Daftar Isi
Hei, guys! Siapa bilang musuh itu harus selalu jadi musuh? Di cerita ini, kita bakal lihat bagaimana dua orang yang selalu berantem, Zevana dan Reyhan, bisa berubah jadi pasangan yang super seru! Dengan tingkah konyol dan situasi yang nggak terduga, siap-siap deh buat baper! Yuk, ikutin kisah cinta mereka yang bikin kamu senyum-senyum sendiri!
Musuh Jadi Kekasih Sejati
TENGIL, SONGONG, DAN BIKIN EMOSI
Tidak ada yang lebih menyebalkan di dunia ini selain melihat wajah seseorang yang kamu harap tidak akan pernah muncul lagi… dan tiba-tiba dia muncul dengan senyum tengil khasnya.
Zevana menggeram dalam hati saat matanya menangkap sosok Kairo Arkanda berjalan santai memasuki kelas. Rambutnya masih berantakan dengan gaya “sengaja acak-acakan tapi tetap keren”, kemeja putihnya tidak dikancingkan sampai atas seperti mahasiswa teladan, dan ekspresi wajahnya? Sok santai, seperti dunia ini ada dalam genggamannya.
Laki-laki itu duduk dengan seenaknya di bangku kosong… tepat di sebelah Zevana.
“Seriusan, kamu?” Zevana langsung menoleh, tatapannya penuh keterkejutan dan, tentu saja, ketidaksukaan. “Dari sekian banyak kursi di ruangan ini, kenapa harus di sini?”
Kairo hanya menaikkan bahu, menoleh ke arahnya dengan senyum yang hampir saja bikin Zevana refleks lempar tas. “Karena kamu duduk di sini?”
Zevana menatapnya tanpa berkedip. “Bukan jawaban yang aku mau.”
“Bukan berarti aku peduli.”
Oh, dia benar-benar menyebalkan.
Masalahnya, ini bukan pertama kali Kairo membuatnya ingin menjerit frustrasi. Sejak SMA, cowok ini selalu berhasil memancing emosinya. Ada aja cara dia buat bikin hari-harinya jadi penuh drama. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun berharap bisa hidup tenang tanpa gangguan, semesta malah melemparkannya kembali ke dalam neraka bernama Kairo Arkanda.
“Jadi…” Kairo menoleh ke arah papan tulis, lalu kembali menatap Zevana. “Ini kelas yang bakal kita lewati bersama selama satu semester?”
“Kita?” Zevana menatapnya curiga. “Jangan bawa-bawa aku dalam rencana hidupmu.”
Kairo tertawa pelan. “Santai, aku juga nggak tertarik.”
Ya Tuhan, dia benar-benar ingin melempar sesuatu ke wajah laki-laki ini.
Perang antara mereka pun dimulai.
Setiap dosen bertanya sesuatu di kelas, selalu saja ada momen di mana Zevana dan Kairo saling adu argumen. Yang lain mungkin melihat ini sebagai debat akademis biasa, tapi bagi mereka berdua, ini adalah perang gengsi.
Seperti hari itu, ketika dosen mata kuliah Filsafat Sosial menanyakan opini tentang eksistensialisme. Zevana, yang memang suka membaca buku berat, dengan percaya diri menyampaikan pendapatnya tentang bagaimana manusia punya kebebasan mutlak atas hidupnya.
Semua berjalan lancar. Sampai Kairo tiba-tiba mengangkat tangan.
“Saya setuju sama Zevana, tapi…” Kairo menarik jeda, senyum di bibirnya mulai muncul. “…nggak sepenuhnya.”
Zevana langsung menegang. “Apa maksudnya?”
“Manusia itu nggak sepenuhnya bebas,” jawab Kairo santai. “Karena pada akhirnya, kita tetap terikat sama lingkungan, keadaan, dan orang-orang di sekitar kita. Kamu pikir kamu bebas? Padahal, keputusanmu dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk cara kamu dididik, siapa yang ada di sekelilingmu, bahkan… siapa yang paling sering bikin kamu kesal.”
Zevana menyipitkan mata. “Aku rasa kamu baru aja nyindir aku.”
“Bukan rasa lagi. Itu fakta.”
Tawa kecil terdengar dari beberapa mahasiswa lain, dan Zevana merasa harga dirinya terinjak-injak. Ia balas menatap Kairo dengan tajam, lalu dengan percaya diri menjawab, “Tapi kalau kita menyadari pengaruh itu dan tetap memilih jalan kita sendiri, bukankah itu justru membuktikan kebebasan kita?”
Kairo mengangguk, pura-pura berpikir. “Hmm… Bisa jadi. Atau…” Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya lebih rendah. “Kamu cuma ngotot karena nggak mau kalah dari aku?”
Oh, hari ini Kairo benar-benar cari mati.
Dosen akhirnya menghentikan perdebatan mereka, tapi Zevana tahu ini belum selesai.
Setelah kelas usai, Zevana buru-buru mengemasi barangnya dan keluar. Dia butuh udara segar. Sayangnya, semesta seperti menikmati penderitaannya, karena beberapa detik kemudian, suara Kairo terdengar di belakangnya.
“Kamu kok kayak dikejar setan?”
Zevana berhenti, menarik napas dalam-dalam sebelum menoleh. “Nggak, aku cuma menghindari satu orang yang hobinya bikin emosi.”
Kairo menyeringai. “Menarik. Aku juga merasa ada satu orang di kampus ini yang hobinya bikin hidupku lebih seru.”
“Jangan bercanda.”
“Siapa bercanda?”
Zevana memutar bola mata. Ia tahu kalau melanjutkan ini hanya akan membuat Kairo semakin senang. Jadi, tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan lebih cepat menuju kantin.
Tapi siapa sangka, kejutan besar menunggunya di sana.
Begitu masuk ke kantin, matanya langsung menangkap sosok Reyhan—cowok yang diam-diam ia suka sejak beberapa bulan lalu—duduk bersama teman-temannya. Hatinya langsung berdebar.
Ia mengambil napas, mencoba menenangkan diri. Oke, ini kesempatan bagus untuk menunjukkan sisi terbaiknya. Tapi sebelum ia bisa melakukan sesuatu, sebuah tangan tiba-tiba melingkar santai di pundaknya.
“Kamu suka dia, ya?”
Zevana tertegun, lalu melirik ke samping. Dan di sanalah Kairo, dengan wajah tanpa dosa dan ekspresi sok tahu.
Zevana langsung menepis tangannya. “Ngapain sih?!”
Kairo terkekeh. “Nggak usah galak. Aku cuma penasaran. Dari tadi kamu lihatin dia terus.”
“Aku nggak ada urusan sama kamu.”
Kairo mengangguk pelan, tapi senyum di wajahnya tak kunjung hilang. Lalu, dengan nada isengnya yang khas, ia berkata, “Yakin? Aku bisa bantu kamu, lho.”
Zevana menatapnya curiga. “Bantu apa?”
“Bantu bikin dia cemburu.”
Zevana terdiam. Ini pertama kalinya dalam hidupnya Kairo menawarkan sesuatu yang… masuk akal.
Tapi di sisi lain, kenapa juga dia tiba-tiba menawarkan bantuan?
Zevana masih berpikir keras ketika Kairo tiba-tiba menepuk pundaknya pelan dan berkata dengan suara rendah, “Percaya deh, kadang musuh itu lebih ngerti kamu daripada orang yang kamu suka.”
Dan untuk pertama kalinya sejak bertemu Kairo Arkanda lagi, Zevana tidak tahu harus membalas apa.
CINTA KANDAS DI TANGGA KAMPUS
Zevana memandangi Kairo dengan ekspresi penuh curiga. Tawaran itu masih menggantung di udara, seperti perangkap yang siap menjebaknya kapan saja. Bantu bikin Reyhan cemburu? Itu ide paling absurd yang pernah dia dengar.
“Aku nggak butuh bantuanmu.” Zevana akhirnya membuka mulut.
Kairo menyeringai, seakan sudah menduga jawaban itu. “Oh, tentu. Kamu itu kan cewek mandiri yang nggak butuh siapa-siapa.”
“Aku serius.”
“Dan aku juga.”
Zevana melotot. Kenapa dia selalu berhasil bikin emosi?
Kairo mengangkat tangan, seolah menyerah. “Oke, oke. Aku nggak bakal maksa. Tapi kalau nanti kamu berubah pikiran…” Ia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya hampir berbisik. “…aku selalu ada di sini.”
Zevana mendengus sebelum memutar tubuh dan melangkah pergi. Ia tidak punya waktu untuk meladeni omong kosong Kairo. Tapi entah kenapa, sepanjang jalan menuju gedung kelas, kalimat terakhir Kairo terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Kenapa juga dia tiba-tiba baik gini?
Hari itu, Zevana sedang dalam mode sibuk. Ia harus berpindah kelas dengan cepat, membawa setumpuk buku yang lebih berat dari beban hidupnya. Tangga kampus yang biasanya terlihat biasa saja, hari ini terasa lebih curam dan berbahaya.
Dan tepat saat ia melangkah naik…
Seseorang menabraknya dari belakang.
Buku-buku di tangannya terlempar ke udara, dan keseimbangannya hilang dalam hitungan detik. Zevana bisa merasakan gravitasi menarik tubuhnya ke belakang.
Astaga. Aku bakal jatuh!
Ia nyaris menjerit, bersiap menerima nasib, ketika tiba-tiba seseorang menarik tangannya dengan kuat. Dalam hitungan detik, tubuhnya berbalik, dan ia jatuh… ke dalam pelukan seseorang.
Bukan sembarang seseorang. Kairo.
Zevana menegang. Waktu seolah berhenti. Tangan Kairo masih menggenggam pergelangannya, sementara tangan satunya menahan punggungnya agar tidak benar-benar jatuh.
Dan yang lebih parah—mereka berdiri terlalu dekat. Terlalu.
“Seriusan, Ze?” suara Kairo terdengar rendah, tapi ada nada geli di dalamnya. “Aku tahu kamu suka cari perhatian, tapi sampai segitunya?”
Zevana langsung tersadar. “Apaan sih?! Aku ditabrak orang, tahu!”
“Hmm…” Kairo melirik ke belakangnya, tapi tidak ada siapa-siapa. “Orang mana?”
Zevana ikut menoleh, tapi pelaku yang tadi menabraknya entah ke mana.
“Kebetulan banget, ya?” Kairo mengangkat alis, masih menahan senyum.
Zevana mengumpat dalam hati. Kenapa harus dia yang nangkep aku? Kenapa nggak orang lain aja?
Ia buru-buru menarik dirinya dari Kairo, lalu membungkuk untuk mengambil bukunya yang bertebaran. Sayangnya, Kairo juga melakukan hal yang sama.
Dahi mereka hampir saja bertabrakan.
Mata mereka bertemu dari jarak yang tidak wajar.
Dan untuk pertama kalinya, Zevana menyadari sesuatu yang aneh—mata Kairo ternyata lumayan bagus.
Astaga, Zevana. Fokus.
Ia buru-buru mengalihkan pandangan dan mengambil buku yang masih tersisa. “Lupakan kejadian ini.”
Kairo terkekeh, lalu menyerahkan buku terakhir ke tangannya. “Lupakan? Kayaknya nggak mungkin.”
Zevana menggeram, menahan godaan untuk melempar buku ke mukanya.
Insiden tangga itu mungkin memalukan bagi Zevana, tapi ada satu hal tak terduga yang terjadi setelahnya.
Reyhan—cowok yang selama ini hanya ia kagumi dari jauh—tiba-tiba datang menghampirinya saat jam istirahat.
“Zevana, tadi aku lihat kejadian di tangga…” katanya, sedikit ragu.
“Oh?” Zevana berusaha bersikap biasa saja, padahal jantungnya berdetak kencang. Astaga. Dia memperhatikan aku?
“Kamu nggak papa?”
Zevana tersenyum kecil. “Nggak papa. Cuma insiden kecil.”
Reyhan mengangguk, tapi matanya tampak berpikir. “Kairo… dia deket sama kamu?”
Zevana hampir tersedak udara.
“Apa? Nggak! Kami musuhan sejak SMA!”
“Oh.” Ekspresi Reyhan sedikit berubah. Apakah itu ekspresi kecewa atau…?
Sebelum Zevana bisa menganalisis lebih jauh, Kairo tiba-tiba muncul entah dari mana dan berdiri di sampingnya.
“Lagi ngomongin aku, ya?” tanyanya santai.
Reyhan menoleh ke arahnya. “Cuma tanya-tanya soal tadi.”
Kairo tersenyum kecil, lalu—entah kenapa—menarik Zevana lebih dekat. “Ya, untung aja aku ada di sana buat nyelametin dia.”
Reyhan menatap mereka beberapa detik, lalu tersenyum tipis. “Aku duluan ya.”
Zevana menatap punggung Reyhan yang menjauh, lalu langsung berbalik ke arah Kairo dengan tatapan membunuh.
“APA-APAAN SIH KAMU?!”
Kairo hanya mengangkat bahu. “Bantu bikin dia cemburu.”
Zevana menatapnya tanpa berkedip. “Tunggu… Kamu serius soal tawaran itu?”
Kairo menoleh ke Reyhan yang sudah jauh, lalu kembali menatap Zevana. Senyumnya muncul lagi—senyum yang selalu bikin dia emosi.
“Kamu mau coba?”
Dan di situlah, tanpa Zevana sadari, sebuah permainan baru dimulai.
KENAPA KAMU ADA DI MANA-MANA?
Setelah kejadian di tangga dan Reyhan yang mulai memperhatikannya, Zevana berpikir semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sedikit drama, sedikit trik, dan boom—Reyhan bakal sadar kalau dia suka aku.
Tapi ada satu masalah besar.
Kairo.
Cowok itu muncul di mana-mana. Seolah hidup Zevana sudah terikat kontrak dengan keberadaannya.
Mulai dari di kantin, di depan kelas, di parkiran, bahkan di lorong kampus—setiap kali Zevana menoleh, pasti ada Kairo.
Dan dia selalu melakukan hal yang mencurigakan.
Zevana tahu Reyhan suka makan di kantin belakang setiap hari Rabu. Itu sebabnya, ia sengaja memilih tempat duduk yang paling strategis untuk “tanpa sengaja” terlihat olehnya.
Strateginya sederhana: duduk manis, terlihat sibuk, dan pura-pura cuek.
Tapi Kairo merusaknya dalam waktu tiga detik.
Cowok itu tiba-tiba menarik kursi di sampingnya dan duduk dengan santainya.
Zevana menoleh cepat. “KAIRO?!”
“Sst.” Kairo mengangkat telunjuk ke bibirnya. “Jangan heboh.”
Zevana hampir tersedak minumnya. “Kenapa kamu duduk di sini?”
“Bantuin kamu.”
“Aku nggak butuh bantuan.”
Kairo tidak menggubrisnya dan malah mengambil sepotong ayam dari piringnya. DAN MEMAKANNYA.
Zevana melongo. “HEY, ITU PUNYA AKU!”
“Kalau aku duduk di sini tapi kita diem-dieman, Reyhan nggak bakal cemburu, Ze. Harus ada interaksi.” Kairo mengunyah santai. “Jadi aku improvisasi.”
Zevana mengatupkan giginya. Aku. Mau. Banting. Dia. Sekarang.
Tapi sebelum itu bisa terjadi, suara yang sangat ia kenal menyapanya.
“Zevana?”
Reyhan berdiri di dekat meja mereka, menatap mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Astaga. Timing-nya pas banget.
Zevana langsung menegakkan punggungnya. “Oh! Hai, Reyhan!”
“Lagi makan?”
Belum sempat Zevana menjawab, Kairo sudah duluan buka mulut.
“Lagi lunch date.”
Zevana nyaris tersedak udara. APA?!
Reyhan mengernyit. “Lunch date?”
Kairo menyengir, lalu merangkul bahu Zevana dengan sangat alamiah, seolah ini bukan hal aneh sama sekali.
Dan yang lebih parah—Zevana terlalu kaget untuk langsung mendorongnya.
“Oh, kamu belum tahu ya?” Kairo menambahkan, “Kami lagi coba pendekatan.”
Zevana refleks menoleh cepat ke arahnya. “Hah?!”
Kairo balas menatapnya dengan senyum menyebalkan. “Eh? Kamu nggak cerita ke dia?”
Zevana ingin teriak. Tapi saat ia kembali melihat Reyhan, ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuatnya terdiam.
Reyhan tidak terlihat senang.
Dan sejujurnya, itu membuatnya merasa… aneh.
Tapi sebelum situasinya makin awkward, Reyhan hanya mengangguk kecil. “Oh… Gitu, ya.”
Lalu, ia pergi begitu saja.
Zevana merasa ada sesuatu yang menusuk perasaannya saat melihatnya pergi.
Dan yang lebih menyebalkan lagi… Kairo melihatnya.
“Bagus, kan?” Kairo berbisik, melepas rangkulannya.
Zevana masih melongo. “Apa-apaan tadi itu?!”
“Taktik yang efektif. Kamu lihat mukanya? Dia jelas nggak suka.”
Zevana menggigit bibirnya. Oke, iya. Reyhan memang tidak terlihat senang. Tapi tetap saja—“Kamu bisa nggak sih, nggak keterlaluan?”
Kairo terkekeh. “Santai aja. Kita bikin dia lebih cemburu lagi nanti.”
Zevana memijat pelipisnya. Ini semua ide buruk.
Setelah kejadian di kantin, Zevana berpikir ia bakal bisa menghindari Kairo untuk selamanya.
Salah besar.
Karena sejak saat itu, Kairo benar-benar muncul di mana-mana.
Di parkiran.
Di depan kelasnya.
Bahkan DI PERPUSTAKAAN.
“KAIRO.” Zevana menatapnya tajam di antara rak buku. “Kenapa kamu ada DI SINI?”
Kairo menutup buku yang dipegangnya dan menatapnya dengan wajah sepolos malaikat. “Lagi baca.”
“Kamu nggak pernah baca buku!”
Kairo tersenyum kecil. “Sekarang aku baca.”
Zevana hampir frustrasi. “Kamu ngikutin aku?!”
“Kenapa aku harus ngikutin kamu?” Kairo mengangkat bahu santai. “Kamu bukan siapa-siapaku.”
Zevana memutar matanya. “Udahlah. Aku mau belajar.”
Ia berusaha pergi, tapi baru beberapa langkah, Kairo kembali bersuara.
“Tapi kalau kamu mau aku ngikutin, aku nggak keberatan sih.”
Zevana langsung membalik badan. “KA—”
“Shh!” Seorang pustakawan menegurnya karena suaranya terlalu keras.
Zevana mengatupkan bibir, menatap Kairo dengan tatapan pembunuh.
Kairo hanya tersenyum puas.
Zevana tahu satu hal dengan pasti.
Cowok ini adalah kutukan dalam hidupnya.
Dan yang lebih parah lagi… kenapa dia mulai merasa ada yang aneh setiap kali Kairo muncul?
SEJAK KAPAN AKU MELIHATMU BERBEDA?
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Zevana mulai terbiasa dengan kehadiran Kairo di mana-mana. Dia memang menyebalkan, tapi ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengabaikan cowok itu.
Satu hari, saat Zevana sedang duduk sendirian di taman kampus, dia melihat Kairo melangkah mendekat dengan senyum lebar di wajahnya.
“Zevana!”
Dia sudah bisa merasakan kekacauan yang akan ditimbulkan. “Kairo, ada apa?”
“Tebak, aku dapat kabar baik!”
“Apalagi yang mau kamu bilang?” Zevana menjawab, setengah berharap agar Kairo tidak membawa kabar yang lebih menyebalkan dari biasanya.
“Ternyata Reyhan udah tahu kita ‘deket’, dan dia mulai gelisah!”
Zevana terdiam. “Maksudmu?”
Kairo melanjutkan, “Dia nanya ke teman-teman kita tentang kita. Serius, Ze! Dia cemburu!”
“Enggak mungkin,” Zevana bersikeras. Dia tidak bisa mempercayai Kairo begitu saja. “Reyhan bukan orang yang cemburuan.”
“Tapi aku bisa merasakannya,” Kairo bersikeras. “Coba deh, tanya langsung sama dia.”
Zevana mendengus, merasa hatinya berdebar. Apa benar Reyhan cemburu? Kenapa itu membuatnya merasa… senang?
“Yaudah, coba tanya langsung.” Kairo memberi dorongan dengan wajah penuh harapan.
“Lho, kenapa harus aku? Kamu yang ngomong ini!”
“Karena ini semua ide kamu!” Kairo balik menyerang.
Zevana merasa terjebak. “Oke, oke. Aku akan tanya. Tapi kamu jangan ngerecokin, ya!”
Saat hari beranjak sore, Zevana bertekad untuk mendatangi Reyhan. Dia duduk di kursi taman di dekat danau, menunggu Reyhan datang.
Ketika Reyhan tiba, Zevana merasakan hatinya berdebar kencang. “Reyhan.”
Reyhan menoleh, kaget melihat Zevana sendirian. “Zevana, ada apa?”
Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang. “Kairo bilang… kamu tahu tentang kami.”
Reyhan mengernyit. “Kairo bilang apa?”
“Dia bilang kamu… cemburu?”
Reyhan terdiam sejenak, matanya menatap Zevana serius. “Kairo itu memang suka bercanda. Kenapa kamu percaya sama dia?”
Zevana menggaruk tengkuknya, bingung. “Tapi, apa kamu nggak merasa cemburu?”
Dia ingin tahu jawaban Reyhan.
Akhirnya, Reyhan mengalihkan pandangan, menatap danau. “Sebenarnya… aku mulai merasa ada yang berbeda.”
“Berbeda?”
“Iya, kamu lebih sering bareng Kairo, dan aku…” Reyhan menghela napas. “Entahlah, rasanya kayak kehilangan sesuatu.”
Zevana merasa hatinya bergetar. “Kamu nggak pernah bilang kalau kamu peduli.”
“Karena aku tidak ingin mengganggu.”
Zevana merasa ada harapan di dalam dirinya. “Jadi, kamu cemburu?”
Reyhan berbalik, wajahnya bersemu merah. “Bisa dibilang begitu.”
Zevana tersenyum. “Jadi, kita berdua mungkin… ada perasaan satu sama lain?”
Reyhan tampak berpikir, lalu mengangguk pelan. “Sejak kapan aku melihatmu berbeda, Zevana? Mungkin ini saatnya kita beneran jadi lebih dari sekadar musuh.”
Zevana tak bisa menahan senyumnya. “Kamu berani untuk menghadapi Kairo?”
“Berani!” Reyhan terlihat bersemangat. “Kita hadapi semua ini bersama.”
Setelah pertemuan itu, semuanya mulai berubah. Zevana dan Reyhan mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, merencanakan semua hal yang menyenangkan. Kairo tetap muncul, tapi kali ini bukan untuk mengganggu, melainkan untuk memberi dukungan.
“Wow, kalian berdua tampak serasi,” Kairo menggoda. “Aku sudah bilang kan? Ini semua idemu, Zevana!”
Zevana tertawa, merasa ringan. “Iya, iya. Kamu memang selalu ada, Kairo.”
Tapi saat mereka berdua duduk di bangku taman, Zevana tersenyum pada Reyhan, yang sedang asyik berbicara tentang film terbaru yang mereka tonton. Cinta itu ternyata bisa muncul dari tempat yang tidak terduga.
Musuh yang tadinya selalu berseteru kini telah bertransformasi menjadi pasangan yang saling mendukung.
Zevana mengusap lengan Reyhan, menatap ke arah danau yang tenang. “Terima kasih, Reyhan. Selalu ada di sampingku.”
Reyhan tersenyum, “Dan terima kasih, Zevana. Karena sudah membuat hidupku lebih berwarna.”
Malam pun semakin larut, dan dua hati yang dulu bertikai kini bersatu.
Nah, itu dia perjalanan seru Zevana dan Reyhan, dari musuh yang saling ejek jadi pasangan yang saling mendukung. Gimana? Bikin kamu baper juga, kan?
Jadi, jangan takut buat mencari cinta di tempat yang nggak terduga, ya! Mungkin, musuh terbesarmu bisa jadi kekasih sejati yang selalu ada buat kamu. Sampai jumpa di cerita seru berikutnya!