Daftar Isi [hide]
Museum di Hatiku
Gerbang Tak Terlihat
Hujan turun dengan irama pelan, menepuk-nepuk jendela kamar Albereon. Udara malam yang dingin menyelinap melalui celah tirai, membelai kulitnya dengan lembut. Ia duduk di atas ranjang, tatapannya kosong menatap plafon. Di tangannya, ada selembar foto yang sudutnya sudah mulai menguning—foto masa kecilnya bersama seseorang yang kini hanya bisa ia temui dalam kenangan.
Ia menarik napas dalam, lalu menutup matanya. Dalam sekejap, keheningan kamar lenyap.
Ketika ia membuka mata kembali, ia sudah berdiri di depan sebuah bangunan yang mustahil ada. Tidak ada papan nama, tidak ada penjaga di gerbang. Hanya ada pintu kayu tua dengan ukiran tak dikenal yang terasa familiar, seolah tangan masa lalunya sendiri yang mengukirnya.
“Apa ini?” gumamnya, mendekat dengan langkah ragu.
Angin malam berhembus, membawa aroma nostalgia yang menusuk jauh ke dalam dirinya.
Tanpa sadar, tangannya menyentuh gagang pintu. Dingin. Begitu ia mendorongnya perlahan, suara berderit memenuhi udara, dan dari dalam, semburat cahaya kuning temaram menyambutnya.
Ia melangkah masuk.
Di dalam, lorong panjang membentang, diterangi lampu-lampu gantung tua yang cahayanya berpendar lembut seperti lilin. Dinding-dindingnya dihiasi bingkai-bingkai besar, menampilkan potret kehidupannya dari berbagai sudut yang bahkan ia sendiri tak ingat pernah mengalaminya.
Langkahnya terhenti di depan salah satu bingkai.
Dalam lukisan itu, ada seorang bocah kecil berlarian di ladang hijau, tertawa lepas di bawah sinar matahari. Ibunya duduk di teras rumah kayu, mengayun perlahan dengan senyum hangat, sementara sang ayah berdiri di dekatnya, membetulkan layang-layang yang benangnya sempat putus.
Albereon mengerutkan kening. Ia ingat hari itu. Hari di mana ia untuk pertama kalinya berhasil menerbangkan layang-layang lebih tinggi dari pohon mangga di belakang rumah. Hari itu, dunia terasa sederhana dan bahagia.
“Ini…” bisiknya, tapi suaranya terputus oleh sebuah suara lain dari dalam museum.
“Kamu akhirnya datang.”
Albereon tersentak. Ia menoleh ke arah suara itu dan melihat seseorang berdiri di ujung lorong. Sosok itu terlihat samar di antara cahaya redup, tapi perlahan-lahan, bayangannya menjadi lebih jelas.
Seorang pria tua dengan jubah panjang berwarna abu-abu, rambutnya seputih salju, dan sorot matanya tajam namun teduh.
“Siapa kamu?” tanya Albereon, merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Sosok itu tersenyum tipis, lalu berjalan mendekat dengan langkah tenang.
“Aku penjaga museum ini.”
Albereon mengerutkan alis. “Museum?”
“Ya.” Pria itu mengangkat tangannya, menunjuk ke seluruh ruangan. “Museum ini adalah milikmu.”
“Apa maksudmu?” Albereon melirik ke sekeliling, masih mencoba memahami situasi aneh ini. “Aku tidak pernah punya museum.”
Pria itu terkekeh pelan. “Kamu tidak membangunnya dengan tanganmu. Tapi kamu menciptakannya dengan hatimu.”
Albereon diam. Ia kembali melihat lukisan-lukisan di dinding, lalu mengamati lorong panjang yang tampaknya tak berujung. Ada banyak pintu di sisi kiri dan kanan, masing-masing dengan ukiran yang berbeda.
“Apa semua ini… kenangan?” tanyanya pelan.
Pria tua itu mengangguk. “Kenangan, impian, penyesalan, harapan yang hilang… Semua yang pernah kamu simpan dalam hatimu ada di sini.”
Albereon menelan ludah. Pikirannya berusaha menolak absurditas ini, tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang berkata bahwa semua ini masuk akal.
Ia menghela napas, lalu menatap pria di depannya. “Kenapa aku ada di sini?”
Pria itu tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. “Karena kamu masih mencari sesuatu.”
Sesuatu? Albereon merasa dadanya tiba-tiba sesak. Ia tak tahu pasti apa yang sedang ia cari, tapi ada kehampaan dalam dirinya yang selalu ia abaikan. Museum ini… mungkinkah menyimpan jawabannya?
Pria itu berbalik, berjalan menuju salah satu pintu. “Ayo. Aku akan menunjukkan sesuatu.”
Albereon ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti langkah pria itu. Ketika pria itu membuka pintu, sebuah cahaya lembut menyelimuti mereka.
Dan di balik pintu itu, terbentang sebuah dunia yang bahkan Albereon sendiri tak siap untuk melihatnya.
Lorong Kenangan yang Membatu
Begitu pintu terbuka, Albereon merasakan angin hangat menyentuh wajahnya. Cahaya keemasan memenuhi ruangan yang terbuka di hadapannya—bukan sembarang ruangan, melainkan sebuah lapangan luas dengan rerumputan hijau yang bergoyang pelan. Langit di atasnya berwarna jingga, seperti senja yang tak pernah usai.
Ia melangkah masuk dengan hati-hati, sementara pria tua itu berdiri di ambang pintu, membiarkannya menjelajah sendiri.
Di sekelilingnya, bayangan-bayangan samar mulai muncul. Mereka bukan makhluk hidup, tapi lebih seperti proyeksi kenangan yang terukir dalam waktu. Albereon menahan napas saat ia mengenali salah satu dari mereka—seorang anak laki-laki kecil dengan baju kusut dan kaki telanjang yang berlari-lari sambil tertawa.
Itu dirinya.
Ia melihat versi kecil dirinya berlarian di antara rerumputan, mengejar seekor anjing hitam yang menggonggong riang. Anjing itu… namanya Runo. Anjing kesayangannya yang sudah lama tiada.
“Runo…” bisiknya tanpa sadar.
Namun, meskipun kenangan itu begitu hidup, Albereon tahu bahwa mereka hanyalah fragmen-fragmen yang membeku dalam waktu. Ia bisa melihatnya, tapi tak bisa menyentuhnya. Tak bisa mengubahnya.
Ia terus berjalan, dan di depannya terbentang berbagai kenangan lain—semuanya terpahat seperti patung batu di atas podium kenangan. Setiap patung itu menggambarkan momen dalam hidupnya. Ada yang penuh tawa, ada yang dipenuhi air mata.
Ia berhenti di depan salah satu patung yang lebih kecil. Seorang bocah kecil sedang duduk di atas kursi kayu, kepalanya tertunduk, tangannya mengepal. Mata patung itu menatap kosong ke bawah, penuh kesedihan yang tertahan.
Albereon tahu betul kapan momen itu terjadi.
Hari di mana ia pertama kali merasakan kehilangan.
Hari di mana ia melihat Runo terbaring lemas di teras rumah, napasnya tersengal, sementara orang tuanya berusaha menenangkannya. Hari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menyadari bahwa beberapa hal memang tidak bertahan selamanya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya.
“Kamu mengingatnya?” suara pria tua itu bergema di telinganya.
Albereon tidak menoleh, tapi ia mengangguk pelan.
“Ini bukan sekadar kenangan,” pria itu melanjutkan. “Ini adalah bagian dari dirimu. Setiap patung di sini adalah bukti bahwa kamu pernah mengalami, pernah merasa, dan pernah bertumbuh.”
Albereon menatap patung itu lama.
“Kamu ingin mengubahnya?” tanya pria itu tiba-tiba.
Ia tersentak, lalu mengernyit. “Apa maksudmu?”
Pria itu melangkah ke sisinya. “Beberapa orang yang datang ke museum mereka sendiri ingin menghapus beberapa kenangan. Mungkin kamu juga ingin melakukan hal yang sama.”
Albereon menggigit bibirnya. Seandainya ia bisa menghapus beberapa kenangan, apakah ia akan melakukannya?
Tapi… tanpa kenangan itu, apakah ia masih akan menjadi dirinya yang sekarang?
Ia menggeleng pelan. “Tidak. Aku tidak ingin mengubahnya.”
Pria itu tersenyum tipis. “Bagus.”
Hening sejenak, hanya ada suara angin yang berhembus di antara patung-patung kenangan.
“Kamu masih harus melihat lebih banyak,” kata pria itu akhirnya. “Ini baru permulaan.”
Albereon menoleh ke arahnya. “Kemana lagi?”
Pria itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah ujung lapangan. Di sana, sebuah pintu lain berdiri, berbeda dari yang sebelumnya. Tidak ada cahaya keemasan yang menyambutnya, hanya bayangan gelap yang melingkupinya seperti kabut.
Rasanya… lebih berat.
Lebih dingin.
“Di sana,” kata pria itu. “Tempat di mana semua harapan yang pernah kamu bangun mulai retak.”
Albereon menelan ludah.
Ia tahu betul bahwa ia harus masuk ke sana.
Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak ia menginjakkan kaki di museum ini, ia merasa takut.
Ruang Penyesalan yang Tak Bisa Diubah
Albereon berdiri di depan pintu itu. Tidak seperti pintu sebelumnya yang hangat dan mengundang, pintu ini terasa dingin, hampir seperti es. Ada retakan-retakan halus di permukaannya, seakan pintu ini sudah lama menahan beban yang terlalu berat.
Ia menarik napas dalam. Tidak ada cara lain selain masuk.
Dengan satu dorongan, pintu itu terbuka.
Udara di dalam terasa berbeda—lebih dingin, lebih berat. Langit-langitnya tinggi, tapi gelap, seakan menelan cahaya. Ruangan ini luas, tapi kosong, kecuali satu hal di tengahnya: sebuah jam pasir raksasa yang berdiri tegak di atas lantai marmer hitam.
Albereon melangkah mendekat. Pasir di dalam jam itu mengalir perlahan, turun ke bagian bawah seperti detik-detik yang tak bisa dihentikan. Tapi ada yang aneh—pasir di bawahnya tidak bertumpuk dengan sempurna. Beberapa butiran seakan menghilang begitu menyentuh dasar.
“Kenapa seperti itu?” gumamnya.
“Karena tidak semua waktu yang berlalu meninggalkan sesuatu,” jawab pria tua itu, yang kini berdiri di ambang pintu.
Albereon tidak langsung menjawab. Pandangannya tetap terpaku pada jam pasir itu.
Lalu, tiba-tiba, bayangan-bayangan mulai muncul di sekelilingnya.
Bukan patung seperti di ruangan sebelumnya.
Tapi potongan-potongan adegan yang bergerak, seperti layar film yang pecah menjadi serpihan memori.
Di salah satu serpihan itu, ia melihat dirinya sendiri duduk di sebuah kafe, menatap ponselnya dengan ragu. Jari-jarinya berkedut di atas layar, seakan ingin mengetik sesuatu, tapi ia malah menekan tombol keluar.
Ia tahu adegan ini. Hari itu, ia hampir menghubungi seseorang—seseorang yang dulu sangat berarti baginya. Tapi ia terlalu takut. Terlalu ragu. Hingga akhirnya, kesempatan itu hilang.
Di sisi lain ruangan, ada adegan lain yang muncul.
Dirinya yang lebih muda, duduk di atas kasur dengan gitar di pangkuannya. Ada lembaran-lembaran kertas di sampingnya, penuh dengan lirik lagu yang tidak pernah ia selesaikan. Lirik-lirik yang akhirnya hanya menjadi coretan tak berarti.
Albereon mengatupkan rahangnya. Ia ingat bagaimana ia dulu bermimpi menjadi musisi, tapi rasa takut akan kegagalan membuatnya berhenti bahkan sebelum mencoba.
Satu per satu, bayangan-bayangan itu terus muncul di sekelilingnya.
Kesempatan yang ia biarkan berlalu. Kata-kata yang tidak pernah ia ucapkan. Keputusan yang tidak pernah ia buat.
Dan di antara semuanya, ada satu yang paling menusuk—bayangan dirinya berdiri di depan rumah kecil yang akrab di matanya, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Ia melihat dirinya sendiri ragu-ragu di depan pintu, sebelum akhirnya berbalik pergi.
Ia tidak mengetuk. Tidak pernah.
Dan sekarang, rumah itu sudah lama kosong.
Sebuah suara di belakangnya membuatnya tersadar dari lamunannya.
“Kamu tidak bisa mengubahnya,” kata pria tua itu dengan tenang.
Albereon mengepalkan tangan. “Aku tahu.”
“Tapi kamu masih mencoba melawan.”
Albereon diam. Ia tidak ingin mengakuinya, tapi pria itu benar.
Hatinya terasa berat. Ia tahu ia tidak bisa kembali ke masa lalu, tidak bisa memperbaiki semua kesalahan itu. Tapi melihatnya di hadapannya seperti ini… itu lebih menyakitkan daripada yang ia bayangkan.
“Lalu kenapa aku harus melihat semua ini?” tanyanya akhirnya, suaranya sedikit bergetar.
Pria itu tersenyum tipis. “Karena kamu harus menerimanya.”
Menerima?
Menerima bahwa ia telah menyia-nyiakan begitu banyak waktu? Bahwa ada hal-hal yang tak bisa ia ubah lagi?
Ia menggigit bibirnya. “Aku tidak tahu bagaimana.”
Pria itu menatap jam pasir raksasa di tengah ruangan. “Mungkin kamu tidak perlu tahu bagaimana.”
Albereon menatap pasir itu juga. Pasir yang terus turun, terus berlalu, terus menghilang.
Ia menutup matanya sejenak.
Lalu, saat ia membukanya kembali, ada sesuatu yang berbeda.
Ia masih merasa sesak. Masih merasa berat. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain.
Kesadaran bahwa pasir itu masih mengalir.
Waktu masih berjalan.
Dan mungkin, meskipun ia tidak bisa kembali, masih ada hal lain yang bisa ia lakukan.
Di ujung ruangan, ada sebuah pintu lain.
Pintu yang belum ia masuki.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia berada di museum ini, ia merasa siap untuk melangkah ke sana.
Lembaran Kosong Masa Depan
Albereon berdiri di depan pintu terakhir. Tidak seperti yang sebelumnya, pintu ini tampak biasa saja—tidak ada retakan, tidak ada ukiran misterius, tidak ada aura berat yang menyelimuti. Justru, pintu ini terlihat sederhana. Bersih. Seolah menunggu seseorang untuk menuliskan sesuatu di atasnya.
Tangannya ragu-ragu menyentuh gagang pintu, tapi kali ini, ia tidak merasa takut.
Ia mendorongnya perlahan.
Begitu pintu terbuka, yang ia temukan bukan ruangan gelap, bukan pula lorong panjang yang dipenuhi kenangan.
Melainkan… kehampaan.
Sebuah ruangan putih yang luas, tak bertepi. Tidak ada benda, tidak ada patung, tidak ada lukisan-lukisan dari masa lalunya. Tidak ada apa pun.
Albereon melangkah masuk. Suara langkah kakinya menggema, menegaskan betapa kosongnya tempat ini.
Ia menoleh ke pria tua yang kini berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan senyum kecil.
“Apa ini?” tanyanya.
“Ini adalah ruangan yang belum terisi,” jawab pria itu.
Albereon mengernyit. “Belum terisi?”
Pria itu mengangguk. “Museum ini adalah hatimu, dan di sini, setiap ruangan adalah bagian dari perjalananmu. Ruangan ini… adalah masa depanmu.”
Albereon menatap sekeliling lagi. Kosong. Benar-benar kosong.
“Tapi…” ia menelan ludah. “Kenapa tidak ada apa pun di sini?”
Pria tua itu tersenyum. “Karena kamu belum mengisinya.”
Albereon diam.
Ia baru menyadari sesuatu. Di museum ini, ia telah melihat masa lalunya terpahat dalam patung-patung batu. Melihat kesedihan, penyesalan, kehilangan—semua yang telah terjadi dan tidak bisa ia ubah. Tapi di ruangan ini…
Ia belum meninggalkan jejak apa pun.
“Apakah aku bisa memilih apa yang ada di ruangan ini?” tanyanya pelan.
Pria itu mengangguk. “Tentu saja.”
Seketika, Albereon merasakan sesuatu yang hangat menjalar dalam dadanya.
Ini adalah sesuatu yang belum pernah ia sadari sebelumnya.
Selama ini, ia selalu merasa terkunci dalam kenangan. Selalu merasa waktu telah mencuri darinya. Selalu melihat ke belakang, menyesali hal-hal yang tidak bisa ia ubah.
Tapi di sini, di ruangan kosong ini…
Ia bisa mulai dari awal.
Ia bisa memilih apa yang akan terukir di museum hatinya nanti.
Ia bisa mengisinya dengan sesuatu yang baru.
Tiba-tiba, ruangan itu tidak terasa sesunyi sebelumnya.
Ia menarik napas panjang, lalu berbalik menatap pria tua itu.
“Aku rasa… aku mengerti sekarang.”
Pria itu menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum puas. “Bagus.”
Albereon melirik pintu di belakang pria itu—pintu tempat ia pertama kali masuk ke museum ini.
“Sudah waktunya aku pergi, kan?” tanyanya.
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Albereon dengan mata bijak yang seolah menyimpan rahasia dunia.
“Kamu tidak pernah benar-benar pergi dari museum ini,” katanya akhirnya. “Tapi ya, sudah waktunya kamu kembali.”
Albereon mengangguk.
Dengan langkah mantap, ia berjalan melewati pria itu, kembali ke lorong panjang yang kini terasa berbeda.
Ia tidak lagi melihat kenangan-kenangan itu dengan rasa sakit. Tidak lagi melihat patung-patung itu dengan sesak di dadanya.
Ia berjalan melewati pintu keluar museum, dan begitu kakinya menyentuh tanah di dunia nyata, ia merasakan cahaya hangat menyambutnya.
Ia kembali ke kamarnya.
Hujan sudah berhenti. Udara malam masih dingin, tapi tidak terasa menusuk lagi. Ia menatap jendela, melihat pantulan dirinya sendiri.
Lalu, ia tersenyum kecil.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak ingin mengubah masa lalu.
Ia ingin mengisi masa depan.
Dan ruangan kosong itu…
Akan ia isi dengan cerita yang lebih baik.
Tamat.