang BK besok pagi sebelum kelas dimulai?”

Pesan itu singkat tapi berat. Seolah realitas mulai mengetuk pintu, perlahan tapi pasti.

Esok paginya, ia duduk di hadapan Bu Tania, guru BK yang dikenal lembut tapi tegas. Ruangan itu wangi melati, dengan dinding penuh kutipan motivasi. Tapi pagi itu, tak ada satu pun kalimat yang terasa menenangkan.

“Kamu tahu kenapa Ibu panggil kamu ke sini?” tanya Bu Tania sambil membuka buku catatan nilai.

Nayara mengangguk pelan.

“Ibu nggak akan nyalahin kamu. Ibu cuma pengin kamu sadar, perubahan ini datang pelan, tapi nyata. Dulu kamu aktif, sekarang kamu nyaris diam. Dulu kamu ngumpulin tugas sebelum tenggat, sekarang selalu belakangan. Apa yang berubah, Nay?”

Nayara diam. Tangannya menggenggam ujung rok seragamnya.

“Kadang Ibu lihat kamu masih bisa, tapi kamu kayak… milih untuk nggak mencoba.”

“Semua orang juga main HP, Bu,” Nayara akhirnya bersuara. “Aku cuma… ya, pengin bebas aja. Nggak mikirin harus selalu jadi juara.”

“Bebas itu nggak salah. Tapi bebas yang nggak kamu kendalikan, bisa jadi jebakan. Kamu bisa bebas, tapi tetap bertanggung jawab.”

Kata-kata itu mengendap dalam kepala Nayara. Tapi seperti notifikasi yang cepat menghapus perhatian, pikirannya langsung teralihkan begitu ia keluar dari ruangan dan melihat layar ponselnya menyala.

Hari-hari berikutnya, nilai ujian tengah semester diumumkan. Nayara gagal di tiga mata pelajaran utama. Gurunya mengajak diskusi orang tua, tapi Nayara terus bersikap biasa saja.

Namun suasana kelas semakin berubah. Teman-temannya mulai berbisik saat ia lewat. Beberapa guru secara halus memberi jarak. Sekolah bukan lagi tempat yang hangat, melainkan ruang asing yang membuatnya ingin cepat pulang.

Satu malam, saat hujan turun pelan dan angin membawa dingin ke dalam kamar, Nayara menatap layar ponsel yang nyaris tak berhenti hidup. Ia scroll berjam-jam, hingga matanya lelah. Tapi rasa kosong itu tetap ada. Semakin banyak ia melihat, semakin sedikit ia merasa hidup.

Sebuah pesan masuk dari Ambar.

“Ra, kamu masih inget nggak rasanya ikut lomba bareng dulu?”
“Kamu masih bisa, loh. Kalau kamu mau.”

Nayara membaca pesan itu berulang-ulang. Tangannya tak langsung membalas. Ia hanya menatap huruf-huruf itu dalam diam, tak tahu harus senang atau malu.

Karena untuk pertama kalinya… ia sadar, bahwa mungkin ia memang sedang hilang. Dan layar di tangannya, sekian lama, justru menjadi kabut yang menutupi jalan pulang.

Terlena dalam Layar, Terasing dalam Nyata

Pagi itu, kelas XI-B kembali ramai dengan suara tawa dan cerita akhir pekan. Beberapa siswa mengobrol tentang acara musik yang viral, beberapa lagi membahas soal tryout yang mulai mendekat. Tapi di pojok kanan dekat jendela, Nayara duduk sendiri, memutar-mutar bolpoin sambil sesekali melirik layar ponsel di pangkuannya.

Sudah hampir dua minggu sejak pesan dari Ambar ia terima, tapi Nayara belum juga membalas. Bukan karena ia marah, bukan juga karena ia tak peduli. Ia hanya tak tahu harus menjawab seperti apa.

Ambar kini lebih dekat dengan Khalila, dan keduanya tampak nyaman tanpa kehadirannya. Mereka duduk bersebelahan, tertawa kecil, berbagi catatan, saling melengkapi. Sementara Nayara merasa seperti penonton dari luar jendela kaca—melihat tapi tidak benar-benar hadir.

Ketika jam istirahat tiba, Nayara menghambur ke toilet bukan karena ingin ke kamar kecil, melainkan untuk menghindari keramaian kantin. Ia berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya pelan, lalu memandang wajahnya sendiri. Matanya sembab. Kantung di bawahnya lebih gelap dari biasa.

“Capek banget, ya?” gumamnya lirih pada bayangannya sendiri.

Di balik pintu toilet, dua suara terdengar samar. Suara dua siswa lain yang sedang berbincang, tak sadar kalau Nayara ada di sana.

“Aku heran sih, Nayara itu dulu rajin banget loh. Sekarang kok… kayak nyuekin semuanya.”

“Iya, kemarin katanya nilainya jeblok. Dia malah sibuk bikin video TikTok tiap hari.”

“Padahal dulu dia inspirasi banget buat anak-anak OSIS.”

Seketika itu, dunia seolah berhenti. Nayara mematung. Kata-kata mereka menusuk diam-diam, bukan karena jahat, tapi karena benar. Dan kebenaran, seringkali lebih tajam dari hinaan.

Di rumah, ketegangan mulai merayap masuk ke sela-sela kehangatan yang dulu utuh. Ayahnya sudah dua kali bicara serius, ibunya mulai diam dan lebih sering menghela napas daripada menasihati.

“Nay, ayah lihat kamu akhir-akhir ini… beda,” ujar ayahnya suatu malam di ruang tamu. “Kamu nggak cerita-cerita lagi. Nggak nanya soal lomba, soal rencana kuliah…”

Nayara menunduk, menyembunyikan matanya di balik rambut panjangnya.

“Ayah nggak marah. Cuma kangen sama anak gadis ayah yang dulu semangat banget tiap bangun pagi.”

“Aku… aku cuma lagi capek,” jawab Nayara lirih.

“Capek yang nggak kamu selesaikan bisa jadi kebiasaan, Nay. Hati-hati, ya.”

Malam itu, Nayara mematikan lampu kamar lebih cepat dari biasanya. Tapi ponsel tetap menyala, menemaninya hingga lewat tengah malam. Entah video apa yang ditonton, entah siapa yang ia chat, semua berlalu tanpa makna yang tinggal.

Pagi harinya, ia bangun telat. Kepala terasa berat, dan tubuhnya lemas seperti baru menempuh perjalanan panjang. Tapi itu bukan perjalanan ke tempat baru—melainkan perjalanan diam di tempat yang sama, berulang-ulang, tiap malam, dalam ruang layar kecil yang tak ada ujungnya.

Hari Jumat datang dengan pengumuman besar. Sekolah mengadakan evaluasi semester dalam bentuk rapat terbuka. Siswa-siswa dengan penurunan nilai drastis diminta hadir bersama orang tua. Nama Nayara termasuk dalam daftar.

Saat itu, ia baru sadar betapa jauh ia tertinggal. Ia melihat satu per satu siswa yang dulu selalu ia kalahkan kini berdiri di atasnya. Di papan pengumuman, namanya tak lagi muncul. Seolah dihapus dari daftar tanpa perlawanan.

Saat nama Nayara disebut, ibunya menoleh ke arahnya. Tak ada amarah, hanya sorot mata kecewa yang terasa lebih menyakitkan.

“Bu, maaf…” ucap Nayara lirih setelah rapat.

Ibunya tak langsung menjawab. Mereka berjalan berdua ke arah gerbang sekolah dalam diam. Hanya langkah kaki yang terdengar.

“Kamu tahu, aku nggak pernah nuntut kamu harus selalu ranking,” akhirnya sang ibu bersuara. “Tapi aku pengin kamu tetap tahu apa yang kamu mau.”

Nayara menunduk. Suara di dalam dadanya ramai sekali, tapi bibirnya tak bisa merangkai satu kalimat pun.

Malam itu, Nayara menutup ponsel lebih awal. Ia duduk di depan cermin, menatap matanya yang mulai kehilangan binar. Ia mengambil kertas kosong, menulis sesuatu yang lama tak ia sentuh: daftar target pribadi.

Satu per satu, ia tulis hal-hal yang dulu ia cintai. Lomba debat. Jurnal sekolah. Nilai rapor. Menulis cerpen. Membaca buku—bukan artikel viral, bukan caption panjang, tapi buku sungguhan.

Tapi ketika sampai pada poin terakhir, tangannya berhenti. Ia ingin menulis: memperbaiki hubungan dengan Ambar.

Tapi jari-jarinya ragu. Ia sadar, hubungan bukan sekadar kata yang bisa ditulis lalu selesai. Ia butuh waktu. Butuh usaha. Dan Nayara belum tahu apakah ia masih punya keberanian untuk mulai dari awal.

Di sudut meja, ponsel itu diam. Tak ada getaran, tak ada notifikasi. Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, keheningan itu terasa damai.

Nayara masih belum pulih. Tapi malam itu, ia tahu satu hal penting—bahwa tak semua hal ada di ujung jari. Beberapa hal harus diraih dengan kedua tangan, dan yang paling penting… dengan hati.

Dan jalannya menuju sana, masih panjang.

Nama yang Hilang dari Papan Prestasi

Ujian akhir semester dimulai. Suasana sekolah berubah tegang, dan suara lembar soal dibalik jadi irama yang mendominasi tiap kelas. Nayara duduk di kursi ujian, tak lagi gelisah seperti dulu. Wajahnya tenang, meski bekas lelah masih kentara.

Beberapa malam terakhir, ia mulai membaca ulang catatan pelajaran. Ponselnya kini disimpan di laci, hanya dibuka saat benar-benar perlu. Tak drastis, tapi cukup untuk jadi awal.

Di sela istirahat, Ambar menghampiri meja Nayara. Tidak membawa senyum selebar biasanya, tapi ada ketulusan di sorot matanya.
“Kamu semangat lagi, ya?”
Nayara menoleh, tersenyum kecil. “Pelan-pelan, tapi aku coba.”
“Kalau kamu butuh bantuan, aku sama Lila masih simpen semua rangkuman.”
“Aku mau. Tapi… bukan cuma soal rangkuman. Aku juga mau belajar nyambungin lagi semuanya. Termasuk hubungan kita.”

Ambar mengangguk. Tak perlu banyak kata. Kadang, perbaikan dimulai dari kesediaan untuk mengakui kesalahan—dan keberanian untuk berubah.

Pengumuman nilai dibagikan tiga minggu kemudian. Nayara tak kembali ke lima besar, bahkan belum mencapai sepuluh besar. Tapi ia tahu, nilainya tak lagi jadi cerminan keterpurukan.

Wali kelas memanggilnya ke depan, bukan untuk menegur—melainkan mengapresiasi proses.
“Nilai Nayara belum naik signifikan, tapi perubahan sikap dan usahanya pantas dipuji.”

Tepuk tangan terdengar. Tak semua riuh, tapi cukup untuk membuat Nayara tersenyum. Ia tak lagi mengejar papan prestasi—karena kini ia sedang membangun fondasi baru. Yang lebih nyata, lebih utuh.

Dan untuk pertama kalinya, Nayara merasa bebas… dari layar, dari bayangan, dan dari dirinya yang dulu.

Lewat cerita Nayara, kita diajak ngaca—bukan cuma ke layar HP, tapi ke diri sendiri. Kadang tanpa sadar, kita kehilangan banyak hal penting cuma karena terlalu tenggelam di dunia maya. Tapi seperti Nayara, setiap orang punya kesempatan buat balik arah dan mulai lagi.

Karena pada akhirnya, yang paling berharga bukan jumlah like atau followers, tapi versi terbaik dari diri kita sendiri. Jadi, setelah baca cerpen ini… masihkah kamu mau terus larut di balik layar?

Leave a Reply