Naik Dango: Tradisi dan Harapan di Hati Suku Dayak

Posted on

Siapa yang bilang tradisi itu membosankan? Yuk, ikutin cerita seru tentang Naik Dango, sebuah ritual khas Suku Dayak yang bukan hanya sekadar seremoni, tapi juga penuh makna. Di sini, kita bakal menyelami harapan, perubahan, dan tentunya, semangat kebersamaan yang bikin hati adem!

 

Naik Dango

Gendang di Balai Adat

Langit biru cerah menaungi Desa Pukung Pahe saat suara gendang bertalu-talu dari balai adat. Asap dari tungku-tungku kayu membumbung ke udara, membawa aroma lemang yang mulai matang. Penduduk desa, dari anak-anak hingga orang tua, telah mengenakan pakaian adat terbaik mereka. Hari ini, Naik Dango dimulai, perayaan sakral untuk mengungkapkan syukur kepada Jubata atas hasil panen yang melimpah.

Di tengah keramaian, para pemuda sedang mempersiapkan ritual pembukaan. Beberapa membawa gong besar ke tengah balai, sementara yang lain menyusun persembahan: beras putih dalam wadah rotan, ayam kampung yang telah disembelih, dan tuak beras yang nantinya akan dituangkan ke tanah sebagai penghormatan kepada leluhur.

Jagau, seorang pemuda bertubuh tegap dengan pakaian rompi manik-manik khas suku Dayak, berdiri di tengah balai. Hiasan bulu burung enggang di kepalanya bergoyang pelan seiring langkahnya yang mantap. Hari ini, ia dipercaya untuk memimpin ritual pembukaan. Namun, di tengah persiapan, matanya menyapu ke sekeliling, mencari seseorang.

“Dara Ningkam mana?” tanyanya kepada seorang pemuda lain yang tengah menyesuaikan gong di sudut balai.

“Aku nggak lihat dia dari tadi pagi,” jawab pemuda itu santai, sibuk mengikat tali rotan agar gong tetap pada tempatnya.

Dahi Jagau berkerut. Ini aneh. Dara Ningkam seharusnya sudah ada di sini untuk mempersiapkan tariannya. Ia adalah penari utama dalam Naik Dango tahun ini. Bukan hanya karena kepiawaiannya dalam menari Gantar, tetapi karena bakat alami yang dimilikinya—gerakannya selalu selaras dengan irama, seolah-olah ia adalah bagian dari angin yang menari di ladang padi.

Ia berjalan ke arah seorang perempuan tua yang sedang duduk di dekat pintu balai, menganyam tikar dari daun pandan. “Nek Puyung, kamu lihat Dara Ningkam?”

Perempuan tua itu mengangkat wajahnya, kerutan di dahinya semakin jelas. “Dia nggak di sini? Seharusnya dari tadi dia udah datang.”

Jagau semakin yakin ada yang tidak beres. Ia bergegas meninggalkan balai, menuruni tangga kayu, dan berjalan melewati pelataran yang penuh dengan anak-anak kecil berlari-lari sambil memainkan anyaman daun kelapa. Langkahnya semakin cepat ketika ia melewati rumah-rumah panggung yang dihiasi kain warna-warni.

Di dekat hutan kecil yang membatasi desa, di bawah pohon beringin tua yang dianggap sakral, ia akhirnya menemukan Dara Ningkam. Gadis itu duduk bersandar di akar pohon besar, tangannya menggenggam segenggam beras putih. Matanya menerawang jauh, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya.

Jagau menghampirinya, berdiri di depan gadis itu dengan tangan bersedekap. “Dara, kamu ngapain di sini?”

Dara Ningkam mendongak pelan, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke hamparan sawah di kejauhan. “Aku cuma… lagi mikir.”

“Mikir apa? Semua orang di balai adat udah nungguin kamu.”

Gadis itu menggenggam beras di tangannya lebih erat. “Sawah keluarga aku bakal dijadikan persembahan tahun ini.”

Jagau menghela napas, akhirnya duduk di akar pohon di sebelahnya. “Itu memang bagian dari adat, Dara. Kalau sawah itu dipersembahkan, panen berikutnya pasti lebih baik.”

Dara Ningkam menggeleng. “Bukan soal itu, Jagau. Kalau sawah itu nggak ada, keluarga aku harus buka ladang baru. Itu berarti kami harus pindah ke tanah yang lebih jauh. Aku nggak tahu apakah aku masih bisa ada di sini tahun depan… atau bahkan ikut Naik Dango lagi.”

Suasana mendadak hening. Angin berembus pelan, menggoyangkan daun-daun tinggi di sekitar mereka. Jagau menatap gadis itu, mencoba memahami beban yang sedang ia rasakan.

“Kamu takut kehilangan tempat ini?” tanyanya akhirnya.

Dara Ningkam tersenyum kecil, tapi senyum itu dipenuhi kepedihan. “Aku lahir di sini, Jagau. Setiap panen, aku selalu ikut ibu ke sawah. Aku tumbuh dengan suara angin yang bertiup di antara batang padi. Aku nggak bisa bayangin hidup jauh dari sini.”

Jagau mengamati ekspresi gadis itu sebelum akhirnya berkata, “Dara, tempat itu penting, tapi yang lebih penting adalah orang-orangnya. Selama kamu masih bersama keluargamu, kamu nggak akan kehilangan rumah.”

Dara Ningkam diam, mengulang kata-kata itu dalam pikirannya.

“Lagipula,” lanjut Jagau, “Naik Dango bukan cuma soal panen, tapi juga tentang bersyukur. Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi di masa depan, tapi kita percaya kalau alam akan memberi kita jalan.”

Dara Ningkam masih terdiam. Tapi kali ini, genggamannya pada beras putih di tangannya mulai mengendur.

Dari kejauhan, suara gong bergema tiga kali dari arah balai adat, tanda bahwa upacara pembukaan akan segera dimulai.

Jagau berdiri, lalu mengulurkan tangannya. “Ayo, kita balik. Semua orang udah nungguin kamu.”

Dara Ningkam memandangi tangan itu beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk dan menggenggamnya.

Mereka berjalan beriringan, meninggalkan pohon beringin tua dan kembali ke desa yang telah siap menyambut perayaan. Namun, dalam hati, Dara Ningkam tahu bahwa ini baru awal dari perjalanan panjangnya.

 

Beras Putih di Tangan Dara Ningkam

Suara gong terus menggema, memanggil semua warga desa untuk berkumpul di balai adat. Langkah-langkah kaki bergegas mendekat, sementara kain-kain bercorak merah, hitam, dan emas berkelap-kelip diterpa cahaya sore. Di tengah-tengah mereka, Dara Ningkam berjalan berdampingan dengan Jagau, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.

Setibanya di balai adat, semua mata langsung tertuju pada Dara Ningkam. Tatapan mereka bukan sekadar menunggu pertunjukan tariannya, tapi juga berharap ia tetap menjalankan tugasnya dalam ritual Naik Dango tahun ini.

Nek Puyung, perempuan tua yang dihormati sebagai penjaga adat, mendekat dengan tongkat kayu di tangannya. “Kamu akhirnya datang, Dara.”

Dara Ningkam menunduk sedikit, merasa beban di dadanya makin berat. “Maaf, Nek. Aku…”

Nenek tua itu menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kamu masih ragu?”

Dara Ningkam menggenggam segenggam beras putih yang masih ia bawa sejak tadi. Jemarinya gemetar. Ia tahu apa yang harus ia lakukan, tapi hatinya masih bertarung antara menerima atau menolak.

Jagau berdiri di sampingnya, lalu berbisik, “Semua orang percaya sama kamu, Dara. Kamu bisa menjalani ini.”

Sebelum Dara Ningkam sempat menjawab, seorang tetua adat yang memakai hiasan kepala dari bulu burung enggang melangkah maju ke tengah balai. Ia mengangkat tangan, meminta perhatian.

“Sudah saatnya kita memulai,” suaranya berat dan penuh wibawa. “Seperti tahun-tahun sebelumnya, kita akan mempersembahkan hasil panen terbaik kita kepada Jubata dan leluhur. Beras putih ini,” ia menunjuk pada wadah rotan besar berisi beras hasil panen tahun ini, “akan ditaburkan sebagai tanda syukur. Dan seperti yang telah ditetapkan, Dara Ningkam akan menjadi orang yang pertama melakukannya.”

Dara Ningkam menelan ludah. Ia harus maju ke tengah balai, menuangkan beras putih ke altar kecil yang terbuat dari batang kayu yang sudah diukir dengan motif-motif khas suku Dayak.

Dengan langkah ragu, ia melangkah ke depan. Tangannya yang masih menggenggam beras terasa semakin berat. Semua mata menatapnya.

Namun, sebelum ia sempat melepaskan genggaman, suara lirih terdengar dari sudut balai.

“Kalau sawahnya hilang, keluarga mereka bisa kehilangan tanah mereka juga.”

Dara Ningkam menoleh. Di sana, seorang pemuda berusia hampir sebaya dengannya, Janting, berdiri dengan tangan bersedekap. Ia bukan bagian dari keluarga petani, tetapi selama ini selalu mengkritisi adat yang menurutnya tidak lagi relevan.

“Janting,” tegur salah satu tetua. “Kamu tahu ini bagian dari tradisi kita.”

“Tradisi?” Janting mendengus kecil. “Kita menyerahkan tanah kita sendiri tanpa mempertimbangkan bagaimana hidup setelahnya? Apa kita masih harus melakukan ini setiap tahun tanpa memikirkan apakah masih bisa bertahan?”

Bisik-bisik mulai terdengar di antara warga. Beberapa orang setuju, beberapa lagi tidak.

Dara Ningkam merasa tubuhnya menegang. Kata-kata Janting menusuk sesuatu dalam dirinya. Ia sendiri sudah memikirkan ini sejak lama, tapi mendengar orang lain mengatakannya membuatnya semakin ragu.

Jagau maju selangkah, menatap Janting dengan tatapan tajam. “Naik Dango bukan soal kehilangan, tapi soal memberi. Bukan cuma untuk diri kita sendiri, tapi untuk leluhur dan alam yang sudah memberi kita kehidupan.”

Janting menyipitkan mata. “Dan kalau tahun depan panen kita gagal? Kalau kita kehabisan tanah untuk dipersembahkan? Apa itu masih disebut memberi, atau kita hanya mengikuti tradisi tanpa berpikir?”

Dara Ningkam mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tangannya semakin erat menggenggam beras putih.

Tetua adat akhirnya bersuara lagi, suaranya dalam dan tegas. “Janting, kalau kamu meragukan adat, itu hak kamu. Tapi jangan mengganggu jalannya ritual ini.”

Balai adat kembali sunyi. Dara Ningkam menunduk menatap beras di tangannya.

Lalu, perlahan, ia melangkah ke depan altar.

Ia menatap kayu berukir itu lama, kemudian menutup mata. Hatinya masih berat, tapi ia tahu bahwa ini bukan hanya soal dirinya.

Ia mengulurkan tangan, lalu membiarkan beras putih jatuh perlahan ke atas altar.

Gema gong kembali terdengar, menandakan bahwa ritual telah dimulai.

Namun, jauh di dalam hati Dara Ningkam, ia tahu bahwa pertanyaan yang dilemparkan Janting tadi belum sepenuhnya hilang.

Dan mungkin, di perayaan Naik Dango berikutnya, sesuatu harus berubah.

 

Syair di Tengah Lingkaran

Gema gong perlahan mereda, berganti dengan suara tetua adat yang mulai melantunkan doa-doa dalam bahasa leluhur. Suara itu bergetar di udara, bercampur dengan kepulan asap dari kemenyan yang dibakar di atas altar kayu. Semua orang menunduk, mengikuti prosesi dengan khusyuk.

Dara Ningkam masih berdiri di tempatnya, tangannya yang tadi menaburkan beras putih kini mengepal erat di sisi tubuhnya. Matanya melirik ke arah Janting yang duduk bersedekap di pojok balai. Tatapan pemuda itu tak lagi tajam seperti tadi, tapi ada sesuatu di dalamnya—sesuatu yang membuat dada Dara Ningkam terasa semakin sesak.

Ia tak tahu apakah itu keraguan, penyesalan, atau justru tekad.

Tetua adat yang berdiri di tengah-tengah lingkaran tiba-tiba berdehem, lalu menatap Dara Ningkam dengan mata yang dalam. “Dara, sebelum kita melanjutkan ke upacara penutup, nyanyikanlah syairnya.”

Dara Ningkam tersentak. Ia tahu momen ini akan datang, tetapi tetap saja dadanya terasa berdebar lebih cepat dari biasanya.

Setiap tahun, pemimpin ritual akan menyanyikan syair Naik Dango—sebuah kidung yang diwariskan turun-temurun, sebagai bentuk doa dan pengharapan kepada Jubata. Dan tahun ini, tugas itu ada di pundaknya.

Ia mengatur napas, lalu melangkah maju ke tengah lingkaran. Semua mata tertuju padanya, menunggu.

Suaranya sedikit bergetar saat ia mulai menyanyikan bait pertama.

“Kami serahkan hasil bumi ini, kepada yang menjaga langit dan tanah…

Suara itu menggema di dalam balai, menyusup ke celah-celah kayu dan rotan, lalu melayang ke luar bersama angin. Para tetua mulai mengangguk pelan, beberapa warga ikut mendendangkan lirik yang mereka hafal sejak kecil.

Dara Ningkam melanjutkan.

“Bumi memberi, kami pun memberi, semoga tanah tetap subur dan tidak menangis…

Suaranya semakin mantap, tetapi jauh di dalam hatinya, ia masih bertarung dengan pikirannya sendiri.

Apa benar bumi masih memberi? Apa benar tanah tidak menangis?

Di sudut balai, Janting tetap diam, tidak ikut menyanyikan. Tatapannya lurus ke arah Dara Ningkam, seolah menunggu sesuatu.

Saat ia hampir sampai di bait terakhir, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Angin tiba-tiba bertiup lebih kencang dari biasanya. Api dari obor yang menyala di sudut-sudut balai bergetar, beberapa hampir padam. Beberapa orang menoleh ke luar, melihat langit yang perlahan berubah warna.

Lalu, suara tabuhan gong berhenti.

Seorang laki-laki tua dengan jubah panjang melangkah masuk. Rambutnya yang panjang diikat ke belakang, kulitnya keriput tapi matanya tajam seperti elang. Semua orang langsung memberi jalan.

Dara Ningkam langsung mengenalinya.

Mbah Gantar.

Orang tertua di desa. Jarang sekali ia muncul di upacara Naik Dango, kecuali ada sesuatu yang penting.

Mbah Gantar berdiri di tengah lingkaran, menatap Dara Ningkam lama sebelum akhirnya berbicara.

“Suaramu bagus, Dara.”

Dara Ningkam menelan ludah, tak tahu harus menjawab apa.

Mbah Gantar menghela napas, lalu mengedarkan pandangannya ke semua orang. “Tetapi ada yang perlu kalian tahu. Naik Dango bukan sekadar tradisi. Ia adalah peringatan.”

Semua orang terdiam.

“Dulu, leluhur kita melakukan ini bukan hanya sebagai rasa syukur. Mereka juga melakukannya untuk menjaga keseimbangan. Memberi dan menerima.” Suara Mbah Gantar dalam dan penuh tekanan. “Tapi jika kita hanya memberi tanpa berpikir, jika kita terus menyerahkan tanah tanpa memastikan ia bisa bertahan, maka yang tersisa bukan lagi keseimbangan, tapi kehancuran.”

Janting sedikit menegakkan badan. Beberapa orang saling berpandangan, tak tahu harus merespons bagaimana.

Dara Ningkam merasa tubuhnya menegang. Kata-kata itu seperti menguatkan semua kegelisahan yang ada di dalam pikirannya.

Mbah Gantar kembali menatapnya. “Kamu menyanyikan syair itu dengan baik, Dara. Tapi kamu sendiri tahu, bukan? Ada sesuatu yang berubah.”

Dara Ningkam tidak bisa menjawab.

Karena jauh di dalam hatinya, ia tahu Mbah Gantar benar.

Dan perubahan itu sudah mulai terasa.

 

Langkah di Atas Tanah yang Retak

Di tengah balai adat, suasana semakin menegangkan. Kata-kata Mbah Gantar menggantung di udara, mengguncang keyakinan dan harapan yang sudah lama bertahan. Dara Ningkam berdiri kaku, matanya menatap altar yang kini tampak lebih besar dan berat dari sebelumnya.

Mbah Gantar melanjutkan, “Kita harus berani bertanya. Kita harus berani mengubah cara pandang kita terhadap Naik Dango. Tradisi tidak boleh membelenggu kita, tetapi harus memandu kita.”

Janting kini berdiri tegak. “Apa yang Mbah Gantar maksudkan, adalah saatnya kita bertanya pada diri sendiri—apakah kita siap untuk menghadapi realita dan beradaptasi?”

Beberapa warga mulai tergerak. Mereka mengangguk pelan, tampak mulai merenungkan apa yang baru saja disampaikan.

Dara Ningkam mengangkat kepalanya, tergerak oleh keberanian Janting. “Kita bisa memadukan tradisi dan inovasi. Mungkin kita bisa membuat kebun bersama, membagikan hasil panen, dan menjaga tanah agar tetap subur tanpa mengorbankan satu sama lain,” suaranya mulai bergetar tapi penuh keyakinan.

Mbah Gantar tersenyum. “Itu ide yang bagus, Dara. Kita tidak boleh takut untuk berbicara. Dan jika kamu ingin mengubah sesuatu, mulailah dengan langkah pertama.”

Dara Ningkam merasa hatinya bergetar. Ia melihat ke arah Jagau yang tersenyum bangga, lalu menatap Janting yang kini tidak lagi tampak angkuh, tetapi lebih bersemangat.

Gema gong mulai bergema lagi, menandakan prosesi akan dilanjutkan.

“Sekarang, kita kembali ke tujuan kita,” Mbah Gantar melanjutkan. “Kita harus menyelesaikan upacara ini dengan penuh keyakinan. Bukan hanya untuk kita, tetapi untuk generasi yang akan datang.”

Semua orang bergegas kembali ke tempat masing-masing, menata kembali pikiran dan hati mereka. Dara Ningkam mengambil napas dalam-dalam dan melanjutkan syair yang telah dimulai. Suaranya kini lebih tegas dan jelas, tidak hanya mengucapkan kata-kata tetapi juga menyisipkan harapan di dalamnya.

“Kami akan menjaga bumi ini, agar tetap memberi, agar generasi mendatang takkan pernah berhenti bersyukur…”

Setiap bait syair yang ia nyanyikan terasa lebih mendalam, seolah menembus lapisan-lapisan ketidakpastian yang sebelumnya menghalangi. Semua warga mulai bergabung, menyanyikan bait demi bait dengan penuh semangat.

Di tengah momen tersebut, Dara Ningkam merasakan getaran kebersamaan yang kuat. Ia menoleh ke arah Janting yang kini ikut menyanyi, matanya berbinar. Ada harapan baru yang tumbuh di antara mereka.

Setelah selesai menyanyikan syair, Mbah Gantar kembali melangkah maju. “Dengan niat yang tulus, kita akhiri Naik Dango tahun ini. Mari kita semua berkomitmen untuk menjaga tanah dan tradisi kita, agar tetap seimbang dan saling memberi.”

Semua orang berdiri dalam lingkaran, tangan mereka saling menggenggam, merasakan energi positif yang mengalir di antara mereka.

Dara Ningkam merasa hati yang berat itu pelan-pelan terangkat. Ia tahu, meskipun tantangan masih ada, mereka tidak sendirian. Bersama-sama, mereka akan mencari jalan, melindungi apa yang ada, dan menciptakan masa depan yang lebih baik.

Saat ritual berakhir, cahaya matahari mulai tenggelam, memberikan nuansa keemasan yang indah di seluruh balai. Dara Ningkam menatap langit, merasakan harapan baru mulai tumbuh, seolah-olah seluruh alam pun ikut merestui langkah mereka ke depan.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa yakin akan masa depan.

Naik Dango bukan hanya sekadar tradisi. Ia adalah panggilan untuk perubahan, dan Dara Ningkam siap untuk menghadapinya.

 

Nah, itu dia cerita tentang Naik Dango yang penuh warna! Siapa sangka, di balik semua ritual dan tradisi, ada harapan yang menyala-nyala. Semoga kita semua bisa belajar dari kebijaksanaan ini dan terus menjaga alam serta budaya kita. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!

Leave a Reply