Mr. Arkhan: Guru Zaman Now yang Gokil Abis Tapi Bikin Kangen

Posted on

Guru killer? No, thanks. Guru yang cuma nyuruh murid catat dari papan tulis? Bosen banget. Tapi gimana kalau ada guru yang ngajarnya kayak main game, asik, santai, tapi tetap bikin semua murid paham dan gak mau bolos? Nah, kenalin—Mr. Arkhan!

Ini bukan cerita biasa tentang guru biasa. Ini cerita tentang guru zaman now yang bukan cuma ngajarin pelajaran, tapi juga ngajarin gimana caranya hidup, berjuang, dan bikin sejarah sendiri. Penasaran sama keseruannya? Gas baca sampe habis!

Mr. Arkhan

Guru Anti-Mainstream

Pagi itu, suasana kelas XI IPS 2 di SMA Garuda Nusantara terasa biasa saja. Beberapa murid mengobrol santai, ada yang sibuk menggambar di buku catatan, dan sisanya hanya duduk lesu menatap papan tulis kosong. Pelajaran sejarah sudah di depan mata, dan seperti biasa, ekspektasi mereka tidaklah tinggi.

“Aduh, pasti bentar lagi kita disuruh nyatet panjang lebar,” keluh Adi sambil menopang dagu.

“Hafalan lagi, hafalan lagi…” sahut Rina dengan nada malas.

Belum sempat ada yang menimpali, pintu kelas tiba-tiba terbuka dengan sedikit hentakan. Biasanya, guru sejarah mereka yang lama selalu masuk dengan wajah serius dan setumpuk buku di tangan. Tapi kali ini berbeda.

Seorang pria muda dengan hoodie hitam oversized, sneakers putih, dan headset melingkar di lehernya melangkah santai ke dalam kelas. Rambutnya tertata rapi tapi sedikit messy, memberi kesan kasual. Alih-alih membawa buku tebal, dia hanya membawa satu tablet kecil di tangannya.

Semua mata tertuju padanya.

“Selamat pagi, anak-anak muda,” sapanya dengan suara yang terdengar santai tapi penuh energi. “Nama aku Arkhan. Mulai hari ini, aku bakal jadi guru sejarah kalian.”

Beberapa murid saling berpandangan, bingung dengan sosok baru ini. Guru sejarah yang… kayak gini?

Bukannya memperkenalkan diri dengan cara formal, Arkhan malah naik ke atas meja guru, duduk dengan satu kaki disilangkan. “Sebelum kita mulai, aku mau tanya,” katanya, menatap satu kelas dengan mata tajam tapi bersahabat. “Menurut kalian, sejarah itu apa?”

Hening.

Beberapa murid mulai gelisah. Biasanya, ini jebakan. Jawaban salah bisa berujung pada ceramah panjang.

“Gak usah takut salah. Serius, aku gak bakal ngasih nilai jelek cuma gara-gara jawaban kalian absurd,” katanya dengan nada meyakinkan.

Seorang murid bernama Raka mengangkat tangan ragu-ragu. “Sejarah itu… sesuatu yang udah terjadi di masa lalu?”

“Bagus! Itu jawaban textbook yang umum. Tapi menurutku, sejarah lebih dari sekadar kejadian di masa lalu,” kata Arkhan sambil menatap mereka satu per satu. “Sejarah itu… cerita. Cerita tentang orang-orang sebelum kita, yang keputusannya masih berdampak sampai sekarang.”

Murid-murid mulai tertarik. Ini pertama kalinya ada guru sejarah yang tidak langsung menyodorkan buku tebal atau catatan panjang.

“Bayangin gini,” lanjut Arkhan. “Dulu ada seorang pemuda yang gagal lebih dari seribu kali sebelum akhirnya berhasil bikin sesuatu yang mengubah dunia. Kalau dia nyerah di percobaan ke-999, kita mungkin masih hidup dalam gelap. Tau siapa dia?”

Beberapa murid mengernyitkan dahi, mencoba mengingat pelajaran yang mungkin pernah disampaikan sebelumnya.

“Thomas Edison?” celetuk Nadine, yang duduk di barisan tengah.

“Bingo!” Arkhan tersenyum. “Sekarang bayangin kalau Edison hidup di zaman sekarang. Mungkin dia bakal jadi anak yang sering dibilang ‘gagal mulu, ngapain sih coba terus?’ Tapi lihat sekarang, lampu yang kita pakai setiap hari itu hasil dari kegigihannya.”

Mata murid-murid mulai berbinar.

Arkhan berdiri dan berjalan ke papan tulis, menuliskan satu kalimat besar: “Sejarah adalah kisah orang-orang yang berani mencoba.”

“Kalian semua bagian dari sejarah,” katanya, kembali menatap mereka. “Jadi mulai sekarang, kita bakal belajar sejarah bukan dengan cara membosankan, tapi dengan cara yang bikin kalian ngerasa jadi bagian dari cerita itu.”

Murid-murid saling pandang. Beberapa mulai tertarik, beberapa masih skeptis.

“Serius, Pak?” tanya Dio. “Emang bisa belajar sejarah tanpa hafalan panjang?”

Arkhan mengangkat satu alis. “Coba aja,” katanya sambil tersenyum penuh arti. “Besok, kita gak akan duduk di kelas. Kita bakal jalan-jalan.”

Suasana kelas langsung riuh.

“Jalan-jalan? Ke mana?”

Arkhan hanya tersenyum misterius. “Rahasia. Pokoknya, bawa sepatu yang nyaman. Dan siapkan diri kalian buat jadi bagian dari sejarah.”

Murid-murid semakin penasaran. Belajar sejarah dengan cara jalan-jalan? Ini jelas di luar ekspektasi mereka.

Saat bel tanda istirahat berbunyi, Arkhan mengambil tablet dan berjalan santai keluar kelas, meninggalkan murid-murid yang masih terpana dengan cara mengajarnya.

Satu hal yang pasti: pelajaran sejarah kali ini, dan untuk seterusnya, tidak akan pernah sama lagi.

 

Sejarah Itu Cerita, Bukan Hafalan!

Hari itu, kelas XI IPS 2 tidak seperti biasanya. Tidak ada yang duduk malas sambil menguap, tidak ada yang sibuk mencoret-coret buku, dan yang paling mencolok—tidak ada satupun murid yang membawa buku sejarah.

Semua berdiri di halaman sekolah, mengenakan sepatu olahraga seperti yang diperintahkan oleh Mr. Arkhan sehari sebelumnya.

“Beneran nih kita belajar sejarah di luar kelas?” tanya Nadine, masih tak percaya.

“Yaelah, Din. Lu pikir kita mau karyawisata?” Dio tertawa, meski dalam hatinya juga penasaran.

Tak lama, Mr. Arkhan muncul dari arah gerbang dengan kacamata hitam bertengger di wajahnya dan backpack tersampir di punggung. “Siap jalan-jalan?” tanyanya santai.

Murid-murid bersorak kecil, meski belum paham sepenuhnya mau dibawa ke mana.

Tanpa banyak penjelasan, mereka pun berjalan keluar sekolah, menyusuri jalan raya. Tak ada bus, tak ada kendaraan, hanya jalan kaki. Beberapa murid mulai mengeluh, tapi Mr. Arkhan hanya tersenyum.

“Pelajaran pertama,” katanya sambil tetap berjalan. “Di zaman dulu, orang-orang gak bisa seenaknya naik motor atau mobil. Mereka jalan kaki ke mana-mana, bahkan perang pun tanpa kendaraan.”

“Lah, kita jadi tentara nih?” Adi mengeluh, membuat beberapa temannya tertawa.

Tak lama, mereka tiba di sebuah bangunan tua yang tampak tak terawat. Dindingnya berlumut, jendelanya beberapa pecah, dan pintu besarnya terlihat sudah lama tak dibuka.

“Selamat datang di salah satu saksi sejarah kota ini,” kata Mr. Arkhan, melepas kacamatanya.

Murid-murid saling pandang, bingung.

“Ini tempat apa, Pak?” Rina akhirnya bertanya.

“Ini bekas penjara zaman kolonial,” jawab Mr. Arkhan. “Dulu, tempat ini dipakai buat menahan pejuang yang melawan penjajah. Dan mereka gak sekadar dipenjara, tapi disiksa. Banyak yang gak pernah keluar dari sini hidup-hidup.”

Mendadak suasana menjadi sunyi. Bahkan yang tadi asik bercanda pun langsung diam.

“Mau lihat?” tanyanya.

Awalnya tidak ada yang menjawab. Bangunan itu memang terlihat seram. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Satu per satu mereka masuk, melangkah pelan.

Di dalam, aroma lembab bercampur debu menyeruak. Dindingnya penuh coretan-coretan lama, beberapa di antaranya terlihat seperti pesan terakhir.

Mr. Arkhan menyalakan senter dari ponselnya dan mengarahkan ke sudut ruangan. “Lihat itu.”

Mereka melihatnya. Sebuah ukiran di dinding, terbuat dari goresan tajam benda keras.

“Merdeka atau mati.”

Tiba-tiba, mereka merinding.

“Kalian tahu gak?” Arkhan melanjutkan. “Yang nulis ini adalah seorang pemuda, umurnya gak jauh beda dari kalian. Dia ditangkap karena berani menyelundupkan surat-surat rahasia ke para pejuang di luar sana.”

Murid-murid semakin diam.

“Tapi dia gak pernah keluar dari sini lagi. Dia mati sebelum kemerdekaan datang.”

Entah kenapa, ruangan itu terasa semakin sempit. Ada beban tak kasat mata yang tiba-tiba mereka rasakan.

“Inilah yang aku maksud sejarah,” kata Mr. Arkhan sambil menatap mereka satu per satu. “Bukan sekadar tahun yang kalian hafal di buku. Tapi kisah nyata. Tentang orang-orang seperti kita, yang hidup, berjuang, dan mati demi sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.”

Tak ada yang berbicara. Untuk pertama kalinya, mereka benar-benar memahami sesuatu tanpa harus mendengar ceramah panjang atau menghafal catatan.

Setelah beberapa menit, mereka keluar dari bangunan itu. Matahari terasa lebih terang, udara terasa lebih bebas.

“Sekarang,” Arkhan berkata, “kalau nanti ada orang yang bilang sejarah itu membosankan, kalian bisa jawab apa?”

Raka, yang biasanya paling malas dengan pelajaran sejarah, tiba-tiba berbicara. “Sejarah itu… cerita tentang orang-orang yang memilih buat gak diem aja.”

Arkhan tersenyum lebar. “Nah, itu dia.”

Mereka kembali ke sekolah, tapi kali ini, tanpa keluhan. Semua masih tenggelam dalam pikirannya masing-masing, masih meresapi pengalaman yang baru saja mereka alami.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, pelajaran sejarah terasa begitu nyata.

 

Guru, Sahabat, dan Pahlawan

Sejak kunjungan ke penjara tua itu, pelajaran sejarah di kelas XI IPS 2 berubah total. Tidak ada lagi keluhan saat jam sejarah tiba, tidak ada yang pura-pura sakit agar bisa bolos, dan yang paling mengejutkan—tidak ada yang tidur di kelas.

Mr. Arkhan berhasil membuat sejarah terasa hidup. Kadang mereka belajar di lapangan sekolah sambil simulasi strategi perang, kadang mereka bermain peran jadi tokoh sejarah, bahkan pernah sekali mereka membuat podcast sejarah yang kemudian diunggah ke YouTube sekolah.

Tapi bagi para murid, lebih dari sekadar guru, Mr. Arkhan adalah teman.

Ia bisa bercanda, bisa tertawa bersama mereka, tapi tetap tahu kapan harus tegas. Ia mendengar cerita-cerita mereka, menanggapi tanpa menghakimi.

Suatu hari, di akhir pelajaran, Mr. Arkhan duduk di atas mejanya seperti biasa, lalu menatap seluruh kelas. “Oke, sebelum kita selesai, ada yang mau cerita sesuatu?”

Murid-murid saling pandang. Ini kebiasaan baru yang diperkenalkan Mr. Arkhan—di setiap akhir pelajaran, mereka bisa berbicara tentang apa saja, tanpa takut dinilai atau dikritik.

“Pak,” tiba-tiba Raka mengangkat tangan.

Semua menoleh. Ini mengejutkan, karena Raka bukan tipe yang suka bicara di kelas.

“Aku…” Raka ragu sebentar. “Aku kayaknya bakal dikeluarin dari sekolah.”

Kelas langsung gaduh.

“Kenapa?” tanya Dio.

Raka menunduk. “Nilai aku jelek semua, aku juga sering bolos dulu… Orangtua aku udah dipanggil sekolah.”

Suasana menjadi muram.

Namun, Mr. Arkhan tetap tenang. “Kamu mau tetap sekolah di sini?” tanyanya dengan nada santai, tapi serius.

Raka mengangguk.

“Kalau gitu, kita gak bakal biarin itu terjadi.”

Raka menatapnya, ragu. “Tapi gimana, Pak? Udah telat, kan?”

Arkhan tersenyum. “Sejarah juga sering dianggap sudah terlambat buat diubah. Tapi orang-orang besar di dalamnya gak pernah nyerah.”

Tanpa banyak bicara, ia berdiri dan mengambil selembar kertas dari mejanya. “Gini aja. Aku bakal bikin kesepakatan sama pihak sekolah. Kalau kamu bisa ningkatin nilaimu dalam sebulan, mereka gak bakal ngeluarin kamu.”

Raka terdiam. “Tapi aku gak mungkin ngejar semua pelajaran…”

“Kamu gak sendiri.” Arkhan menatap seluruh kelas. “Kita ini satu tim. Jadi, siapa yang mau bantu Raka?”

Tanpa ragu, hampir seluruh murid mengangkat tangan.

“Gue bisa ngajarin lo Matematika.”

“Aku bisa bantu di Ekonomi.”

“Sejarah jangan lupa, gue udah mulai ngerti sekarang.”

Raka menatap teman-temannya, lalu ke arah Mr. Arkhan yang tersenyum penuh keyakinan.

“Gimana, Rak?” tanya Arkhan. “Mau nyoba?”

Raka mengangguk pelan. “Aku mau.”

Dan sejak hari itu, keajaiban kecil mulai terjadi. Raka, yang biasanya menghilang saat jam kosong, kini selalu ada di kelas, belajar bersama teman-temannya. Mr. Arkhan sering menyempatkan diri untuk membantunya setelah jam sekolah.

Sebulan berlalu.

Hari itu, hasil ulangan keluar. Semua menahan napas saat Raka melihat lembarannya.

Kemudian, sebuah senyum muncul di wajahnya. “Aku naik, Pak.”

Seluruh kelas bersorak.

Pihak sekolah akhirnya setuju untuk tidak mengeluarkan Raka. Dan itu semua berkat seorang guru yang percaya bahwa sejarah—dan hidup—bisa berubah jika ada yang mau berjuang.

Bagi mereka, Mr. Arkhan bukan sekadar guru sejarah.

Dia adalah sahabat.

Dan untuk Raka… dia adalah pahlawan.

 

Sejarah yang Tak Akan Dilupakan

Hari itu, kelas XI IPS 2 dipenuhi energi yang berbeda. Bukan hanya karena mereka sudah semakin menikmati pelajaran sejarah, tapi juga karena rumor yang beredar sejak pagi.

“Eh, kalian udah denger belum?” bisik Nadine ke Rina.

Rina mengangguk dengan wajah muram. “Katanya beneran, ya?”

Di sisi lain kelas, Dio menyenggol Adi. “Lo yakin ini cuma hoax?”

Adi menggeleng. “Gak tau, bro. Gue harap ini cuma gosip.”

Belum sempat mereka bertanya lebih lanjut, pintu kelas terbuka.

Mr. Arkhan masuk seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda. Senyumnya tetap ada, tapi tidak seterang biasanya. Tidak ada headset di lehernya hari ini.

“Selamat pagi, anak-anak muda,” sapanya dengan nada yang tetap penuh semangat.

Namun, murid-murid tidak langsung menjawab.

Mr. Arkhan terkekeh kecil, lalu bersandar di meja guru. “Kenapa pada diem gini? Biasanya kelas ini rame banget.”

Raka, yang kini jauh lebih percaya diri sejak perjuangannya bulan lalu, akhirnya memberanikan diri bertanya. “Pak… ini beneran?”

Arkhan menghela napas, lalu mengangguk. “Ya.”

Kelas mendadak terasa hampa.

Semua sudah mendengar desas-desusnya sejak pagi—Mr. Arkhan akan pindah mengajar ke sekolah lain. Tapi tidak ada yang benar-benar siap untuk mendengarnya langsung.

“Kenapa, Pak?” tanya Dio dengan nada sedikit putus asa.

Arkhan tersenyum tipis. “Sekolah lain butuh aku.”

“Mereka gak lebih butuh daripada kami,” celetuk Nadine dengan nada protes.

Arkhan tertawa kecil, tapi matanya tetap teduh. “Dengar, aku bangga banget sama kalian. Kalian bukan cuma murid-murid yang hebat, tapi juga orang-orang yang bisa bikin sejarah kalian sendiri.”

Suasana tetap berat. Tidak ada yang ingin dia pergi.

Namun, seperti biasa, Arkhan punya cara tersendiri untuk mengubah situasi. Ia berdiri dan menepuk tangan sekali. “Oke, karena ini pelajaran sejarah terakhir kita, aku mau kalian melakukan sesuatu.”

Murid-murid menatapnya dengan penuh tanda tanya.

Arkhan mengangkat ponselnya, lalu memutar sebuah lagu instrumental klasik yang terasa megah. “Aku mau kalian menulis satu hal yang kalian pelajari dari kelas ini. Satu kalimat aja.”

Awalnya mereka ragu, tapi melihat ekspresi serius Arkhan, mereka pun mulai menulis di secarik kertas.

Setelah beberapa menit, satu per satu murid menyerahkan kertasnya. Arkhan membaca beberapa di antaranya dengan senyum puas.

“Sejarah bukan cuma hafalan, tapi cerita yang bisa kita pelajari.”

“Aku belajar bahwa kegagalan itu bukan akhir, tapi bagian dari perjalanan.”

“Guru terbaik bukan yang bikin kita hafal pelajaran, tapi yang bikin kita percaya sama diri sendiri.”

Arkhan menutup matanya sesaat, lalu mengangguk. “Kalian hebat.”

Murid-murid menahan emosi mereka. Tidak ada yang ingin menangis, tapi beberapa mulai mengusap mata mereka secara diam-diam.

Bel tanda akhir pelajaran berbunyi.

Arkhan menatap mereka satu per satu. “Aku gak bakal bilang selamat tinggal, karena sejarah kita gak akan berhenti di sini. Aku bakal tetap jadi bagian dari cerita kalian, sama seperti kalian tetap ada dalam cerita hidupku.”

Ia mengambil tasnya, lalu tersenyum sekali lagi.

“Sampai jumpa, anak-anak muda. Teruslah buat sejarah kalian sendiri.”

Dan dengan itu, ia melangkah keluar dari kelas.

Tak ada tepuk tangan, tak ada sorakan, hanya keheningan yang sarat dengan rasa kehilangan.

Namun, saat mereka menatap kertas-kertas kecil di tangan Arkhan, mereka sadar—guru itu mungkin pergi, tapi pelajarannya akan selalu ada dalam ingatan mereka.

Sejarah telah dibuat.

Dan mereka adalah bagiannya.

 

Gak semua guru bisa bikin muridnya betah di kelas. Gak semua guru bisa jadi sahabat tanpa kehilangan wibawanya. Dan gak semua guru bisa bikin muridnya nangis pas dia pergi. Tapi Mr. Arkhan? Dia beda. Dia adalah guru yang bakal selalu diingat, bukan cuma karena caranya mengajar, tapi karena caranya mengubah hidup murid-muridnya.

Guru kayak dia mungkin gak ada di setiap sekolah, tapi kalau beruntung, sekali aja ketemu guru kayak gini, dijamin bakal jadi bagian dari sejarah hidup yang gak bakal dilupain. Jadi, kalau kamu punya guru gokil yang ngajarnya anti-mainstream, hargai mereka sebelum terlambat. Karena guru zaman now kayak Mr. Arkhan, langka banget!

Leave a Reply