My Wolf: Cinta Terlarang di Hutan Gelap

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa cinta itu kayak jalan yang nggak bisa kamu lewatin? Iya, cinta yang kayaknya udah tertulis untuk orang lain, tapi kamu terjebak di tengah-tengahnya, bingung, takut, dan terpaksa ninggalin semua yang kamu mau. Nah, ini dia ceritanya.

My Wolf – tentang cinta terlarang yang nggak bisa ada di dunia yang keras ini, tentang kamu dan aku yang cuma bisa saling menginginkan tanpa bisa bersatu. Serigala, hutan, malam yang dingin, dan rasa yang nggak bisa ditahan. Yuk, ikutin perjalanan cinta yang penuh air mata ini, yang bakal bikin kamu mikir, Apakah cinta selalu harus ada akhir yang bahagia?

 

My Wolf

Di Balik Kabut Hutan Wengar

Hutan Wengar selalu terasa penuh misteri, seakan-akan ada sesuatu yang tersembunyi di balik setiap pohon besar dan kabut tebal yang menyelimuti tanah. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, aku berjalan menuju pinggiran hutan, membawa kayu bakar yang kutemukan sepanjang jalan. Udara musim dingin menggigit kulit, membuat jari-jariku terasa beku. Namun, rasanya ada sesuatu yang aneh malam ini—sesuatu yang tak bisa kujelaskan.

Aku menyeka ujung hidungku yang kemerahan, mencoba untuk tetap tenang, meski perasaan cemas mulai menggelayuti hati. Di hutan ini, orang-orang mengatakan ada makhluk yang tak bisa dilihat oleh mata biasa. Serigala besar yang bisa berubah menjadi manusia, atau mungkin manusia yang bisa berubah menjadi serigala—semua itu hanya cerita, pikirku. Tapi tetap saja, ada ketegangan yang tak bisa kubuang.

Langkahku semakin pelan, kaki terasa berat, seolah ada sesuatu yang menarikku lebih dalam ke dalam hutan. Itu bukan karena aku takut. Aku hanya merasa seperti… seseorang sedang mengamatiku.

Tiba-tiba, aku mendengar suara seperti langkah kaki besar di balik semak-semak. Awalnya aku mengira itu hanya binatang liar, tapi suara itu terdengar berbeda—terlalu teratur, terlalu berat. Aku membeku di tempat, menunggu suara itu hilang, tapi malah semakin mendekat. Tanpa sadar, aku mundur selangkah.

Dan di sanalah dia, berdiri di depan pohon besar dengan mata yang bersinar di kegelapan malam. Sosoknya tinggi, tubuhnya besar dengan otot yang jelas terlihat meski tertutup lapisan pakaian yang sudah rusak. Rambutnya panjang, tak teratur, dan wajahnya… wajah itu sulit kutafsirkan. Wajah yang tampak seperti manusia, tapi ada sesuatu yang liar dan berbeda di sana.

Aku terdiam, hanya bisa menatapnya dengan napas yang tercekat. Jantungku berdebar kencang. “Kamu… siapa?” aku akhirnya bertanya, suaraku lebih gemetar dari yang kuinginkan.

Dia tersenyum tipis, namun senyumnya bukan senyum yang menenangkan. “Jangan takut,” katanya, suaranya dalam dan penuh ketenangan meski ada sedikit kekasaran di sana. “Aku bukan apa-apa yang harus kamu takuti.”

Aku memeluk tubuhku, berusaha menguatkan diriku. “Apa yang kamu lakukan di sini? Hutan ini… hutan ini berbahaya,” kataku, berusaha terdengar tegas meski suaraku terdengar ragu.

Dia mengamati aku dengan mata tajam, seolah-olah mencari sesuatu di balik kata-kataku. “Aku tahu. Hutan ini memang tak ramah. Tapi aku lebih dari sekadar hutan ini. Aku… hanya melintas.” Dia menggeser tubuhnya, membiarkan aku melihatnya lebih jelas. “Nama aku Kiran.”

Kiran? Nama itu terdengar begitu biasa, tapi ada sesuatu dalam cara dia mengucapkannya yang membuatku merasa ada yang tidak biasa. Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi entah kenapa lidahku terasa kelu.

“Tapi, aku tak melihatmu sebelumnya. Kamu… manusia?” tanyaku dengan ragu.

Dia tertawa pelan, suara tawanya seperti angin malam yang membelai telinga. “Tidak. Aku bukan manusia seperti yang kamu bayangkan.” Dia mengedipkan mata seolah itu adalah rahasia yang hanya diketahui oleh sedikit orang. “Aku… lebih dari itu.”

Aku bingung. “Apa maksudmu?”

Dia mendekat sedikit, wajahnya semakin jelas terlihat di bawah cahaya bulan yang menerobos celah-celah pepohonan. “Aku adalah apa yang kamu dengar dalam legenda. Aku… seorang serigala.”

Jantungku berdetak lebih cepat, namun ada rasa penasaran yang lebih besar daripada ketakutan. “Serigala? Maksudmu kamu bisa… berubah?” Aku hampir tak bisa mempercayai kata-kataku sendiri.

Kiran mengangguk pelan, sorot matanya berubah menjadi lebih gelap, seolah dia membawa beban yang berat. “Ya, aku bisa berubah. Namun, aku bukan serigala biasa. Aku terjebak di antara dunia manusia dan dunia liar ini. Dunia yang tak bisa diterima oleh keduanya.”

Aku tak tahu harus berkata apa. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Dan mengapa dia memilih untuk memberitahuku semua ini? Tapi sejujurnya, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku merasa… ada ikatan yang tidak bisa dijelaskan. “Kenapa kamu memberitahuku ini?” aku akhirnya bertanya.

Kiran terdiam sejenak, memandang jauh ke dalam hutan seakan mencari sesuatu yang hilang. “Karena kamu melihatku. Di sini, di antara pepohonan ini, tak ada banyak orang yang benar-benar melihat. Aku… aku tidak ingin hidup ini sendiri.”

Aku terpaku dengan kata-katanya. Tiba-tiba, rasa takut yang menggelayuti hatiku hilang begitu saja, digantikan oleh rasa iba yang aneh. Aku tak tahu mengapa, tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih dalam lagi yang menghubungkan kami.

“Aku… aku tak mengerti,” aku mengakui, suaraku pelan. “Tapi… aku tidak tahu bagaimana perasaan ini bisa muncul. Kamu berbeda, Kiran. Sangat berbeda.”

Dia tersenyum lagi, kali ini senyum yang lebih tulus. “Aku tahu, Irena. Tapi aku bukan orang yang bisa berada di dunia manusia. Aku terperangkap di antara dua dunia yang tak pernah bisa saling bersatu.”

Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi sepertinya aku tahu jawaban yang akan kuterima. Kami berada di jalur yang salah, dua dunia yang tak akan pernah bisa disatukan. Namun, di malam yang dingin dan kabut yang membalut hutan Wengar ini, aku hanya ingin merasakan kehadirannya lebih lama.

“Aku harus pergi sekarang,” kata Kiran, suara lembut namun penuh penegasan. “Aku tidak ingin kau terjebak dalam dunia yang bukan milikmu.”

Aku mengangguk, meski hatiku terasa berat. “Aku akan selalu ingat kamu, Kiran.”

Dia berbalik, tubuhnya mulai menghilang di balik bayang-bayang pepohonan. Aku hanya bisa berdiri di sana, menatap kepergiannya, dan merasa seolah seluruh dunia berputar terlalu cepat di sekelilingku.

Aku tahu ini bukan akhir. Tapi juga bukan awal yang bisa aku banggakan. Ini hanya… permulaan dari sesuatu yang lebih gelap.

 

Di Ujung Dunia yang Terlarang

Sejak malam itu, aku tidak bisa menahan pikiranku tentang Kiran. Setiap langkahku terasa lebih berat, setiap napasku terasa lebih dingin, seolah aku masih berada di dalam hutan bersama dia. Aku mencoba untuk melupakan semuanya, melanjutkan hidupku seperti biasa—seperti yang harus dilakukan oleh setiap orang yang tak ingin terjebak dalam hal-hal aneh dan berbahaya. Namun, hati kecilku menolak untuk melupakan.

Hari demi hari berlalu, dan aku menemukan diriku kembali berjalan ke arah hutan Wengar, meskipun aku tahu itu bukan tempat yang aman. Tidak ada alasan rasional mengapa aku kembali—hanya sebuah dorongan yang aku tidak bisa jelaskan. Ada sesuatu yang menarikku kembali ke sana, seperti magnet yang tak bisa dilawan.

Akhirnya, aku tiba di pinggiran hutan itu lagi. Kabut sudah mulai menyelimuti tanah, dan angin malam membawa aroma yang familiar. Aku berdiri sejenak, ragu. Namun, langkahku tidak bisa dihentikan. Aku tahu dia ada di sana, entah di balik pohon-pohon rimbun atau jauh di dalam kegelapan hutan. Mungkin dia sedang menungguku.

“Irena.”

Suara itu datang seperti bisikan yang menyentuh jiwa, membuat tubuhku terhentak. Aku menoleh, dan di sana, dia berdiri—Kiran. Matanya bersinar lebih terang dalam gelap, dan tubuhnya yang tinggi dan tegap tampak semakin mengesankan, meski sedikit berbeda dari pertama kali kami bertemu. Ada sesuatu dalam dirinya yang kini terasa lebih gelap, lebih kuat.

“Aku tahu kamu akan kembali,” katanya, suaranya dalam, namun ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan.

Aku menelan ludah, merasakan gelombang perasaan yang tak dapat kuungkapkan. “Kenapa aku harus kembali? Aku… aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku hanya merasa… ada yang hilang jika aku jauh darimu.”

Kiran mengangguk pelan, seolah sudah menduga apa yang ada dalam pikiranku. “Itulah masalahnya, Irena. Aku adalah sesuatu yang tidak bisa dimiliki. Sesuatu yang akan selalu berbahaya bagimu. Aku ingin kamu pergi dari sini, jauh dari aku. Dunia ini bukan tempat untukmu.”

Tapi aku tidak bisa pergi. Aku tak bisa menjauh dari dia, meski rasionalitasku terus berteriak agar aku berhenti. “Aku tidak peduli dengan bahaya itu,” kataku dengan lebih tegas. “Aku… aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja.”

Kiran menatapku dengan ekspresi yang sulit dibaca. Sepertinya ada perasaan yang bergejolak di dalam dirinya, namun ia tidak mengungkapkannya. “Irena, kamu tidak tahu apa yang kamu katakan. Kamu tidak tahu dengan pasti apa yang akan terjadi jika kita terus bersama.”

Aku merasa seperti dinding di antara kami semakin tinggi. Aku bisa merasakan kedalaman kata-katanya, betapa dia berusaha untuk menjaga jarak, untuk melindungiku dari sesuatu yang lebih besar daripada yang bisa aku pahami. Tetapi perasaanku hanya semakin kuat, semakin sulit untuk dihentikan.

“Tapi aku ingin tahu,” kataku pelan, mendekat sedikit, meskipun aku tahu itu berbahaya. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu, Kiran. Tentang dirimu yang sebenarnya. Aku tidak takut.”

Dia menarik napas panjang, seolah menimbang-nimbang kata-kataku. “Aku adalah makhluk yang terperangkap di antara dua dunia, Irena. Dunia manusia yang penuh dengan aturan dan dunia liar yang hanya mengenal kekuatan dan kebebasan. Di dunia ini, aku tak bisa menjadi siapa-siapa yang kamu inginkan. Aku tak bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan.”

Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku merasa seolah hatiku terbelah mendengarnya. Aku hanya bisa mengangguk, meskipun aku tahu, di dalam diriku, ada sebuah keinginan yang tidak bisa kubendung.

“Kenapa tidak? Kenapa kita tidak bisa bersama?” Aku bertanya, suara sedikit gemetar. “Kenapa dunia itu harus memisahkan kita?”

Kiran berbalik, matanya terpejam sejenak, dan ketika dia membuka mata, ada kesedihan yang mendalam di sana. “Karena dunia kita berbeda, Irena. Dunia kita tidak akan pernah bisa disatukan. Aku… aku bukan orang yang bisa memberikan kebahagiaan yang kamu inginkan. Aku terlalu gelap untukmu.”

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu terhenti di ujung lidah. Aku tahu dia benar, aku tahu hubungan ini tak akan pernah mudah. Namun, perasaan yang mengalir di antara kami begitu kuat, seperti sebuah arus yang tak bisa ditahan. Aku ingin berteriak, ingin melawan kenyataan, tapi apa yang bisa kulakukan?

Kiran menatapku dengan mata yang penuh penyesalan. “Irena, aku… aku tidak bisa lebih dekat denganmu. Itu akan berbahaya, untuk kita berdua. Aku tak ingin kau terluka.”

Aku menggigit bibir, menahan perasaan yang seperti mengancam untuk meledak. “Tapi… aku sudah terluka sejak pertama kali aku melihatmu, Kiran.”

Dia menundukkan kepala, menekan perasaan yang jelas ingin dia sembunyikan. “Aku tidak bisa menjadi apa yang kamu inginkan. Aku hanya bisa menyakiti kamu lebih jauh.”

Lalu, dalam keheningan yang menggantung, dia menambahkan, “Aku harus pergi sekarang. Jauh dari sini. Jauh dari kamu.”

Aku tak bisa menahan diri. “Jangan pergi… Tolong.”

Namun, dia sudah mulai mundur. Langkahnya begitu mantap, seolah tahu ini adalah yang terbaik bagi kami berdua. “Kamu harus melanjutkan hidupmu, Irena. Jangan pernah mencari aku lagi.”

Aku hanya bisa berdiri diam di sana, tubuhku terasa kaku, dan hati yang sudah hancur rasanya semakin terperosok dalam kegelapan yang mengitarinya.

Dia menghilang ke dalam kabut, meninggalkan aku dengan perasaan yang tak bisa kuungkapkan. Aku tahu aku harus melepaskannya, tapi seolah ada ikatan yang tak bisa kuputuskan. Dan aku hanya bisa berdiri di sana, sendirian, dengan perasaan yang tak tahu harus dibawa ke mana.

 

Cinta yang Terhukum

Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di sana, di ujung hutan yang kabutnya semakin tebal. Semuanya terasa kabur—pandanganku, pikiranku, bahkan diriku sendiri. Setiap langkah yang Kiran ambil meninggalkan jejak dalam hatiku, dan meskipun kabut menyelimutinya, aku tahu dia pergi dengan membawa sebuah luka yang sama besar di dalam dirinya.

Hari-hari setelah itu berjalan seperti hantu. Aku berusaha melanjutkan hidupku, melawan perasaan yang semakin menggerogoti. Tapi ada sesuatu yang hilang. Seperti bagian diriku yang telah dicabut, tak tergantikan, meskipun aku mencoba untuk tersenyum di hadapan orang lain. Setiap kali aku menatap langit yang kelabu, pikiranku akan kembali pada Kiran—pada tatapan matanya yang penuh penyesalan, pada tubuhnya yang terlihat begitu kuat namun rapuh di saat bersamaan.

Aku kembali ke hutan lagi.

Aku tahu ini gila, tahu ini berbahaya. Tapi perasaan yang membuncah di dadaku tidak bisa dipadamkan. Bagaimana bisa aku melupakan sesuatu yang begitu nyata, yang begitu hidup dalam setiap detak jantungku? Aku merasa seperti orang gila yang mengejar sesuatu yang tak bisa diraih, namun aku tidak bisa berhenti. Aku tidak bisa berhenti mencintainya.

Aku berjalan lagi menuju tempat itu, tempat yang sama di mana kami berdua pertama kali bertemu. Hutan Wengar sudah semakin gelap dan menakutkan. Aku tahu aku harus berhati-hati, namun ketakutanku lebih banyak disebabkan oleh apa yang aku cari—Kiran.

Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan malam. “Kamu kembali lagi, Irena?”

Aku menoleh, dan di sana, di balik bayangan pohon, berdiri Kiran. Wajahnya tersembunyi dalam kegelapan, hanya matanya yang bersinar terang, seperti dua bintang yang hilang di tengah langit.

“Kiran…” Suaraku bergetar. “Kenapa kamu kembali? Aku… aku tidak bisa melupakanmu.”

Kiran berjalan mendekat, langkahnya tenang namun penuh tekanan. “Aku sudah bilang, Irena. Kamu harus berhenti mencari aku. Ini hanya akan membuat kita berdua terluka lebih dalam.”

Tapi aku menatapnya dengan mata yang penuh keinginan. “Aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku bisa melihatnya di matamu. Tapi, aku tidak bisa hidup tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kita, Kiran. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Tentang siapa kamu yang sebenarnya. Aku tidak peduli dengan bahaya itu. Aku ingin bersamamu.”

Kiran terdiam. Sepertinya dia sedang berperang dengan dirinya sendiri, mencoba menahan perasaannya. Angin malam berbisik di sekitar kami, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur.

“Irena…” kata-katanya menghangatkan udara dingin di sekelilingku. “Kamu tidak tahu apa yang kamu katakan. Dunia kita bukan untuk saling mencintai. Aku bukan makhluk yang bisa diberikan kebahagiaan. Aku hanya… sebuah kutukan.”

“Tapi aku ingin kutukan itu. Aku ingin bersama kamu meskipun kita berbeda.” Aku mengambil langkah lebih dekat, meraih tangannya, yang terasa dingin seperti salju. “Aku tahu kita tidak bisa mengubah takdir kita. Tapi aku tidak peduli. Aku ingin kamu, Kiran. Aku ingin kita mencoba, bahkan jika itu hanya sebentar.”

Kiran menatapku dengan mata yang penuh pergulatan. Di satu sisi, aku bisa melihat rasa sakit, tapi di sisi lain, ada kerinduan yang lebih dalam—kerinduan yang tak bisa dia tutupi lagi. Aku merasakan hal yang sama. Rasa ingin tahu tentang dia, tentang dunia yang begitu jauh dariku, namun begitu dekat dalam hatiku.

“Tapi kamu tidak mengerti…” Kiran akhirnya berbicara, suaranya hampir tak terdengar. “Aku… aku adalah serigala, Irena. Aku bukan manusia seperti kamu. Aku tak bisa memberi apa-apa selain kehancuran.”

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, meskipun setiap kata yang dia ucapkan seolah menembus jantungku. “Aku tidak peduli dengan itu, Kiran. Kamu adalah apa adanya kamu, dan aku… aku mencintaimu dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Aku sudah tahu risikonya, dan aku siap untuk menghadapi semuanya.”

Matanya terbelalak, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. “Irena, kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan. Dunia kita berbeda—aku berbeda. Kamu tidak tahu betapa berbahayanya aku untukmu. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya hidup sebagai makhluk yang harus bersembunyi di kegelapan, yang harus berburu untuk bertahan hidup. Kamu… kamu tidak tahu betapa perasaan ini bisa menghancurkanmu.”

Aku merasakan getaran di dalam tubuhku, tapi aku tidak mundur. “Tapi aku tetap di sini, Kiran. Aku tahu itu berbahaya, tapi aku tidak akan lari. Aku mencintaimu, dan aku tidak takut.”

Kiran menatapku dengan tatapan yang seolah menembus langsung ke jiwaku. Dia tampak bingung, terperangkap di antara perasaan yang begitu kuat namun juga berbahaya. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, dia menghela napas.

“Kamu tidak akan pernah mengerti, Irena,” katanya dengan suara yang pecah. “Aku tidak ingin melihatmu terluka karena aku.”

Aku merasakan hatiku terbelah. “Aku tahu aku akan terluka, Kiran. Tapi aku lebih takut kehilanganmu. Aku lebih takut jika kita tidak pernah mencoba. Aku lebih takut jika kita hanya berhenti di sini tanpa tahu bagaimana jika kita bersama.”

Kiran menutup matanya, seolah berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Lalu, dengan perlahan, dia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipiku. “Jika kamu ingin ini, Irena… maka kamu harus siap untuk menghadapi konsekuensinya. Aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi, tetapi aku tidak akan lagi menghindar.”

Hatinya yang retak dan hatiku yang penuh dengan cinta yang terlarang bersatu dalam keheningan malam itu. Kami tahu kami sedang memasuki dunia yang sangat gelap, sangat berbahaya, tetapi itu adalah pilihan kami—pilihan untuk mencintai meskipun segala hal yang menghalanginya.

 

Takdir yang Terpisah

Malam itu terasa begitu sunyi. Keheningan hutan Wengar yang biasanya begitu akrab kini seperti sebuah penderitaan. Setiap detakan jantungku terdengar terlalu keras di telingaku, dan aku bisa merasakannya, bagaimana detak itu juga menggema dalam dada Kiran. Kami berdiri di tengah malam yang gelap, saling menghadap, tapi dengan jarak yang terasa semakin lebar.

Aku tahu apa yang Kiran rasa—dia ragu. Seperti sesuatu yang sangat berat ada di pundaknya, menghambat setiap langkah yang dia ambil. Namun, di matanya, aku bisa melihat kesedihan yang mendalam. Cinta itu ada di sana, terpendam, terluka, tapi nyata. Dia mencintaiku, aku tahu itu. Namun takdir yang lebih besar dari kami berdua, lebih kuat dari apapun yang bisa kami lakukan, tetap ada.

“Kiran…” suaraku terdengar lirih, hampir tenggelam dalam desiran angin malam. “Kenapa kita tidak bisa bersama? Apa yang menghalangi kita?”

Dia menatapku dengan mata yang penuh penderitaan. “Kamu tidak tahu, Irena. Kita tidak bisa mengubah apa yang ada di dalam diri kita. Aku… aku adalah makhluk yang diciptakan untuk hidup dalam kegelapan, berburu di malam hari. Aku tak bisa memberi kebahagiaan seperti yang kamu harapkan.”

Aku mengangkat tanganku, mencoba meraih wajahnya, menghapus keraguan di matanya dengan tatapanku. “Aku tidak menginginkan kebahagiaan yang biasa, Kiran. Aku hanya ingin kamu, apa adanya. Jangan lari dari kita. Kita bisa menghadapi ini bersama.”

Dia menggelengkan kepala, dan sebuah senyuman pahit tersungging di bibirnya. “Kamu tidak mengerti, Irena. Jika aku tetap bersamamu, aku hanya akan membawa kehancuran. Suatu saat, kau akan melihat sisi gelap dari diriku, sisi yang tak bisa aku kontrol. Aku akan merusakmu.”

Aku menatapnya, merasakan hatiku terbelah. Kata-katanya memang benar. Aku tahu resiko ini—aku tahu bahwa kita berada di jalur yang sangat berbahaya. Namun, apa artinya hidup jika tidak bisa mengejar cinta yang sejati? Aku tak peduli dengan bahaya itu. Aku hanya ingin satu hal: dia.

Tapi aku juga tahu, ada batas yang tak bisa kami lewati.

“Irena,” suara Kiran mengalun lembut, penuh penyesalan. “Aku tidak bisa terus membuatmu berharap. Mungkin kita memang ditakdirkan untuk bertemu, tapi takdir kita tak akan pernah bisa bersatu. Aku adalah serigala, dan kamu… kamu manusia.”

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh keputusasaan. Di dalam hatiku, aku tahu dia benar. Dunia kami berbeda, dan cinta yang kami miliki terbuat dari kesedihan dan penyesalan yang tidak bisa diubah. Kami tidak bisa melawan takdir, tidak bisa mengubah apa yang sudah ditulis di langit.

Lalu, Kiran berbalik, langkahnya semakin menjauh. Aku ingin berteriak, memanggil namanya, tapi suaraku tertahan di tenggorokan. Aku tahu aku harus melepaskannya, tetapi hatiku tidak siap. Setiap langkah yang dia ambil semakin menambah jarak di antara kami, dan semakin jauh aku merasakan kehilangan itu merayap ke dalam diriku.

Ketika Kiran menghilang di balik kabut malam, aku terjatuh di tempat itu. Rasa sakit itu datang begitu mendalam, seperti ada yang tercabut dari jiwaku. Aku tahu ini adalah akhir, akhir dari kisah yang hanya bisa tumbuh dalam bayang-bayang. Cinta yang terlarang, yang tidak pernah bisa diberikan kesempatan untuk berkembang.

Aku menangis. Bukan hanya karena kehilangan Kiran, tetapi juga karena aku tahu bahwa cinta yang kami miliki tidak pernah benar-benar bisa ada di dunia ini. Kita hanya dua jiwa yang terjebak dalam waktu yang salah, di dunia yang berbeda. Dan sekarang, aku harus merelakan semuanya pergi, meskipun itu berarti merelakan bagian terbesar dari diriku.

Aku menatap langit yang penuh bintang, namun bintang itu terasa jauh sekali. Kiran adalah satu-satunya bintang yang pernah bersinar begitu terang di dalam hatiku. Kini, bintang itu telah padam, dan aku hanya bisa berharap bahwa suatu saat, di dunia yang lain, kami bisa bersatu tanpa rasa takut.

Tapi sekarang, aku tahu bahwa kita berdua harus berjalan di jalan masing-masing. Aku akan melanjutkan hidupku tanpa dia, tanpa cinta yang pernah menyentuh hatiku begitu dalam. Tetapi, di dalam setiap langkah yang kuambil, Kiran akan tetap ada—selalu ada, dalam ingatanku, dalam hatiku.

Selamat tinggal, Kiran. Cinta kita mungkin berakhir di sini, namun kenangan kita akan terus hidup, selamanya.

 

Dan begitulah cerita kita berakhir—cinta yang mungkin nggak pernah bisa benar-benar dimiliki. Kadang hidup memang penuh pilihan yang pahit, dan takdir nggak selalu berpihak pada apa yang kita inginkan.

Tapi mungkin, di luar sana, ada cinta yang lain, yang lebih bebas, yang nggak harus terhalang oleh apapun. Tapi untuk sekarang, kita cuma bisa meninggalkan kenangan ini, kenangan tentang kita yang pernah ada, meski cuma sebentar. Karena kadang, hal yang paling indah adalah yang paling tidak bisa kita miliki.

Leave a Reply